8. Skena 8 Tumbuh dan Bersemi
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Latar : Kampung Transmigran

Waktu : Malam

Paijo, Asih, Utami dan Bejo menutup pintu rumahnya dan berjalan ke jalanan depan. Bersama-sama dengan keluarga Salam, mereka berjalan ke Rumah Tuan Gaga. Rumah yang dikunjunginya tadi siang.

Karena memang disini tak ada listrik, jadi mereka berjalan diantara remang-remang lentera rumah warga.

Sesekali hampir terjatuh, mereka tetap berjalan.

Salam

"Pak Topik ternyata sudah ke Tuan Gaga tadi pagi." (katanya sambil berjalan)

Paijo

"Kalau yang lain?"

Salam

"Nah, itu aku tidak tahu. Mungkin esok hari mereka datang permisi."

Paijo dan Salam berjalan sambil mencincingkan celana mereka.

Salam

"Kamu bawa apa memangnya?"

Paijo

"Ini, sekedar bingkisan oleh-oleh."

Salam

"Aku tak bawa apa-apa mas."

Paijo

"Alah, tidak mengapa."

Orang-orang itu berjalan diam. Lastri juga hanya diam. Memang sepertinya ia orang pendiam.

Mereka sampai di rumah gelap dengan lentera kecil terpancar dari dalam rumahnya.

Latar : Rumah Gelap

Paijo

"Ayo, kita masuk."

Salam

"Iya, mas duluan saja."

Mereka semua mengetuk pintu, dan seseorang membukakan pintunya.

Perempuan (Istri tuan gaga)

"Apa?" (sedikit ramah. Karena memang tak begitu tahu bahasa Indonesia)

Salam

"Mau bertamu, ke Tuan Gaga"

Paijo

"Silaturahmi."

Istri Tuan Gaga masuk kedalam rumah, dan Tuan Gaga muncul dari belakang.

Tuan Gaga

"Bagaimana, masuk-masuk" (sapanya ramah.)

Paijo

"Iya"

Hanya ada tiga kursi yang disediakan. Jadi hanya Paijo dan Salam yang duduk, lainnya berdiri.

Paijo

"Kami kesini hendak permisi, kami transmigran dari Jawa. Saya Paijo (sambil menunjuk dirinya sendiri. Ini istri saya, ini anak-anak saya."

Salam

"Saya juga, saya Salam. Ini keluarga saya."

Tuan Gaga hanya mengangguk-angguk saja.

Paijo

"Kami disini ingin mencari nafkah. Karena di Jawa, kami sudah tak bisa apa-apa lagi disana."

Tuan Gaga juga mengangguk.

Salam

"Iya betul. Kami ingin memerbaiki hidup. Tidak ingin mengganggu."

Tuan Gaga menagguk-angguk.

Paijo

"Apakah kami diperbolehkan?"

Tuan Gaga hanya mengangguk-angguk.

Paijo tersenyum, ia senang mendengarnya. Salam juga sama.

Paijo terlihat sibuk membawakan bingkisan koran berisi kain itu pada Tuan Gaga.

Salam

"Ini dari kami, tidak seberapa. Namun ini sebagai ucapan perkenalan." (Jawabnya sambil cengar-cengir)

Paijo melihat agak canggung, memandangi Asih. Asih berbalik memandanginya, dan akhirnya dimaklumi saja.

Tuan Gaga dengan bersahaja mengangguk-angguk lagi.

Mereka sempat diam canggung beberapa waktu.

Paijo

"Kalau boleh tahu, apakah ada pantangan-pantangan yang tidak diperbolehkan disini?"

Tuan Gaga menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tuan Gaga

"Sama seperti kalian sebelumnya di Jawa. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung."

Paijo

"Baik Tuan, kami berterimakasih banyak."

Tuan Gaga mengangguk-angguk bersahaja lagi.

Latar : Kampung transmigran

Waktu : Malam

Paijo dan Salam sekeluarga pulang masing-masing ke gang di depan rumah mereka. Bejo dan Utami sudah sangat mengantuk, langsung masuk rumah tanpa banyak bicara.

Lastri dan anak-anaknya juga sama, berlari masuk kedalam rumah.

Asih berlari mengejar anak-anaknya, meninggalkan Paijo dan Salam diluaran rumah.

Paijo

"Sudah beli rokok mas?"

Salam

"Haha, belum" (sambil tertawa)

Paijo

"Memang, uangnya udah habis?"

Salam

"Uang darimana to mas? Wong kita kerja aja belum panen."

Paijo

"Uang dari desa, dari Jawa."

Salam

"Tidak punya mas. Orang kami ini tidak punya kok."

Salam mengambil duduk disebuah selokan kecil.

Paijo

(Sedikit kaget, ngapain orang ini duduk bawah) "Mas, ayo duduk dirumah saja."

Salam mengangguk, mereka berdua duduk-duduk di teras rumah Paijo.

Salam

"Mas, memang harga rokok sekarang berapa yaa?"

Paijo

"Wah, saya juga udah lama nggak ngrokok mas. Di Jawa aja, mungkin sudah bertahun-tahun lalu nggak ngrokok."

Salam

"Saya sih sempat merokok mas. Mungkin beberapa bulan lalu. Tapi setelahnya, saya nggak pernah lagi."

Paijo

"Kenapa mas?"

Salam

"Bangkrut mas."

Paijo

"Memang usaha apa to mas, sebelumnya?"

Salam

"Saya ini orang koperasi mas dulu. Ya nasabah-nasabah. Mereka simpan uang disaya, nanti uangnya saya loper lagi."

Paijo

"Wo, Bank Plecit?"

Salam

"Ya begitulah."

"Tapi ya mas, namanya untung cuma beberapa hari. Buntung seterusnya."

Paijo

"Kenapa mas?"

Salam

"Lha gimana lho mas, saya nggakbisa ngembalikan uangnya orang-orang"

Paijo

"Lha kok nggak ditarik aja yang dipinjamkan tadi."

Salam

"Nggak bisa mas. Mereka nggakbisa bayar."

Paijo

"Lha apa nggak sampean minta jaminan to mas?"

Salam

"Nggakbisa mas. Uangnya nggak cukup untuk ngembalikan modal orang-orang, dengan bunganya."

Paijo

"Bisa ngrokok kan tapi?" (ia mencoba memecah suasana)

Salam

(melengos) "Saya dianggap maling mas. Satu kampung pengin ngebugin saya waktu itu. Karena saya dituduh menggelapkan uang."

Paijo

"Masak to mas?"

Salam

"Iya mas. Saya digiring ke penjara."

"Dipukuli, ditendang. Pokoknya jelek-lah mas."

Paijo

"Sama Polisi"

Salam

"Iya, sama polisi. Dihajar habis-habisan pokoknya"

Salam terlihat mengusap-usap matanya. Paijo menatap Salam sambil berempati.

"Nah, saat itu saya malu semalu-malunya mas."

"Istri saya, (sambil menunjuk rumahnya sendiri) jadi bahan cacian warga kampung. Dasar keluarga maling!."

Paijo hanya diam mendengarkan.

Salam

"Saya dipenjara mas. Polisi itu datang kerumah. Minta uang ini itu, jika ingin keluar."

Paijo

"Terus bagaimana mas?"

Salam

"Terus saya bisa keluar setelah dua bulan."

Paijo

"Sempat dipenjara berati Mas Salam?"

Salam

"Iya, pernah, saya pernah dipenjara."

"Sebab itu, saya pergi kesini. Cari kerja kesini. Jika tetap di Jawa mas. Malu mas. Malu."

Paijo

"Iya mas, betul. Tidak mengapa. Semoga kita disini lebih baik."

Salam

"Aku sendiri sebenarnya nggak masalah mas menanggung ini, malu, dicaci, dibenci. Toh uangnya sudah tak kembalikan to, orang-orang itu. Tanggung-jawabku udah selesai lah. Tapi mas, istri dan anak-anakku."

Paijo diam mendengarkan sambil bersimpati.

"Lihatlah, jarang sekali istriku senyum. Anak-anakku juga. Mereka jadi diam. Padahal, mereka anak yang ceria lho mas."

"Ingin sekali aku melihat senyum diwajah mereka mas. Istriku, anak-anakku."

Paijo hanya tersenyum. Ia menepuk-nepuk pundak Salam.

Paijo

"Iya mas, istri dan anakmu akan ceria lagi disini."

Salam

"Iya. Amiin."

Salam terlihat tertawa lega mengingat-ingat masa lalu bersama Paijo. Paijo sendiri juga terlihat trenyuh namun bangga melihat keinginan saudara barunya ini.

Salam

"Nah, kalau sampean piye kok iso mrene?"

Paijo tertawa.

Salam

"Lah, kok ketawa?"

Paijo

"Nggak mas. Aku nggak nyangka sampean tanya balik."

Salam

"Loh, tanya dong. Gak adil kalau nggak tanya."

Paijo

"Haha. (tergelak sebentar). Saya biasa-biasa aja mas. Kerja biasa. Buruh tani."

Salam

"Oh, jadi kesini pengin punya tanah sendiri, gitu to?"

Paijo

"Betul mas. Kok di Jawa punya orang yang digarap. Pengin juga punya tanah sendiri."

Salam

"Iya mas. Saya paham. Teman saya Mas Bambang. Malah kuanggap saudara sendiri malahan."

Paijo

"Loh, sampean kenal Mas Bambang juga toh?" (tanya Paijo kaget)

Salam

"Iya"

Paijo

"Bambang yang dulunya sama seperti saya? Buruh tani?"

Salam

"Inggih. Kan ia masih saudara dengan saya."

Paijo tertegun, ia tak percaya.

Paijo

"Ternyata benar ya, dunia itu kecil."

Salam

"Woh, ya ndak gitu mas."

Tiba-tiba Bejo keluar dari rumah sambil mengucek-ucek mata. Memberikan cangkir-cangkir air putih gula hangat untuk dua orang tua didepan ini.

(melanjutkan omongannya) "Yang menyarankan saya ikut ini, itu Mas Bambang."

Bejo duduk dipangkuan Paijo manja dan diam.

Paijo

"Loh, iya, sama mas."

Salam

"Wah berarti emang kita kenal karena Mas Bambang ini." (sambil tertawa)

Salam memandangi Bejo yang duduk malas di pangkuan bapaknya.

Salam

"Besok tidak sekolah?"

Paijo

"Sekolah."

Salam

"Sekolah yang rajin. Nanti biar pinter"

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar