Pemimpi, Janda, dan Laki-Laki Paruh Baya
9. #9

1.     INT. RUMAH SAKIT-POLI SARAF-PAGI

Kita melihat Ilal didampingi Erna sedang melakukan kontrol rutinnya.

DOKTER

Saya melihat kondisi Pak Ilal mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan bulan lalu.

Ilal dan Erna tersenyum mendengar berita itu.

Dokter tersebut turut tersenyum.

DOKTER (CONT’D)

Kalau tetap seperti ini, sepertinya kita tidak perlu melakukan tindakan mikrodisektomi.

Senyum Ilal dan Erna semakin lebar.

Dokter lanjut menuliskan resep obat untuknya.

2.     EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG GADIS-SIANG

Dua orang polisi bersama Mama menunggu Gadis.

Gadis keluar dari dalam warung. Ia terlihat lesu. Wajahnya kusam, mata bengkak, rambut diikat dan terlihat berantakan. Kedua polisi menyalami Gadis bergantian. Mereka lalu duduk bergantian.

Mama masuk ke dalam warung.

Polisi 1 bertugas untuk tanya jawab, sedangkan Polisi 2 mencatat.

POLISI 1

Bagaimana kabarnya, Dik Gadis?

Gadis mengangguk dengan senyum yang dipaksa.

POLISI 1 (CONT’D)

Sepertinya, Dik Gadis sudah tahu maksud kedatangan kami ke sini.

Gadis mengangguk.

Mama datang membawakan dua cangkir kopi dan satu cangkir teh manis, lalu duduk di sebelah Gadis.

POLISI 1 (CONT’D)

Apa kondisi Dik Gadis saat ini memungkinkan bagi kami untuk bertanya beberapa hal mengenai kejadian minggu lalu?

GADIS

(pelan dan ragu)

Ya.

POLISI 1

Seperti pernyataan beberapa saksi kemarin, di hari kejadian, Dik Gadis sedang berada di warung. Apakah hal tersebut benar?

GADIS

Benar.

POLISI 1

Apakah benar Dik Gadis sudah tidak melihat korban semenjak pukul 16.00?

Gadis mengangguk.

POLISI 1

Korban ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa pada pukul 17.30?

Gadis mengangguk. Matanya kembali berkaca-kaca.

POLISI 1

Pada rentang waktu tersebut, boleh Dik Gadis ceritakan lebih lanjut kegiatan apa yang Dik Gadis lakukan di warung?

GADIS

(lesu)

Saya... sedang berbenah. Kebetulan... selama pengerjaan proyek, saya tutup warung lebih awal dari biasanya. Ketika saya berbenah, Latif (menarik nafas dalam-dalam) minta ditemani mandi. Saya... menyuruhnya untuk menunggu, tapi dia... (menelan ludah) ngotot pengen mandi saat itu juga.

POLISI 1

Apakah sebelumnya, korban sudah terbiasa berenang seorang diri di sekitar sungai?

Gadis menggeleng.

POLISI 1

Apakah korban mengetahui tempat-tempat aman dan tidak aman untuk berenang di sungai?

Gadis menggeleng.

Polisi mengangguk-angguk. Polisi 1 melirik Polisi 2, mereka lalu berdiri dan berbincang-bincang di tempat yang cukup jauh dari Gadis.

Tatapan Gadis kosong, Mama mengelus-elus bahunya. Sejurus kemudian, Gadis berdiri.

GADIS

Pak!

Polisi menoleh. Gadis diam sesaat.

GADIS (CONT’D)

Itu bukan kecelakaan.

POLISI 1

Maksud kamu?

GADIS

Saya yang membunuh adik saya sendiri.

Mama kaget. Ia tercengang.

Polisi berjalan kembali ke arah Gadis.

GADIS (CONT’D)

Kamu tahu ini bukan main-main, kan Gadis?

Gadis mengangguk.

MAMA

Gadis, kamu bicara apa?

Gadis terduduk. Ia semakin lesu.

GADIS

(gemetaran)

Saya kesepian. Saya bertemu dengan seorang laki-laki satu minggu sebelumnya. Kami saling jatuh cinta. Sehari sebelum kejadian itu, kami berencana untuk... (bingung menggunakan kata yang tepat) ‘melakukannya’ setelah masing-masing pekerjaan kami selesai.

Mama kaget. Ia langsung bisa menerka laki-laki yang dimaksud Gadis.

Kedua polisi mendengarkan dengan seksama.

GADIS (CONT’D)

Ternyata, dia datang lebih awal. Saya kepalang nafsu, terlalu cerdas untuk meminta dia menunggu sehingga akhirnya saya menyuruh Latif untuk mandi sendiri.

Tangis Gadis pecah. Penyesalannya terlalu besar. Mama memeluknya.

CUT TO:

3.     INT. RUMAH ZEN-RUANG TAMU-SORE

Ilal dan Hera duduk di ruang tamu. Keduanya terlihat serius.

HERA

Waktu itu dia datang lagi.

ILAL

Siapa?

HERA

Dodi. Adik suami saya.

Ilal mulai mengerti maksud Hera. Ia menunggu penjelasan lebih lanjut.

HERA (CONT’D)

Saat itu dia sudah berusia 12 tahun ketika kami mengetahuinya.

ILAL

Dan kalian membiarkan hal itu terjadi?

HERA

Kami bisa apa? Dia adiknya Diki.

Diki datang. Dia curiga dengan kedatangan Ilal.

DIKI

Siapa?

Ilal berdiri menawarkan jabat tangan. Diki tidak membalasnya.

ILAL

Saya Ilal.

DIKI

Ilal siapa?

HERA

Teman... Zen.

DIKI

Teman? (mengambil kesimpulan sendiri) Oh come on. Not again!

HERA

No, this is not like what you think!

ILAL

Maaf sebelumnya, saya mengerti dengan maksud Anda, tapi ini sama sekali tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya berteman dengan anak Anda. Kami bertemu di sungai. Setiap sore saya berenang untuk terapi tulang punggung saya. Dia di sana bersama teman SD-nya, Maya, yang punya warung, juga beberapa pemuda lain. Zen sering membantu Maya. Kami sering mengobrol dan bertukar pikiran. Itu saja. Dan... sudah beberapa hari ini Zen tidak kelihatan. Saya khawatir...

Diki tidak peduli dengan penjelasan Ilal.

DIKI

Lihat diri Anda! Saya yakin anda lebih tua dari saya. Berapa? 50, 55 tahun?

ILAL

60.

DIKI

Oh, 55! God! Saya seharusnya memanggil Anda dengan sebutan Abang dan menghormati Anda sebagai orang yang lebih tua! Tapi... anda berteman dengan anak saya? Unbelievable! (ke Hera) Aku nggak ngerti dengan pikiran anak itu.

HERA

Kamu sebaiknya tenang. Duduk dulu.

Diki duduk. Menenangkan diri.

HERA (CONT’D)

Ini tidak seperti yang kamu bayangkan.

DIKI

Anak saya itu suka sama orang seperti anda! Okay, sudah jelas?

Ilal terdiam. Ia membiarkan Diki berbicara terlebih dahulu, sebab ia tidak ingin memperkeruh keadaan.

DIKI (CONT’D)

Dia tertarik secara SEKSUAL dengan orang seperti anda. Seusia anda.

Ilal menarik napas dalam. Hera menutup wajahnya. Diki berusaha menenangkan dirinya.

DIKI (CONT’D)

Saya sekarang mau nanya, apa yang sudah Anda dan anak saya lakukan?

ILAL

Oh, tidak! Saya dengan Zen tidak pernah melakukan apa-apa seperti yang Anda takutkan. Kami hanya berenang, mengobrol, bertukar pikiran. Itu saja.

Diki terlihat mulai tenang. Dalam hatinya, ia mempercayai perkataan Ilal.

Ketiganya terdiam untuk beberapa saat.

ILAL (CONT’D)

Rian namanya...

Dika dan Hera melirik. Mereka tidak paham dengan maksud pengalihan topik Ilal.

ILAL (CONT’D)

Anak saya... mendiang.

Diki dan Hera menarik napas.

ILAL (CONT’D)

Enam tahun yang lalu... dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya...

FLASH BACK TO:

4.     INT. RUMAH ILAL-KAMAR RIAN-PAGI

Kita melihat deretan foto di meja kamar berdampingan dengan piala-piala.

ILAL (O.S)

Rian. Seorang anak yang luar biasa spesial! Cerdas. Berbakat. Ceria. Pandai bergaul. Di usia yang masih terlalu muda, dia sudah memiliki pemikiran yang tidak biasa, filosofi sendiri tentang kehidupan. Ya, bisa dibilang dia memiliki dunianya sendiri. Tetapi di saat yang sama, dia bisa menyesuaikan dirinya dengan teman-temannya. Suatu pagi, istri saya mendatangi kamarnya, namun yang dia temukan...

Sepasang kaki menggelantung di atas tempat tidur.

CLOSE UP: Secarik kertas bertuliskan: ‘Ibu, Bapak, sungguh saya tidak punya alasan lagi untuk bangun hari ini. Izinkan saya tidur untuk selamanya. (dengan emoticon senyum)’.

CUT BACK TO:

5.     INT. RUMAH ZEN-RUANG TAMU

Mata Ilal berkaca-kaca.

ILAL

Hanya itu. Singkat dan jelas. Tidak ada ucapan cinta atau mungkin sekadar ucapan selamat tinggal.

(beat)

Setiap kali mengobrol dengan Zen, saya melihat Rian di dalam dirinya. Usia mereka hanya terpaut beberapa bulan. Saya tidak ingin hal yang sama menimpa Zen. Itu sebabnya saya khawatir.

Diki dan Hera terdiam.

Ilal bangkit dari duduknya, lalu pamit.

Ketika Ilal sudah berada di luar rumah, Hera dan Diki mulai saling menyalahkan.

HERA

(pelan dan tegas)

Ini semua salah kamu!

DIKI

Saya?

HERA

Ya, kamu! Kamu yang membiarkan hal itu terjadi. Hanya dengan alasan dia adik kamu. Hanya karena dia lebih kaya dari kamu. Orang terpandang di kalangannya. Dan orang yang telah membantu kamu dapat tender-tender besar. Kamu membiarkan semuanya seolah-olah dia tidak pernah melakukan apa-apa kepada Zen.

Hera bangkit dari duduknya.

HERA (CONT’D)

Dan... kemarin dia datang! Kamu malah menjamunya seperti seorang suci yang bertandang ke rumah ini. Kamu tahu apa yang seharusnya kamu lakukan? Kamu menendangnya dari sini! Dasar munafik!

DIKI

Oh ya...!? Terus kamu, apa? Ngobrol sama istrinya soal perhiasan, pakaian, arisan, seolah-olah seorang sosialita papan atas, padahal cuma seorang kacung di kantor!

Hera menampar Diki.

6.     EXT. RUMAH ZEN-TERAS DEPAN

Ilal dilempari gulungan kertas. Ilal menoleh. Terlihat Zen yang sedang duduk di teras depan lantai atas bersama Bulan. Zen menggerak-gerakkan bibirnya, mencemooh kedua orang tuanya. Ilal tersenyum. Zen tersenyum, lalu melambaikan tangan.

Seiring dengan itu, terdengar gemuruh petir.

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar