Penyulam Harapan
6. Babak 6 (Scene 31-35)

31. INT – RUMAH NANA – KAMAR NANA – SORE (FLASHBACK)

 

Terlihat Nana masuk ke kamar. Dia menggantung tasnya di dekat meja rias. Nana lalu berjalan ke arah tempat tidur. Dia duduk di tepi tempat tidur, lalu mengeluarkan kertas yang tadi diberikan oleh Dika.

 

Nana tersenyum sendiri.

 

NANA
Ya ampun, Dik.
Metode kamu buat bilang cinta jadul amat.
Pakai surat gini, aku jadi berasa kayak lagi meranin tokoh novel klasik.

 

Nana menjatuhkan diri ke tempat tidur, dia telentang lalu meletakkan surat dari Dika di dada. Nana tersenyum lebar, sambil menatap langit-langit kamar.

 

DISSOLVE TO:

 

32. EXT – SEKOLAH SMA – PARKIRAN MOTOR SEKOLAH – SIANG (FLASHBACK)

 

Tampak Dika mau memakai helm. Dari arah kanan, Nana berjalan menghampiri. Nana tiba-tiba mencabut kunci motor matik Dika.

 

Dika menoleh tajam.

 

DIKA
Apa, sih, Na? Sini, mana kunci motorku.
 
NANA
(Menggeleng, menyembunyikan dua tangan di belakang punggung)
Enggak mau, soalnya aku ngambek.

 

DIKA
(Berkerut dahi, tatapannya menyipit)
Ada gitu, orang ngambek tapi cengengesan. Kalau orang ngambek harusnya dia cemberut, jelek.
 
NANA
Kemarin, apa ngasih surat-surat gitu?
Kamu enggak berani bilang langsung sama aku?

 

 

Dika terkejut sampai dahinya berkerut memikirkan maksud Nana.

 

NANA (CONT’D)
Ih, ditanya malah diem, sih.
(Memukul lengan Dika)

 

Nana berbalik, lalu berjalan menjauh dari Dika. Kunci motor Dika masih dibawa oleh Nana.

 

Dika turun dari motor, melepaskan helm-nya lagi sebelum mengejar Nana.

 

DIKA
Na! Tunggu, Na!

 

Dika berhasil mencekal tangan Nana. Nana berhenti di ujung selasar dekat dengan pot-pot kaktus warna putih. Nana berbalik, mulutnya terkatup rapat karena kesal.

 

Dika melepaskan cekalannya di lengan Nana.

 

DIKA (CONT’D)
Aku cuma pengen kamu tahu.
Itu aja.
 
NANA
(Matanya menyipit, bingung)
Maksudnya?
Aku enggak paham sama keanehan sikap kamu yang kayak gini.

 

DIKA
(Meraih tangan Nana yang satu lagi)
Aku tahu kamu mau fokus belajar untuk masuk kuliah.
Aku tahu kamu mungkin bakalan nolak, karena kita lebih baik jadi sahabat.
Cuma, aku mau kamu tahu kalau aku suka sama kamu.
Enggak apa-apa, aku enggak peduli sama jawaban kamu atau yang lainnya.

 

Nana menelan ludah. Dia membuka mulut, tetapi sesaat kemudian mengatupkan bibirnya lagi. Nana menatap Dika lama, bingung harus berkata apa. Spontan Nana melepas tangannya dari genggaman Dika.

 

DIKA (CONT’D)
Sekarang malah kamu yang diem.
Kamu marah?
 
NANA
(Menggeleng, tersenyum tipis)
Enggak, aku enggak marah.

 

DIKA
Terus kenapa kayak sedih gitu?

 

Nana tersenyum, lalu menunduk. Dia menggeleng pelan, mendongak lagi, karena benar-benar bingung.

 

NANA
Satu sisi kamu bener, Dik.
Kita emang lebih baik sahabatan.
Di sisi lain, aku takut kamu jadi berubah nanti kalau kita pacaran terus akhirnya putus.
Tapi aku juga pengen kita pacaran.
Aku jadi bingung.
 

Dika tersenyum, lalu meraih kedua tangan Nana lagi.

 

DIKA
Kita punya ketakutan yang sama, Na.
Jadi, daripada kita harus pisah nantinya.
Aku enggak masalah kita tetep sahabatan.
Seandainya nanti kamu ketemu dan suka sama cowok lain, aku juga enggak apa-apa.

 

Nana tergelak, satu tangannya menutup bibir. Dia kemudian menyodorkan kunci motor Dika.

Dika mengambil kunci motor dari tangan Nana.

 

DIKA (CONT’D)
Kok ketawa? Ada yang lucu emangnya?

 

NANA
(Mengangguk)
Ada, ucapan kamu yang boong banget itu barusan.

 

Nana berlalu meninggalkan Dika. Dika mengejar Nana yang menuju motor Dika lagi. Dika menyejajari langkah Nana.

 

DIKA
Na, aku bingung apa yang menurut kamu bohong.
 
NANA
(Menoleh ke samping sekilas)
Ya, kalau kamu enggak masalah aku sama cowok lain. Nanti aku bakalan cari cowok lain.
 

Dika berjalan lebih cepat dan lebar dari langkah Nana. Lalu dia menyalip Nana, menghadangnya.

 

DIKA
Emangnya kamu dibolehin pacaran sama mama papa kamu?
 
NANA
(Menggeleng cepat)
Enggak.

 

Nana tergelak, begitu pun Dika. Keduanya lalu berjalan bersama menuju motor Dika.

 

BACK TO:

 

 

33.  INT – RUMAH NANA - DEPAN KAMAR VINO – PAGI (PRESENT)

 

Kita melihat Nana di depan kamar Vino. Dia mendekatkan telinga ke daun pintu, mencari suara dari dalam. Alis Nana bertaut, mengendur, lalu bertaut lagi. Tidak terdengar Vino sedang bersiap ke sekolah. Hening di dalam kamar. Nana mengetuk pintu dua kali. Dia menatap pintu sekilas, lalu mengetuk lagi dua kali.

 

NANA
Vin, kamu ada di dalem kan?
(Mendekatkan lagi telinganya ke pintu)

 

VINO (O.S)
Masuk aja, Kak, pintunya enggak kukunci.

 

NANA
(Memutar gagang pintu perlahan, lalu melongok ke dalam kamar Vino)
Kamu enggak sekolah?

 

Vino masih bergelung di bawah selimut, hanya kepalanya yang terlihat. Dia menatap ke arah jendela. Vino tetap diam, meski tahu Nana mendekat. Vino melirik Nana sekilas, lalu memandang ke luar jendela lagi. Cuaca pagi itu cerah dan langitnya bersih.

Nana menghampiri Vino, lalu duduk di ujung tempat tidur. Nana menyingkap selimut, mencari telapak kaki Vino. Nana mengusap kaki Vino sebentar, lalu menutup selimut lagi.

 

NANA
Kamu enggak demam. Kenapa enggak siap-siap ke sekolah?
 
VINO
Mamah udah berangkat ke resto, Kak?
(Vino malah menanyakan pertanyaan)

 

Nana mengangguk, meski tatapan Vino masih terpaku pada entah apa di depannya. Nana pun berpaling, mengikuti arah pandang Vino yaitu jendela besar kamar Vino yang tepat menghadap ke dahan pohon di luar samping rumah.

 

Mereka berdua diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Nana menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan.

 

VINO
Aku enggak bisa fokus sekolah, Kak.
(Vino berucap, tetapi pandangannya tetap menerawang)
 
NANA
(Menarik napas lagi, mengembuskan pelan)
Itulah kenapa, kakak milih untuk enggak ikut pembekalan seleksi beasiswa, Vin. Terserah nanti Mamah mau daftarin kakak ke mana.
Mana mungkin kakak diem aja ngebiarin Mamah sama Papah mau cerai.

 

VINO
Kakak enggak sedih ngelepas kesempatan dapet beasiswa itu?
(Vino bangun, kali ini menatap Nana dari samping)

 

Nana membalas tatapan Vino, lalu dia tersenyum.

 

NANA
Sedih, rasanya sakit banget. Tapi, lebih sedih mana dibanding sama kehilangan cinta orang tua, Vin. Kakak enggak mau Mamah sama Papah pisah, Vin. Kakak enggak sanggup ngebayangin itu.

 

Nana tersenyum, tetapi air matanya mengalir. Vino mendekat, lalu memeluk Nana. Mata Vino pun memerah karena menahan tangis.

Nana menyandarkan kepalanya di bahu Vino, dia menangis.

 

DISSOLVE TO:

 

34.  INT – RUMAH NANA - DAPUR – SIANG

 

Kita melihat bibi tengah mengelap-elap piring basah lalu memasukkan ke dalam lemari penyimpanan. Nana turun dari tangga, menghampiri si bibi. Nana berhenti di samping bibi.

 

Bibi menoleh, memandang Nana sambil masih mencuci piring.

 

BIBI
Non Nana mau makan siang? Biar bibi siapin, Non.
(Bibi meletakkan piring di tangannya ketika bicara dengan Nana)
 
NANA
(Menggeleng)
Enggak, Bi. Aku mau makan di resto aja, sekalian nyusul Mamah. Oh, ya, Vino hari ini enggak sekolah, katanya nggak enak badan. Nanti kalau dia keluar kamar, tanyain dia mau makan apa.

 

BIBI
Baik, Non.
 
NANA
Makasih, Bi.

 

Nana langsung pergi, satu tangannya memegangi tali tas selempang di pundak.  Nana tiba-tiba berhenti di dekat pintu utama rumah.

 

Nana mengambil ponselnya di tas, panggilan tak terjawab dari Bimo. Nana memandangi layar cukup lama, menunggu panggilan lagi. Karena tidak juga ada panggilan selanjutnya, Nana mengetuk ikon panggil.

 

Nana mendekatkan ponselnya ke telinga, mendengarkan bunyi tut tut tersambung. Akan tetapi, telepon tidak juga diangkat sampai mati sendiri. Nana memandangi ponselnya dengan ekspresi heran. Dia mengulangi lagi, menelepon papanya. Tetap tidak diangkat.

 

Kita melihat layar ponsel Nana. Dia membuka kotak pesan, lalu mengetik, ‘Ada apa, Pah?’. Centang dua abu-abu.

 

NANA
Aneh, Papah ke mana, sih?
 

Nana memasukkan ponselnya ke tas lagi. Lalu buru-buru keluar rumah.

 

DISSOLVE TO:

 

35.  EXT – RESTORAN PUJI - GARASI RESTORAN PUJI - SIANG

 

Kita melihat mobil yang membawa Nana masuk ke parkiran resto. Nana melongok dari jendela ketika dia melihat ada mobil warna hitam milik Bimo terparkir di depan resto. Nana mengambil napas dalam. Matanya memerah, hampir menangis.

 

SOPIR
Non Nana mau ditunggu?
 
NANA
Enggak usah, Pak. Bapak pulang aja, siapa tahu Vino nanti mau pergi-pergi dan butuh diantar. Aku bisa pulang bareng mamah.

 

SOPIR
Baik, Non.
 

Nana turun perlahan, pandangannya masih terpaku pada mobil papanya. Nana berdiri diam sebentar di depan mobil Bimo, lalu menoleh ke pintu masuk resto. Nana berpikir sejenak.

 

Mobil yang membawa Nana menyalakan klakson satu kali sebelum mundur lalu memutar arah menuju jalan raya.

 

Setelah berdiri diam cukup lama, Nana memutuskan untuk masuk ke resto apa pun risikonya. Dia berjalan menuju pintu masuk resto.


Kita melihat resto ramai, para pelanggan sibuk makan. Beberapa pelayan tengah sibuk dengan aktivitas pekerjaan masing-masing. Ada yang tengah mengelap meja. Ada yang membawa nampan berisi makanan untuk pelanggan. Ada juga yang tengah berdiri mencatat pesanan pelanggan.


Tepat ketika Nana mendorong pintu kaca resto, dia melihat Bimo dan Puji berdiri saling berhadapan. Dari posisi keduanya, mereka seperti tengah membicarakan sesuatu. Nana menyadari kecanggungan yang terjadi.

 

Puji yang berdiri menghadap ke arah luar resto melihat Nana masuk. Tatapan Puji langsung teralih dari Bimo. Bimo pun berbalik dan melihat Nana berjalan mendekat.

 

Nana tersenyum tipis.

 

Nana berhenti di belakang Bimo. Kedua tangan Nana berpegangan pada tali tas di depan dada. Nana menyembunyikan ketakutan dan kecemasannya.

 

NANA
Aku mau bantuin mamah jagain kasir.

 

Nana melirik Bimo sesaat, sebelum pergi ke kursi meja kasir tanpa menunggu respons dari orang tuanya.

 

Pandangan Bimo mengikuti gerakan Nana sampai anak itu duduk dan melepaskan tas selempangnya lalu menaruh tas di meja.

 

BIMO
Dia enggak di asrama? Bukan harusnya dia ikut pembekalan ….
 
PUJI
(Menyela Bimo)
Udahlah, kamu itu enggak tahu apa-apa soal Nana. Bukan urusan kamu.
 

Bimo membuka mulut mau bicara, tetapi Bimo diam lagi.

 

BIMO
Kita harus bicara.
 
PUJI
Well, kita bisa bicara, tapi enggak di sini.

 

Puji berbalik menuju kantor kecil di sudut restoran tempatnya beristirahat sekaligus mengecek laporan. Ruang kecil itu sengaja didesain khusus agar Puji tidak perlu membawa laporan keuangan pulang ke rumah. Bimo berjalan mengikuti Puji.

 

Pandangan Nana mengikuti ke mana perginya sang mama dan papa. Dia mengambil napas dalam, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan untuk menghilangkan kecemasan yang dirasakannya.

 

DISSOLVE TO:

 


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar