INT. RUMAH ERIN - DUA HARI KEMUDIAN - PAGI
Ini adalah hari reuni keluarga besar Erin. Kita bisa mendengar dan melihat suara-suara persiapan yang dilakukan ibu dan ayah Erin, mulai dari menumpuk piring dan segala peralatan makan di atas dua meja yang digabung menjadi satu meja besar, menggelar tikar, menyajikan menu makanan dan minuman, dan melakukan rapih-rapih rumah tahap terakhir.
INT. KAMAR TIDUR ERIN - PAGI
Kita melihat Erin sedang berada di depan cerminnya, sedang menebalkan bedak di area bawah matanya untuk menutupi kantung mata. Meski sudah dihiasi eyeliner dan maskara, kita masih bisa melihat matanya yang masih merah dari sisa tangisannya. Ia melatih muka tegarnya di depan cermin, berusaha menyembunyikan kesedihan dari wajahnya.
Lalu, HP yang ada di depannya membunyikan notifikasi. "Reminder: H-1 deadline lomba foto!"
Tangan Erin segera menghapus reminder itu dari notifnya. Tidak ingin teringat lagi. Kemudian ia pun menutup bedak, merapikan sedikit rambutnya, dan bergegas keluar, meninggalkan HP-nya di meja.
INT. DAPUR - RUANG TAMU RUMAH ERIN - PAGI
Kita melihat Erin membantu ibunya menata snack di ruang tamu yang sudah disulap menjadi luas dengan tikar terhampar, siap untuk jamuan lesehan. Ia bolak balik dapur-ruang tamu untuk membawa berbagai snack dan minuman.
Sementara itu di dapur, kita melihat ayahnya sibuk memotong es batu untuk bowl besar minuman es buah, dan ibunya menata berbagai jenis hidangan di meja besar sambil terus memberikan instruksi.
Erin tidak ingin banyak bersuara, sehingga ia hanya menggunakan anggukan atau dua kata saja ke ibunya.
Ia menanyakan dengan was-was, tampak khawatir.
Ibu Erin mengangguk, meski belum sepenuhnya merasa tenang.
CUT TO:
EXT. DEPAN RUMAH ERIN - PAGI
Dari bird's eye view, kita melihat genteng rumah Erin yang bolong di bagian ujung depannya.
MONTAGE
Sementara itu, satu mobil mulai datang, lalu berikutnya, perlahan memenuhi gang rumah Erin yang standar, tidak terlalu lebar itu. Dari mobil, turunlah satu per satu keluarga kakak-kakak dari ibunya. Mereka mengenakan pakaian yang modis dan mentereng, bahkan beberapa ada yang terlalu glamor dengan banyak perhiasan terpamer.
Dengan cepat bisa diamati bawha Ibu Erin yang menyambut satu per satu di pintu masuk adalah yang berpakaian paling sederhana, hanya blus batik dan rok panjang. Namun di antara mereka semua, Ibu Erin lah yang paling ramah, menyambut mereka dengan penuh kehangatan dan level keceriaan yang tinggi tanpa judgment.
Mbak Yanti hanya bercipika cipiki dan senyum sekali saja, hanya menjawab secukupnya. Begitu pula yang lain saat mereka datang dan masuk. Mereka lebih sibuk mengamati rumah Erin, termasuk gentengnya yang bolong saat masih di teras, dan membisikannya ke suaminya.
END OF MONTAGE
INT. DAPUR - RUANG MAKAN - PAGI
Kita melihat Erin sedang menyiapkan garnish dan kelengkapan makanan lainnya, sambil menghalau lalat agar tidak mendekati makanan di meja besar. Ia sedang asyik mempersiapkan bawang goreng ketika didengarnya suara agak lirih dari ruang tamu yang hanya terpisah dinding tipis dari ruang makan.
Erin seketika terpaku. Ia hanya bisa diam, menggeleng-geleng tak habis pikir pada dirinya sendiri. Tangannya membanting bungkus bawang goreng, hendak berteriak menghentikan obrolan itu, tapi kemudian ia mengatur napas, mengontrol dirinya.
Tak lama kemudian, ia membawa mangkok bawang goreng dan kecap, dan bergerak cepat ke ruang tamu, di mana obrolan langsung berhenti begitu Erin masuk.
CUT TO:
INT. LORONG DEKAT KAMAR ERIN - PAGI
Saat semua sedang makan pagi dan ngobrol, kita melihat Erin menyusuri lorong dan memasuki kamar untuk mengambil HP-nya. Saat keluar, ia melihat SHINTA (18 tahun), salah satu sepupunya, baru keluar dari kamar mandi, yang letaknya memang berdekatan dengan kamar tidur Erin.
Shinta tidak menyadari Erin ada di situ. Ia kemudian dengan kesal merapikan rambutnya yang sebagian lengket ke lehernya karena keringat, sambil menggumam kesal.
Kemudian Shinta segera pergi melenggang dari situ. Erin hanya diam, mencatat dan mengingat semuanya, sambil berusaha menahan dan mengontrol emosinya. Saat sudah tenang, ia lanjut berjalan.
CUT TO:
INT. RUANG MAKAN - SIANG
Dapur sedang sepi. Semua orang sedang mengobrol di ruang tamu. Para suami di teras, para istri dan anak-anak di dalam. Sementara itu, kita melihat Erin sedang duduk di salah satu kursi meja besar itu, tangannya sedang mengetik di HP-nya dengan cepat. Di depannya, di sela menu makanan, terlihat catatan konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing tempo hari.
CLOSE UP Kita melihat bahwa Erin sedang mengetik skripsinya di layar HP dengan tulisan kecil-kecil itu. Erin berusaha untuk fokus dan merampungkan beberapa paragraf untuk skripsinya.
Tak butuh waktu lama sebelum tangan Erin mulai kebas dan ia berusaha melemaskannya bergantian. Kiri, kanan, kiri lagi, kanan lagi. Ia mulai kelihatan tidak kuat untuk lanjut mengetik di layar mungil itu. Akhirnya, Erin pun menghela napasnya dan berhenti. Ia mengeklik Save dan meletakkan HP-nya, mengistirahatkan tangannya.
Erin sedang menyandarkan tubuhnya di kursi, meregangkan punggungnya yang terasa kaku saat ayahnya berjalan masuk dengan santai, segelas teh di tangannya.
Sang ayah duduk di sebelah Erin, yang hanya menyambutnya dengan senyum singkat. Ayahnya memandang wajah Erin yang tampak lelah dan kurang baik-baik saja.
Pertanyaan itu jelas membuka luka hatinya. Alih-alih marah, ia hanya bisa memberikan wajah putus asa, bingun, dan sedih, menunjukkan kerapuhan pada ayahnya.
Ayahnya menunggu Erin berbicara dengan sabar. Erin mempersiapkan diri untuk mencurahkan uneg-unegnya pada ayahnya. Ia menarik dan menghembuskan nafasnya, mengatur pikiran dan kata-katanya.
CUT TO:
INT. RUANG TAMU - SIANG
Waktu sudah menunjukkan pukul 12. Seluruh keluarga dari sisi ibunya sudah datang. Keluarga dari tiga kakak perempuan, dan satu adik laki-laki dari ibunya sudah hadir di ruang tamu, dengan riuh obrolan dan anak-anak yang bermain memenuhi ruangan.
Sementara itu, Ibu Erin yang ada di ujung bersiap, memosisikan diri agar duduk menghadap ke seluruh keluarga. Tampak secarik kertas di genggaman tangannya, yang terus dipegang dan diintipnya, seperti jimat keberuntungan sebelum ikut pertandingan. Wajahnya cukup tegang. Erin duduk di sebelahnya, mendampingi ibunya.
Erin mengelus pundak ibunya untuk mencoba sedikit menenangkan. Ibunya kemudian mengambil mic dan mulai berbicara.
Tidak ada yang memperhatikan ibunya. Ternyata mic belum menyala. Ibunya pun menyalakannya. Kemudian, suara mic yang menyala dan ditepuk-tepuk pun akhirnya terdengar oleh semua orang dan membuat mereka berhenti berbicara.
Ibunya mencoba tersenyum meski tampak grogi. Kertas 'contekan' itu masih digenggam dengan kuat di tangannya.
Erin mendengarkan salah bicara 'wafaliat' itu. Ia juga mendengar beberapa tawa yang ditahan dari kerumunan keluarga besar.
Suara lirih yang mengejek ibunya terdengar lagi. Erin tidak peduli siapa, tapi ia sudah tidak kuat menyaksikan ini. Ia segera menutupi mic sebelum bicara pelan ke ibunya.
Erin menenangkan ibunya dengan sentuhan di pundak, lalu mengambil alih mic dari tangan ibunya. Lalu ia meneruskan.
FADE TO:
INT. RUANG TAMU - 5 MENIT KEMUDIAN
Erin berhenti sejenak. Para anggota keluarga sudah mulai hilang perhatian dan mulai kembali ke kesibukan masing-masing.
Ruangan kembali hening, kaget oleh suara Erin yang menjadi lantang.
Kali ini suasana benar-benar hening.
Erin kemudian menoleh ke ibunya, penuh dengan rasa syukur.
Ketika itu juga, Erin seperti disambar petir, ia merasakan dan menyadari sesuatu, sesuatu yang penting, yang harusnya ia sadari sejak lama....
Namun ia masih menyadari kalo "pidato"-nya belum selesai.
Semua masih terdiam saat Erin menutup statement-nya dan undur diri meninggalkan ruangan, tanpa berkata apa-apa lagi ke ibunya atau siapa pun. Ibunya yang kaget hanya bisa memandangi Erin berjalan tergesa-gesa ke kamarnya.
INT. KAMAR TIDUR ERIN - SIANG
Erin memasuki kamarnya. Perasaannya bergejolak, kaget. Pikirannya seperti dibanjiri oleh informasi-informasi baru yang dia "unlock" secara tidak sengaja saat memberikan pidato tadi.
Ia bingung mencernanya. Bingung, juga takut...
CUT TO:
INT. RUANG MAKAN - FLASHBACK 1 JAM YANG LALU
Kita kembali ke saat Erin memberikan wajah putus asa, bingun, dan sedih, menunjukkan kerapuhan pada ayahnya.
Erin mempersiapkan diri untuk mencurahkan uneg-unegnya pada ayahnya. Ia menarik dan menghembuskan nafasnya, mengatur pikiran dan kata-katanya.
Ayahnya mengernyit, tidak paham.
Erin yang awalnya kaget lalu ikut tersenyum.
Bapaknya terdiam, bingung ingin jawab apa. Mencoba menyusun kata.
Jawaban pamungkas ayahnya membuat Erin segera teringat segala hal yang menjadi jati diri ibunya selama ini, yang gak pernah Erin sadari.
...Bahwa ibunya mendedikasikan hidupnya untuk kesejahteraan keluarganya...
...Bahwa ibunya, juga ayahnya, melepaskan impian mereka, dan itu tidak menjadi masalah...
...Bahwa ibu dan ayahnya selama ini bukanlah sedang 'mengalah', tapi justru mewujudkan apa yang menjadi mimpinya...
Karena ternyata... Berkeluarga-lah yang menjadi passion mereka.
FLASHBACK SELESAI
INT. KAMAR TIDUR ERIN - SEKARANG
Erin menitikkan air matanya. Rasanya luar biasa mendapatkan pemahaman ini. Ia merasa bodoh namun tercerahkan di saat yang sama, merasa sedih pun juga senang, ia merasakan semuanya sekaligus.
Ting! Suara notif chat baru menginterupsi pikiran Erin. Ia segera membukanya.
Idan: Rin, ini kata Beno ada beberapa fotomu yang masih belum kehapus dari kameranya pas kamu balikin kemarin.
Aku kirimin di sini ya.
Idan: mengirim 8 foto.
Saat fotonya dimuat, Erin menutup mulutnya, kaget. Itu adalah foto-foto yang ia ambil saat pertama kali dapat pinjaman kamera dari mas Beno. Foto-foto ibunya yang ia ambil dengan iseng saat sedang mempersiapkan bersih-bersih, tata-tata, sekaligus masak. Meski fotonya banyak blur dan angle-nya tidak bagus, terlihat jelas di semua foto itu bahwa ibunya tersenyum, bahagia melakukan apa yang ia lakukan.
This is it. Ia menyaksikannya sendiri. Erin tak kuasa menahan senyum untuk mengiringi air mata yang masih belum kering di pipinya.
Jari Erin membalas chat Idan.
Erin: Thank you....!! (emot pelukan) (emot love)
Erin: Oh ya, Dan... Aku butuh satu bantuan lagi...
Pencerahan ini membuatnya mendapatkan energi baru, juga harapan baru. Ia segera mengetikkan balasannya ke Idan dengan semangat. Sedetik kemudian, jawaban Idan membuatnya tersenyum lebih lebar lagi.