Penyulam Harapan
1. Babak 1 (Scene 1-5)

1. EXT - TERAS RUMAH – RUMAH PUJI – PAGI

 

NANA (18) berdiri berhadapan dengan DIKA (18). Tangan mereka saling saling menggandeng, bertautan. Mata Nana memerah menahan tangis. Begitu pula Dika.

 

NANA
Aku pergi dulu, Dik.
Kamu yang bener belajarnya.
(Nana menghela nafas dalam)
 
DIKA
(Membuka mulut, mau bicara)
Iya.
(Suara Dika berat dan lirih)
 
PUJI (38) (MAMA NANA)
Na!
(Memanggil sambil melongok dari jendela mobil)
Ayo, cepat atau kita nanti terlambat.
 
DIKA
Kamu yang kuat, ya, Na.
(Suara Dika terbata-bata)

 

Nana mengangguk, perlahan melepas pegangan tangannya lalu pergi menyusul Puji yang duduk dengan ekspresi tidak sabar di kabin penumpang mobil. Ketika Nana masuk, Puji memandang putrinya sekilas, tetapi tidak mengatakan apa pun.

 

PUJI
Jalan sekarang, Pak!
(Puji menyuruh sopir untuk menyalakan mobil)

 

Nana murung, terus menatap keluar jendela. Dika berdiri di depan gerbang rumah Nana, melepas kepergian sang sahabat. Ketika mobil Nana sudah jauh, Dika mengusap air mata yang mengalir.

 

Nana menunduk setelah mobil berbelok, dan Dika tak terlihat lagi. Nana pun mengusap air matanya.

 

CUT TO:

 

2. EXT - KANTIN – SEKOLAH NANA - SIANG (FLASHBACK)

 

Kita melihat Dika meletakkan es di depan Nana. Nana mendongak sedikit, lalu tersenyum pada Dika.

 

DIKA
Enggak nyangka ya, kita udah mau lulus.
 
NANA
(Mengaduk-aduk esnya pakai sedotan)
Iya, malahan kita udah lulus tahu. Cuma belum resmi wisuda aja.
 
DIKA
(Tertawa kecil sambil menyedot minumannya. Tatapan Dika memandang teman-teman yang riuh di seberang meja mereka berdua)
Formulir kamu udah siap belum, Na?
 
NANA
(Menepuk dahinya sendiri)
Ya ampun, aku lupa, Dik.
Semalem, aku mau minta tanda tangan Papa. Eh, tapinya Papa pulang malem. Aku ketiduran. Emangnya boleh ditandatangani sama Mamah? Maksudku, kalau nanti Papah udah pergi ke resto lagi.
 

Suara Nana menjadi lirih karena sedih. Dia lalu menunduk, mengaduk-aduk esnya, tapi tidak berminat untuk minum.

 

DISSOLVE TO:

 

3. INT - RUANG TAMU - RUMAH NANA – SORE

 

Terlihat Nana masuk gerbang sambil bergumam menyanyikan lirik lagu. Dia berhenti di tengah halaman depan, matanya menyipit. Nana mendengar suara Bimo dan Puji dari dalam rumah. Setelah menyadari ada pertengkaran, Nana berlari masuk. Pintu depan rumahnya dibiarkan terbuka.

 

PUJI
Kamu kan lebih mementingkan teman-teman nongkrongmu itu. Sudahlah, aku nggak peduli kamu mau pulang atau enggak. Pintu rumah terbuka lebar, kalau mau keluar silakan keluar.
 
BIMO (40) (Papa NANA)
Ini rumah kita beli berdua. Kamu enggak bisa mengusirku semaumu.
 
PUJI
(bersedekap)
Oh, iya, kamu benar. Kalau begitu, biar aku yang pergi.
(Puji menoleh pada Nana yang sejak tadi berdiri di ambang pintu)
Kamu cepat naik ke atas, beresi barang-barang. Bilang juga sama Vino. Kita pergi dari sini.
 

Bimo berjalan menghampiri Nana. Dia mencekal pergelangan tangan Nana, agar Nana tidak menuruti perintah mamanya. Bimo mengenggam tangan Nana kuat-kuat.

 

BIMO
Kamu jangan nurut! Mamamu itu enggak waras. Papa enggak kasih izin siapa pun keluar dari rumah ini.
 
NANA
(Menelan ludah, takut pada papanya, tapi juga takut pada sang mama)
Tapi, Pah.
 
PUJI
(Mendekati Bimo, menarik bahu Bimo sampai Bimo berbalik menghadap Puji)
Kamu enggak berhak ngelarang Nana, dia anakku.
 
BIMO
Dia juga anakku. Kamu jangan egois, Puj!
 
PUJI
(Tertawa sinis)
Aku?
(menunjuk wajahnya sendiri)
Mas itu harusnya ngaca. Siapa yang pulang semaunya, kalau di rumah cuma bisa ngedumel, komentar ini komentar itu. Kamu enggak pernah di rumah, Mas. Aku bingung, kalau Mas memang enggak suka lagi melihat aku di rumah ini. Ya, sudah! Biar aku sama anak-anak pergi.
 
BIMO
Aku enggak mengizinkan siapa pun pergi. Enggak satu pun dari kalian.
 
PUJI
Mas pikir, aku butuh izin? Enggak sama sekali.
(Berpaling pada Nana)
Kemasi barang-barangmu, Na! Sekarang!
(Menatap Bimo tajam)
Aku mau kita cerai.
 

Bimo spontan melepas tangan Nana. Lalu berbalik menanntang Puji.

 

Bimo menampar Puji keras sampai Puji terhuyung-huyung. Bimo lalu berjalan mendekati Puji. Nana panik, dia berlari mendekati Bimo lalu mencekal tangan kanan papanya.

 

BIMO
Kamu nggak usah ikut campur, Na.
(Bimo menyentak cekalan Nana)

 

Nana tidak siap menghadapi kemarahan dan kekuatan papanya. Dia terhuyung ke belakang, hampir menabrak sandaran sofa. Nana tidak peduli dengan dirinya. Dia takut Bimo akan melakukan kekerasan yang lebih buruk pada mamanya. Nana buru-buru mendekati Bimo lagi.

 

NANA
Pah, udah, Pah. Jangan berantem terus sama Mamah.
(mencekal lengan Bimo lagi)
 
BIMO
Tahu apa kamu anak kecil.
(Amarah Bimo tersulut. Dia menyentak cengkeraman Nana lebih keras)

 

Nana jatuh, tersungkur. Wajahnya terbentur tepian kayu dudukan sofa, kulit yang membungkus tulang pipinya robek kecil sampai pendarahan.

 

BACK TO:

 

4. INT – RUANG BESAR - TEMPAT PENDAFTARAN ULANG SELEKSI BEASISWA - SIANG (PRESENT)

 

Terlihat Dika berjalan pelan dan lesu menuju ruangan. Pak guru melihatnya dengan alis bertaut keheranan.

 

PAK GURU
Dika, kamu datang sendiri? Nana tidak datang bersamamu?
 
DIKA
(Tersenyum tipis, lalu menggeleng)
Tidak, Pak. Nana ….
 
PAK GURU
Ke mana, Nana? Apa ada sesuatu yang terjadi?
 
DIKA
Nana … tidak bisa ikut pembekalan, Pak. Dia ….
 

Dika terdiam, menunduk, tidak tahu harus mengatakan apa pada gurunya.

 

PAK GURU
Dika, Nana kenapa? Dia sakit?
 
DIKA
Bukan, Pak. Nana cuma bilang tidak bisa ikut.
(Dika menunduk gelisah, karena berbohong)
 
PAK GURU
(Mengangguk-angguk kecil, lalu menunjuk meja untuk mengumpulkan formulir seleksi)
Ya, sudah. Kamu masuk ruangan sana. Materinya akan segera bapak bagikan.
 

Dika berjalan masuk ruangan, lalu duduk di bangku kosong dekat jendela. Dua teman lain yang ada di ruangan itu lebih dulu, menatap Dika lekat-lekat. Dua teman Dika saling pandang, penasaran apa yang terjadi, tetapi tidak berani bertanya pada Dika.

 

Pak guru masuk, lalu meminta perhatian siswa yang ikut pembekalan.

 

PAK GURU (CONT’D)
Kalian baca makalah ini, lalu kita berdiskusi bersama.
(Sambil membagikan makalah)

 

DISSOLVE TO:

 

5. INT - DALAM MOBIL MENUJU PANGADILAN NEGERI AGAMA – SIANG

 

Nana terus memandang keluar jendela, tetapi tatapan matanya kosong. Puji melirik Nana sekilas, lalu mematikan layar ponselnya.

 

PUJI
Apa yang kamu pikirkan, Na?
Kamu nggak perlu takut ketemu Papah kamu nanti.
Mama enggak akan membiarkan dia sampai berani menyentuh kamu lagi.

 

Puji hendak menyentuh pipi Nana yang terbalut perban. Nana berjingkat sedikit, lalu membiarkan Puji mengusap-usap lukanya.

 

NANA
Nana enggak mikirin itu, kok, Mah.
 
PUJI
Terus?
 
NANA
Enggak ada apa-apa, Nana baik-baik aja.
(Nana menoleh ke mamanya, lalu tersenyum)
 

Puji menarik napas dalam, mengembuskan dengan kasar. Dia tahu dan hafal sikap Nana, anak itu memang cenderung tertutup dan jarang mengatakan apa yang dipikirkannya.

 

PUJI
Kamu mikirin Dika? Kalau kamu mau, Mama bisa minta pak sopir buat ngantar kamu ke asramaa sekolah. Biar kamu bisa ikut pembekalan untuk seleksi beasiswa.
 
NANA
(Nana menggeleng)
Enggak kok, Mah.
Nana enggak mikirin, Dika.

 

PUJI
(Mengangguk-angguk pelan, lalu menyalakan layar ponselnya lagi)

Baguslah kalau begitu, lagi pula kamu enggak perlu khawatir soal kuliah. Mama punya kenalan dan relasi yang bisa membantu kamu untuk daftar di universitas lain yang lebih bagus dan bergengsi. Kampus yang punya concern di perminyakan bukan cuma satu. Kalau perlu, kamu nanti bisa daftar ke kampus luar negeri.

Mama akan menanggung semua biaya kuliah kamu nanti.

 

Nana mengangguk patuh, tetapi Puji tidak melihatnya. Nana berpaling lagi ke luar jendela, lalu menghapus sudut matanya yang berair.

 

CUT TO:

 


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
👍👍😍😍
1 tahun 8 bulan lalu