KOMPLEKSITAS
13. Dhoni dan Paman

-12 TAHUN YANG LALU-

Dhoni dan Paman kini tinggal bersama. Dhoni kini punya baju baru, makan tiga kali sehari, dan bersekolah di lingkungan baru.

Namun, karena terlalu lama diperlakukan secara kejam oleh lingkungan lamanya. Dhoni tidak bisa berekspresi dan beremosi seperti manusia normal lainnya. Perlakuan kejam yang dialaminya mengikis emosinya.

Dhoni tak dapat mengekspresikan emosi senang, sedih, gembira, dan emosi lainnya. 

Sudah seminggu Dhoni hidup bersama Pamannya. Suatu malam, Paman mengajak Dhoni pergi ke pasar malam.

[PAMAN] Dhoni. Malam ini ikut Paman, yuk. 

[DHONI] Kita mau kemana, Paman? 

[PAMAN] Kita ke tempat yang mungkin belum pernah kamu datangi. Paman jamin kamu bakalan suka.

Malam itu untuk pertama kalinya, Dhoni pergi ke tempat yang sangat banyak orang selain perempatan biasa tempat ia disuruh mengemis.

Banyak hal yang hanya pernah Dhoni dengar dari cerita anak-anak yang mem-bully-nya. Akhirnya bisa ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Pasar malam yang banyak permainan, jajanan enak, wahana seru, dan suasana yang meriah.

[DHONI] (Menunjuk ke arah perosotan besar) Paman. Boleh aku mencoba itu? 

[PAMAN] Boleh. Mainlah sepuasmu. Nikmati semua wahana yang ingin kamu coba.

Dhoni pun bermain layaknya anak seumurannya. Pertama kalinya setelah bebas dari perlakuan kejam lamanya, Dhoni tertawa. 

Dari luar arena perosotan, Paman pun tersenyum. Dhoni terlihat bisa berekspresi seperti anak normal. Setelah puas bermain dengan perosotan, Dhoni pun kembali bertanya ke Paman.

[DHONI] (Menunjuk ke arah permainan pancing-pancingan) Paman. Kalo itu? 

[PAMAN] Wah. Pilihan bagus. Ayo kita main bareng. Kita berlomba siapa yang dapat paling banyak. Gimana? 

[DHONI] (Tersenyum dengan sangat senang) Ayo! Ayo! Ayo, Paman. Kita main bareng.

Paman dan Dhoni bermain bersama di permainan pancing tersebut. Hal yang menyenangkan, itulah yang dirasakan Dhoni. Dhoni tertawa. Mereka pun menikmati permainan di pasar malam tersebut. 

Dhoni sudah bisa mengekspresikan kebahagiaannya. Sepanjang mengitari pasar malam tersebut, Dhoni melihat banyak anak seumurannya jalan bersama orang tuanya.

Anak-anak tersebut berjalan bergandengan tangan dengan orang tua mereka masing-masing.

[DHONI] Paman. Boleh aku pegang tangan Paman? Seperti anak-anak itu? 

[PAMAN] (Langsung mengulurkan tangan) Tentu saja.

Paman tampak menahan kesedihannya namun tetap berusaha terlihat biasa di depan Dhoni. Paman pun menggenggam tangan Dhoni dengan lembut.

Dhoni tampak gembira dan terlihat senyuman kecil di wajahnya. 

Dan, mereka pun melanjutkan berkeliling pasar malam sembari bermain. Lalu sampai di jam 12 malam. Pasar malam ini mempunyai tradisi khusus yang menampilkan kembang api tiap akan tutup.

[PAMAN] (Melihat jam tangan) Wah. Sebentar lagi mau dimulai. Ayo kita cari tempat yang bagus biar bisa lihat dengan jelas. 

[DHONI] Lihat apa, Paman? 

[PAMAN] (Menarik Dhoni agar berjalan lebih cepat) Nanti kamu juga pasti tahu, kok.

Mereka berkumpul bersama orang-orang lain yang ingin melihat juga. Dan, kembang api pun mekar di langit malam. Warna-warni kembang api yang belum pernah dilihat Dhoni. Dhoni pun hanya tertegun melihat kembang api untuk pertama kalinya. 

Malam itu, banyak hal yang dilihat Dhoni. Banyak hal yang dilakukan Dhoni. Dan, banyak hal yang akhirnya bisa dirasakan Dhoni. 

Di lingkungan yang lama Dhoni diperlakukan dengan kejam, dan untuk pertama kalinya Dhoni bebas dari penderitaannya. Air mata mengalir dari mata Dhoni. Kesedihan yang selama ini dipendam akhirnya muncul ke permukaan. 

Suara tangisan Dhoni tampak samar di antara banyak suara orang. Namun, Paman mendengarnya dengan jelas. Emosi tangisan Dhoni bercampur aduk. Tangisan kesedihan bercampur kegembiraan. 

Tak ada orang-orang yang menyadari suara tangis Dhoni, tertutupi oleh kerasnya suara kembang api.

[PAMAN] (Memeluk Dhoni dan juga menangis) Sudah. Sudah. Tidak ada lagi yang perlu kamu takutkan. Tidak ada lagi yang akan memperlakukanmu secara kejam lagi. 

[PAMAN] Menangislah sepuasmu. Keluarkan semua kesedihan yang selama ini kamu pendam.

Paman dan Dhoni pun berpelukan di tengah-tengah keramaian pasar malam tersebut. Tak ada orang yang memperhatikan mereka karena fokus melihat kembang api. Mereka pun berpelukan hingga tangisan Dhoni reda. 

Dan, malam itu Paman dan Dhoni berjalan pulang bergandengan tangan layaknya orang tua dan anak. Setelah usai kembang api, tampak beberapa stan pasar malam sudah bersiap-siap tutup. Dhoni tampak tertarik dengan salah satu barang.

[DHONI] (Menunjuk ke arah piano mainan) Paman. Itu apa? Boleh aku lihat? 

[PAMAN] (Berjalan menghampiri) Mas, bentar jangan tutup dulu. Bisa lihat-lihat? Bentar doang. 

[PENJUAL] (Berhenti memasukan barang-barang ke gerobak) Cepat ya, Dek. Ini udah mau pulang.

Dhoni mengambil piano mainan tersebut dan memainkannya. Dhoni tampak senang memainkannya.

[PAMAN] Berapaan ini, mas? 

[PENJUAL] 20 ribuan, Pak. Kalo bisa mohon uang pas aj ya, Pak. Susah ambil kembalian nanti. Soalnya udah mau tutup.

Paman pun segera membayar dengan uang pas dan Dhoni pun sudah tampak sangat lengket dengan piano mainannya itu.

[PAMAN] Kamu tertarik main piano? 

[DHONI] Iya, Paman. Aku sepertinya suka dengan piano. 

[PAMAN] Oke, deh. Besok Paman beliin juga buku buat belajar piano.

[DHONI] (Tampak sangat antusias dan tersenyum) Terima kasih, Paman!

Mulai dari saat itu, Dhoni selalu bermain dengan piano mainannya. Semakin sering ia bermain, semakin mahir kemampuannya. 

Paman yang melihat bakat Dhoni langsung membeli piano ke rumah. Begitu juga dengan buku belajar piano. Tak diduga ternyata Dhoni adalah prodigi piano. 

Bakat piano Dhoni sangat hebat untuk anak seumurannya. Namun di sekolah tak ada yang mengetahui bakat Dhoni tersebut.

Walaupun sudah berpindah sekolah, Dhoni masih takut untuk bersosialisasi dengan anak-anak seumurannya. Dhoni menjadi anti-sosial. 

Dan, kemudian Dhoni bertemu Tiara.

.

.

.

.

.

-SAAT INI-

Malam hari. Saat Dian tak sengaja menyatakan perasaanya kepada Dhoni. Dhoni bertanya kepada Paman.

[PAMAN] Kenapa? Mau nanya apa? 

[DHONI] Kenapa dulu Paman bawa aku pergi, membesarkanku, dan merawatku hingga saat ini? Padahal aku bukan siapa-siapa Paman. 

[PAMAN] Hush. Kamu ini ngomong apa sih. Kamu itu keponakanku. Keponakan kandung. Keponakanku yang hebat. Jangan bilang kamu bukan siapa-siapaku. 

[PAMAN] Lagian, jawaban dari pertanyaanmu itu bukannya sudah jelas? Dari pembicaraan kita barusan harusnya kamu sudah tahu jawabannya.

Paman melihat Dhoni dengan tatapan lembut.

[PAMAN] Karena Paman mencintaimu. Percaya atau tidak, kita berdua punya banyak sekali kesamaan. Karena itu pula, Paman nekat bawa kamu pergi. 

[DHONI] Memangnya apa kesamaan aku sama Paman? 

[PAMAN] Kamu tahu kan kalo Ayahmu itu adik Paman. Kami berdua dulu juga dibesarkan dalam lingkungan yang persis kek kamu rasakan.

[PAMAN] Ayah kami dulu pemabuk dan penjudi. Setiap pulang, selalu dalam keadaan mabuk dan melakukan kekerasan pada kami berdua. 

[PAMAN] Tapi, dulu Paman beruntung. Masih ada Ibu kami yang merawat dan memperlakukan kami penuh cinta.

[PAMAN] Cinta dari Ibu kami itulah yang membuat Paman tumbuh untuk tidak mengikuti jejak Ayah kami. 

[PAMAN] Namun, Ayah kamu tidak. Entah karena sudah terlalu membenci Ayah kami atau lelah diperlakukan seperti itu, dia berubah menjadi Ayah kami. Mungkin lebih buruk. 

[PAMAN] Dan, himbasnya ke kamu. Dia melampiaskan semua penderitaannya dulu ke kamu. Perlakuan yang kamu terima selama ini mungkin adalah wujud kebenciannya kepada Ayah kami.

[PAMAN] Dan, saat Paman tahu keadaan kamu. Tanpa pikir panjang, Paman langsung membawa pergi kamu. 

[PAMAN] Setelah melihat kamu, Paman tahu bahwa masih ada celah untuk cinta di hatimu. Paman pun membesarkan kamu di lingkungan baru ini, lingkungan yang penuh cinta. 

[PAMAN] Itulah alasan Paman membawa kamu pergi. Apapun yang terjadi, Paman akan tetap mencintaimu. 

[DHONI] (Melihat Paman dengan tatapan haru hampir berkaca-kaca) Terima kasih, Paman. Terima kasih untuk selama ini. 

[PAMAN] (Memeluk Dhoni) Sekarang begitu tahu ada yang mencintaimu, apa yang kamu lakukan? 

[DHONI] Aku akan berusaha menjawab perasaan Dian. Walau aku tak tahu harus bagaimana. 

.

.

.

.

.

Dhoni pun tersadar dari pingsannya.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar