Jendela Bidik
3. Erica
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Erin seperti melihat bayangannya sendiri di cermin!!! 

Rambutnya, posturnya sama dengannya. Nadanya lembut, tapi tegas. Suaranya mirip Erin, hanya sedikit lebih berat. Erin mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak bisa memercayai ini. Ia menatap perempuan "kembarannya" itu dari atas ke bawah. 

Penampilan "kembarannya" ini langsung mengingatkannya pada pelukis, dengan kaos oblong dan luaran berbentuk apron/overall bahan kain, celana 7/8 santai, dan rambut dikuncir satu dengan beberapa helai rambut pendek yang dirapikan ke belakang telinga. Lebih jelasnya lagi, tangan kirinya memegang palet penuh warna cerah, tangan kanannya memegang kuas. Di depannya, kanvas bercat biru pucat masih ada. Singkatnya, Erin seperti melihat dirinya sendiri menjadi seorang pelukis!

Erin menggeleng-gelengkan kepala, sama sekali tidak mengerti, tidak ingin memikirkan hal aneh-aneh. Ia tidak bisa memilih antara takut atau bingung.

ERIN
Hah… Lho… Heh… Kamu… siapa..???!!! Dari mana---???

Dengan santai, perempuan di depannya kemudian meletakkan palet dan kuasnya, lalu berdiri, menghampiri Erin. Erin langsung mundur sedikit, masih takut, masih bingung. 

PEREMPUAN
Halo, Erin. Aku Erica.

Erica mengulurkan tangan kanannya.

Erin makin tidak percaya lagi dengan miripnya nama Erica dengan namanya sendiri. Suaranya pun mirip! Saat menatapnya dari dekat seperti ini, Erin masih merasa dia sedang memandang ke cermin.

Erin menatap uluran tangan Erica, masih takut. Meski wajahnya terlihat cukup ramah, sesuatu dalam diri perempuan di depannya ini terasa aneh.

Erica melihat reaksi Erin beberapa detik, kemudian menurunkan tangannya, tersenyum singkat. Sementara itu, Erin memperhatikan Erica, berusaha mencerna dan memahami semua ini. 

ERIN
Kamu... Siapa sih? Anaknya Pak Galih?? Tapi kok---
ERICA
Mirip sama kamu?

Erin kaget, jantungnya sudah berdebar-debar. Hatinya mencelos. Erica hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya dengan casual. Senyumnya bukan seperti senyum Erin. 

ERICA
Aku di sini cuma mau bantu kamu.

Perangai dan perilaku Erica, yang terlihat sama namun juga tidak sama dengan dirinya ini membuat Erin bingung. Erin berusaha mencerna semua ini. 

Bagaimana bisa ada orang yang sama persis dengan dirinya??!

Erin bergerak perlahan, memutar mengelilingi Erica, ingin mendapatkan keseluruhan gambaran, dan mungkin menemukan alasan logis dari ketidaklogisan di depannya ini. 

Erica terasa ramah dan kasual, tapi juga entah kenapa bikin bulu kuduk Erin berdiri. Perempuan ini tidak hanya mirip, tapi SAMA PERSIS dengan dirinya. Yang membedakan mereka hanyalah, sejauh ini, Erica terlihat lebih dewasa, tenang, berbeda dengan Erin yang bersemangat, ceria, reaktif. 

Ditambah lagi, Erin saat ini juga kebingungan dan sedikit takut. Entah kenapa Erica tampak sangat tenang.

ERIN
Masa aku punya kembaran...? Nggak, nggak.

Ia menggelengkan kepalanya lagi, mengusir pikiran itu.

ERICA
Oh, ya. Aku denger kamu lagi nyari... referensi untuk lomba foto?
ERIN
Iya. Eh, kamu tau dari mana soal itu?
(memicingkan mata)
Berarti kamu udah ada di sini dari tadi?

Erica mengangkat bahunya, lalu tersenyum, ekspresinya seperti ketahuan. Erin menghembuskan napas, sebagian ketegangan dan rasa takutnya pada Erica seakan terlepas.

ERIN
Yaelah. Kenapa Pak Galih gak ngenalin sih?
ERICA
Yaudah lah. Yang penting kan kita udah ketemu.

Erica tersenyum dan menaikkan alisnya dengan gaya yang sama dengan Erin, dan Erin pun seperti melihat dirinya sendiri. Sebelum Erin kembali bingung, Erica melanjutkan bicara.

ERICA
Jadi, tema lombanya apa?
ERIN
Emm. My Passion. 
ERICA
Hmm. Passion. Dan kamu ke sini karena... 

Erica menunggu Erin melanjutkan. Yang ditunggu enggan menjawab, hanya membuat gerakan tidak jelas, seakan-akan jawabannya adalah suatu hal yang tabu.

ERICA
... karena kamu nggak tau passionmu?
ERIN
Well, kalo tau ngapain aku sampe pake bucket list untuk nyari inspirasi sampe sebegininya, Erica?!

Erin langsung terkesiap, terkejut akan letupan batinnya yang baru kali ini tertuang dalam kata-kata. Erica juga sama kagetnya.

ERICA
Um, oke. Oke. 
(berpikir sejenak)
Itu artinya kamu sudah on track, di jalan yang tepat. Dan kamu ketemu orang yang tepat.
(tersenyum)

Sebelum Erin sempat merespon, Erica menunjuk ke kursi tempat Pak Galih melukis.

ERICA

Oke, Rin. Kita langsung mulai aja. 

Erin memandang Erica sekali lagi, masih belum 100% mencerna keberadaan dan kemiripannya, sebelum akhirnya duduk di kursi Pak Galih. Diletakkannya kameranya di meja kecil di dekatnya. Erica kemudian menyeret kursi stool di dekatnya dan mengambil posisi di sebelah Erin.

Diambilnya palet dan diserahkannya pada Erin. Erin kemudian mengambil kuas dengan tangan kanannya, dan palet dengan tangan kirinya.

Erin menatap kanvas bersapu warna biru muda itu, dan masih bingung.

ERIN
Ini aku gambar apa...? Bunga?
ERICA
Apa aja, bebas. Gak harus kayak Pak Galih, kok.

Jawaban Erica membuat Erin lebih tenang. Ia kemudian mencolekkan kuas bersihnya ke palet, ke cat warna hijau tua. Meski dengan agak ragu, Erin kemudian membawa kuasnya ke kanvas dan membuat garis vertikal dari tengah ke bawah.

Erin kemudian perlahan-lahan melanjutkan dengan garis-garis vertikal serupa di kiri-kanannya, sementara Erica terus mengamati.

ERICA
Coba kutebak. Hutan?
ERIN
Iya. Hahaha.

Mereka berbagi tatapan. Erin terlihat lebih rileks, dan Erica tersenyum lebar. 

Daun-daun dari tiap batang yang dilukis Erin mulai tampak. Gambaran Erin sangat basic, hanya seperti goresan-goresan yang kurang membentuk. Erica terus memperhatikan, kemudian sesekali diamatinya Erin dari samping.

ERICA
Tadi kamu bilang, ada bucket list? Hmh. Masih jaman, ya, itu...
ERIN
(tertawa kecil)
Itu bukan bucket list, sih. Lebih ke... Pekerjaan keren yang pengen aku coba. Kayak, "Hmm jadi A kayaknya seru. Jadi B kayaknya keren," gitu. Dan aku bikinnya pas SMA. You know, lah, jaman-jaman iseng...

Sambil mencolek cat dari palet, Erin menggeleng-gelengkan kepalanya, menertawakan dirinya.

ERICA
(mengangguk-angguk)
Tapi sekarang jadi penting. 
ERIN
(mengangkat bahunya)
Daripada gak ada inspirasi sama sekali, kan? Haha.

Erica tertawa kecil.

ERICA
Kamu nulis apa aja emang, di bucket listmu?
ERIN
Random sebenernya. Pelukis, bos perusahaan, interpreter, sutradara, macem-macem...
(tersenyum sendiri)
Kalo dibaca lagi sekarang, ternyata masih penasaran juga. Gimana rasanya jadi semua itu.

Erin melanjutkan. Kini ia menorehkan cat hijau muda di figur pepohonan rimbun hijau tua yang hampir memenuhi separuh kanvas, menampakkan bentuk pohon yang tidak terlalu jelas, saking banyak dan bertumpuk-tumpuknya. Erica melihat sejenak lukisan itu, tapi kemudian kembali ke Erin.

ERICA
Menarik juga daftarmu.
(beat)
Kalo kamu masih penasaran, berarti mungkin banget passionmu ada di bucket list itu, Rin.
ERIN
(menoleh ke Erica)
Oh ya?
ERICA
Why not? Siapa tau emang ada profesi yang cocok. Profesi yang emang jodohmu.

Wajah Erin bingung antara percaya atau tidak. Ia kemudian lanjut membuat goresan-goresan hijau muda.

ERIN
Entahlah, ya... Selama ini agak males mikirin passion-passion-an. Udah sering denger sih orang bahas itu, katanya itu kebahagiaan kita, tapi... Rasanya jadi kayak tekanan.

Mulutnya seperti ingin bicara, tapi masih ragu. Dan ia tidak berani memandang Erica. Akhirnya ia hanya menaikkan bahunya, dan melanjutkan melukis. Kali ini ia menyapukan warna cokelat di bagian bawah barisan pohon.

ERICA
Tekanan gimana?
ERIN
Kayak kita semua harus punya. Harus nemu. Aku sebenernya heran, emangnya sebagus apa sih passion ini, kok sampe segitunya? Selama ini aku hidup tanpa passion juga fine-fine aja.
(agak kesal)

Erica tersenyum.

ERICA
Kalo menurutku ya, passion tuh sesuatu yang kita sukai dan enjoy melakukannya. Dan biasanya jadi jago, dan bisa jadi karir kita seterusnya. 
(beat)
Kayak misal sekarang kan kamu ngelukis. Enjoy gak? Seneng gak? Kalo iya, kemungkinan besar ini passionmu.

Erin menurunkan kedua tangannya, menghembuskan napas, dan menimbang sejenak. Ia menatap lukisannya yang terlihat tidak terlalu rapi, tidak juga detail. Warna hijau tua yang semestinya jadi pepohonan malah jadi seperti gumpalan hijau yang saling menumpuk, tidak terlihat bentuk pohonnya. Ia tampak sedih, kemudian tertawa singkat, sarkas.

ERIN
Lukisan gak jelas tujuannya apa gini masak passionku?
ERICA
Tapi kamu enjoy gak ngelukisnya?
ERIN
(mengangkat bahunya)
Biasa aja sih. 

Wajah Erin muram, karena ia tahu artinya ini bukan passionnya. Erica memberikan senyum menghibur, lalu memegang lengan Erin.

ERICA
It's okay, Rin. Kita pasti akan nemuin passionmu apa.
ERIN
Kita?
ERICA
Iya. Aku bisa bantu kamu...

Mimik wajah Erin masih tidak yakin.

ERICA
... Kalo kamu mau. Hehe. 

Erin menimbang-nimbang. Menatap lukisannya lagi.

ERIN
Hmmmh. Oke, setidaknya buat lomba ini lah.

Erica tersenyum lebar, senang, dan mencubit lengan Erin sebagai 'tanda terima kasih'. 

ERIN
Aw~

Cubitan itu tidak sakit, tapi juga tidak bisa dibilang ringan.

Erin cukup kaget memikirkan bahwa cubitan ini mirip sekali dengan kebiasaannya sendiri untuk mencubit. Ia memberikan senyum singkat, berusaha mengusir pikiran aneh-aneh.

ERIN
Eh, iya! Hampir lupa! Aku harus potret ini. Walaupun gak dipake, setidaknya bisa buat latian motret.

Ia berdiri, mengambil dan mengalungkan kameranya, dan segera mencari bidikan yang tepat.

ERICA
Kamu nggak mau nyelesein lukisannya dulu, Rin?
ERIN
(sambil mencari bidikan)
Nggak, deh. Males.

POV VIEWFINDER ERIN: Ia mencari angle dan bidikan yang pas, berusaha menempatkan lukisannya di posisi menggunakan rule of third. Posisi didapatkan.

ERIN
Mending lanjut ke bucket list nomer dua...

EXTREME CLOSE UP kita melihat jari telunjuk Erin MENEKAN TOMBOL SHUTTER. *KLIK!*

BLITZ yang sama seperti tadi memenuhi layar hingga putih total, lalu memudar dan kembali seperti sebelumnya. Dan suasana pun berubah lagi, kembali ke seperti sebelum blitz pertama. 

De javu. Erin merasakan perubahan ini lagi untuk kedua kalinya hari ini. Ia langsung menoleh ke kiri kanan.

Erica tidak tampak!!

ERIN
Erica...??
IDAN
Rin??

Suara Idan berasal dari belakang Erin. Saat menoleh, Erin baru sadar bahwa dari tadi Idan tidak ada. Ia menahan napasnya, berusaha mencerna keanehan apa lagi ini.

ERIN
Loh... Idan? Dan! Kamu--kamu dari tadi kemana aja sih??? 

Kali ini Idan yang bingung.

IDAN
Gak kemana-mana lah. 
ERIN
Hah, gak mungkin! Terus, dia ke mana coba...?

Erin bergerak untuk melihat ke lorong, kiri, kanan. Nihil.

IDAN
Rin, aku dari tadi di sini. Terus, dia itu siapa...??
ERIN
Erica. Masa kamu gak papasan sama dia---?
IDAN
Erica?? Rin, dari tadi cuma kita berdua kali.
(menatap Erin bingung)
Kamu kenapa sih? Kok--?
ERIN
No no no. Dan. Kamu pasti liat Erica. Dia barusan aja masih ada di sini. 
(menunjuk lokasi terakhir Erica)
Gak mungkin ngilang gitu aja! Tadi aku cuma motret bentar--

Ia mulai panik. Suaranya yang mulai terdengar ketakutan pun terpotong oleh kedatangan Pak Galih.

PAK GALIH
Monggo, Mbak Erin dan mas Idan... Ini tehnya...

Beliau meletakkan nampan dengan 2 gelas teh dan satu teko ukuran kecil yang mengepulkan asap, lengkap dengan aroma tehnya. Erin kaget, agak melotot dan masih speechless di depan Pak Galih.

PAK GALIH
Kenapa, Mbak Erin?

Erin mengumpulkan keberanian untuk menanyakan.

ERIN
Pak... em, tadi saya ketemu anaknya cewek...
PAK GALIH
Anak wedok?? Lah. 
(tertawa heran)
Saya gak punya anak wedok, mbak. Anak saya cowok cuma satu, sudah 3 tahun kerja di Malang.

Erin melotot. Nggak mungkin. Dia speechless, hanya bisa menoleh ke Idan, kembali ke Pak Galih, dan ke posisi terakhir Erica.

ERIN
Tapi--nggak, nggak. Tadi tuh dia ada di---

Tangan Erin langsung memegangi pelipisnya yang berdenyut. Kali ini ia yang mempertanyakan kewarasannya sendiri. Idan segera membawa Erin duduk di kursi, menggosok-gosok lengan Erin dengan lembut untuk menenangkan.

IDAN
(ke Pak Galih)
Kayaknya dia kecapekan, Pak.

Pak Galih pun tersenyum maklum. Idan kemudian menoleh ke Erin, mulai khawatir. 

IDAN
(berbisik)
What's wrong with you?

Erin ingin menjelaskan lebih lanjut, tapi ia hanya menghasilkan wajah speechless.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar