KOMPLEKSITAS
8. Tiara dan Dian (Bagian 1)

-SAAT INI-

Dhoni pun giat berlatih pada pemain profesional. Berkat itu kemampuan Dhoni meningkat pesat. Dhoni berlatih pada instruktur yang merupakan murid Gemuruh.

[DHONI] Hah!? Bapak itu muridnya Pak Gemuruh!? Wah saya baru tahu.

[INSTRUKTUR] Ya, betul. Kamu tahu juga pak Gemuruh. Kamu pernah bertemu beliau?

[DHONI] Kalo dibilang bertemu langsung sih, engga juga. Soalnya 3 tahun yang lalu, pak Gemuruh yang jadi juri besar di kontes musik yang saya ikutin.

[INSTRUKTUR] Ah, jadi begitu. Biar saya tebak. Kamu pasti kesel karena tidak dapat juara?

[DHONI] (Tersenyum lirih) Iya, bener. Kok pak Karta bisa tahu? Pak Karta juga penah mengalami hal yang sama?

[INSTRUKTUR] Secara pribadi tidak. Tapi, saya sering melihat orang-orang yang permainan musiknya bagus dan tak ditolak mentah-mentah oleh pak Gemuruh.

[INSTRUKTUR] Mungkin kamu termasuk orang-orang tersebut.

[DHONI] Kenapa bisa begitu, pak? Padahal saya yakin permainan piano saya sangat bagus.

[INSTRUKTUR] Ya, betul. Saya akui memang permainan piano kamu bagus dan sempurna. Tapi, pak Gemuruh memiliki standar penilaian sendiri yang sangat unik.

[INSTRUKTUR] Kamu tidak termasuk ke standar penilaian pak Gemuruh.

[DHONI] (Bingung) Apa yang membuat saya tidak masuk ke standarnya pak Gemuruh?

[INSTRUKTUR] Kamu tahu tidak? Pak Gemuruh selain menilai musik juga menilai ‘visualisasi’ dari musik itu sendiri.

[INSTRUKTUR] Di bidang permusikan sendiri, pak Gemuruh terkenal karena kemampuannya dalam membuat partitur musik yang mampu menjamah pikiran.

[INSTRUKTUR] Musik yang diciptakan beliau mampu membuat pendengarnya melihat sesuatu dari dalam musik tersebut. Bakat yang sangat luar biasa.

[INSTRUKTUR] Dan, karena hal tersebut juga. Pak Gemuruh ingin agar orang-orang yang dibawanya memiliki hal yang sama.

[INSTRUKTUR] Selain alunan nada yang indah. Para musisi yang dibawa oleh pak Gemuruh juga mampu memberikan pemandangan kepada para pendengar.

Dhoni terdiam. Ia kini mengerti alasan tidak menjadi juara tiga tahun lalu. Tekad pun semakin membara di dalam diri Dhoni.

[DHONI] Jadi itukah yang membuat saya tidak mendapat perhatian pak Gemuruh?

[DHONI] Kira-kira bagaimana saya bisa mampu menjadi seperti itu, pak Karta?

[INSTRUKTUR] (Berpikir) Kamu tanya seperti itu pun. Jujur. Saya juga ga tahu pasti. Banyak faktor yang membuat seorang musisi mampu memberikan pemandangan kepada pendengar.

[INSTRUKTUR] Faktor-faktor tersebut harus kamu temukan sendiri. Karena itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan.

Dhoni mengangguk. Perlahan Dhoni berusaha untuk menemukan pakem miliknya sendiri. Tak diketahui oleh Dhoni faktor tersebut berasal dari masa lalunya.

Bakat prodigi Dhoni ditambah dengan instruktur yang tepat membuatnya menjadi bintang di sekolahnya. 

Semasa SMA, Dhoni telah banyak memenangkan perlombaan musik mewakilkan sekolahnya. Populer di kalangan siswa dan guru. Dhoni masih mempunyai sikap anti-sosial, namun sudah tidak separah dulu. 

Dan, masih sama seperti dulu Dhoni juga masih belum mengerti emosi manusia. Dian yang diajari oleh Dhoni juga mengalami peningkatan yang pesat.

[DHONI] Permainan kamu makin bagus, Dian. Kamu berkembang pesat banget.

[DIAN] (Tertawa kecil) Hehehe. Terima kasih. Mungkin aku nanti bisa melampaui kamu, Dhon.

[DHONI] Owh. Anak seumur jagung mau nantangin? Berani sama aku sekarang, ya.

[DIAN] (Tertawa) Ampun. Ampun. Aku masih mau diajarin. Tolong ampuni hambamu ini.

[DIAN] Tapi, Dhon. Aku keknya masih belum terlalu mahir itu deh. Aduh, apa namanya? (Bingung)

[DHONI] Apaan? (Ikutan bingung)

[DIAN] Itu loh. Main piano secara spontan gitu. Ga pake partitur nada.

[DHONI] Ah. Improvisasi. Kamu masih belum mahir improvisasi?

[DIAN] Nah itu, betul. Improvisasi. Iya. Sampe sekarang aku masih belum bisa main spontan gitu. Aku keknya robot, deh. Ga bisa main kalo ga diprogram dulu. (Tertawa)

[DHONI] Ga papa. Aku dulu juga kek gitu. Kamu cuman perlu latihan lebih giat lagi.

[DHONI] Lagian kan kamu sendiri yang bilang tadi pengen ngelampaui aku.

[DIAN] (Tertawa kecil) Iya, sih. Tapi, tetep ajarin aku, dong.

Dhoni dan Dian merupakan pemain piano handal di sekolah mereka. Beberpa kali mereka ikut kontes musik mewakili sekolah.

Walaupun masih jauh jika dibandingkan dengan Dhoni, namun Dian juga beberapa kali mendapatkan juara mewakilkan sekolahnya. 

Seiring waktu muncul perasaan Dian kepada Dhoni. Sama halnya dengan Tiara, Dian menyangkal perasaannya. Namun, kelamaan Dian mengetahui bahwa ia jatuh cinta pada Dhoni. 

Bagi Tiara, Dhoni tampak menjauh karena semasa SMA lebih menghabiskan waktunya bersama Dian. Dian lebih sering ke rumah Dhoni untuk berlatih, namun tidak setiap hari.

Walaupun bagitu, Tiara tetap berteman baik dengan Dian. Suatu hari mereka berdua sedang ngobrol asik.

[TIARA] Gimana permainan piano kamu setelah diajarin Dhoni selama ini? Makin bagus? Makin ancur? (Tertawa)

[DIAN] Yah. Berkembang pesat, sih. Well. Terima kasih kepada Dhoni juga. Karena Dhoni aku jadi tahu tujuan hidupku.

[TIARA] (Bingung dan sedikit terkejut) Emangnya dulu kamu ga punya tujuan hidup? Kenapa bisa gitu?

[DIAN] (Mengenang) Bisa dibilang, aku dulu cuman cewe biasa yang ikut-ikutan trend dan arus sosial. Selalu berubah-ubah dan sangat labil.

[DIAN] Aku tak punya tujuan hidup dan hanya mengikuti arus. Sampai aku melihat Dhoni bermain piano waktu itu.

[TIARA] Di kontes musik itu? Tiga tahun yang lalu?

[DIAN] Ya. Pas aku ngeliat Dhoni main piano, aku sangat kagum. Entah apa yang menarik perhatianku. Aku merasa permainan piano Dhoni sangat beda dari peserta yang lain.

[TIARA] (Mengangguk) Aku tahu perasaan kamu. Aku juga ngerasa gitu. Kek ada semacam sihir gitu di permainan piano Dhoni. Yang ngebuat kita jadi nempel terus sama permainannya.

[DIAN] (Memekik setuju) Iya. Iya, bener banget.

[DIAN] Semenjak itu, aku jadi memutuskan untuk belajar piano. Tidak karena ikut-ikutan. Tidak karena trend sosial.

[DIAN] Tapi, karena aku benar-benar ingin belajar piano. Aku kini punya tujuan.

Tiara tersenyum kecil. Ia merasa senang kepada Dian yang sudah membulatkan tekad mempelajari piano.

[DIAN] Kamu sendiri gimana, Tir? Kamu punya tujuan hidup? Mimpi? Semacamnya?

[TIARA] Aku pengen jadi desainer. Sejak kecil aku suka banget bikin gambar-gambar fashion gitu.

[DIAN] Wih, hebat. Oiya, aku juga sering ngeliat kamu gambar-gamabr gitu di waktu istirahat.

[TIARA] Iya. Itu aku ngegambar desain fashion dengan Dhoni yang jadi modelnya. Soalnya dia itu cukup kompatibel dengan semua jenis desain. (Tertawa)

[TIARA] Kadang sekolah juga minta bantuan buat desainku beberapa kostum buat perlombaan. Lumayanlah buat ngembangin bakat sama minatku.

[DIAN] Iya, sama. Berkat Dhoni juga aku bisa ikut beberapa lomba musik. Lumayan buat nempah bakatku.

[TIARA] Well. Ini semua berkat Dhoni, kita bisa ngembangin bakat kita berdua. (Tertawa)

Dian ikut tertawa. Mereka berdua menjadi teman akrab semasa SMA. Tanpa tahu kalau mereka jatuh cinta pada orang yang sama.

Tiara masih belum menyatakan perasaannya kepada Dhoni. Dian juga masih belum menyadari perasaannya pada Dhoni. Masa SMA pun berlalu.

Kini mereka ada di tahun terakhir perkulihaan mereka. 12 tahun setelah Dhoni dibawa pergi Paman. 

Papa Tiara juga masih menangani kasus narkotika yang dulu.

[TIARA] Papa belum tidur? 

[PAPA TIARA] Ah. Belum. Ini masih sibuk ngurus laporan dari tim papa. 

[TIARA] Itu kasus narkotika yang dulu, ya? Sumpah, deh. Sindikatnya serem amat. Gimana perkembangannya, pah? 

[PAPA TIARA] Papa juga masih belum tahu. Sampe saat ini, pusat sama tim papa masih terus berkoordinasi buat mencari sindikat ini.

[PAPA TIARA] Ngomong-ngomong kamu sendiri gimana? Udah ada yang hal kamu putuskan? 

[TIARA] Iya. Mungkin besok baru aku kasih tahu papa. Sekarang aku tidur dulu, capek. Papa juga jangan lama-lama begadang. 

[PAPA TIARA] Oke, deh. Selamat tidur.

Di sisi lain. Meskipun sudah mahir bermain piano, Dhoni masih terus mengasah dirinya untuk mencari sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak ia miliki.

[INSTRUKTUR] Tumben kamu ga semangat mainnya. Kamu kenapa? 

[DHONI] Selama lebih dari 10 tahun bermain piano, ini pertama kalinya saya merasa ada yang kurang dengan permainan saya. 

[DHONI] Saya tak tahu gimana jelasinnya, tapi ada yang kurang gitu. 

[INSTRUKTUR] Permainanmu bagus dan sempurna seperti biasa. Ga ada yang kurang.

[INSTRUKTUR] Tapi, kalo kamu merasa begitu berarti kamu sudah mendekati tahap yang diinginkan pak Gemuruh. Perasaan kamu terhadap musik sudah mulai muncul.

[DHONI] (Melihat instrukturnya dengan serius) Perasaan? Mungkin itu yang kurang dari permainanku. (Nada pelan) 

[INSTRUKTUR] Kamu ngomong apaan? Ga kedengaran. 

[DHONI] Ah. Ga apa-apa, Pak. 

[INSTRUKTUR] Dari tadi ngomonganmu gaje semua. Udah, fokus latihan. 

Setelah selesai latihan pun, Dhoni masih melanjutkan keluhannya tentang hal tersebut di rumah kepada Tiara yang lagi main ke rumah.

[TIARA] Buset! Dulu kamu ngeluh permainan pianomu ga bakal disukai orang. Sekarang, permainanmu bagus kek gini dan kamu rasa ada yang kurang.

[TIARA] Ya, ampun. Kamu sudah berubah dari orang rendah hati menjadi sombong, nak. (Geleng-geleng kepala) 

[DHONI] Bukan. Bukan begitu. Entah kenapa, selama aku bermain piano. Semua lagu-lagu yang kumainkan terkesan monoton.

[DHONI] Aku pengen ada hal lain gitu. Sesuatu yang beda. 

[TIARA] Hal yang lain gimana? Kamu bisa kan main lagu dari genre yang lain. Pop kek, rock kek, ballad kek, macam-macam lah. 

[TIARA] Atau mungkin kamu bisa mainkan lagu dangdut kesukaan papaku. (Tertawa) 

Dhoni terdiam memikirkan perkataan Tiara. Dhoni merasa hal barusan bagus juga.

[TIARA] Eh? Tunggu. Bentar. Seriusan? 

[DHONI] (Tersenyum) Bener juga. 

[TIARA] Dangdut? Beneran? Astaga. Yang tadi cuman becanda. Bikin lagu pake instrumen piano itu susah, loh. 

[DHONI] (Bersemangat) Justru karena susah harus dicoba. Wah. Terima kasih, Tiara. Aku beruntung punya kamu yang selalu bantu dalam banyak hal. 

[TIARA] (Agak tersipu) Yah.. Yah.. Senang bisa membantu. Tapi, ga dangdut juga kali. 

[DHONI] Baiklah. Tapi pertama-tama, aku butuh inspirasi dari lagu dangdut. Kalo gitu aku pinjam lagu-lagu dangdut papa kamu, ya? Papa kamu ada di rumah? 

[TIARA] Kebetulan udah pulang. Keknya masih sibuk ngurus kasus.

Mereka pun berpindah menuju rumah Tiara untuk meminjam beberapa lagu dangdut.

[DHONI] Malam, Om. Lagi serius banget, Om. Ada kasus apa? 

[PAPA TIARA] Halo, Dhon. Ini masih ngurus kasus narkotika yang dulu. Kelihatannya makin parah. Pimpinan sindikatnya juga masih buron. 

[DHONI] Kasus yang dulu waktu kami SMA? Wah. Gila. Serem amat sindikatnya. 

[PAPA TIARA] Karena itu hati-hati. Kalo ada orang asing yang nawarin sesuatu ke kamu jangan pernah diterima. Terus selalu waspada sama orang-orang mencurigakan. 

[DHONI] Siap, Om. Oiya, Om. Bisa minjam lagu-lagu dangdut punya Om ga? 

[PAPA TIARA] Boleh. Boleh aja sih. Emang buat apa? 

[TIARA] Si Dhoni mau bikin lagu dangdut pake instrumen piano, pah. Makanya minjem lagu buat inspirasi. 

[PAPA TIARA] Wuih! Serius? Mantap! Kenapa ga dari dulu. Kalo gitu om request bikinin lagu dangdut yang asik-asik kece, oke? Terus nanti mainin di rumah buat kita joget bareng. 

[DHONI] (Tertawa) Aku ga janji dulu untuk sekarang, om. Kan masih nyari inspirasi dulu. Tapi, kalo misal nanti udah jadi, kita bisa joget bareng Om. 

Dhoni pun meminjam lagu-lagu dangdut dari Papa Tiara. Selama beberapa hari, Dhoni dengan serius mempelajari pola dan irama lagu dangdut.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar