Jendela Bidik
8. Reuni Keluarga
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

INT. RUMAH ERIN - DUA HARI KEMUDIAN - PAGI

Ini adalah hari reuni keluarga besar Erin. Kita bisa mendengar dan melihat suara-suara persiapan yang dilakukan ibu dan ayah Erin, mulai dari menumpuk piring dan segala peralatan makan di atas dua meja yang digabung menjadi satu meja besar, menggelar tikar, menyajikan menu makanan dan minuman, dan melakukan rapih-rapih rumah tahap terakhir.

INT. KAMAR TIDUR ERIN - PAGI

Kita melihat Erin sedang berada di depan cerminnya, sedang menebalkan bedak di area bawah matanya untuk menutupi kantung mata. Meski sudah dihiasi eyeliner dan maskara, kita masih bisa melihat matanya yang masih merah dari sisa tangisannya. Ia melatih muka tegarnya di depan cermin, berusaha menyembunyikan kesedihan dari wajahnya. 

Lalu, HP yang ada di depannya membunyikan notifikasi. "Reminder: H-1 deadline lomba foto!"

Tangan Erin segera menghapus reminder itu dari notifnya. Tidak ingin teringat lagi. Kemudian ia pun menutup bedak, merapikan sedikit rambutnya, dan bergegas keluar, meninggalkan HP-nya di meja.

INT. DAPUR - RUANG TAMU RUMAH ERIN - PAGI

Kita melihat Erin membantu ibunya menata snack di ruang tamu yang sudah disulap menjadi luas dengan tikar terhampar, siap untuk jamuan lesehan. Ia bolak balik dapur-ruang tamu untuk membawa berbagai snack dan minuman.

Sementara itu di dapur, kita melihat ayahnya sibuk memotong es batu untuk bowl besar minuman es buah, dan ibunya menata berbagai jenis hidangan di meja besar sambil terus memberikan instruksi.

IBU ERIN
Tisunya ada di lemari situ, ambil semua aja. Terus lepek-lepek buat jajan juga ditaruh di samping snack ya, disebar. Di ujung, tengah, sama ujung satunya. Jangan ditumpuk di satu titik aja.

Erin tidak ingin banyak bersuara, sehingga ia hanya menggunakan anggukan atau dua kata saja ke ibunya.

ERIN
Ya, Bu.
IBU ERIN
Bapak sepeda motornya sudah dipinggirkan, kan?
AYAH ERIN
Udah dari tadi kok, Bu.
IBU ERIN
Yo wis. Oh ya, Pak. Yang genteng depan itu gimana...?

Ia menanyakan dengan was-was, tampak khawatir.

AYAH ERIN
Belum dibetulin, Bu. Tapi udah tak turunkan yang gelantungan itu. Takutnya malah njatuhi orang, malah repot.

Ibu Erin mengangguk, meski belum sepenuhnya merasa tenang.

CUT TO:

EXT. DEPAN RUMAH ERIN - PAGI

Dari bird's eye view, kita melihat genteng rumah Erin yang bolong di bagian ujung depannya. 

MONTAGE

Sementara itu, satu mobil mulai datang, lalu berikutnya, perlahan memenuhi gang rumah Erin yang standar, tidak terlalu lebar itu. Dari mobil, turunlah satu per satu keluarga kakak-kakak dari ibunya. Mereka mengenakan pakaian yang modis dan mentereng, bahkan beberapa ada yang terlalu glamor dengan banyak perhiasan terpamer. 

Dengan cepat bisa diamati bawha Ibu Erin yang menyambut satu per satu di pintu masuk adalah yang berpakaian paling sederhana, hanya blus batik dan rok panjang. Namun di antara mereka semua, Ibu Erin lah yang paling ramah, menyambut mereka dengan penuh kehangatan dan level keceriaan yang tinggi tanpa judgment. 

IBU ERIN
(cipika cipiki)
Mbak Yanti, makasih udah dateng ya... Aduh, udah besar ya, Karina, tambah cantiiik...
(beat)
Monggo, mas Wawan, Mbak, duduk aja santai. Jajan dan minuman sudah siap...

Mbak Yanti hanya bercipika cipiki dan senyum sekali saja, hanya menjawab secukupnya. Begitu pula yang lain saat mereka datang dan masuk. Mereka lebih sibuk mengamati rumah Erin, termasuk gentengnya yang bolong saat masih di teras, dan membisikannya ke suaminya. 

END OF MONTAGE

INT. DAPUR - RUANG MAKAN - PAGI

Kita melihat Erin sedang menyiapkan garnish dan kelengkapan makanan lainnya, sambil menghalau lalat agar tidak mendekati makanan di meja besar. Ia sedang asyik mempersiapkan bawang goreng ketika didengarnya suara agak lirih dari ruang tamu yang hanya terpisah dinding tipis dari ruang makan.

BUDE YANTI (OFF SCREEN)
(berusaha lirih)
Tak pikir sudah direnov, ternyata... Masih jelek.
BUDE ATIKA (OFF SCREEN)
Lha ya, Mbak. Terus mosok kita semua bajunya gini, dia kayak gitu. Kan yoopo yo [gimana ya]... Gak pantes. Ketempatan lho.

Erin seketika terpaku. Ia hanya bisa diam, menggeleng-geleng tak habis pikir pada dirinya sendiri. Tangannya membanting bungkus bawang goreng, hendak berteriak menghentikan obrolan itu, tapi kemudian ia mengatur napas, mengontrol dirinya. 

Tak lama kemudian, ia membawa mangkok bawang goreng dan kecap, dan bergerak cepat ke ruang tamu, di mana obrolan langsung berhenti begitu Erin masuk.

CUT TO:

INT. LORONG DEKAT KAMAR ERIN - PAGI

Saat semua sedang makan pagi dan ngobrol, kita melihat Erin menyusuri lorong dan memasuki kamar untuk mengambil HP-nya. Saat keluar, ia melihat SHINTA (18 tahun), salah satu sepupunya, baru keluar dari kamar mandi, yang letaknya memang berdekatan dengan kamar tidur Erin. 

Shinta tidak menyadari Erin ada di situ. Ia kemudian dengan kesal merapikan rambutnya yang sebagian lengket ke lehernya karena keringat, sambil menggumam kesal.

SHINTA
Ughhh... Ini rumah apa gudang sih, panas banget!

Kemudian Shinta segera pergi melenggang dari situ. Erin hanya diam, mencatat dan mengingat semuanya, sambil berusaha menahan dan mengontrol emosinya. Saat sudah tenang, ia lanjut berjalan.

CUT TO:

INT. RUANG MAKAN - SIANG

Dapur sedang sepi. Semua orang sedang mengobrol di ruang tamu. Para suami di teras, para istri dan anak-anak di dalam. Sementara itu, kita melihat Erin sedang duduk di salah satu kursi meja besar itu, tangannya sedang mengetik di HP-nya dengan cepat. Di depannya, di sela menu makanan, terlihat catatan konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing tempo hari. 

CLOSE UP Kita melihat bahwa Erin sedang mengetik skripsinya di layar HP dengan tulisan kecil-kecil itu. Erin berusaha untuk fokus dan merampungkan beberapa paragraf untuk skripsinya. 

Tak butuh waktu lama sebelum tangan Erin mulai kebas dan ia berusaha melemaskannya bergantian. Kiri, kanan, kiri lagi, kanan lagi. Ia mulai kelihatan tidak kuat untuk lanjut mengetik di layar mungil itu. Akhirnya, Erin pun menghela napasnya dan berhenti. Ia mengeklik Save dan meletakkan HP-nya, mengistirahatkan tangannya. 

Erin sedang menyandarkan tubuhnya di kursi, meregangkan punggungnya yang terasa kaku saat ayahnya berjalan masuk dengan santai, segelas teh di tangannya.

AYAH ERIN
Rin.

Sang ayah duduk di sebelah Erin, yang hanya menyambutnya dengan senyum singkat. Ayahnya memandang wajah Erin yang tampak lelah dan kurang baik-baik saja.

AYAH ERIN
Gimana itu... Lomba fotomu, Rin?

Pertanyaan itu jelas membuka luka hatinya. Alih-alih marah, ia hanya bisa memberikan wajah putus asa, bingun, dan sedih, menunjukkan kerapuhan pada ayahnya.

ERIN
Pak... 
AYAH ERIN
Hmm? Kenapa, nduk...?

Ayahnya menunggu Erin berbicara dengan sabar. Erin mempersiapkan diri untuk mencurahkan uneg-unegnya pada ayahnya. Ia menarik dan menghembuskan nafasnya, mengatur pikiran dan kata-katanya.

CUT TO:

INT. RUANG TAMU - SIANG

Waktu sudah menunjukkan pukul 12. Seluruh keluarga dari sisi ibunya sudah datang. Keluarga dari tiga kakak perempuan, dan satu adik laki-laki dari ibunya sudah hadir di ruang tamu, dengan riuh obrolan dan anak-anak yang bermain memenuhi ruangan. 

Sementara itu, Ibu Erin yang ada di ujung bersiap, memosisikan diri agar duduk menghadap ke seluruh keluarga. Tampak secarik kertas di genggaman tangannya, yang terus dipegang dan diintipnya, seperti jimat keberuntungan sebelum ikut pertandingan. Wajahnya cukup tegang. Erin duduk di sebelahnya, mendampingi ibunya.

ERIN
Udah, Bu. Sekarang aja, udah dateng semua ini. Udah lengkap.

Erin mengelus pundak ibunya untuk mencoba sedikit menenangkan. Ibunya kemudian mengambil mic dan mulai berbicara.

IBU ERIN
Ehm, assalamualaikum--

Tidak ada yang memperhatikan ibunya. Ternyata mic belum menyala. Ibunya pun menyalakannya. Kemudian, suara mic yang menyala dan ditepuk-tepuk pun akhirnya terdengar oleh semua orang dan membuat mereka berhenti berbicara.

IBU ERIN
Cek, cek. 
(beat)
Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh, selamat siang dulur-dulur, mbak-mbak dan mas, keponakan tercinta, semuanya.

Ibunya mencoba tersenyum meski tampak grogi. Kertas 'contekan' itu masih digenggam dengan kuat di tangannya.

IBU ERIN
Ehm. Senang sekali, alhamdulillah, kita semua bisa berkumpul di acara reuni keluarga besar keluarga Almarhum Wariman Imanjaya dalam keadaan sehat wafaliat.

Erin mendengarkan salah bicara 'wafaliat' itu. Ia juga mendengar beberapa tawa yang ditahan dari kerumunan keluarga besar.

IBU ERIN
Maaf, maksudnya sehat walafiat. 
(grogi)
Wah, sampek grogi. Ehm. 
SALAH SATU KELUARGA
(lirih, julid)
Ya gimana, wong kerja cuma rumah tangga...

Suara lirih yang mengejek ibunya terdengar lagi. Erin tidak peduli siapa, tapi ia sudah tidak kuat menyaksikan ini. Ia segera menutupi mic sebelum bicara pelan ke ibunya.

ERIN
Bu, aku terusin aja ya? Ibu grogi banget gini, nanti belibet semua.
IBU ERIN
Iya, sih, Rin. Tapi ini kan--
ERIN
Udah, Bu. Gak apa-apa aku bantu ya?

Erin menenangkan ibunya dengan sentuhan di pundak, lalu mengambil alih mic dari tangan ibunya. Lalu ia meneruskan.

ERIN
Ehm. Selanjutnya, kita sambung dengan doa untuk kelancaran acara silaturahmi ini...

FADE TO:


INT. RUANG TAMU - 5 MENIT KEMUDIAN

ERIN
Sekali lagi, terima kasih untuk saudara-saudara sedulur yang sudah datang ke reuni, yang pertama kalinya diadakan di rumah kami. Kami mohon maaf bila ada kurang berkenan. Semoga silaturahmi kali ini bisa terus mengeratkan persaudaraan kita.

Erin berhenti sejenak. Para anggota keluarga sudah mulai hilang perhatian dan mulai kembali ke kesibukan masing-masing. 

ERIN
(suara lebih tegas & lantang)
Ehm. Satu hal lagi yang ingin aku sampaikan untuk pakde, bude, om tante, dan adik-adik semua.

Ruangan kembali hening, kaget oleh suara Erin yang menjadi lantang.

ERIN
Bude, pakde, adik-adik semua. Ibu, bapak, dan aku udah mempersiapkan acara ini sejak jauh hari. Kami mengupayakan yang terbaik untuk membuat sedulur semua yang datang hari ini nyaman, meski rumah kami tidak besar. Jadi, dengan segala hormat, mohon dihargai dan dihormati.

Kali ini suasana benar-benar hening.

ERIN
Hari ini, aku ketemu dengan budhe pakde semua, aku merasa seneng. Tapi sayangnya, aku masih mendengar adanya suara-suara yang tidak menghormati ibu. 
(beat)
Aku paham ibu berbeda dari para sedulur, yang kesemuanya bekerja dan punya karir. Ibuku seorang Ibu Rumah Tangga. Ibu memang nggak menghasilkan sebanyak budhe dan pakdhe, tapi kontribusinya sama besar dan sama pentingnya ke keluarga. 

Erin kemudian menoleh ke ibunya, penuh dengan rasa syukur.

ERIN
Dan sejauh ini, ibu sama bapak bisa bikin kehidupan yang layak, meski rumah nggak mewah.
(menoleh ke Bude Yanti)
Jadi tolong, sedulur semua. Kalian boleh nggak setuju dengan pilihan ibu jadi IRT, tapi ibu tidak pantas untuk diremehkan. Ibu pantas dihormati dan disayangi.
(beat)
Aku bersyukur banget punya ibu. Selalu ada buat kami, paling ngerti kami, selalu mementingkan kami. Bahkan dulu melepaskan mimpinya jadi balerina. Nih, saking sayangnya saya sama ibu bapak, aku lagi berusaha sekuat tenaga biar lulus kuliah nggak molor, jadi nggak perlu nambah uang semesteran lagi. Aku gak akan mau memberatkan orang tua yang udah susah-susah kuliahin aku. Aku mau hargain kerja keras mereka.

Ketika itu juga, Erin seperti disambar petir, ia merasakan dan menyadari sesuatu, sesuatu yang penting, yang harusnya ia sadari sejak lama....

Namun ia masih menyadari kalo "pidato"-nya belum selesai.

ERIN
Ehm, jadi... Tolong hargai ibu sama seperti aku menghargai ibu.
(beat)
Terima kasih.

Semua masih terdiam saat Erin menutup statement-nya dan undur diri meninggalkan ruangan, tanpa berkata apa-apa lagi ke ibunya atau siapa pun. Ibunya yang kaget hanya bisa memandangi Erin berjalan tergesa-gesa ke kamarnya. 

INT. KAMAR TIDUR ERIN - SIANG

Erin memasuki kamarnya. Perasaannya bergejolak, kaget. Pikirannya seperti dibanjiri oleh informasi-informasi baru yang dia "unlock" secara tidak sengaja saat memberikan pidato tadi. 

Ia bingung mencernanya. Bingung, juga takut...

CUT TO:

INT. RUANG MAKAN - FLASHBACK 1 JAM YANG LALU

Kita kembali ke saat Erin memberikan wajah putus asa, bingun, dan sedih, menunjukkan kerapuhan pada ayahnya.

ERIN
Pak... 
AYAH ERIN
Hmm? Kenapa, nduk...?

Erin mempersiapkan diri untuk mencurahkan uneg-unegnya pada ayahnya. Ia menarik dan menghembuskan nafasnya, mengatur pikiran dan kata-katanya.

ERIN
Passion bapak, apa?

Ayahnya mengernyit, tidak paham.

AYAH ERIN
Passion kui opo? [Passion itu apa?]
ERIN
Kayak, cita-cita yang bapak punya gitu. Karir impian.
AYAH ERIN
Ooo. Apa ya, dulu bapak pengen daftar AD.
ERIN
Lho iya ta, Pak?
AYAH ERIN
Hehe. Iya, tapi nikah sama ibuk bikin berubah pikiran. 
(tersenyum)

Erin yang awalnya kaget lalu ikut tersenyum.

ERIN
Masih kepengen jadi AD nggak Pak?
AYAH ERIN
Enggak, nduk. Udah lalu ya udah lalu.
ERIN
Oh ya, kalo ibu passionnya jadi balerina ya?
AYAH ERIN
Lhaa itu kan dulu. Sekarang ya nggak ada passion-passion-an.
ERIN
Tapi ibuk keliatan hepi hepi aja, Pak? Padahal kan enak kalo misal bisa jadi balerina...

Bapaknya terdiam, bingung ingin jawab apa. Mencoba menyusun kata.

AYAH ERIN
Bapak juga gak tau, Rin, tapi yang bapak tau... ibu cuma pengen keluarganya sehat sejahtera, gak kekurangan, dan selalu rukun. Gak perlu jadi konglomerat atau pejabat, yang penting sehat. Gak perlu jadi ternama atau punya mahakarya, yang penting bahagia.

Jawaban pamungkas ayahnya membuat Erin segera teringat segala hal yang menjadi jati diri ibunya selama ini, yang gak pernah Erin sadari.

...Bahwa ibunya mendedikasikan hidupnya untuk kesejahteraan keluarganya...

...Bahwa ibunya, juga ayahnya, melepaskan impian mereka, dan itu tidak menjadi masalah...

...Bahwa ibu dan ayahnya selama ini bukanlah sedang 'mengalah', tapi justru mewujudkan apa yang menjadi mimpinya...

Karena ternyata... Berkeluarga-lah yang menjadi passion mereka.

FLASHBACK SELESAI


INT. KAMAR TIDUR ERIN - SEKARANG

Erin menitikkan air matanya. Rasanya luar biasa mendapatkan pemahaman ini. Ia merasa bodoh namun tercerahkan di saat yang sama, merasa sedih pun juga senang, ia merasakan semuanya sekaligus. 

Ting! Suara notif chat baru menginterupsi pikiran Erin. Ia segera membukanya.

Idan: Rin, ini kata Beno ada beberapa fotomu yang masih belum kehapus dari kameranya pas kamu balikin kemarin.

Aku kirimin di sini ya.

Idan: mengirim 8 foto.

Saat fotonya dimuat, Erin menutup mulutnya, kaget. Itu adalah foto-foto yang ia ambil saat pertama kali dapat pinjaman kamera dari mas Beno. Foto-foto ibunya yang ia ambil dengan iseng saat sedang mempersiapkan bersih-bersih, tata-tata, sekaligus masak. Meski fotonya banyak blur dan angle-nya tidak bagus, terlihat jelas di semua foto itu bahwa ibunya tersenyum, bahagia melakukan apa yang ia lakukan.

This is it. Ia menyaksikannya sendiri. Erin tak kuasa menahan senyum untuk mengiringi air mata yang masih belum kering di pipinya. 

Jari Erin membalas chat Idan.

Erin: Thank you....!! (emot pelukan) (emot love)

Erin: Oh ya, Dan... Aku butuh satu bantuan lagi...

Pencerahan ini membuatnya mendapatkan energi baru, juga harapan baru. Ia segera mengetikkan balasannya ke Idan dengan semangat. Sedetik kemudian, jawaban Idan membuatnya tersenyum lebih lebar lagi.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar