Pemimpi, Janda, dan Laki-Laki Paruh Baya
7. #7

 

1.     EXT. KEBUN ZEN-PAGI

Zen memberhentikan mobilnya di depan kebun.

Dari jauh, ia melihat keramaian di area bendungan.

Beberapa pemuda pengurus objek wisata datang menengahi.

Ketika Zen keluar dari dalam mobil, Bobi yang memboncengi kepala desa datang melewatinya.

Pemuda lain berdatangan dari arah loket melewati Zen. Ada yang menggunakan sepeda motor, ada yang berjalan kaki. Satu dari yang berjalan kaki ialah Andri. Zen bertanya—

ZEN

Dri, ada apa?

ANDRI

Itu warga-warga pada keberatan dengan proyek di bendungan.

ZEN

Loh kenapa?

ANDRI

Karena aliran air melalui parit juga diberhentikan Zen. Warga-warga yang pasokan airnya dari sungai jadi kewalaan tiap pagi dan sore pada ambil air dari aliran sungai timur. Terus banyak juga yang gagal panen. Kebetulan juga musim kemarau, kan, nggak ada hujan.

Zen mengangguk-angguk.

ANDRI (CONT’D)

Ya udah, Zen. Aku coba lihat ke sana dulu ya.

CUT TO:

2.     EXT. RUMAH ZEN-SIANG

Mobil Zen datang dari arah bendungan. Di depan rumah, terparkir mobil lain. Zen keluar dari mobil, masuk rumah lewat pintu samping yang berhadapan langsung dengan dapur.

3.     INT. RUMAH ZEN-DAPUR

Zen mendengar suara tawa dari arah halaman belakang. Zen mengintip. Terlihat Diki dan Hera bersama DODI (50 tahun) dan ISTRI DODI yang sedang hamil. Di sana juga terlihat dua anak gadis kembarnya sedang bermain rumah-rumahan.

Mereka sedang mengadakan barbekyu.

DIKI (O.S)

Kamu kan tahu sendiri warga sini, Dod. Pelitnya minta ampun, buat bayar air aja nggak mau, masih ngotot pakai aliran air dari sungai buat kebutuhan sehari-hari, padahal kebersihannya juga nggak terjamin.

Zen melangkah dengan pelan agar kehadirannya tidak diketahui oleh siapapun di halaman belakang. Namun, ketika ia melewati pintu geser kaca yang langsung terhubung ke halaman belakang, istri Dodi menyadari kehadiran Zen.

Istri Dodi memanggilnya. Zen memaksakan senyum. Dengan enggan, ia berjalan ke arah mereka.

4.     EXT. RUMAH ZEN-HALAMAN BELAKANG

Dodi menatap Zen. Zen berusaha untuk tidak membaas tatapannya. Zen menyalimi Dodi, Dodi mengusap kepala Zen. Zen lanjut menyalimi istri Dodi. Istri Dodi memanggil Tara dan Dara.

Tara dan Dara menghampiri ibunya, lalu menyalimi Zen secara bergantian. Setelah itu, mereka lanjut bermain.

DODI

Bagaimana kabarnya, Zen?

ZEN

Baik, Om.

Diki dan Hera saling lirik mendengar tanggapan dingin Zen.

ISTRI DODI

Dengar-dengar, kamu lagi nyoba buat kelola lahan kakekmu, ya, Zen.

ZEN

(nyengir)

Iya, tante. Nyari-nyari kegiatan selama di rumah.

ISTRI DODI

Ooh... baguslah. Emang kamu nggak ada rencana balik ke Jakarta lagi, Zen?

ZEN

Belum tahu, tante.

Zen pamit dengan alasan mau mandi. Ia berjalan ke interior rumah.

5.     INT. RUMAH ZEN-AREA TANGGA

Zen menelusuri tangga dengan pelan. Ia disambut langsung oleh cerahnya langit biru. Ia seakan-akan melangkah menaiki tangga yang hampir membawanya ke puncak kesuksesan.

INTERCUT:

6.     INT. RUMAH ZEN-TERAS ATAS BELAKANG

Zen terlihat segar setelah mandi.

Sambil mendengarkan musik melalui headphone-nya, Zen menyaksikan keasyikan keluarganya di halaman belakang. Dari sana, ia melihat Dodi yang romantis sebagai seorang suami dan juga penyayang sebagai seorang ayah. Sedangkan, kedua orang tuanya berpura-pura romantis.

Zen mendongakkan kepala seketika Dodi menghilang dari pandangannya.

Tidak lama setelah itu, seseorang datang dari arah belakang membuka headphone-nya, lalu berbisik.

DODI

Lagi nyari apa kamu, Zen?

Zen kaget. Ia gelagapan. Dodi lalu duduk di depan Zen.

ZEN

(gelagapan)

Hmmm... nggak nyari apa-apa.

Dodi tersenyum. Zen berusaha mengalihkan pandangannya dari Dodi. Keduanya hening, tidak satupun yang ingin memulai pembicaraan.

Perlahan, Zen menggerakkan kakinya ke kaki Dodi. Ketika tersentuh, Dodi melirik lalu tersenyum. Zen segera menarik kakinya kembali.

Tubuh Zen seketika melemas, ia menundukkan kepalanya hingga tersandar di dada Dodi. Dodi membiarkannya beberapa saat. Dodi mengecup kening Zen, lalu berdiri sambil menegakkan kepala Zen kembali.

DODI

Om tunggu kamu di bawah, kita makan siang bareng.

Dodi pergi. Zen ditinggal dengan perasaan campur aduk. Ia menggelinjang melampiaskan emosinya.

7.     EXT. RUMAH ZEN-HALAMAN BELAKANG

Semuanya sudah bersiap-siap di meja makan. Di saat yang sama, Zen lewat. Diki memanggilnya, namun Zen terus berjalan ke luar rumah melalui halaman belakang.

Dodi pura-pura tidak tahu.

8.     EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG JANDA-SIANG

Hari itu kebetulan, warung Maya tidak buka.

Zen datang. Ilal sedang berenang. Zen langsung membuka bajunya dan mencebur ke dalam sungai. Ia menyusul Ilal.

9.     EXT. AREA BENDUNGAN-SUNGAI BARAT-SORE

Zen dan Ilal beristirahat di sebuah batu besar di pinggir sungai, cukup jauh dari warung Maya.

ZEN

Waktu aku kecil, tempat ini paling ditakuti orang-orang. Nggak ada satupun yang berani datang ke sini. Kata orang banyak hal-hal mistis yang mengerikan di sini. Mulai dari buaya, ikan raksasa, harimau jadi-jadian, komplit deh. Suasananya juga dulu mendukung. Selain kedalaman airnya yang sampai saat ini belum satu orang pun yang sempat menapakkan kaki di dasarnya, sekitar sini juga dulu ditumbuhi pohon-pohon besar. Pokoknya gelap deh, Om.

ILAL

Saya pernah dengar sih soal itu. Waktu muda dulu sering mancing di sungai ini, tapi satu-satunya tempat yang dilarang keras ya, tempat ini.

ZEN

Sekarang sih semenjak jadi tempat wisata, suasananya udah berubah drastis. Lebih terang, lebih luas, pengunjung yang naik rakit pada suka berenang di sini.

ILAL

Kamu rindu masa-masa kecilmu, Zen?

Zen terlihat berpikir, kemudian ia menggeleng.

ZEN

Nggak tahu, Om. Satu-satunya hal yang benar-benar aku rindukan ialah panggung.

Ilal melirik Zen, ia mendapati kehilangan yang begitu mendalam di raut wajah Zen.

Keduanya kemudian larut dalam diam. Zen sibuk menatap langit yang di sore itu sudah mulai muncul bulan.

Zen menunjuk bulan.

ZEN

Om!

Ilal melirik, lalu tersenyum.

ILAL

Kesorean lagi dia.

Zen mengangguk.

ZEN

Apa yang terjadi dengan Rian, Om?

Ilal kaget. Namun, ia berusaha tenang.

ILAL

Kenapa kamu bertanya seperti itu, Zen?

ZEN

Waktu di rumah Om kemarin, aku sempat lihat foto Rian di dinding ruang tamu.

Ilal tetap tenang. Ia mulai paham kenapa Zen mempertanyakan soal Rian.

ZEN (CONT’D)

Di sana tertera tanggal lahirnya. Rian lahir di tahun yang sama denganku. Tapi, waktu ngobrol sama tante Erna, katanya Rian baru kelas 12.

Ilal mengangguk-angguk. Ada luka yang terpancar dari raut wajahnya.

Ilal tidak berkomentar apa-apa. Zen pun merasa bersalah.

ZEN (CONT’D)

Maaf, Om.

Ilal tersenyum.

ILAL

Kenapa harus minta maaf, Zen? Kamu tidak salah. Tidak ada yang salah. Kepergiannya juga bukan hal yang salah. Ibu yang masih belum bisa menerima kepergiannya juga bukan hal yang salah. Ya, tidak ada yang salah.

Kemudian, keduanya larut dalam hening. Masing-masing berdialog dengan benaknya sendiri.

Matahari semakin rendah, sebentar lagi ia akan terbenam.

Ilal sibuk memijat bahunya sendiri.

Zen pun menatap Ilal cukup lama. Zen berusaha mengahangatkan suasana kembali.

ZEN

Mau aku bantuin Om mijatnya?

ILAL

Wah, dengan senang hati.

Zen bergegas mendekati Ilal. Ia memijat bahu Ilal dengan lembut. Ilal menikmati pijatan Zen.

Pandangan Zen tak lepas dari bahu dan leher Ilal. Zen semakin mendekatkan kepalanya ke leher Ilal sambil menurunkan pijatannya ke bagian lengan. Ilal merasakan hembusan nafas Zen.

Semakin lama, tubuhnya semakin mendekat, kepalanya bersandar di bahu Ilal. Tangannya berhenti memijat, lalu memeluk Ilal. Zen mengecup bahu Ilal. Zen merasakan sesuatu yang ia butuhkan sedari lama. Sesuatu yang selama ini diberikan Dodi kepadanya. Sesuatu yang bahkan lebih dari sekadar pelukan. Sesuatu yang kini telah dilupakan Dodi.

Ilal tidak bereaksi apa-apa walau ia menyadari ada yang tidak biasa dari pelukan dan kecupan tersebut. Ilal tidak ingin memberontak, sebab takut hal tersebut akan membuat Zen merasa telah melakukan tindakan yang salah. Di dalam hatinya, ia peduli terhadap Zen dan jika hal itu mampu membuat beban Zen berkurang, Ilal tidak mempermasalahkannya. Ilal sadar saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu, mungkin nanti.

Beberapa saat kemudian, Zen tersadar. Ia berdiri, meminta maaf, lalu pergi meninggalkan Ilal.

DISSOLVE TO:

10. EXT. HUTAN-PAGI

Burung-burung berterbangan di alam liar. Terdengar suara tembakan, satu dari kumpulan burung-burung tersebut terjatuh.

Dua pemuda berdiri. Satu dari mereka berlari ke arah jatuhnya burung tersebut.

11. EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG GADIS-SIANG

Empat orang pekerja proyek sedang menikmati kopi di sela-sela waktu istirahat.

PEKERJA 1

Sekarang, enak ya yang kerja di bagian parit, 3 hari kerja, 4 hari libur.

PEKERJA 2

Enak apanya, gaji mereka juga kan dihitungnya tiga hari.

PEKERJA 1

Ya, paling nggak bisa pulanglah.

PEKERJA 3

Yee... pada nggak paham prosedurnya. Memang, mereka kerjanya 3 hari doang seminggu, 2 hari buat nunggu semennya kering biar Sabtu Minggu bisa dialirin airnya ke warga. Tapi, kerjaannya kan bakal jadi lebih lama kelarnya. Bisa jadi, ntar kalau kita udah kelar, mereka masih lanjut kerja.

PEKERJA 4

Iya, ujung-ujungnya sama aja.

PEKERJA 1

(ke pekerja 2) Nah! Makanya, kalau ada rapat itu dengarin.

PEKERJA 2

Yee malah nyalahin saya. Kamu tuh!

Pekerja 1 dan 2 saling lempar kesalahan. Sedangkan yang duanya lagi tertawa melihat tingkah mereka.

Di meja lain, Gadis dan Galih terlihat bercanda, sesekali mencuri-curi kesempatan saling menyentuh di area sensitif.

Maya melewati mereka. Ia membawa beberapa kardus kosong. Penampilannya terlihat berbeda. Pakaiannya santai dan tanpa olesan make-up sedikitpun.

GADIS

(lembut dan sinis)

Eh, Kak Maya. Selamat siang.

Maya membalas sapaan Gadis dengan senyum yang dipaksa.

Sesaat setelah itu, Gadis berbisik-bisik ke Galih sambil melirik Maya.

Latif datang dari dalam warung dengan seragam sekolah dan tas sandang. Ia menyalimi Gadis, Gadis memberikan uang jajan.

12. EXT. KEBUN ZEN-SIANG

Di bagian belakang kebun, Zen sedang memindahkan bibit cabai rawit dari polybag ke lahan. Di saat yang sama, terdengar kericuhan di area parkir.

ZEN’S POV: dua orang pemuda sedang berkelahi, dua orang melerai.

13. EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG GADIS-SIANG

Zen duduk di salah satu kursi bagian luar sambil meminum es jeruk. Sesekali ia melirik ke arah warung Janda.

Di parkiran, terlihat Bobi dan Andri sedang berbicara dengan dua orang pemuda yang terlibat perkelahian tadi. Tidak lama setelah itu, mereka berjalan ke arah Zen.

Bobi dan Andri duduk di kursi seberang Zen, lalu memesan dua cangkir kopi

ZEN

Kenapa, Bang Bob? Kusut gitu mukanya.

BOBI

Itu... bocah-bocah ada-ada aja kerjaannya.

ANDRI

Biasa, Zen... soal asmara.

Zen mengangguk. Dia pun tidak ingin tahu lebih lanjut.

BOBI

Tumben kamu di sini, Zen?

ZEN

Oh, nggak apa-apa Bang Bob, lagi pengen suasana beda aja.

BOBI

Oh... gitu.

14. EXT. AREA BENDUNGAN-WARUNG JANDA-SORE

Ilal baru saja selesai berenang. Ia duduk seorang diri di pinggir sungai.

Warung Maya tidak buka dan terlihat berbeda dari biasanya. Piring-piring dan gelas-gelas yang biasanya tergeletak di luar walaupun ia tidak buka, sekarang sudah tidak ada. Di sana juga tidak satupun orang lain terlihat.

Beberapa saat kemudian, Maya datang bersama Andra.

MAYA

Udah lama, Om?

ILAL

Baru 20 menit-lah. Kamu ke mana aja? Kemarin nggak buka, sekarang kayak orang beres-beres mau pindahan gitu.

Maya tersenyum.

SESAAT KEMUDIAN:

Maya dan Ilal duduk di salah satu pendopo. Di dalam warung, terlihat Andra sedang mengemas barang-barang yang tersisa ke dalam kardus.

MAYA

Memang nggak mudah bagi saya mengambil keputusan ini, Om. Kedatangannya begitu tiba-tiba. Bahkan di saat saya pikir saya sudah melupakan dia dan... hampir berhasil memulai kehidupan yang baru. Tapi ya... Bujang terlihatnya begitu sungguh-sungguh. Dia minta maaf sampai sujud dan nangis segala. Dan... setelah saya pikirkan dengan matang, orang tanpa pendidikan seperti saya ya... buat apalagi, memang sudah jalannya seperti itu. Ditambah lagi yang katanya dia udah punya kerjaan tetap di kota, jadi... ya... gitu. (bingung menjelaskan dengan kata-kata) Intinya, aku bersedia memulai kembali lembaran baru dengan Bujang.

ILAL

Saya mengerti, Maya. Apapun itu, kalau kamu memang yakin, saya dukung dan tentunya turut bahagia dengan keputusan kamu.

Maya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia memutar kepalanya, mengitari setiap sudut area warungnya.

MAYA

Saya pasti akan sangat merindukan tempat ini dan orang-orangnya... ya... walaupun sering kena fitnah.

Maya tertawa. Andra memanggilnya.

MAYA

Kalau begitu saya pamit dulu, Om. Sampai jumpa.

Mereka berjabat tangan.

ILAL

Sampai jumpa.

Maya berjalan ke arah Andra. Di tengah jalan, ia berhenti.

MAYA

Oh, ya. Sampaikan salam saya kepada Zen kalau nanti Om bertemu dengannya.

CUT TO:

15. EXT. RUMAH YUDA-TERAS DEPAN-SORE

Maya memencet bel rumah Yuda. Andra menunggunya di atas sepeda motor.

Tidak lama setelah itu, Yuda keluar. Maya menyerahkan sebuah amplop berisi uang kontrak tanahnya.

MAYA

Soal warung, nanti adik saya yang akan membongkarnya.

Yuda mengangguk.

YUDA

Terima kasih.

Maya mengangguk, lalu pergi.

DISSOLVE TO:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar