Penyulam Harapan
10. Babak 10 (Scene 51-55)

51. INT - KAMAR KONTRAKAN PUJI – KAMAR KONTRAKAN – MALAM (FLASHBACK)

 

Kita melihat Puji tengah menidurkan Vino, menepuk-nepuk pelan kaki Vino. Lalu Bimo masuk ke kamar, wajahnya semringah.

 

Bimo duduk di tepi tempat tidur. Puji yang awalnya rebahan langsung duduk sambil terus menepuk-nepuk kaki Vino. Dia menatap Bimo dengan alis bertaut.

 

PUJI
Dari mana, Mas?
Tadi kok enggak bilang mau pergi ke mana setelah pulang dari warung.
 
BIMO
Mas tadi mengambil ini, uang dari teman mas.
 
PUJI
Maksudnya? Mas pinjam uang lagi? Mas, pinjaman kita yang kemarin saja belum lunas.

 

BIMO
(Menggeleng)
Bukan, Puj.
Teman mas ada yang kerja di koperasi. Mas menitip uang sedikit-sedikit kalau ada lebihan sisa belanja bahan untuk jualan. Mas kemarin nelepon dia, bilang kalau mas mau mengambil semua isi tabungan itu. Meski jumlahnya hanya cukup untuk ongkos kita berempat nanti. Uang sakunya belum ada, nanti mas pikirkan lagi. Lagi pula kan rekreasinya masih dua minggu lagi. Semoga nanti ada rezeki lain buat uang saku.
 

Bimo menyerahkan beberapa lembar uang pada Puji. Puji malah memandangi tangan Bimo tanpa mengambil uang itu. Dia tidak percaya pada Bimo. Bimo menyodorkan uang itu lebih dekat ke Puji, tapi Puji tetap diam saja.

 

PUJI
Mas, apa enggak sebaiknya uang ini ditabung aja. Mas aja yang berangkat menemani Nana. Lumayan sisanya untuk jaga-jaga kalau ada keperluan mendadak.
 

Bimo tersenyum, meraih tangan Puji lalu meletakkan paksa uang itu. Bimo hafal reaksi Puji, Bimo sudah menduganya.

 

BIMO
Puj, dengar. Kita harus yakin kalau kita ini mampu.
Kamu enggak bisa menentukan mana yang membahagiakan Nana, sedang kamu bukan Nana. Dia itu anak-anak, jangan sampai Nana sedih karena kedua orang tuanya enggak ikut semua dalam study tour. Jangan sampai dia merasa iri pada temannya yang pergi bersama semua keluarga. Nana enggak bilang apa yang dia mau, bukan berarti Nana enggak punya kemauan. Sudah, uang ini besok kamu bayarkan ke gurunya Nana.
 
PUJI
Iya, Mas, aku paham itu. Tapi kan keadaan kita sekarang belum memungkinkan menuruti semua yang Nana inginkan.
 

BIMO

Puj, kita sebagai orang tua harus berusaha maksimal untuk kebutuhan anak-anak.
Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk menyenangkan kalian. Kebahagiaan masa kecil Nana dan Vino enggak akan terulang, Puj. Aku enggak mau, dia kecewa padaku atau kita sebagai orang tuanya. Aku enggak mau, Nana besar nanti merasa kurang disayang dan kurang diperhatikan oleh kita.
Tahu enggak, masa kecil, mas dulu juga pernah sulit. Mas enggak mau Nana merasakan pahit-pahit masa kecil, seperti yang kualami dulu.

 

Puji berkaca-kaca, hampir menangis. Dia bilang terima kasih tanpa suara. Bimo mendekat, memeluk Puji yang sudah berlinang air mata. Bimo mengusap-usap punggung Puji.

 

BACK TO:

 

52.  INT – RUMAH PUJI - KAMAR PUJI - MALAM (PRESENT)

 

Tampak meja rias Puji, ada buku-buku kecil, kotak jepit rambut, juga beberapa botol pembersih wajah. Tak ketinggalan kapas serta tisu. Puji termenung diam memandang, dia memikirkan perkataan Bimo. Puji menarik napas dalam-dalam. Dia gelisah, duduknya bergerak-gerak. Dia menatap sekilas pada ponsel yang tergeletak di meja.

 

Puji menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lalu dia mengusap-usap pelan. Puji lalu berdiri, berjalan menuju tempat tidur.

 

Puji duduk di tepian tempat tidur, menunduk dengan tatapan kosong. Dia mendongak, melihat foto keluarga mereka yang tergantung di dekat lemari pakaian. Puji tiba-tiba menangis, dia berdiri lagi lalu berjalan sambil menatap lekat foto itu.

 

Udara terasa lebih dingin dari semestinya. Puji perlahan memeluk dirinya sendiri.

 

DISSOLVE TO:

 

53.  EXT – SEKOLAH SMA - SELASAR ASRAMA SEKOLAH - SIANG

 

Kita melihat bunga-bunga kecil di pot, lalu tampak Dika berjalan di selasar sambil membaca buku. Di belakangnya ada pak guru mengejar, tapi Dika tidak menyadarinya.

 

PAK GURU
Dika, Dik.
(Pak guru berjalan lebih cepat)
 
DIKA
(Berbalik menoleh ke belakang, tangannya refleks menutup buku)
Iya, ada apa, Pak?

 

PAK GURU
Bapak lupa nanya sama kamu, kamu sudah menyampaikan ucapan bapak pada Nana?
 
DIKA
(Mengangguk cepat)
Sudah, Pak. Beberapa hari lalu, saya ketemu sama Nana dan saya menyampaikan pesan dari Bapak.
 
PAK GURU
Apa jawaban Nana, Dik?

 

DIKA
(Terdiam sesaat, bingung)
Nana, bilang dia tidak bisa, Pak. Dia juga menitip pesan permintaan maaf untuk bapak dan sekolah.
 
PAK GURU
Bapak tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi? Kamu tahu, Dik? Bapak pikir, mungkin lebih baik datang ke rumah Nana. Bapak khawatir, ponselnya sulit dihubungi.


DIKA
Saya tidak yakin itu akan berhasil, Pak. Saat ini, Nana baik-baik saja, tetapi ada masalah keluarga yang membuatnya mengurungkan niat untuk ikut seleksi beasiswa.
(Dika tiba-tiba tersenyum)
Meski begitu, saya akan ke sana kalau Bapak mengizinkan.

 

PAK GURU
Bapak mendengar tentang itu, pun turut bersedih bila benar demikian. Terima kasih, kamu sudah menyampaikan pesan bapak pada Nana. Dan tentu, tentu Bapak mengizinkan kamu pergi ke rumahnya, asal jangan lupa waktu.
 
DIKA
(Tersenyum)
Siap, Pak. Saya mengerti.

Pak guru pun membalas senyum. Dia menepuk pelan pundak Dika sebelum berbalik lalu pergi. Dika menghela napas dalam perlahan, dadanya sesak.

CUT TO:

 

44.  INT – RUMAH PUJI - RUANG MAKAN RUMAH PUJI – SIANG

 

Tampak makanan terhidang di meja, ada sayur bening, ikan goreng, sambal, juga buah dan nasi. Puji, Vino, dan Nana duduk sambil menekuri piring masing-masing. Tidak ada yang bicara.

 

Bibi berdiri di dekat sink, tak jauh dari ketiganya. Dia menoleh sekilas, menatap sedih pada kemurungan yang terjadi. Akan tetapi, bibi tak berani mengatakan apa pun, sehingga dia memilih pergi ke halaman belakang rumah.

 

PUJI
Aku tahu kalian marah.

 

Vino dan Nana saling melirik, tapi tidak juga menyahut ucapan Puji.

 

PUJI (CONT’D)
Kalian berhak marah, tapi kalian enggak bisa mengambil keputusan dan keinginan sesaat tanpa menggunakan akal pikiran yang sehat. Kalian sudah besar, mama pikir kalian bisa menilai mana yang baik dan buruk. Berpikirlah seperti orang dewasa.

 

NANA
(Tertawa sinis, dia meletakkan sendok dan garpu di meja)
Mamah mau bilang kami masih seperti anak-anak yang enggak tahu apa-apa begitu? Yang bisanya cuma merengek dan manja.
 
PUJI
(Menegakkan punggung, menatap Nana tajam)
Kalian memang anak-anak, buktinya kalian memikirkan kebahagiaan dan keinginan kalian dari satu sisi. Kalian belum mampu untuk berada di sisi yang lain.
 
VINO
Mah—

 

Nana menyentuh lengan Vino, isyarat melarang Vino bicara. Nana lalu menatap Vino tajam, sebagai anak tertua merasa punya tanggung jawab untuk bicara dengan Puji.

 

PUJI
Apa Vino?
Kamu enggak setuju dengan apa yang mama bilang barusan?
 
NANA
Kami bukan anak kecil lagi, itu yang harus Mamah tahu.
 
PUJI
Kamu mengajari mamah, Na?
Sejak kapan kamu jadi pintar membantah seperti ini?
Apa papah kamu itu diam-diam mencuci otak kalian, supaya kalian mau ikut bersamanya atau supaya dia bisa kembali ke rumah ini?

 

NANA
(Tertawa)
Mamah salah, justru Mamah yang egois, kekanak-kanakan dan cuma memikirkan diri sendiri. Nana kecewa sama Mamah.

 

Nana memundurkan kursi, lalu berdiri. Puji membuka mulut, hendak bicara. Tapi Nana telajur menjauh.

 

Puji berpaling pada Vino yang menggigiti bibirnya sendiri. Vino kesal, sama seperti Nana.

 

PUJI
Vin, kamu—

 

Vino berdiri, meninggalkan Puji sendirian di meja makan.

 

VINO
Vino enggak nafsu makan lagi, Mah.

 

CUT TO:

 

55.   EXT - HALAMAN KAMPUS TEMPAT PUJI KULIAH - SIANG (FLASHBACK)

 

Terlihat mobil Bimo berhenti di halaman, lalu Puji keluar sambil menenteng tas berisi laptop. Puji menutup kembali pintu mobil perlahan. Dia menaikkan tas selempang di pundak kirinya.

 

Bimo menurunkan kaca mobil, lalu melongok keluar untuk mengatakan sesuatu.

 

Puji memandang ke arah Bimo.

 

BIMO
Kamu nanti pulangnya mau dijemput sopir atau ….
 
PUJI
Aku kayaknya pulang sendiri aja, Mas. Tolong, titip pantau anak-anak, ya. Soalnya aku ada diskusi soal skripsi di jam terakhir sore nanti.

 

BIMO
(Mengangguk)
Oke, kamu hati-hati. Aku akan mengecek restoran kita sekali lagi, lalu pulang dan ngecek anak-anak apa mereka sudah pulang sekolah.

 

PUJI
Hati-hati juga, Mas. See you.

 

Puji melambaikan tangan, begitu pula Bimo. Bimo lalu memutar balik, melaju keluar kampus.

 

Dari kejauhan dua perempuan yang lebih muda menghampiri Puji. Salah satunya menepuk lengan Puji.

 

PEREMPUAN SATU
Mbak Puji, dianter suaminya, ya?

 

Puji tersenyum menanggapi pertanyaan itu, lalu mengangguk kecil.

 

PEREMPUAN DUA
Keren, ya, suami Mbak Puji ngizinin Mbak Puji kuliah lagi. tipe-tipe suami yang mendukung cita-cita istrinya.

 

PUJI
Kenapa harus enggak mendukung, kuliahku kan sebagiannya ditanggung beasiswa.
Lagi pula, kalau nanti lulus, aku jadi punya banyak pengalaman dan peluang kerja yang besar.
 
PEREMPUAN SATU
Tetep aja, Mbak Puji.
Jarang ada suami support sama keinginan dan cita-cita istrinya.

 

PUJI
(Tersenyum malu, tersipu atas pujian yang ditujukan untuk Bimo)
Kalian ini bisa aja.
Yuk, kita ke kelas sekarang.

 

PEREMPUAN SATU
Ih, aku serius tahu, Mbak.
Jarang loh ada suami yang mau repot-repot ngebiarin istrinya kuliah lagi. Mayoritas merasa dominan.
Apa itu istilahnya, takut tersaingi ….
 
PEREMPUAN DUA
Patriarki, takut kalah saing.

 

PEREMPUAN SATU
Nah itu, suami Mbak Puji ini bener-bener keren.
 
PUJI
Sudah, sudah, nanti suamiku itu telinganya berdenging dan hidungnya jadi merah karena diomongin terus.

 

Puji berbalik menuju gedung fakultas. Dua perempuan tadi masih asyik mencandainya, tetapi Puji tidak terlalu mengambil hati apa yang mereka katakan. Ketiganya berjalan menuju gedung yang sama.

 

CUT TO:

 


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar