Penyulam Harapan
7. Babak 7 (Scene 36-40)

36. INT – RESTORAN PUJI - RUANG KERJA PUJI - SIANG

 

Puji menunjuk sofa di dekat jendela, menyilakan Bimo duduk. Bimo pun menurut tanpa kata. Bimo mengamati ruangan sekilas, sudah lama sekali dia tidak masuk ke ruang kerja Puji itu.

 

Puji duduk sisi sofa berseberangan dari Bimo. Mereka saling pandang, tetapi tetap diam.

 

BIMO
Aku mau ngomong sama kamu ….
 
PUJI
(Menyela Bimo lagi)
Gini, apa pun yang mau diomongin kali ini. Aku harap, bukan kalimat bujukan supaya kita bisa berdamai. Enggak, aku enggak bisa.

 

BIMO
Kenapa, Puj? Apa kamu punya laki-laki lain yang kamu sukai?
 
PUJI
(Menatap Bimo tajam penuh amarah)
Apa maksudmu? Bukannya kamu yang punya perempuan lain. Buktinya, kamu sekarang main tangan.
 
BIMO
Kamu enggak punya bukti nuduh aku kayak gitu, Puj.
 
PUJI
Dan kamu juga enggak punya bukti nuduh aku kayak gitu.
 
BIMO
Lalu apa alasan kamu tetap ingin cerai? Apa kalau bukan ada laki-laki lain?

 

CUT TO:

 

37.  INT – RUMAH PUJI – KAMAR PUJI – MALAM (FLASHBACK)

 

Kita melihat Puji masuk ke rumah, melewati ruang tamu. Bimo duduk di kursi meja makan, satu tangannya memegang gagang mug berisi kopi.

 

PUJI
(Tersenyum, berjalan menghampiri Bimo)
Mas, belum tidur?
Maaf, aku tadi ada tugas dan tahu-tahu sudah malam sekali.
 
BIMO
(Menyesap kopinya)
Kamu di kampus apa nongkrong lagi?

 

PUJI
Di kedai, Mas, yang dekat kampus itu.
Ya, bosen kalau mengerjakan tugas fi kampus terus.
Lagi pula, makanan di kantin masakannya kurang enak.

 

BIMO
(Mengembuskan napas kasar)
Kamu belakangan sibuk sama teman-teman kamu itu, Puj.

 

Puji mengerucutkan bibir. Dia Berjalan lebih dekat ke meja makan. Satu tangan Puji bertumpu pada meja, menahan sebagian berat badannya.

 

PUJI
Mas, enggak konsisten.
 
BIMO
(Menautkan alis, menatap Puji tajam)
Enggak konsisten kamu bilang?

 

PUJI
(Mengangguk satu kali)
Iya, enggak konsisten.
Mas, akhir-akhir ini seperti kurang suka dengan semua yang kulakukan.
Seolah, begini salah begitu pun salah.

 

BIMO
Aku cuma ….
 
PUJI
(Mengibaskan tangan)
Sudahlah, Mas.
Aku enggak mau debat tengah malam begini.

 

Bimo hampir berdiri. Dia membuka mulut, tetapi Puji telanjur berbalik lalu menuju kamar. Bimo duduk lagi. Dia menyandarkan punggung di sandaran sambil memijit pelipisnya dengan satu tangan.

 

DISSOLVE TO:

 

38. INT – RESTORAN PUJI – RUANG KERJA PUJI – SORE

 

Tampak Puji masuk ke ruang kerjanya. Bimo ada di meja kerja Puji. Namun, Puji justru tersenyum, tidak terkejut dengan keberadaan Bimo.

 

Puji meletakkan tas berisi laptop di meja tamu sudut dekat jendela. Lalu Puji duduk, melepas sepatunya dan membiarkan kakinya menyentuh lantai yang dingin. Lalu Puji meraih sandal tipis di lemari penyimpanan sepatu.

 

Bimo tidak membalas senyum Puji. Dia membiarkan Puji dengan apa yang dilakukannya. Bimo menekuri kertas-kertas di meja, lalu sesekali memperhatikan komputer di depannya.

 

PUJI
Mas, kenapa, sih?
Mukanya kusut begitu.
 
BIMO
(Menoleh)
Kamu masih tanya kenapa, Puj?
Kamu enggak lihat, aku sedang apa?

 

Puji berdiri, lalu mendekati Bimo. Puji mendengkus sebal ketika tahu apa yang ada di depan Bimo. Puji berbalik, lalu mengambil air untuk minum dari dispenser.

 

Kita melihat Puji minum, pandangannya tertuju pada jendela. Setelah minum sekali lagi, Puji berbalik dan menghampiri Bimo lagi.

 

PUJI
Aku enggak nyuruh Mas untuk mengerjakan pembukuan restoranku.

 

Bimo menumpuk kedua tangannya di atas meja. Akan tetapi, tangannya masih memegang pena dan menggerak-gerakkannya.

 

BIMO
Lalu siapa yang mau mengerjakan pembukuan ini?
Apa angka-angka itu bisa masuk sendiri di kertas dan excel?

 

PUJI
Nana juga kukerjakan, Mas.
Lagi pula aku belum sempat.
Kalau Mas capek sama restoran satunya.
Ya, sudah, Mas fokus di sana saja.
Restoran yang ini biar aku yang urus.

 

BIMO
(Menggeleng, tatapannya makin tajam)
Apa yang kamu urus?
Kamu sekarang terlalu sibuk dengan kegiatan kampus.
Sampai-sampai pembukuan ini mangkrang beberapa minggu.
Puj, kamu tahu kan kalau kita dulu susah payah membangun usaha sendiri.
Sekarang, meski sudah jalan tanpa kamu pantau, tetap kamu enggak boleh ceroboh.

 

Puji mengangkat kedua tangan di udara. Dia menjauh dari Bimo, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa.

 

PUJI
Mas, aku baru datang.
Aku capek dan enggak punya tenaga untuk berdebat.
Tolong, mengertilah.
 
BIMO
Puj, aku bukan bermaksud mengajak kamu berdebat.
 
PUJI
Bagiku, iya.
Mending aku pulang sajalah.
Aku mau istirahat, Mas.
 

Puji meraih tas laptopnya, menyampirkannya di pundak kiri. Puji meletakkan sepatu dan kaus kakinya di rak. Puji berdiri, lalu berpaling menuju pintu keluar ruang kerjanya. Dia tetap mengenakan sandal tipis rumahan.

 

Puji berhenti tiba-tiba, tapi masih memunggungi Bimo.

 

PUJI (CONT’D)
Mas, kalau keberatan mengerjakan pembukuan itu.
Biarkan, biar aku yang urus.

 

Puji langsung pergi tanpa menunggu tanggapan Bimo.

 

BACK TO:

 

39. INT – RUMAH NANA – KAMAR NANA – SIANG

 

Tampak Nana tengah membereskan buku-buku di raknya. Dia mengusap-usap beberapa judul buku tebal yang dipakainya belajar untuk seleksi beasiswa. Nana juga meraih brosur yang dia simpan, brosur yang menarik dia dan Vino untuk ikut seleksi bersama.

 

Nana membuka-buka brosur itu, lalu tersenyum kecil. Perlahan ekspresi Nana berubah sendu. Matanya memerah, lalu air matanya menetes. Nana menelan ludah. Dia kemudian buru-buru mengembalikan brosur itu, lalu memasukkan buku-buku miliknya ke lemari.

 

Nana terpaku sesaat sebelum menutup lemari. Dia mengusap kedua pipinya, sambil memandangi buku-buku yang disingkirkannya dari meja belajar. Air matanya makin deras, lalu Nana menutup pintu lemari dengan keras.

 

Setelah pintu tertutup, Nana berbalik berlari ke tempat tidur. Dia masih menangis, sesenggukan.

 

NANA
Kenapa semua jadi kayak gini?
(Mengusap pipinya lagi)

 

DISSOLVE TO:

 

40. INT – RUMAH NANA – RUANG NONTON TV – SORE

 

Kita melihat Nana tengah melamun sambil memegangi mug berisi teh. Pandangannya mengawang ke luar jendela, cuaca di luar mendung. Cahaya matahari sore jatuh di wajah Nana, silau, tetapi dia tidak berpaling.

 

Bimo tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya. Dia duduk menyamping di belakang Nana.

 

Terdengar suara ponsel Nana berdering di atas meja lampu. Akan tetapi, Nana membiarkan ponselnya terus berdering sampai bergeser-geser sedikit karena getaran.

 

Bimo memandang Nana dengan alis bertaut.

VINO
Kak, itu ada telepon?
 
NANA
(Menoleh sekilas, lalu menatap layar ponsel yang berpendar)
Aku enggak mau nerima.

 

VINO
(Tersentak, lalu bangun dari duduk)
Itu bukannya penting, Kak?

 

Vino menunjuk layar ponsel yang bertuliskan panggilan dari pak guru pembimbing. Lalu Vino memperhatikan ekspresi Nana lekat-lekat.

 

NANA
Mestinya begitu, Vin.
(Tersenyum getir, lalu bangun dari duduk)
Tapi sekarang enggak lagi.

 

Nana bangun lalu menaruh nug di dekat ponsel. Dia mengambil ponselnya, lalu pergi menjauhi Vino. Dia naik ke lantai dua. Vino memandangi punggung Nana yang semakin jauh. Nana menghindari Vino, karena matanya memerah mau menangis.

 

 

DISSOLVE TO:


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar