4. Skena 4 Berangkat
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Interior Rumah

Pagi hari, terlihat Bejo tengah sibuk membereskan dirinya. Sedikit malas namun ia bergegas untuk berangkat pergi ke sekolah.

Paijo, juga terlihat sibuk. Ia terlihat merapikan dan membersihkan cangkul miliknya. Ia akan berangkat kerja, berjalan kaki dengan membawa cangkul dan dan sabit yang dipanggulnya. Ia berdiri di dalam rumah.

Asih, terlihat sibuk didalam, entah apa yang dilakukan. Namun Utami, ia terlihat diam dan bermain-main sendiri dengan kertas-kertas yang berserakan dan dilipat-lipat sekenanya.

Paijo

"Tak ada kopi pagi ini?" (tanyanya sambil marah kecewa)

Asih

"Tak ada mas, kemarin Bejo minta buku."

Paijo hanya diam dan meminum air putih hangat yang dibuatkan Asih di atas meja. Bejo juga terlihat sama, makan nasi buluk dengan daun singkong sebagai sayurnya.

Paijo berangkat dan bersiap untuk berjalan keluar rumah.

Paijo

"Aku berangkat, Assalamualaikum."

Tak ada yang begitu menyahuti, namun Asih menyahutinya dengan teriak dari belakang

Asih

"Walaikumsalam, hati-hati"

Paijo berjalan ke luar, sampai berbelok diujung gang. Ia menghilang.

Dengan itu, Bejo tiba-tiba melempar tasnya lagi kedalam kamar dan melucuti pakaiannya satu per satu.

Asih terlihat kebingungan dengan itu, ada apa memangnya. Ia yang tengah sibuk dibelakang, tiba-tiba kebingungan melihat Bejo.

Asih

"Ngapain kamu?" (dengan nada lumayan tinggi) (Sambil berkacak pinggang)

Bejo

"Aku nggakmau sekolah"

Asih

"Kenapa? Sudah dua minggu ini kamu begini terus setiap pagi!."

"Ini hari senin lho, cepat berangkat"

Bejo malah diam.

Bejo

"Aku takut dimarahi guru."

Asih diam, ia tiba-tiba keluar rumah dan berlari pergi ke ujung gang. Ia tengok kanan dan kiri, Paijo sudah hilang dari pandangannya. Asih akhirnya kembali dengan lumayan marah.

Asih

"Apa yang membuatmu takut!" (teriaknya sambil membawa sapu dan menggiring Bejo ke tepi tembok)

Bejo

"Aku takut dijewer dan ditertawakan"

Mendengar jawaban itu, Asih melemparkan pukulan sapunya ke betis Bejo

Bejo sekuat hati menahan sakitnya.

Asih

"Berangkat atau tidak?"

Bejo

"Tidak"

Asih

"Kenapa?"

Bejo

"Aku takut. Ini hari senin. Ini upacara."

Asih

"Kalau upacara, harusnya datangnya pagi!" (pukulan terlempar lagi di betis Bejo)

Bejo sekuat tenaga menahan sakitnya.

Asih

"Sekarang, kamu berangkat"

Bejo

"Aku tidak mau."

Asih

"Siapa memangnya yang membuatmu takut? Ha?"

Bejo tak menjawabnya. Ia tak enak menyebutkannya. Tapi Asih tetap memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.

Asih

"Siapa?"

(Pukulan sapu itu terlempar lagi. Kini makin keras dan Bejo makin tak bisa menahannya)

Bejo menggerak-gerakkan kakinya kesakitan.

Asih

"Siapa?"

Bejo akhirnya menangis dan mengaku.

"Bu guru bu, bu guru yang menertawakanku" (Ia lalu berlari keluar entah kemana perginya)

Asih hanya diam terperangah. Ia tak pernah menyangka jika gurunya yang menertawakannya.

Asih keluar berlari mencari Bejo. Entah kemana juga sebenarnya Bejo. Tapi Asih kehilangan jejaknya ketika ia berlari ke depan gang.

Ia kembali, Asih masuk kedalam rumah. Lalu ia melihat Bejo sedang termenung di pojokan kamar dekat adiknya bermain kertas lipat-lipat itu.

Bejo terlihat menangis dan merenung. Ia sangat menangis.

Dengan wajah tegar, Asih mendekatinya.

Asih

"Kenapa kamu nggak mau berangkat?"

Bejo hanya diam dan takut.

Asih

"Sekarang mengakulah, atau kupukul lagi?" (tanyanya sambil mengelus-elus kepala Bejo)

Bejo

(mulai bangkit dan berkata pada ibunya) "Aku selalu berdiri di depan ketika didalam kelas. Katanya aku tidak rapi. Bajuku kusam. Sepatuku sudah rusak. Aku malu."

Asih hanya diam mendengarkan itu. Ia mendengar itu dan akhirnya mengelus pundak Bejo dan membiarkannya ada disitu. Asih berjalan kebelakang sambil berpikir.

Dalam berpikirnya, ia menangis. Sesenggukan dan ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Namun ia tetap berusaha tersenyum dalam tangisnya. Selalu ada bahagia dalam nestapa.

Asih

"Tak ada yang perlu disesali, memang beginilah hidup." (katanya sendiri sambil mengusap-usap matanya)

Asih terlihat sibuk dibelakang, dan Bejo akhirnya diam di kamarnya sambil bermain bersama adiknya. Mengajari mengeja dan mengajari adiknya berhitung sekenanya.

Asih diam, diperhatikannya jam, ia akhirnya sibukkan diri dengan mencuci pakaian tetangga-tetangga yang dititipkan padanya. Dengan tangan dan sikat, ia sikat semua pakaian tetangga.

Dalam pekerjaannya, ia lebih sering melamun. Lalu ia sering membahagiakannya diri lagi.

Asih terlihat membungkuk dan terdengar tangis dari dirinya. Ia kebingungan dengan semua ini. Didepan cucian, ia menangis membungkuk tersedu-sedu kebingungan.

Terdengar pintu terketuk dari depan, lumayan keras. Asih tak memerhatikannya, menurutnya nanti Bejo paling yang menyambut.

Tok... Tok... Tok...

Suara itu muncul lagi, lebih keras.

Tok... Tok... Tok...

Hingga akhirnya Asih mengusap matanya dan berjalan kedepan. Dengan tersenyum ia melihat dua orang berpakaian safari datang ke rumahnya. Siapa, ia tak tahu. Dua orang perempuan itu membawa dua kantong kedalam rumahnya.

Asih

"walaikumsalam, silahkan masuk."

Guru A

"Iya. Terimakasih. Kami gurunya Bejo"

Asih

"Oh silahkan masuk."

Mereka bertiga masuk kedalam rumah dan saling duduk di kursi reyot ruang tamunya.

Asih hanya diam, ia masih terbawa suasana sedihnya tadi. Sedang dua guru tadi, terlihat berbisik-bisik untuk memulai percakapan.

Guru A

"Kami kesini, pertama silaturahmi. Lalu kedua kami ingin menanyakan kepada ibu, kemana Bejo. Sudah dua minggu ia tak terlihat di Sekolahan. Ketiga, Bu Guru, ingin meminta maaf atas kelancangannya kemarin hari."

Guru B

"Iya bu, saya minta maaf. Namanya juga guru, jadi tegas hal yang biasa bu." (Bu guru ini tertawa, namun tak ada yang menyambutnya)

Asih hanya diam.

Guru B

"Saya sadar bu, saya salah. Saya terlalu keras. Soalnya saya kira, memang dia anaknya nggak disiplin."

"Tapi ternyata dia disiplin." (katanya tegas dan sungguh-sungguh)

Guru A

"Iya bu, Bejo termasuk anak baik dan pintar di sekolah, dia sering mendapat nilai bagus."

Guru B

"Sebagai bentuk minta maaf kami, kami akan memberikan baju seragam merah putih baru kepada Bejo. Juga buku dan peralatan lain." (sambil menyerahkan kepada Asih)

Asih hanya tersenyum, ia diam. Ia senang, namun juga nelangsa. Bahwa memang yang menakuti anaknya adalah gurunya.

Mereka berdua pamit, dan Asih hanya diam saja disana.

Hari siang dan rumah terlihat terang.

Asih hanya diam, ia diam dan mengusap-usap matanya di ruang tamu sambil membawa bungkusan dari guru-guru Bejo tadi.

Bejo keluar dari kamar, ia mengelus-elus ibunya yang sedang menangis.

Asih

"Bagaimana nak?"

Bejo hanya diam. Ia berdiri disamping ibunya yang duduk.

Mereka berdua diam dan cukup lama.

Sore berjalan, mereka berdua masih saling diam di ruang tamu. Bejo merasa takut sedang Asih merasa bersalah. Mereka hanya diam, duduk-duduk dan berpikir, menyesal.

Paijo pulang, temaram lampu membuat Paijo terlihat lelah. Ia menaruh cangkul, sabit, dan membersihkan bajunya. Paijo bingung memerhatikan dua orang itu duduk-duduk diam dan menyambutnya sekedarnya.

Paijo

"Ada apa?"

Asih

"Mungkin benar, kita harus berangkat transmigrasi."

Paijo terkejut, dalam hati ia senang didukung istrinya. Tapi nyatanya, ia sadar dan diam. Kita nggak bisa.

Paijo

"Iya,"

Paijo berjalan kebelakang, mandi dan mengguyur kepalanya. Byuurr...

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar