9. Skena 9 Hidup layaknya dedaunan
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Latar : Rumah Paijo

Waktu : Pagi Hari

Suasana : Tenang

Paijo terlihat membereskan sabit dan cangkul untuk persiapan dibawanya ke sawah. Wajah yang gembira membuatnya berangkat kesana.

Paijo berjalan ke dapur menemui Asih yang sibuk di dapur.

Paijo

"Beras masih?"

Asih

"Masih. Mungkin beberapa hari lagi masih."

Paijo

"Kalau habis, nanti saya cari Pak Malik."

Asih

"Iya."

Paijo keluar rumah dengan berjalan cepat. Terlihat ia menyapa seseorang dengan ramah.

Bejo terlihat mandi. Di toilet sangat kecil dengan bangunan yang buruk. Air keruh dari sungai itu dibuatnya mandi.

Byur... Byur.. bejo dengan semangat berapi-api mandi.

Asih

"Bejo!!!" (teriak Asih dari dalam)

Bejo

"Iyaa??" (sahutnya)

Asih

"Segera mandi. Segera sekolah."

Bejo

"Iya bu."

Bejo semakin keras menjebur-jeburkan di toilet yang terpisah dari rumah itu.

ASih terlihat sudah menyelesaikan makanannya. Ia terlihat duduk-duduk santai di sekitar dapur.

Bejo keluar dari kamar mandi menggunakan handuk dan berlari kedalam.

Asih dengan senyum melihati anaknya berlari tadi.

Asih mengikutinya kedalam dan menanyainya dari luar pintu kamar.

Asih

"Pakai seragam yang baru. Yang dikasih ibu guru kemarin. Jangan pakai yang lama. Nanti kamu kena marah lagi."

Bejo diam.

Asih

"Disini sekolah bagus-bagus lho" (sambil menyiapkan makanan untuk Bejo)

"Makanlah, sudah siap. Makanan hari pertama sekolah."

Bejo memakan makanan yang disiapkan ibunya.

Asih terlihat senang, namun ia juga tertegun.

Asih

"Kok daritadi, nggak ada anak sekolah lewat yaa. Paling nggak kan ada satu dua."

Bejo

"Sudah berangkat dulu kali."

Asih

"Oh iya. Ayo cepat dimakan, cepat berangkat. Nanti kalau kamu telat gimana?"

Bejo

"Tidak tahu."

Asih

"Makanya jangan telat. Hari pertama sekolah nggak boleh telat."

Bejo menghabiskan makannya.

Asih berjalan kedepan beranda rumah.

Asih

"Ayo segera berangkat. Disini pendidikannya lebih baik daripada di Jawa."

Bejo berjalan diam mengambil tas dan berjalan pada ke beranda rumah.

Asih

"Jadilah anak yang rajin dan berbakti yo le" (Bejo bersalaman mencium tangannya dan Asih mengelus pundaknya."

Bejo

"Iya buk,"

Asih

"Nggak usah takut, disini nggak seperti di Jawa. Nggak perlu takut yaa."

Bejo mengangguk dan pergi meninggalkan rumah.

Asih terlihat sibuk lagi masuk kedalam. Mengunjungi Utami yang sedang tertidur dikamar.

Asih

"Kamu juga nanti sekolah disini." (kata asih bersandar di pintu kamar)

Namun Asih sedikit curiga, kok daritadi belum bangun.

Asih berjalan mendekat dan duduk di dipan kayu rumah itu.

Wajahnya cemas, ia menempelkan tangan di jidat Utami. Wajahnya tambah cemas. Ia berlari kedepan dan tidak ada siapa-siapa. Ia masuk lagi kedalam.

Latar : Jalanan ke Sekolah

Waktu : Pagi hari

Suasana : Ceria

Berpakaian putih merah seperti umumnya anak SD, Bejo berjalan senang di jalanan tanah berlumpur ini.

Beberapa kali orang lewat menyapanya, Bejo juga membalas sapaannya.

Bejo terlihat gembira, ia senang, tak seperti di Jawa.

Orang-orang pergi kesawah, juga menyapanya. Sekolah ada di ujung jalan.

Jadi lumayan jauh ia berjalan.

Bejo sedikit terhenyak ketika ia berada di sekitar sekolahan. Tak ada anak yang mengenakan seragam. Padahal ini hari senin.

Mereka semua bermain bola di halaman sekolah daripada masuk kelas.

Bejo masuk dengan tasnya gembira.

Beberapa anak tiba-tiba menemuinya, mereka tertegun.

Anak-anak

"Kamu punya seragam?"

Bejo

"Iya. Memangnya kenapa?"

Anak-anak disana terlihat heran-heran. Lalu tak lama, mereka balik lagi bermain bola.

Satu anak perempuan tetap di tempat, di teras kelas, sementara yang lain bermain bola.

Bejo

"Aku Bejo. Pindahan dari Jawa. Kamu?" (sambil menyodorkan tangannya)

Indah

"Aku Indah."

Mereka berdua berjabat tangan.

Indah

"Kok kamu pakai seragam?"

Bejo

"Lah, bukannya wajib pakai seragam."

Indah

"Nggak tahu." (sambil menggeleng-gelengkan kepalanya)

Bejo

"Memang sehari-hari kalian pakai baju apa?"

Indah

"Ya seperti ini."

Baju-baju lusuh itu ditunjuknya.

Bejo hanya mengangguk.

Bejo

"Dimana kelasnya?"

Indah menunjuk kelas dengan bangku rusuh itu.

Bejo berjalan ke kelas itu. Ketika ia sampai di depan pintu, betapa kagetnya ia. Tak ada apapun di dalam.

Bejo berjalan keluar menemui Indah

Bejo

"Memang nggakbawa tas?"

Indah

"Buat apa?"

Bejo

"Buat bawa buku."

Indah

"Tidak usah."

Indah menonton anak laki-laki bermain sepakbola.

Indah

"Kamu pakai seragam paling bersih disini, kenapa memangnya pakai seragam?"

Bejo

"Kan emang disuruh pakai seragam."

Indah

"Nggak juga. Disini malah nggak ada yang pakai seragam."

Bejo

"Masak sih?"

Indah

"Iya"

Bejo menggaruk-garuk pelipisnya bingung.

Bejo

"Nggak dimarahi?" (tanyanya masih penasaran)

Indah

"Siapa yang memarahi?"

Bejo

"Guru. Aku pernah dijewer habis-habisan."

Indah

"Karena apa?"

Bejo

"Karena pakai seragam buluk."

Indah

"Masak iya?"

Bejo

"Iya."

Mereka berdua diam lagi. Bocah-bocah lain bermain bola dilapangan.

Bejo

"Memangnya, perempuan disini cuma kamu?"

Indah

"Tak, ada beberapa. Paling bentar lagi mereka datang."

Bejo

"Ohh."

Bejo terlihat diam bingung.

Bejo

"Memang disini gurunya seperti apa? Keras?"

Indah

"Gurunya baik."

Bejo

"Pernah dimarahi?"

Indah

"Tidak ada yang pernah dimarahi."

Bejo diam mendengarkan dengan gembira

Bejo

"Enak yaa."

Indah

"Begitulah. Tapi, Pak Guru jarang datang."

Bejo

"Masak?"

Indah

"Mungkin hari ini ia tak datang."

Bejo

"Bagaimana kamu tahu."

Indah

"Ya, seperti biasanya."

Bejo diam. Lalu bocah yang bermain bola tadi menghampirinya.

Azis

"Bisa main bola?"

Bejo

"Bisa"

Azis

"Ayo kita main."

Bejo

"Ayo"

Masih berseragam dan menaruh tasnya begitusaja. Bejo berlari ke tengah lapangan dan bermain bersama kawan-kawannya.

Latar : Rumah Paijo

Waktu : Siang - mendung

Suasana : Bingung

Asih terlihat bingung. Apalagi langit mulai terlihat menghitam. Ia cemas, karena Utami sedang demam di kamarnya.

Asih hanya memberikan kompres dikepalanya. Ia bingung dengan itu.

Asih berusaha menunggu Paijo, namun tak kunjung datang batang hidungnya.

Asih

"Oh iya, kampung ini punya klinik."

Asih bersiap-siap lalu menggendong Utami keluar rumah. Mengunci apa adanya.

Langit yang gelap terlihat semakin gelap. Ia lupa tak membawa payung. Namun sambil berlari ia pergi ke klinik. Di sekitaran jalan kampung.

Jika sekolah pergi ke kanan, klinik pergi ke kiri.

Utami yang digendongnya terlihat lesu, entah karena apa. Utami terus menerus berjalan tanpa tahu harus bagaimana lagi.

Karena ia juga pertama kali datang ke Klinik, ia berusaha untuk mencari dokter. Paling tidak mantri seperti di Jawa.

Asih sampai di Klinik kecil diujung jalan. Seperti perkiraannya, kliniknya bersih dan rapi. Ada orang juga di dalam.

Asih berjalan kedalam dengan wajah penuh harapan.

Latar : Klinik

Waktu : Siang-Hujan

Ia masuk kedalam dan terlihat ada seorang perempuan sedang duduk di teras klinik.

Perempuan

"Ada apa mbak?"

Asih

"Ini, anak saya sakit. Mau berobat"

Perempuan

"Sakit apa?"

Asih

"Panas."

Perempuan

"Oh, masuk-masuk."

Asih

"Iya."

Asih langsung membaringkan Utami di dipan.

Perempuan tadi hanya memersilahkannya duduk tanpa tahu lagi harus bagaimana.

Asih

"Sejak tadi pagi dokter, ia sakit"

Perempuan

"Oh iya. Tapi, saya bukan dokter bu,"

Asih

"Oh iya bu mantri"

Perempuan

"Bukan juga."

Asih

"Lalu?"

Perempuan

"Saya hanya menjaga tempat ini. Rumah saya itu" (menunjuk rumah disamping klinik).

Asih menggaruk-garuk kepalanya. Ia bingung.

Asih

"Kapan biasanya dokter kemari bu?"

Perempuan

"Insyaallah Besok mbak. Karena memang jadwalnya besok."

Asih terlihat mengusap-usap matanya. Bagaimana ini memangnya.

Perempuan

"Mbaknya baru disini?"

Asih

"Iya betul. Saya dari Jawa."

Perempuan

"Oh, iya. Maksud saya, kok baru tahu disini dokternya kosong."

Hujan deras tiba-tiba muncul.

Asih

"Iya, saya baru tahu."

Perempuan

"Besok saja yaa. Insyaallah ada."

Asih mengangguk-angguk.

Perempuan itu berjalan kebelakang dengan wajah ramah.

Perempuan

"Disini saja, orang masih hujan."

Asih

"Iya."

Perempuan

"Tetangga saya, juga orang Jawa. Sudah mengenalnya?"

Asih

"Belum. Siapa yaa?"

Perempuan

"Pak Bambang."

Asih

"Oh, mas Bambang. Memang rumahnya dimana?"

Perempuan itu menunjuk rumah di depan klinik. Rumah reyot dengan kayu-kayu papan yang sudah remuk.

Asih

"Itu rumah mas Bambang?"

Perempuan

"Iya."

Asih tertegun bingung dengan keadaannya sekarang. Hujan semakin deras dan tidak bisa lagi ditunggu sepertinya.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar