Pemimpi, Janda, dan Laki-Laki Paruh Baya
6. #6

 

1.     EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG GADIS

Galih dan beberapa pekerja proyek lain sedang beristirahat di warung Gadis.

Gadis dan Galih terlihat makin akrab. Mereka saling bercanda di selang-selang waktu istirahat.

2.     EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG JANDA-SORE

Warung Maya menjadi tempat istirahat para pemuda yang telah selesai bergotong royong. Hampir setiap lesehan diisi. Ada yang bermain gitar, bermain LUDO di HP, mengobrol sembari bercanda, atau hanya sekadar menikmati kopi di sore hari.

ANGLE LAIN: Di sungai, kita melihat Zen dan Ilal di atas rakit bambu.

3.     EXT. AREA BENDUNGAN-SUNGAI BARAT

Zen berebah, sedangkan Ilal mengayuh rakit dengan santai.

ZEN’S POV: kehadiran bulan di langit sore.

ZEN

Akhir-akhir ini bulan sering datang lebih awal.

ILAL

Mungkin dia rindu dengan matahari, sudah terlalu lama mereka terpisahkan.

Zen melirik.

ZEN

Kalau mereka bertemu, akankah terjadi kiamat?

Ilal melirik, lalu tertawa. Zen pun tertawa setelah menyadari pertanyaan konyolnya.

ZEN (CONT’D)

Kata mereka, harapan-harapan yang tidak bisa kita wujudkan di bumi, di sana akan terwujudkan. Jiwa-jiwa yang tidak bisa berkumpul di bumi, di sana akan dipersatukan. Entah benar atau tidak, hal tersebut kadang memberiku pandangan dan harapan baru tentang kehidupan.

Ilal mendengarkan dengan seksama tanpa menggubris sedikitpun.

ZEN (CONT’D)

Ingin aku segera ke sana.

Ilal tidak langsung berbicara, ia berusaha menelaah apa yang dimaksud Zen dengan perkataannya.

ILAL

Apa yang sedang kamu pikirkan, Zen?

ZEN

Entahlah. Kadang banyak, kadang tidak ada sama sekali.

ILAL

Apapun itu, saya harap kamu memiliki pertimbangan yang matang di saat nanti kamu sudah mulai mengambil keputusan.

Zen mengangguk-angguk.

ZEN

Apa rasanya menjadi seorang 23 tahun di 30 tahun yang lalu, Om?

ILAL

Kenapa kamu bertanya seperti itu?

ZEN

Nggak kenapa-napa... pengen tahu aja. Pasti menyenangkan, ya? Orang-orang masih orisinil, kehidupan masih nyata. Nggak ada gadget, nggak ada caci-maki di media sosial. Orang-orang pasti lebih fokus dengan pencapaian kita daripada kehidupan pribadi kita. Dan yang pasti... kehidupan orang dulu masih penuh dengan cinta.

ILAL

Hm... (berpikir) kurang lebih seperti yang kamu katakan itu. Tapi, kapanpun itu, kehidupan pasti memiliki cerita dan keunikan masing-masing, tidak perlu perbandingan, karena memang tidak seharusnya dibandingkan. Setiap orang memiliki dilema tersendiri, kondisi psikologi dan sosial tersendiri. Jadi... untuk apa dibandingkan.

Zen mengangguk. Keduanya terdiam beberapa saat.

ZEN

Pertama kali Om ke sini, aku iri melihat keakraban Om dengan tante Erna. Dari dalam warung, aku memperhatikan kalian. Cinta kalian masih terlihat suci, persisi seperti anak muda yang baru menjalin asmara.

Ilal tersenyum.

ILAL

Perihal mencintai dan mempertahankan cinta itu dua hal yang berbeda, Zen. Kamu hanya melihat kami di saat itu, sementara berpuluh-puluh tahun sebelumnya, kamu tidak tahu apa saja yang sudah terjadi di antara kami.

Zen kebingungan.

ILAL (CONT’D)

Memang, apa yang kamu lihat tempo hari itu begitulah adanya, tapi bukan berarti selama kami bersama, kehidupan kami selalu seperti itu. Ada baaaanyak sekali naik turun yang kamu tidak ketahui.

Zen mengangguk paham.

ZEN

Aku mengerti. Intinya, apapun itu yang telah terjadi, om dan tante tetap memilih cinta dari hal-hal lain yang kerap datang, bukan?

ILAL

Tepat sekali.

ZEN

Anak Om pasti bangga sekali melihat Om dan Tante Erna.

Ilal melirik, tersenyum, lalu mengangguk-angguk. Kemudian, ia menatap rembulan di langit dengan senyum yang semakin lebar.

ZEN (CONT’D)

Andai saja, orang tuaku seperti om dan tante Erna. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali mereka bermesraan kalau bukan di depan orang-orang.

Zen terlihat berpikir. Ia duduk di ujung rakit bambu membelakangi Ilal.

Saat itu, Ilal melihat bekas luka bakar di punggung Zen.

ZEN (CONT’D)

Mungkin karena memang cinta itu sudah tidak ada lagi di antara mereka, sehingga mereka tidak memiliki pilihan cinta lagi untuk dipilih. (tertawa miris) yang tersisa hanya ego, gengsi, harta, jabatan, pandangan orang-orang. Apa mereka tidak bosan memalsukan cinta di depan orang-orang? Kalau MEMANG mereka mempertahankan pernikahan karena seorang anak, aku tidak apa-apa kalau pun mereka bercerai.

Zen seolah-olah bercerita kepada dirinya sendiri.

Ilal mendengarkannya dengan seksama.

ZEN (CONT’D)

Dulu, sempat, terang-terangan, aku meminta mereka untuk itu. Tapi, akhirnya aku malah ditampar. (menghela nafas panjang) kalau aja ada penghargaaan orang tua terburuk di dunia, mereka pasti menang. (tersenyum miris) dan om sama tante Erna pasti udah gugur di babak awal.

Zen tertawa terbahak-bahak. Ia lalu mencebur ke dalam sungai. Ilal memperhatikan Zen dengan rasa empati.

DISSOLVE TO:

4.     EXT. ALIRAN SUNGAI UTARA-PAGI

Jauh dari area bendungan, Zen, Maya, Ilal, Andri dengan dua pemuda lainnya sedang menulusuri sungai utara yang airnya jernih dan dangkal. Andri menyandang sebuah tas carrier.

5.     EXT. PUNCAK BUKIT-PAGI

Matahari pagi masih terasa hangat.

Andri menunjuk ke arah air terjun di antara perbukitan.

Zen, Maya, Ilal, dan Andri serta dua pemuda lainnya beristirahat.

Di arah yang berlawanan dari air terjun, kita melihat panorama area bendungan dengan leluasa. Aliran sungai terlihat seperti tanda silang dengan bendungan sebagai titik tengahnya.

ANDRI

Indah ya.

Tidak ada yang menjawab, mereka tertegun dengan pemandangan di depan mata.

ZEN

Bukankah semua hal memang terlihat lebih indah kalau kita melihatnya dari atas? Namun, ketika kita mulai berada di bawah dan menjadi bagian dari apa yang kita lihat, kita mulai tercengang-cengang karena keindahan yang kita lihat dari atas tadi tiba-tiba lenyap begitu saja.

Zen bangkit dari duduk, ia tiba-tiba menjadi emosional.

ZEN (CONT’D)

Ada teriakan yang kita tidak bisa dengar dari sini. Ada lecutan yang tidak bisa kita rasakan pedihnya, kepahitan yang tidak bisa kita kecap, bau bangkai yang tidak bisa kita cium. Karena kita di atas! Memiliki kuasa! Sesekali mungkin ada suara yang melantun dari bukit ke bukit, hanya gema yang kita tangkap, kita kira tawa, nyatanya pekikan.

Semuanya tertegun melihat Zen. Mereka terlihat bingung.

ZEN (CONT’D)

Seseorang telah mati di bawah sana. Seseorang yang bukan siapa-siapa bagi kita, namun berarti dunia bagi orang-orang yang ia cintai dan mencintainya. Di sini, di atas ini, kita tertawa sebab kita kira yang terjadi di bawah sana ialah lelucon, namun nyatanya ialah sebuah malapetaka.

Zen meraih HP-nya, memutar sebuah instrumen, lalu meraih tangan Maya, Maya berdiri. Zen melakukan gerakan tarian dramatis, Maya mencoba mengikutinya, namun kewalahan hingga akhirnya ia menyerah.

Tidak lama setelah itu, Zen mebungkukkan tubuhnya mengucapkan terima kasih selayaknya seorang pemain di akhir pementasannya.

INSERT: Di sebuah panggung diiringi lampu utama yang perlahan menyala disertai tepukan tangan dari audiens, Zen membungkukkan tubuhnya mengucapkan terima kasih.

6.     EXT. AIR TERJUN-SIANG

Di balik bebatuan besar di ujung sungai, mereka disambut air terjun. Keenamnya terpukau. Maya, Andri dan dua pemuda bersorak.

Andri meletakkan tas carriernya, lalu segera berhambur ke kolam air terjun. Yang lain mengikutinya. Keenamnya terlihat asyik berenang.

Pasca berenang, Andri memanaskan air dengan peralatan outdoor-nya. Sembari menunggu air panas, mereka berbagi cerita diselingi candaan. Mulai dari iklan mie instan yang dibintangi Zen dan kebetulan mereka membawa mie instan dengan merek yang sama. Tentunya, tidak tertinggal candaan berbau seks yang berhubungan dengan pernikahan Maya.

7.     EXT. JALAN SETAPAK DI TENGAH PERBUKITAN-SORE

Keenamnya menuju pulang. Mereka masih terlihat asyik bercanda dalam perjalanan.

8.     EXT. AREA BENDUNGAN-AREA MASUK UTAMA-SENJA

Keenamnya baru saja melewati bendungan. Rasa puas dan lelah terpancar dari wajah mereka.

Tiba-tiba ponsel Maya berdering. Terlihat ANDRA di layar HP. Maya mengangkat—

MAYA

Iya... kakak baru dapat sinyal...

MANTAN SUAMI MAYA (O.S)

Maya...

Maya kaget.

9.     INT. RUMAH ILAL-RUANG TAMU-MALAM

Erna terlihat gelisah. Di tangannya, ia menggenggam HP.

Terdengar suara bel, Erna bergegas membukakan pintu. Ia mendapati Ilal dan Zen.

Ilal mulai khawatir seketika melihat raut wajah istrinya.

ILAL

Ibu nggak apa-apa?

ERNA

Barusan ibu telpon ke rumah Bintang, kata ibunya Rian nggak ada di sana.

Ilal menghela napas panjang.

ILAL

Ibu tenang dulu. (ke Zen) Silakan masuk, Zen. (ke ibu) Lihat, kita kedatangan tamu.

Zen tersenyum. Erna membalas senyum Zen di tengah-tengah rasa cemas yang mengganggu pikirannya.

Ilal membantu Erna duduk di sofa.

ERNA

Gimana ibu bisa tenang, Pak. Rian belum juga pulang. Biasanya dia di rumah Bintang, tapi tadi ibu telpon ke rumah Bintang, katanya nggak ada.

ILAL

Tadi Rian telpon Bapak, katanya dia lagi ada tugas kelompok, kebetulan kali ini dia beda kelompok sama Bintang.

Erna terlihat agak tenang.

ILAL (CONT’D)

Ibu masak apa hari ini? Bapak lapar banget.

ERNA

Hm... ibu belum sempat masak, Pak. Tapi rendang tadi siang masih ada, ibu hangatkan saja, ya?

ILAL

Bapak aja, ibu istirahat aja dulu di sini sekalian ngobrol-ngobrol sama Zen, kemarin ibu tanya-tanya sama Bapak, sekarang tanya langsung aja sama orangnya.

Erna tersipu malu.

Ilal berjalan ke arah dapur.

Zen melirik foto di dinding.

ERNA

Itu yang namanya Rian, kamu mungkin sering dengar namanya dari Bapak.

Zen mengangguk ragu. Seingatnya, baru kali ini ia mendengar nama Rian.

ERNA (CONT’D)

Anaknya ganteng persis kayak Bapaknya (melirik ke arah dapur) pintar, juara kelas, tapi cenderung pendiam.

ZEN

Rian kelas berapa sekarang, tante?

ERNA

Kelas 12. Lagi sibuk-sibuknya ujian, makanya sering belajar di rumah temannya, paling sering di rumah Bintang, sahabatnya dari kecil.

ZEN

Ooh...

ERNA

Dulu tante sering lihat iklan Nak Zen di TV yang mie instan itu loh.

Zen tertawa.

ERNA (CONT’D)

Terus juga suka lihatin acara bakat yang di TV. Nak Zen hebat. Orang tuanya pasti bangga sekali.

Zen cengengesan.

ILAL (O.S)

Ibu... sabun cuci piringnya abis, ya?

ERNA

(berteriak)

Oh, tadi ibu abis beli masih di kantong belanjaan belum sempat ibu keluarin, bentar ibu ambilin, Pak.

Erna menyusul Ilal.

Zen melirik sekitar ruangan. Ia berdiri setelah melihat jejeran foto di atas lemari kecil di ruang tamu. Satu di antara jejeran foto tersebut menimbulkan tanda tanya di benak Zen, yaitu foto Rian waktu kecil dengan tulisan: 8 OKTOBER 1997.

DISSOLVE TO:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar