11. Skena 11 Tak ada Manis dan Tak ada Pahit
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Latar : Rumah Paijo

Waktu : Pagi Hari

Suasana : Riuh, hujan rintik-rintik

Hujan belum reda, meski pagi sudah menjelang. Paijo dan Asih terlihat bangun bersamaan di bangku ruang tamu daripada tidur dikamar.

Bejo terlihat bangun, ia memegangi kepalanya, lalu tidur lagi.

Orang-orang mulai panik dan memukul kentongan berulang kali.

Paijo terbangun dan berjalan keluar dari rumah.

Latar : Jalanan Kampung.

Seseorang berteriak-teriak bingung. Wajah mereka juga terlihat nelangsa.

Paijo

"Ada apa pak?"

Seseorang

"Banjir mas. Sawah, banjir."

Paijo terkejut.

Seseorang

"Masnya sawahnya dimana?"

Paijo

"Tepi sungai mas."

Seseorang

"Aduh, sekitar situ yang banjir mas."

Paijo langsung berlari mengunjungi sawahnya. berjibaku dengan lumpur jalanan, ia tetap saja berlarian kesana.

Ketika sampai ternyata benar. Air menggenangi tinggi, permukaan sawahnya. Tak ada yang bisa dilakukannya, ia menjongkok dan menyesal. Ia kecewa, sangat kecewa.

Sawah salam juga begitu, tapi Salam berdiri tenang disampingnya.

Salam

"Bagaimana mas, sawahmu?"

Paijo hanya diam.

Salam

"Beginilah. Air keruh ini menghapus mimpi kita."

Salam tertawa.

Paijo hanya diam lagi.

Ia terlihat sangat menyesal dengan itu.

Mas Bambang menghampiri mereka berdua.

Bambang

"Sawahmu yang mana mas?" (tanyanya pada Salam yang sedang berdiri)

Salam

"Itu" (menunjuk sawahnya)

Bambang

"Kalau kamu mas?" (pada Paijo)

Salam

"Itu, sampingku." (salam menunjuk sawa Paijo)

Bambang berkacak pinggang terheran-heran dengan itu. Ia ternganga.

Salam

"Sawahmu dimana mas?"

Bambang

"Itu" (tunjuknya pada sawah yang masih asri, dan tidak tersapu air bah.)

Salam

"Beruntung kamu mas."

Bambang

"Tidak, mungkin besok sawahku juga kena. Jika hujan terus-terusan begini"

Salam

"Tapi sekarang, hujan tak begitu deras."

Bambang

"Semoga saja."

Salam

"Semoga saja mas. Semoga doa mantan maling seperti aku ini dikabulkan"

Bambang

(sambil tertawa) "Amiin. Terimakasih."

Paijo masih berjongkok dan bingung.

Bambang juga ikut jongkok disampingnya.

Bambang

"Kenapa mas?" (sambil menepuk pundaknya dan memijitnya)

Paijo

(sambil mengusap-usap keningnya bingung) "Aku tak tahu mas. Harus bagaimana lagi."

Bambang

"Iya, sabar. Aku tahu."

"Kau tahu. Aku menabung besar-besaran ketika aku sampai disini. Sejak tiga tahun lalu."

Bambang tertawa mengingat masa lalunya.

Bambang

"Kau tahu, apa yang kubuat dengan tabunganku?"

Paijo hanya diam saja, ia menggeleng-gelengkan seperlunya.

Bambang

"Kami menyebutnya pergi haji. Haha (Mas Bambang tertawa)."

"Iya, uang tabungan itu untuk ke Jawa. Untuk bergaya. Kemarin di Pasar Malam, aku bertemu kamu. Itu uang tabunganku, untuk pulang."

Paijo semakin diam. Ia mengusap-usap matanya.

Bambang

"Aku menyesali hari-hari di Jawa kemarin. Sebagai orang bergaya, namun disini. Aku menderita." (menepuk pundak Paijo)

"Seperti ini kecil, nanti biasanya pemerintah akan mengganti ladang di tempat baru. Minta saja di tempat yang tinggi mas. Biar ndak kena banjir."

Paijo diam saja mendengarnya.

Bambang berdiri dari jongkoknya. Ia melihat sebuah motor berjibaku dengan lumpur berplat merah datang kemari. Dua orang, sepertinya PNS Malik dengan seorang muda lainnya.

Bambang

"Itu, Pak Malik datang."

Paijo membalikkan pandangannya dan berdiri.

PNS Malik

"Astagfirullah, bagaimana bisa begini?"

PNS Malik menanyai orang-orang yang ada dipematang ini. Tak ada yang bisa menjawab.

PNS Malik

"Apa gara-gara hujan kemarin malam?"

Salam

"Iya, betul Pak."

PNS Malik terlihat menggaruk-garuk kepalanya.

PNS Malik

"Yasudah, nanti saya uruskan semuanya. Terimakasih" (PNS Malik terlihat kecewa)

PNS Malik berjalan ke motornya lalu berjibaku dengan lumpur lagi.

Latar : Diatas motor di Jalanan Kampung.

PNS Malik yang dibonceng pemuda tadi bercengkrama di motor.

Pemuda

"Nanti dilaporkan gagal pak?"

PNS Malik

"Jangan, nanti saya kena marah lagi seperti sebelumnya."

PNS Malik menggerutu.

PNS Malik

"Nanti saya tetap disini, nggakbisa naik pangkat."

Pemuda

"Lalu gimana pak?"

PNS Malik

"Tulis saja berhasil nanti."

Pemuda

"Lalu bagaimana dengan pemilik ladang tadi?"

PNS Malik

"Ah, itu urusan mereka."

PNS Malik dengan tenang menyalakan rokok meskipun dibonceng

"Saya paling males kalau dimarahi begini. Mereka enak duduk-duduk di Kota, kantor kota. Saya, suruh kesini. Repot-repot. Ah kacau."

PNS Malik menyemburkan asapnya ke angkasa.

Motor PNS Malik lewat di depan sekolahan Bejo.

Latar Sekolah

Bejo datang sendirian ke sekolah. Ia tak pakai seragam hari ini. Hanya baju bermain biasa.

Teman-temannya juga sama. Mereka memakai baju biasa.

Bejo

"Aku tak pakai seragam hari ini."

Kawan

"Kau dimarahi ibumu ya kemarin?"

Bejo

"Iya"

Kawan

"Wah iya, aku juga sama dulu."

"Kita sama" (mereka tos bareng)

Bejo terlihat tertawa-tawa, juga kawan-kawannya.

Karena memang lapangan menjadi berlumpur karena hujan, mereka dengan berani bermain di lapangan.

Tapi Bejo yang tak begitu sehat, tak bermain bola, ia duduk didepan kelas bersama Indah.

Indah

"Kamu tidak ikut bermain?"

Bejo

"Tidak, aku tidak enak badan."

Indah

"Kenapa?"

Bejo

"Mungkin karena hujan-hujan kemarin."

Indah hanya mengangguk.

Bejo

"Memangnya sekolahnya sampai bab apa?"

Indah

"Sampai penjumlahan."

Bejo

"Kalau bahasa?"

Indah

"Sampai mengeja."

Bejo

"Kamu belum bisa membaca?"

Indah

"Sudah, ibuku mengajariku."

Bejo

"Kawan-kawan?"

Indah

"Rata-rata belum. Mungkin Hendi saja yang bisa."

Bejo terperangah dengan itu. Bejo mengeluarkan tasnya dan menunjukkan buku-buku lusuhnya dari Jawa.

Bejo

"Kamu sudah diajari ini?" (menunjuk perkalian dan pembagian)

Indah

"Belum"

Bejo terlihat gusar dan bingung.

Indah

"Ajari dong kalau begitu."

Bejo terlihat bingung awalnya. Tapi akhirnya ia memberi tunjuk beberapa angka di buku-bukunya.

Latar : Rumah Paijo

Paijo pulang ke rumah dengan wajah masih lesu.

Asih mengunjunginya kedepan dan dengan wajah yang sedikit senang. Ia membawa dua buah surat.

Asih

"Ada surat. Tadi Pak Malik mampir sebentar kemari"

Paijo

"Siapa?" (sambil membuka-buka kertas suratnya)

Asih

"Satu dari Mas Prapto, satu dari Mas Joko"

Paijo terlihat membuka suratnya

Surat dari Mas Joko

"Aku senang mendengarmu sudah sampai dan bahagia ditempatmu yang baru. Ibu disini terus berdoa. Bersama aku juga. Jangan lupa doakan kami. Agar aku punya istri. Bejo dan Asih bagaimana? Mereka pasti juga senang dengan kawan-kawan barunya. Balaslah surat ini, agar ibu senang dan aku juga senang mendengar kabar darimu. Salamku untuk tetangga dan saudara barumu."

Paijo membuka surat dari Mas Prapto

"Aku telah mendengar bahwa kamu sudah pergi ke transmigrasi. Cukup kaget, karena mau cari apa disana. Tapi itu pilihan dan aku tetap berdoa agar kalian diberi berkah dan sukses oleh Allah. Karena awalnya, kupikir kamu kesini. cari uang disini bersama-sama. Karena memang disini mudah cari uang. Sekolah juga bagus-bagus. Jefri sekarang sudah SMP, ila masih SD mereka dapat juara. Karena memang disini sekolanya bagus-bagus. Semoga disana juga sekolahnya bagus-bagus, agar Bejo dan Asih bisa mengejar mimpinya."

Paijo tertegun dengan dua surat itu. Paijo bingung.

Asih datang lagi masuk kedalam rumah sambil membawa beberapa daun yang dipetiknya.

Paijo

"Kau percaya kan kita masih bisa?"

Asih

"Ada apa?"

Paijo

"Sawah tenggelam."

Asih terkejut

Paijo

"Tapi biasanya pemerintah akan menggantinya"

Asih masih lumayan terkejut.

Asih

"Jadi kita tidak bisa dapat untung di panen pertama?"

Paijo mengangguk.

Asih terlihat kecewa.

Paijo

"Kau masih percaya kan?"

Asih akhirnya duduk disamping Paijo

Asih

"Aku percaya. Tapi bagaimana anak-anak kita?"

Paijo terdiam

Asih

"Mereka butuh sekolah, mereka butuh sehat. Tahu sendiri sekolah seperti apa. Guru tak ada."

"Mau jadi apa mereka mas?"

Paijo terdiam lagi.

Bejo terlihat sekonyong-konyong masuk kedalam rumah.

Paijo

"Kok sudah pulang?"

Bejo

"Seperti biasa pak. Guru tidak datang."

Paijo semakin menggaruk-garuk pelipisnya. Bingung. Bejo setelah menaruh tas, ia keluar lagi.

Waktu : Sore Hari

Senja terlihat cukup indah disini, mungkin karena tak tertutup gunung seperti di Jawa.

Paijo duduk-duduk termenung sendiri di depan rumah. Asih datang kedepan.

Asih

"Mari makan."

Paijo

"Aku sangat menyesal mengajakmu datang kemari." (katanya tiba-tiba)

Asih

"Tak mengapa. Dibahas nanti saja."

Paijo

"Tidak. Aku harus mengakuinya."

Asih

"Mengakui apa?"

Paijo

"Aku kalah. Aku mengakui kekalahan. Aku tak bisa lagi hidup begini."

Asih

"Kenapa?"

Paijo

"Tak menyangka sama sekali jika disini seperti ini."

Mereka berdua duduk didepan dengan tenang. Asih akhirnya duduk di teras sambil melihat senja pula. Sambil mengusap-usap matanya sedih.

Asih

"Seperti kata nenekmu. Tidak ada yang indah di dunia ini. Kecuali disini." (Asih menyentuh dada Paijo)

Paijo diam tersenyum mendengar itu. Namun ia sesenggukan menangis yang ia tahan-tahan. Juga Asih, ia sama sesenggukan menahan tangisnya.

Melihat itu, Utami dan Bejo terlihat keluar dari rumah dan ikut nimbrung duduk di depan teras begini.

Asih

"Kalian? Ada apa memangnya?"

Paijo menenangkan istrinya. Tak mengapa.

Asih

"Tak perlu begini mas."

Paijo

"Tak mengapa. Anak-anak. Maafkan aku. Aku belum bisa membuat kalian bahagia. Malah membuat kalian sengsara."

Asih

"Jangan begini."

Paijo

"Lebih baik mengakui kesalahan daripada membuatnya lagi dimasa depan."

Mereka semua terdiam.

Paijo

"Maafkan aku."

Mereka berempat tersenyum, namun getir. Namun tersenyum. Mereka bahagia karena tetap bersama.

Paijo

"Inilah keindahan duniaku, disaat kita semua bersama-sama."

Keluarga Paijo berpelukan bersama-sama.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar