Pemimpi, Janda, dan Laki-Laki Paruh Baya
2. #2

1.     INT. RUMAH ZEN-RUANG MAKAN-MALAM

Zen dan kedua orang tuanya sedang makan malam. Ketiganya kaku seperti tiga orang asing yang kebetulan makan bersama di sebuah meja makan.

DIKI

Dodi minggu depan katanya mau ke sini.

Zen melirik ayahnya.

HERA

Oh ya? Bareng Nandita sama Tara dan Dara juga?

DIKI

Yap. Bareng calon adiknya si Kembar juga.

Zen melirik lagi ke ayahnya. Ia menyantap makannya semakin pelan. Diki melirik Zen balik.

HERA

Oh, wow, udah mau nambah aja.

Zen bangun dari duduknya.

DIKI

Kamu mau ke mana?

ZEN

Hm... udah kenyang. (pura-pura menguap) Ngantuk juga.

Zen langsung pergi. Diki melirik Hera. Hera angkat bahu.

CUT TO:

2.     INT. PETERNAKAN AYAM-PAGI

Seorang laki-laki sedang memberi makan ribuan ayam di dalam peternakan.

3.     EXT. KEBUN ZEN-PAGI

Kita melihat Zen bersama tiga orang pekerja laki-laki (40-50 tahun) sedang memberantas semak belukar. Mereka mengenakan baju serba panjang.

PEKERJA 1

Rencananya mau ditanam apa, Dik Zen?

ZEN

Belum tahu, Pak. Yang penting dirapiin dulu aja.

PEKERJA 2

Iya, kasihan lahan seluas ini dibiarin gitu aja. Semenjak kakeknya Dik Zen meninggal udah nggak ada lagi yang merawat.

PEKERJA 3

Memangnya, Dik Zen nggak berencana balik ke Jakarta lagi?

ZEN

Belum, Pak. Saat ini saya mau coba fokus bertani dulu.

PEKERJA 1

Oh... bagus juga itu, Dik Zen.

PEKERJA 2

Ngomong-ngomong, orang sini kalau lihat iklan mie instan Dik Zen di TV, suka pada heboh, loh

Zen tersenyum tipis.

ZEN

Wah... masa sih, Pak?

PEKERJA 2

Iya... jarang-jarang orang kampung kita jadi artis di ibukota.

ZEN

Wah... saya tidak pantas dibilang artis, Pak.

PEKERJA 3

Ya.. siapa aja yang nongol di TV itu sama orang kita disebutnya artis.

PEKERJA 1

Waktu lomba bakat Dik Zen masih tayang di TV, tiga tahun yang lalu. Wahhh... tiap minggu, orang kampung kita rame-rame ke warung buat nonton bareng.

PEKERJA 2

Dik Zen gimana itu, badannya bisa selincah itu kalau menari? Tarian apa aja bisa. Tarian tradisional, modern, sendiri, berdua, atau rame-rame, semuanya bisa.

ZEN

(tertawa canggung)

Belajar di sanggar, Pak.

PEKERJA 3

Waktu final, seharusnya yang menang itu, Dik Zen, bukannya grup musik itu.

ZEN

Ah, juara dua saya juga udah bersyukur, Pak. Lagi pula, grup musik SEMESTA, mereka juga penampilannya luar biasa.

PEKERJA 3

(mengangguk-angguk)

Iya juga, sih.

Zen tersenyum segan. Di satu sisi, ia bangga dengan pujian tersebut. Di sisi lain, pujian tersebut terdengar terlalu berlebihan.

4.     EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG JANDA-SIANG

Kita melihat Maya sendiri di dalam warung duduk sembari menunggu pembeli.

Zen datang sendirian ke warung. Wajahnya memerah akibat diterpa matahari. Pakaian yang ia kenakan basah oleh keringat. Ia duduk di kursi panjang yang berhadapan langsung dengan sungai sembari mengunjurkan kakinya. Zen melirik ke dalam warung, Maya tidak bereaksi ataupun menanyakan pesanan. Zen jadi canggung.

ZEN

Hm... Maya... mie goreng sama es teh, ya.

Maya mengangguk. Beranjak dari duduknya, lalu membuatkan pesanan Zen.

ZEN (CONT’D)

Esnya dilebihin ya.

Maya tidak merespon. Zen melirik kesal merasa dicuekin.

DISSOLVE TO:

5.     EXT. HUTAN-PAGI

Burung-burung berterbangan di alam liar.

6.     EXT. KEBUN ZEN-PAGI

Zen bersama 3 pekerja melanjutkan pekerjaan mereka. Dilihat dari pakaian mereka yang telah berganti, kita tahu bahwa adegan ini terjadi di esok harinya.

Kebun Zen sekarang terlihat lebih lega dan luas, sebab tinggal beberapa bagian lagi yang tinggal ditebas.

PEKERJA 1

Nggak mau nyoba tanam cabai aja, Dik Zen?

ZEN

Kepikiran sih, Pak. Tapi, katanya perawatannya cukup susah dan modalnya juga cukup banyak. Takutnya di tengah jalan saya tinggal.

PEKERJA 2

Wah kalau cabai emang kayak gitu, Dik Zen. Nggak bisa dikerjakan sendiri. Biasanya dikerjakan sama anggota keluarga yang lain atau upahin pekerja, seperti kita ini.

PEKERJA 1

Benar, Dik Zen. Modal awal biasanya emang keluar banyak. Tapi kalau udah panen, apalagi seperti sekarang ini harga jual cabai lagi mahal-mahalnya, bisa-bisa kaya mendadak, Dik Zen.

PEKERJA 2

Umurnya juga lama. Kalau perawatannya bagus usianya bisa sampai enam sampai delapan bulan, panennya bisa dua kali minggu.

Zen mendengarkan penjelasan Pekerja 1 dan 2 dengan seksama. Sepertinya, ia mulai tertarik.

PEKERJA 3

Tapi, kalau Dik Zen emang mau yang santai, coba cabai rawit aja. Perawatannya nggak terlalu susah. Tapi ya... harga jualnya tidak semahal cabai biasa.

PEKERJA 1

Nah! Benar juga. Semuanya tergantung Dik Zen aja.

Zen mengangguk-angguk.

7.     INT. AREA BENDUNGAN-WARUNG JANDA-SIANG

Maya terlihat sedang asyik bergurau dengan tiga pemuda lainnya. Suara tawanya paling keras sehingga meredam ketiga tawa pemuda lain.

Zen datang. Ia mengenal ketiga pemuda yang berada di dalam warung bersama Maya. Salah satunya ialah Andri, teman satu angkatannya juga sewaktu SD. Sedangkan dua pemuda lain baru tamat SMA.

Andri menyadari kehadiran Zen. Ia memanggil Zen, lalu melakukan joget serta lirik iklan mie instan yang dibintangi Zen setahun yang lalu. Tawa Maya dan dua pemuda lainnya yang masih belum reda dari lelucon sebelumnya, semakin menjadi-jadi. Seketika tawa mereka memenuhi warung Maya.

Zen pun ikutan tertawa. Ia tidak menyangka bahwa iklannya tersebut begitu melekat di ingatan warga kampungnya. Di saat yang sama, ia juga tidak menyangka sosok Maya ternyata tidak sejutek yang ia bayangkan. Ia memiliki tawa yang memicu orang lain untuk tertawa lebih keras. Itu juga, salah satu alasan Zen ikutan tertawa dengan candaan Andri.

ANDRI

Sini, Zen, gabung sama kita aja.

Zen bergabung dengan Andri.

ANDRI (CONT’D)

(ke dua pemuda lainnya)

Kalau kalian nggak percaya nih, tanya sama Zen aja.

Zen mengernyitkan dahi, penasaran dengan topik obrolan mereka sebelumnya.

PEMUDA 1

Bang, emang benar Kak Maya waktu sekolah sampe tinggal kelas tiga kali?

Zen melirik Maya. Maya mengangkat bahu, menandakan bahwa ia tidak akan tersinggung dengan pengakuan Zen. Zen tersenyum disertai anggukan. Mereka kembali tertawa.

PEMUDA 2

Terus juga dari rumah pamit ke sekolah, taunya belok ke hutan nyari buah-buahan buat dijual di pasar, nggak tahunya pas di pasar ketemu ibunya?

Zen tertawa. Ia mengangguk.

PEMUDA 1

Satu lagi, Bang. Berangkat ke sekolah suka nggak mandi, pas nyampe sekolah dijauhin orang-orang, terus dipanggil ‘Kebo’?

Zen mengangguk lagi.

ANDRI

Tuh! Kubilang juga apa! Dia ini (mengeja) le-gend!

Maya kembali tertawa.

Zen tidak menyangka kehadirannya ke warung Maya siang itu seketika mampu melepas penatnya. Zen memesan sepiring nasi goreng dan es teh manis.

Maya membuatkan pesanan Zen, saat itu digunakan Andri untuk berbincang-bincang dengan Zen.

ANDRI

Kalau ngobrol soal masa-masa SD nggak ada habisnya ya, Zen.

MAYA

(nimbrung)

Dia mah juara kelas, kesayangan guru-guru, kaya lagi, levelnya beda sama kita yang tinggal kelas. Baru lihat kita aja, guru udah malas.

Zen memaklumi perihal diskriminasi yang dihadapinya karena kekayaan orang tuanya sejak kecil. Oleh karena itu, ia tidak mau memusingkan perkataan Maya.

ANDRI

Ya, seenggaknya aku cuma tinggal kelas dua kali, sekolah juga masih lanjut sampai SMP.

Maya kembali tertawa. Seketika, ia menerawang ke masa lalu.

MAYA

Entah kenapa, setiap kali berada di sekolah, aku merasa tempat itu bukan untukku. Lihat buku aja, kepalaku udah langsung pusing, apalagi kalau udah dengar gurunya ngomong, bawaannya pengen tidur aja, kalau nggak kabur.

ANDRI

Gini ya... (ke kedua pemuda) Maya itu sebenarnya bukan murid yang bodoh. Dia cuma malas, di pelajaran APAPUN. (ke Zen) Pada umumnya kan anak malas paling suka pelajaran olahraga atau kesenian ya? Dia juga nggak suka keduanya.

Zen mengangguk.

ANDRI (CONT’D)

(ke kedua pemuda) yang ada di pikirannya itu ya... uang, uang, dan uang. Intinya dia cuma pengen jadi orang kaya, nggak pintar.

MAYA

Nah!

(beat)

Pas udah besar baru sadar, ternyata jadi kaya butuh kecerdasan juga. Paling nggak punya wajah cantik biar bisa dapat suami kaya.

PEMUDA 1

Kan udah sempat kaya kemarin sebentar, Kak!

MAYA

Iya, harus relain diri dulu buat jadi tenaga kerja di negara tetangga selama dua tahun.

(beat)

Di sana dapat suami. Bukannya kaya, ehhh... pas pulang kampung, malah habis ngebawa tabunganku selama dua tahun itu.

Zen melirik. Ia teringat perkatan Bayu dua hari yang lalu mengenai alasan Maya menjadi janda.

PEMUDA 2

Lah, bukannya karena suami kakak nggak kuat ladenin?

Maya terdiam. Raut wajahnya menunjukkan rasa tersinggung. Namun, ia juga sudah lelah dengan rumor-rumor itu. Seperti apapun ia membantah, orang-orang akan lebih percaya dengan alasan itu. Alih-alih menunjukkan rasa tersinggungnya, Maya malah memperolok hal tersebut.

MAYA

Ya, namanya juga birahi, kalau nggak tersalurkan kan bikin gelisah.

Maya menelan ludahnya sendiri setelah berkata seperti itu. Zen memperhatikan gelagat tersebut. Ia mulai paham dengan situasi Maya.

Sesaat setelah itu, Maya berhenti dari aktivitasnya, mendadak ia seperti orang kelelahan, lalu mendesah, semakin lama desahannya semakin kencang.

Zen kebingungan. Andri dan dua pemuda lainnya saling melirik, mereka sudah hafal tabiat Maya.

MAYA (CONT’D)

(seraya mendesah)

Nih... tiba-tiba gelisah nih... ada yang kejantanannya mau diuji, nggak?

Zen tercengang. Ia baru melihat sisi Maya yang itu.

Andri dan dua pemuda lain masih saling lirik.

PEMUDA 1

Ogah! Udah longgar!

Pemuda 1 dan 2 tertawa cekikian. Mereka terlihat sangat puas menjatuhkan harga diri Maya dengan menjadikannya bahan lelucon.

Maya berhenti dari aksinya, ia berbalik badan ke arah dapur, lalu memindahkan nasi goreng Zen ke dalam piring. Zen yang masih memperhatikan gerak-gerik Maya menyadari bahwa aksi Maya tersebut dilakukannya karena ia mulai lelah dengan mereka yang selalu memperolok urusan pribadinya.

SESAAT KEMUDIAN

Di warung, tersisa Maya dan Zen. Zen baru saja menghabiskan nasi gorengnya. Ia lanjut minum. Sesaat setelah itu, Zen berjalan ke arah Maya untuk membayar jajannya.

MAYA

(dingin)

Saya di sini jualan. Kamu tahu tabiat orang-orang kampung kamu seperti apa. Kalau saya lawan, bisa-bisa saya nggak makan. Mereka akan menyebarkan gosip-gosip yang baru, membolak-balikkan fakta. Kalaupun mereka tahu kebenarannya seperti apa, kamu pasti tahu, mereka akan berpihak kepada siapa.

Yang jelas bukan saya.

Zen mendengarnya dengan seksama. Ia mengangguk pelan. Lalu keluar dari warung.

DISSOLVE TO:

8.     EXT. PASAR-KIOS LAUK PAUK-PAGI

Suasana pasar terlihat begitu ramai dan sesak.

Terlihat daging-daging ayam yang masih segar menggelantung. Sebagian diletakkan di atas meja. Di meja yang sama, si penjual sedang memotong daging ayam dengan amat cekatan.

Di deretan yang sama juga terlihat sapi, kambing, dan ikan.

9.     EXT. PASAR-KIOS SAYURAN/BUMBU DAPUR

Suasananya tidak kalah ramai dan sesak. Berbagai macam sayuran dan bumbu dapur dijajakan: bawang, cabai merah, cabai rawit, mentimun, sayur kol, dan sebagainya.

Di antara kerumunan itu, kita melihat Maya bersama adik laki-lakinya, ANDRA (18 tahun). Andra membawakan tas belanjaan.

Seorang wanita bernama ANITA (23 tahun) bersama ibunya sedang berbelanja tidak jauh dari Maya. Anita melirik Maya, lalu berbisik kepada ibunya sambil tetap menatap Maya dengan pandangan sinis. Anita menghampiri Maya.

ANITA

Hai, Maya!

Maya menoleh sambil memaksakan senyum, lalu membalas sapaan Anita dengan seadanya sambil terus memasukkan bawang-bawang ke dalam keranjang untuk ditimbang. Setiap pertanyaan yang keluar dari mulut Anita dibalas Maya dengan ketus.

MAYA

Eh, Anita.

ANITA

Gimana kabarnya, May?

MAYA

Baik.

Anita melirik Maya dari ujung kepala sampai kaki.

ANITA

Makin cantik dan seksi aja kamu.

MAYA

Oh ya, terima kasih, Anita.

Anita tersinggung.

ANITA

Oh ya udah, kelihatannya kamu lagi sibuk milih-milih belanjaan. Aku pamit, ya. Daahhh...

Kita mengikuti Anita yang berbalik badang meninggalkan Maya.

ANITA

(setengah berbisik)

Dasar, janda lonte!

Tiba-tiba, rambut Anita ditarik dari arah belakang. Anita berteriak kencang. Seisi pasar menoleh ke arahnya.

Anita balik badan.

Di belakangnya, Maya berdiri dengan raut wajah penuh emosi.

MAYA

Kamu ngomong apa barusan!?

Anita memasang muka tak bersalah .

MAYA (CONT’D)

Jangan sok polos jadi orang!

Anita masih berlagak pura-pura tidak tahu apa-apa. Maya makin emosi. Ia menghambur ke arah Anita. Anita berteriak kencang.

Andra segera menarik Maya dari perkelahian.

Maya tersadarkan. Ia melirik sekitar. Seisi pasar menatapnya sambil berbisik-bisik. Maya menarik nafas dalam-dalam. Andra menarik tangan Maya, lalu meninggalkan pasar.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar