Cintai Cinta
10. Surat Wasiat untuk Rean


56. INT. COFFEE SHOP – MALAM

Di sebuah kafe, tampak Yura dan Rean sedang menikmati minumannya masing-masing. Rean dengan cappucino, dan Yura menyedot segelas jus strawberry. Sepotong tiramisu terhidang di depan Yura. Rean terlihat masih bersikap tak ramah kepada Yura. Yura membuka percakapan sambil menyuapkan tiramisu ke mulutnya.


YURA

Re, aku penasaran dengan sikapmu sama Cinta. Kamu seakan mengistimewakan dia. Apa-apa selalu Cinta yang diutamakan daripada aku, eh maksudku staf kamu yang lain.


Rean tak menanggapi. Yura menghentikan suapannya, lalu menghela napas untuk mengatur perasaannya.


YURA (CONT’D)

Re, kamu kan sudah tau, Cinta itu ternyata adik satu ayah denganku. Jadi aku berhak tau apa yang terjadi padanya. Mulai sekarang, mungkin aku harus mengubah sikap dan lebih care sama dia.


Rean agak tergerak mendengar ucapan Yura. Rean sedikit terbatuk-batuk untuk memulai bicara.


REAN

(tetap dingin)

Aku berhutang sesuatu sama Cinta, dan harus kubayar dengan memenuhi apa pun yang dia inginkan.


Yura terhenyak. Ia menatap dalam-dalam mata Rean yang mulai gelisah dan murung. Rean berkali-kali menyeka keringat di dahinya dengan saputangan.


YURA

Maksudmu? Kamu,D ada apa dengan Cinta? Emh, sorry! Kayak judul film aja. Hehe ...


REAN

(ngambang)

Meski aku tahu, usahaku ini tak akan mampu menghilangkan rasa bersalahku sampai kapan pun. Kecuali, dia benar-benar mau memaafkan. Tapi kurasa itu nggak mungkin


YURA

Re, ada apa sebenarnya di antara kalian? Kalau kamu mau, bicaralah! Anggap aku sebagai teman. Aku gak apa-apa.


Yura penasaran namun Rean tak memberikan alasannya. Mata Yura seolah mencari-cari jawaban dalam sorot mata Rean yang dingin. Sesaat kemudian, Yura terbatuk-batuk sambil memegang dadanya. Napasnya seperti sesak dan menahan sakit. Rean mengambil botol air mineral, lalu menyerahkannya pada Yura.


YURA

Kita pulang Re. Tolong antarkan aku ke apartemen. Akhir-akhir ini dadaku suka sakit banget!


REAN

Gak mau ke dokter?


Yura menggeleng lemah.


REAN (CONT'D)

Kamu juga sekarang semakin kurusan.


YURA

Makasih, Re. Ternyata kamu masih perhatian juga.


Rean tak menjawab. Ia berdiri dengan malas-malasan membantu Yura bangkit. Mereka beranjak dari kursi kafe. Yura tampak berjalan sambil menahan dadanya. Rean membiarkan Yura memegang tangannya kuat-kuat.


CUT TO:


57. INT. RUMAH REAN - MALAM

Pak Bim masuk diikuti dua orang tamu lelaki separuh baya. Mereka adalah Notaris dan pengacara keluarga Rean. Mereka bersalaman dengan Rean, Om Tomy dan Tante Vina. Mereka kemudian duduk mengelilingi meja tamu, mengeluarkan beberapa map dari kopor kecil.


PENGACARA

Sesuai kesepakatan dengan kedua almarhum sebelum mereka meninggal, kami akan membuka dan membacakan surat wasiat dan warisan ayah ibu Rean yang dititipkan kepada kami.


NOTARIS

Baiklah, di surat ini telah dijelaskan bahwa Saudara Rean selaku anak kandung almarhum dan almarhumah, akan mendapatkan beberapa aset berupa rumah, apartemen, mobil, perusahaan dan beberapa investasi. Selebihnya, akan menjadi milik anak-anak yatim piatu. Namun, ada satu wasiat paling berharga untuk Saudara Rean yang berada di sebuah perkampungan.


Semua saling pandang. terutama ekspresi tak puas dari Om dan Tantenya.


REAN

Maksudnya, masih ada harta yang berada di kampung? Pasti tanah, sawah, atau kebun. Bisa kan kalau kita jual aja langsung?


PENGACARA

Sesuai perjanjian, kamu harus melihatnya sendiri ke lokasi. Tanpa tawar menawar, karena ini penting sekali.


Rean berdecak kesal. Om dan Tantenya langsung menyahut.


TANTE VINA

Gak apa-apa Re. Kami akan menemanimu ke sana. Jangan khawatir.


PENGACARA

Mohon maaf. Di perjanjian, yang mendampingi Saudara Rean hanya kami dari tim pengacara keluarga, serta Pak Bim, saksi dari pihak keluarga.


Om Tomy dan Tante Vina langsung terdiam, namun sesaat kemudian memperlihatkan ketidkpuasan dengan mulut bersungut-sungut.


CUT TO:


58. EXT. PERJALANAN MENUJU KAMPUNG – SIANG

Dalam kendaraan, Rean ditemani Pak Bim dan kedua orang hukum itu menuju kampung yang disebutkan di surat wasiat. Kendaraan melewati jalan berkelok dengan pemandangan sawah dan perkebunan teh di sepanjang perjalanan kawasan Bandung Selatan.


REAN

Pak Bim tahu, kenapa Papa membeli tanah di perkampungan gini, sih? Apa keuntungannya? Berapa ribu hektar, sih?


PAK BIM

(menahan geli)

Memangnya Bapak-Bapak pengacara sudah menjelaskan asetnya berupa tanah? Bukan, Den. Tapi ... em, nanti saja kalau sudah sampai. Pasti nanti Aden akan tahu sendiri.


REAN

Bukan tanah? Berarti, kalau daerah sini setahuku banyak yang investasi ternak sapi, perkebunan teh, atau sayuran.


PAK BIM

Ah, nanti Aden lihat sendiri deh! Pokoknya supris!


REAN

Surprise!


Kedua tim pengacara ikut tersenyum mendengar percakapan Rean dan Pak Bim.


CUT TO:


59. INT. RUMAH KAMPUNG – SIANG


ESTABLISHING SHOT: suasana perkampungan.


Di sebuah rumah sederhana, mobil berhenti. Rean dan yang lainnya turun dari mobil. Rean memperhatikan sekeliling rumah dan halaman yang tak begitu luas dengan tatapan kebingungan. Sepasang suami istri yang sudah lanjut usia menyambut kedatangan mereka dan langsung diajak masuk rumah.


CUT TO:


60. INT. RUMAH KAMPUNG – SIANG

Suami istri itu diperkenalkan Pengacara. Mereka menyalami Rean dan Pak Bim dengan senyum ramah.


REAN

Rean.


PAK NANANG

Saya Pak Nanang dan ini istri saya, Bu Esih.


Bu Esih maju menyalami tamunya dengan senyum malu-malu khas wanita desa.


PAK BIM

(sedih)

Lami pisan teu ngalongok-longok deui ka dieu. Dari sebelum Bapak meninggalkan kita. Sudah lama sekali!


Pak Bim menyalami Pak Nanang seperti sudah mengenal baik. Rean melirik aneh ke arah Pak Bim.


PAK NANANG

Nyaeta atuh, Pak Bim! Lama nggak ada berita, datang-datang mawa berita pikasediheun! Ambuna, mana cai jeung lalawuhna? sok kadieukeun!


Bu Esih segera beranjak ke dapur setelah diperintah Pak Nanang untuk membawa minum dan suguhan. Setelah mereka duduk, pengacara dan notaris mulai membuka tas berisi beberap map.


PENGACARA

Kita langsung mulai saja karena waktu yang sangat terbatas. Masih ada klien yang menunggu kami di Bandung.


Bu Esih datang kembali dengan nampan berisi beberapa gelas minuman dan sepiring kue. Ia pun ikut duduk di samping suaminya.


PENGACARA

Seperti yang sudah kami sampaikan kemarin, bahwa ada surat wasiat yang belum dibacakan karena harus membawa Saudara Rean ke tempat ini.


Semua yang hadir tampak serius mendengarkan dan menunggu Pengacara melanjutkan perbicaraan.


PENGACARA (CONT’D)

Di surat ini, dijelaskan bahwa Saudara Brahma Wiguna selaku ayah kandung Saudara Rean, menyatakan dirinya telah menitipkan seorang anak perempuan kepada pasangan suami istri bernama Nanang dan Esih, yang juga sebagai kakek dan nenek dari anak perempuan tersebut.


REAN

(memotong)

Apa hubungannya wasiat Papa dengan orang-orang yang tak pernah kukenal sebelumnya ini? Mereka ini siapa? Dan anak perempuan itu ...


PAK BIM

Sssttt!!


Rean melirik Pak Bim yang juga sedang menatap Rean. Rean seperti ingin menanyakan ketidakpahamannya, namun Pak Bim memberi isyarat untuk tetap fokus ke pengacara.


PENGACARA

Anak perempuan bernama RENATA PUTRI WIGUNA adalah putri dari seorang ibu bernama Anisa, yang telah meninggal saat melahirkan putrinya tersebut. Dan Saudara Brahma Wiguna telah menitipkan anak itu kepada kakek dan neneknya untuk dirawat dan dibesarkan hingga saatnya putranya bernama Rean Adithama Wiguna diberi tahu dan mengambil hak asuh anak tersebut, karena Saudara Rean adalah satu-satunya saudara sedarah. Dengan demikian, surat ini ...


REAN

Tunggu! Stop!


Semua langsung terdiam mendengar Rean memotong pembacaan surat oleh pengacara.


REAN (CONT’D)

Jangan bilang bahwa anak perempuan itu adalah putri Papi dari perempuan yang disebutkan di surat tadi. Aku nggak akan percaya! Kalian pasti sudah merencanakan sesuatu untuk membodohiku!


PENGACARA

Tenang dulu, Re. Semua sudah jelas tertulis di surat ini. Ditanda tangani Papa dan Mamamu, serta dua saksi sah secara hukum.


REAN

(terkejut)

Mama? Bercanda kalian! Tak mungkin Mamaku ikut-ikutan! Gak masuk akal! (beat) Pak Bim! Apa maksudnya ikut-ikutan sekongkol dengan mereka?


Baru saja Pak Bim mau membuka mulut, saat itu datang seorang gadis kecil berambut panjang dan bermata bening dengan memakai seragam SD. Semua terpana menatap RENATA, termasuk Rean yang tak berkedip menatap.


CUT TO:


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar