KOMPLEKSITAS
4. Dhoni dan Turnamen Piano (Bagian 1)

-3 TAHUN KEMUDIAN-

Kehidupan SD Dhoni pun tampak normal dikelilingi teman-teman dan lingkungan yang mendukung. Kehidupan Dhoni terus berlanjut. Tiga tahun kemudian, mereka lulus SD dan masuk SMP.

Semua teman SD Dhoni memilih SMP yang berbeda dengan Dhoni. Hanya Tiara yang masih tetap satu sekolah dengan Dhoni. 

Di sekolah baru para siswa melakukan upacara penerimaan siswa baru layaknya kebanyakan sekolah biasa.

Dhoni berbaris di barisan siswa-siswa baru. Karena tidak ada satupun yang dikenal Dhoni, perilaku anti-sosialnya muncul kembali.

Namun, untung masih ada Tiara yang satu sekolah dan kebetulan satu kelas juga dengan Dhoni.

Di lapangan tersebut, Tiara berbaris tepat di samping Dhoni.

[TIARA] Untung kita satu sekolah lagi. Kalo ga, kamu pasti ga dapat teman. (Tertawa) 

[DHONI] Ya. Kadang aku bersyukur bisa satu sekolah bareng kamu terus. (Menganggguk pelan)

Di sekolah baru tersebut, seperti yang diduga Tiara dengan cepat bersosialiasi dengan siswa-siswa baru dan mendapat teman baru.

Sedang Dhoni, kebanyakan diam di kelas dan menulis di buku not baloknya seperti biasa.

Tiara pun berusaha mengajaknya untuk berkenalan dengan anak-anak baru tersebut.

[TIARA] Kamu ga mau kenalan sama anak-anak yang lain, Dhon? 

[DHONI] Kalo udah waktunya nanti aku juga bakal kenalan, kok.

[DHONI] Aku masih butuh waktu dan mengumpulkan keberanian.

[TIARA] Dulu waktu SD juga kamu gini. Kok kamu kek takut gitu kenalan sama orang? Emangnya kenapa?

[DHONI] Bisa dibilang dulu aku punya pengalaman buruk sama orang-orang. 

[TIARA] Mungkin kamu pikir semua orang bakal jahat ke kamu gitu?

[TIARA] Yah. Memang kita ga tahu isi hati orang. Tapi, langsung menganggap kalo semua orang itu bakal jahat kupikir itu terlalu kejam.

[DHONI] Ah. Aku ga bilang kek gitu juga. Aku cuman merasa takut aja. 

[TIARA] Ya, aku juga ga bakal maksa kamu juga.

[TIARA] Kalo kamu udah merasa ada keberanian buat kenalan bilang ke aku aja. Nanti kukenalin ke anak-anak.

Dhoni mengangguk pelan mendengar Tiara. Tiara pergi lanjut mengobrol dan bercanda dengan anak-anak baru. Dan, Dhoni melanjutkan menulis.

Pulang sekolah seperti biasa Dhoni dan Tiara pulang bersama. Tiara pun mengobrol tentang sikap Dhoni tadi.

[TIARA] Waktu pertama kali kamu pindah pas SD, sikap kamu juga kek gini.

[TIARA] Aku juga dari dulu tahu kamu ga mau cerita tentang orang tuamu.

[TIARA] Apa jangan-jangan ada hubungannya orang tuamu dengan sikap anti-sosialmu ini?

Dhoni sudah tidak gelisah lagi saat ditanya seperti itu. Dhoni memilih diam dan tak menjawab.

[TIARA] Kamu masih belum mau jawab, ya? Ga apa-apa kok.

[TIARA] Kalo kamu merasa udah siap, aku bakal nunggu sampe kamu cerita sendiri.

Mereka berjalan lagi dengan kecanggungan. Tiara yang memang tidak suka dengan kecanggungan kembali memulai percakapan.

[TIARA] Ngomong-ngomong, ada perkembangan apa sama permainan pianomu? 

[DHONI] Ah. Aku udah bisa memainkan beberapa lagu dangdut yang sering diputar sama Papa kamu. (Melihat dengan tatapan mengejek)

[TIARA] Ya ampun! Sudah cukup dengan lagu dangdut!

[TIARA] Papaku suka dangdut sekarang kamu tertarik sama dangdut. Oh, tidak!

Tiara memegang kepala layaknya orang sakit kepala. Selama tiga tahun ini, Dhoni sudah belajar bagaimana memainkan lagu dangdut.

Papa Tiara sering memutar lagu dangdut dengan speaker hingga terdengar keluar rumah. Dhoni yang mendengar secara iseng mengaransemen untuk dimainkan dengan piano.

[DHONI] Lagu dangdut itu ternyata susah juga, loh. Kalo dibikin instrumental piano.

[DHONI] Kamu harus mengapresiasi dangdut tahu. (Mengangguk-angguk)

[TIARA] (Menutup telinga sambil menggelengkan kepala) Sudah cukup dangdut. Jangan ada lagi kata dangdut yang kudengar. Sudah cukup!

[DHONI] (Menggoda Tiara dengan nada mengejek) Dangdut... Dangdut... Dangdut... Dangdut...

Hari-hari pun berlalu seperti biasa bagi mereka berdua. Seminggu kemudian, Dhoni berhasil mengumpulkan keberanian dan meminta bantuan Tiara lagi untuk mengenalkan anak-anak baru kepadanya.

Seiring waktu, Dhoni pun mendapat teman-teman baru di SMP. Sama seperti waktu SD, mereka pun kadang mampir ke rumah Tiara atau Dhoni.

Mereka mampir untuk belajar bareng, main bareng, joget bareng Papa Tiara, atau sekedar mendengar Dhoni bermain piano.

Kemudian ada suatu perlombaan musik dari SMP Dhoni. Sekolah pun mengumumkan untuk mencari kontestan dan berlomba mewakili sekolah.

Tiara yang tahu bakat Dhoni segera mengajaknya.

[TIARA] Dhon. Kamu dengar kan pengumuman tadi.

[TIARA] Ikut lomba gituan tuh. Kamu kan bisa main piano, jago pula.

[TIARA] Bilang ke guru tuh, daftarin diri kamu. 

[DHONI] Ga deh. Ga usah. Aku takut. Permainan pianoku kurang bagus. 

[TIARA] Astaga, Dhoni! Ga boleh kek gitu. Kamu selalu bilang kek gitu.

[TIARA] Sudah berulang kali dibilangin. Permainan piano kamu itu luar biasa banget, tahu! 

[TIARA] Percaya diri dikit, dong. Udah banyak yang lihat permainan piano kamu. Semuanya bilang kamu hebat.

[TIARA] Dan tadi kamu bilang takut? Aku bilangin Papaku baru tahu rasa kamu.

[TIARA] Pasti ditempeleng sama diceramahin abis-abisan. 

[DHONI] Eh. Jangan. Jangan bilang-bilang ke Om. (Memelas)

[TIARA] Paman kamu kalo tahu kamu ngomong gitu juga pasti bakal sedih.

[TIARA] Padahal Paman yang beliin piano di rumah buat ngembangin bakat kamu. 

[DHONI] Tapi... Tapi... Tapi, kan. 

[TIARA] Alah. Ga usah tapi-tapian. Kalo kamu ga mau daftarin sendiri, biar aku yang daftarin kamu ke guru sekolah.

[DHONI] Eh? Loh? Eh? Tiara... Tunggu.

Tiara dengan sigap berlari keluar kelas menuju ruang guru. Tiara benar-benar ingin mendaftarkan Dhoni ke turnamen itu.

Dhoni berusaha mengejar namun kalah cepat dengan Tiara yang lumayan atletis.

Tiara segera mendaftarkan Dhoni untuk ikut serta dalam perlombaan. Namun, guru sekolah agak ragu kepada Dhoni.

Dhoni tak pernah menunjukkan bakat permainan pianonya selain ke keluarga dan teman-temannya. Dan, sekolah pun ingin melihat permainan piano Dhoni.

Di dalam ruang guru, tampak Tiara dan tiga orang guru sedang bercakap-cakap tentang hal tersebut.

[GURU A] Dhoni? Anak yang pendiam itu? Dia bisa main piano? (Ragu)

[TIARA] Bisa, Buk. Permainan piano Dhoni sangat hebat, loh.

Dhoni yang mengejar Tiara sampai di depan ruang guru. Terlambat, Tiara dan para guru yang berbincang melihat Dhoni dan memanggilnya masuk.

[GURU A] Kamu Dhoni? Panjang umur. Kamu katanya pengen ikut turnamen musik ini? Bener?

Dhoni terdiam tak bisa menjawab. Gejala anti-sosial Dhoni muncul. Dia ingin menolak, namun dengan cepat Tiara berdiri di sampingnya.

[TIARA] Iya. Bener, Buk. (Mencubit Dhoni)

[DHONI] (Kesakitan dan reflek) Iya, Buk. Saya ingin ikut.

Dhoni tersadar sedetik kemudian. Dia melihat Tiara yang mencubit dirinya. Tiara balas menatap dengan senyuman besar. Dhoni terpaksa ikut.

[GURU A] Sekolah tidak melarang siapapun untuk ikut turnamen ini. Tapi kami juga harus melihat apakah anak yang mendaftar benar-benar layak untuk ikut.

[GURU B] Kalo gitu, pulang sekolah nanti. Dhoni. Tolong perlihatkan permainan pianomu di depan guru, ya.

Pembicaraan selesai. Dhoni harus meperlihatkan permainan pianonya di depan orang banyak pulang sekolah nanti.

Dhoni dan Tiara berjalan kembali ke dalam kelas mereka. Dhoni terlihat jelas sekali gelisah dan panik. Keringat dingin membasahi leher dan tangannya.

[TIARA] Tenang aja, Dhoni. Aku percaya kamu pasti bisa (Memukul punggung Dhoni)

[DHONI] (Terpental pelan ke depan) Ini pertama kalinya aku main piano di depan orang banyak.

[DHONI] (Semakin cemas dan panik) Gimana kalo nanti semuanya ga suka sama permainan pianoku? Gimana, nih? Gimana, nih?

Dhoni dan Tiara sudah berteman lama dan tahu sifat masing-masing. Dhoni adalah anti-sosial yang pesimis. Tiara adalah periang yang optimis.

Kepribadian mereka sangat bertolak belakang. Walau begitu, Tiara selalu menyemangati Dhoni saat perilaku anti-sosial dan pesimisnya muncul.

[TIARA] Sudah kubilang berkali-kali, kan. Percaya diri dikit, dong! Kamu hebat banget main pianonya.

[TIARA] Aku yakin kamu juga bakal bikin semua orang kagum sama permainan pianomu. (Menatap Dhoni)

[DHONI] (Menatap balik) Kalo kamu bilang kek gitu. Apa boleh buat.

[DHONI] Lagian kalo aku jelek nanti mainnya, aku bakalan ga jadi ikut turnamen. (Berharap)

[TIARA] (Menempeleng kepala Dhoni) Dhon. Sikap pesimismu itu kadang bikin aku jengkel.

Tiara langsung memelintir tangan Dhoni. Dhoni tak bisa melawan dan hanya bisa bereaksi kesakitan.

Jika Dhoni ahli piano, maka Tiara ahli bela diri. Tiara pemegang sabuk hijau dalam karate. Sebagai seorang cewek, Tiara sangat kuat dan atletis.

[TIARA] Sekali lagi aku ngeliat sikap pesimismu, aku bakalan bikin tangan kamu ga bisa main piano lagi.

[TIARA] Aku gam au tahu. Kamu harus main piano dengan serius nanti.

[DHONI] (Kesakitan) Iya,iya, iya, iya. Aku bakalan main serius nanti.

Tiara melepaskan tangan Dhoni dan mereka kembali ke kelas melanjutkan hari sekolah. Lalu, jam sekolah usai dan Dhoni harus menampilkann permainan piano di depan para guru.

Tiara juga ingin melihat permainan Dhoni ikut bersama ke ruang musik. Tak diduga, ternyata ada banyak anak yang mau ikut turnamen musik itu.

Sekitar empat anak, ditambah Dhoni total lima anak. Mereka semua diminta untuk menampilkan permainan musik mereka.

Dhoni semakin panik. Dia ingin pergi, dia ingin kabur. Tiara dengan cepat menahan Dhoni.

[DHONI] Ga bisa. Aku ga bisa. Beneran ga bisa, Tir. (Nada panik)

[TIARA] (Menatap dengan serius) Dhoni.

Dhoni melihat Tiara. Tatapan Tiara sangat serius.

Dhoni tak bisa mundur, mau tak mau, suka tidak suka, Dhoni harus melakukannya. Sebab Dhoni tahu betapa menyeramkannya Tiara saat sudah serius.

Satu per satu anak yang ada di sana menunjukkan permainan musik mereka. Ada dua anak yang bermain gitar, seorang yang bermain saxophone, dan seorang yang bermain biola. Dan, Dhoni yang bermain piano.

Tiba saatnya Dhoni menunjukkan permainannya. Begitu melihat permainan piano Dhoni, para guru dan yang lain pun kagum.

[GURU A] Kamu berbakat juga. Jago banget tadi itu permainan piano kamu. 

[GURU B] Ga salah kamu dipaksa ikut sama teman kamu. (Tertawa)

Tiara juga tertawa mendengar hal tersebut. Tak salah Tiara memaksa Dhoni untuk ikut mendaftar turnamen ini. Anak-anak yang lain kagum dengan permainan Dhoni.

Dengan demikian, ada lima anak yang mewakili sekolah untuk turnamen musik. Keempat anak tersebut dan Dhoni ikut serta.

Para siswa yang ikut serta dalam lomba tersebut mendapat jadwal latihan setelah pulang sekolah. Dari situ, Dhoni dikenal satu sekolah sebagai seorang jenius piano. Banyak guru dan siswa yang kagum dengan permainan piano Dhoni.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar