Erin seperti melihat bayangannya sendiri di cermin!!!
Rambutnya, posturnya sama dengannya. Nadanya lembut, tapi tegas. Suaranya mirip Erin, hanya sedikit lebih berat. Erin mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak bisa memercayai ini. Ia menatap perempuan "kembarannya" itu dari atas ke bawah.
Penampilan "kembarannya" ini langsung mengingatkannya pada pelukis, dengan kaos oblong dan luaran berbentuk apron/overall bahan kain, celana 7/8 santai, dan rambut dikuncir satu dengan beberapa helai rambut pendek yang dirapikan ke belakang telinga. Lebih jelasnya lagi, tangan kirinya memegang palet penuh warna cerah, tangan kanannya memegang kuas. Di depannya, kanvas bercat biru pucat masih ada. Singkatnya, Erin seperti melihat dirinya sendiri menjadi seorang pelukis!
Erin menggeleng-gelengkan kepala, sama sekali tidak mengerti, tidak ingin memikirkan hal aneh-aneh. Ia tidak bisa memilih antara takut atau bingung.
Dengan santai, perempuan di depannya kemudian meletakkan palet dan kuasnya, lalu berdiri, menghampiri Erin. Erin langsung mundur sedikit, masih takut, masih bingung.
Erica mengulurkan tangan kanannya.
Erin makin tidak percaya lagi dengan miripnya nama Erica dengan namanya sendiri. Suaranya pun mirip! Saat menatapnya dari dekat seperti ini, Erin masih merasa dia sedang memandang ke cermin.
Erin menatap uluran tangan Erica, masih takut. Meski wajahnya terlihat cukup ramah, sesuatu dalam diri perempuan di depannya ini terasa aneh.
Erica melihat reaksi Erin beberapa detik, kemudian menurunkan tangannya, tersenyum singkat. Sementara itu, Erin memperhatikan Erica, berusaha mencerna dan memahami semua ini.
Erin kaget, jantungnya sudah berdebar-debar. Hatinya mencelos. Erica hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya dengan casual. Senyumnya bukan seperti senyum Erin.
Perangai dan perilaku Erica, yang terlihat sama namun juga tidak sama dengan dirinya ini membuat Erin bingung. Erin berusaha mencerna semua ini.
Bagaimana bisa ada orang yang sama persis dengan dirinya??!
Erin bergerak perlahan, memutar mengelilingi Erica, ingin mendapatkan keseluruhan gambaran, dan mungkin menemukan alasan logis dari ketidaklogisan di depannya ini.
Erica terasa ramah dan kasual, tapi juga entah kenapa bikin bulu kuduk Erin berdiri. Perempuan ini tidak hanya mirip, tapi SAMA PERSIS dengan dirinya. Yang membedakan mereka hanyalah, sejauh ini, Erica terlihat lebih dewasa, tenang, berbeda dengan Erin yang bersemangat, ceria, reaktif.
Ditambah lagi, Erin saat ini juga kebingungan dan sedikit takut. Entah kenapa Erica tampak sangat tenang.
Ia menggelengkan kepalanya lagi, mengusir pikiran itu.
Erica mengangkat bahunya, lalu tersenyum, ekspresinya seperti ketahuan. Erin menghembuskan napas, sebagian ketegangan dan rasa takutnya pada Erica seakan terlepas.
Erica tersenyum dan menaikkan alisnya dengan gaya yang sama dengan Erin, dan Erin pun seperti melihat dirinya sendiri. Sebelum Erin kembali bingung, Erica melanjutkan bicara.
Erica menunggu Erin melanjutkan. Yang ditunggu enggan menjawab, hanya membuat gerakan tidak jelas, seakan-akan jawabannya adalah suatu hal yang tabu.
Erin langsung terkesiap, terkejut akan letupan batinnya yang baru kali ini tertuang dalam kata-kata. Erica juga sama kagetnya.
Sebelum Erin sempat merespon, Erica menunjuk ke kursi tempat Pak Galih melukis.
ERICA
Oke, Rin. Kita langsung mulai aja.
Erin memandang Erica sekali lagi, masih belum 100% mencerna keberadaan dan kemiripannya, sebelum akhirnya duduk di kursi Pak Galih. Diletakkannya kameranya di meja kecil di dekatnya. Erica kemudian menyeret kursi stool di dekatnya dan mengambil posisi di sebelah Erin.
Diambilnya palet dan diserahkannya pada Erin. Erin kemudian mengambil kuas dengan tangan kanannya, dan palet dengan tangan kirinya.
Erin menatap kanvas bersapu warna biru muda itu, dan masih bingung.
Jawaban Erica membuat Erin lebih tenang. Ia kemudian mencolekkan kuas bersihnya ke palet, ke cat warna hijau tua. Meski dengan agak ragu, Erin kemudian membawa kuasnya ke kanvas dan membuat garis vertikal dari tengah ke bawah.
Erin kemudian perlahan-lahan melanjutkan dengan garis-garis vertikal serupa di kiri-kanannya, sementara Erica terus mengamati.
Mereka berbagi tatapan. Erin terlihat lebih rileks, dan Erica tersenyum lebar.
Daun-daun dari tiap batang yang dilukis Erin mulai tampak. Gambaran Erin sangat basic, hanya seperti goresan-goresan yang kurang membentuk. Erica terus memperhatikan, kemudian sesekali diamatinya Erin dari samping.
Sambil mencolek cat dari palet, Erin menggeleng-gelengkan kepalanya, menertawakan dirinya.
Erica tertawa kecil.
Erin melanjutkan. Kini ia menorehkan cat hijau muda di figur pepohonan rimbun hijau tua yang hampir memenuhi separuh kanvas, menampakkan bentuk pohon yang tidak terlalu jelas, saking banyak dan bertumpuk-tumpuknya. Erica melihat sejenak lukisan itu, tapi kemudian kembali ke Erin.
Wajah Erin bingung antara percaya atau tidak. Ia kemudian lanjut membuat goresan-goresan hijau muda.
Mulutnya seperti ingin bicara, tapi masih ragu. Dan ia tidak berani memandang Erica. Akhirnya ia hanya menaikkan bahunya, dan melanjutkan melukis. Kali ini ia menyapukan warna cokelat di bagian bawah barisan pohon.
Erica tersenyum.
Erin menurunkan kedua tangannya, menghembuskan napas, dan menimbang sejenak. Ia menatap lukisannya yang terlihat tidak terlalu rapi, tidak juga detail. Warna hijau tua yang semestinya jadi pepohonan malah jadi seperti gumpalan hijau yang saling menumpuk, tidak terlihat bentuk pohonnya. Ia tampak sedih, kemudian tertawa singkat, sarkas.
Wajah Erin muram, karena ia tahu artinya ini bukan passionnya. Erica memberikan senyum menghibur, lalu memegang lengan Erin.
Mimik wajah Erin masih tidak yakin.
Erin menimbang-nimbang. Menatap lukisannya lagi.
Erica tersenyum lebar, senang, dan mencubit lengan Erin sebagai 'tanda terima kasih'.
Cubitan itu tidak sakit, tapi juga tidak bisa dibilang ringan.
Erin cukup kaget memikirkan bahwa cubitan ini mirip sekali dengan kebiasaannya sendiri untuk mencubit. Ia memberikan senyum singkat, berusaha mengusir pikiran aneh-aneh.
Ia berdiri, mengambil dan mengalungkan kameranya, dan segera mencari bidikan yang tepat.
POV VIEWFINDER ERIN: Ia mencari angle dan bidikan yang pas, berusaha menempatkan lukisannya di posisi menggunakan rule of third. Posisi didapatkan.
EXTREME CLOSE UP kita melihat jari telunjuk Erin MENEKAN TOMBOL SHUTTER. *KLIK!*
BLITZ yang sama seperti tadi memenuhi layar hingga putih total, lalu memudar dan kembali seperti sebelumnya. Dan suasana pun berubah lagi, kembali ke seperti sebelum blitz pertama.
De javu. Erin merasakan perubahan ini lagi untuk kedua kalinya hari ini. Ia langsung menoleh ke kiri kanan.
Erica tidak tampak!!
Suara Idan berasal dari belakang Erin. Saat menoleh, Erin baru sadar bahwa dari tadi Idan tidak ada. Ia menahan napasnya, berusaha mencerna keanehan apa lagi ini.
Kali ini Idan yang bingung.
Erin bergerak untuk melihat ke lorong, kiri, kanan. Nihil.
Ia mulai panik. Suaranya yang mulai terdengar ketakutan pun terpotong oleh kedatangan Pak Galih.
Beliau meletakkan nampan dengan 2 gelas teh dan satu teko ukuran kecil yang mengepulkan asap, lengkap dengan aroma tehnya. Erin kaget, agak melotot dan masih speechless di depan Pak Galih.
Erin mengumpulkan keberanian untuk menanyakan.
Erin melotot. Nggak mungkin. Dia speechless, hanya bisa menoleh ke Idan, kembali ke Pak Galih, dan ke posisi terakhir Erica.
Tangan Erin langsung memegangi pelipisnya yang berdenyut. Kali ini ia yang mempertanyakan kewarasannya sendiri. Idan segera membawa Erin duduk di kursi, menggosok-gosok lengan Erin dengan lembut untuk menenangkan.
Pak Galih pun tersenyum maklum. Idan kemudian menoleh ke Erin, mulai khawatir.
Erin ingin menjelaskan lebih lanjut, tapi ia hanya menghasilkan wajah speechless.