Rembulan dan Sepotong Cinta Satu Sisi

Seorang peramal tua pernah berkata kepadaku,“Nak, matahari paling terang sekali pun akan menemukan saat redupnya. Saat masa itu datang, ketakutan dan ketamakan akan bercampur, meretakkan tanah di bawahnya.” Peramal itu terdiam sejenak, menatapku lekat dengan matanya yang berkerut. Aku ingat bisa merasakan kesedihan di sana. “Saat hari itu terjadi, letakkan hatimu di tempat yang tepat. Pikirkan segalanya baik-baik. Bumimu tak akan bertahan tanpa mataharinya.”

Bulan purnama bersinar amat terang malam ini, dan entah mengapa mengingatkanku pada ramalan itu. Kutarik nafasku dalam-dalam, berusaha keras memanjati tembok batu yang tinggi. Entah berapa kali kakiku nyaris terpeleset di antara ukiran yang menonjol. Sesampainya di atas, kurendahkan tubuhku, berusaha mengintip dari balik pohon yang lebat. Dari sudut ini, aku bisa melihat pasukan kerajaan berbaris rapat membuat pertahanan.

Aku tahu dia ada di sana. Mungkin berada di barisan paling depan, siap memimpin pasukannya untuk melibas siapa pun yang berusaha menyentuh kerajaan. Aku tahu sejak kami masih kecil, suatu hari dia pasti akan menjadi panglima tempur hebat seperti cita-citanya. Sejak dia mengulurkan tangannya ke arahku, bersedia menjadi teman sekaligus  guru. Mengajariku berbagai ilmu yang tak diajarkan kepada anak perempuan sepertiku. Sejak itu pula, aku jatuh cinta padanya.

Aku masih ingat hari itu, saat keluarganya datang untuk meminangku. Saat itu, bunga-bunga tak kasat mata bermekaran di tubuhku. Segalanya terasa begitu ringan hingga rasanya aku sanggup melayang. Namun, kehadirannya yang tiba-tiba di halaman rumahku menarikku jatuh. “Jangan terima pinangan keluargaku,” ujarnya kepadaku. Aku membeku karenanya.

“Mengapa begitu?”

“Kau tahu persis apa tujuan pinangan ini, Chayana. Mereka hanya ingin menjadikan pernikahan kita sebagai tameng dari tuduhan kerajaan kepadaku.”

“Lalu memang apa salahnya?”

“Kau berhak bahagia. Kau harus menikah dengan seseorang yang benar-bener mencintaimu.”

“Apa kau tidak bisa mencintaiku?”

Mulutnya terbungkam, sinar matanya meredup. Dia tak menjawab pertanyaanku, bahkan setelah dua tahun aku menjadi istrinya. Hingga tadi pagi, saat dia menghampiri kamarku dan menyerahkan sebilah pedang yang telah lama tak kusentuh. Saat itulah aku menemukan jawaban yang lama disimpannya.

“Ada pengkhianat di kerajaan. Mereka diam-diam telah menyusun rencana untuk menyerang. Untung kami bisa mencium gelagatnya. Mereka akan menyerang malam ini,” ujarnya.

“Lalu?”

“Aku percaya kemampuanmu, Chayana,” ujarnya sambil tersenyum pedih. Kedua matanya memohon kepadaku. “Tolong selamatkan Rajaputri untukku. Kau satu-satunya yang tak ada dalam perhitungan mereka. Jadilah senjata rahasia kami.”

Aku memandanginya lama, menatap sesuatu di matanya. Sesuatu yang tak pernah diberikannya kepadaku. “Tolong aku, Chayana. Rajaputri adalah yang terpenting saat ini bagi kita semua.”

Kedua kakiku meniti tembok kerajaan dengan hati-hati, mengikuti petunjuk yang dibekalkannya kepadaku. Pedang pemberiannya terpasang erat di punggungku, terasa amat dingin. Saat jendela terang itu mulai terlihat, aku berhenti sejenak, mendongak memandang bulan. Bulan itu memantulkan sinar terang ke wajahku, meyakinkan hatiku.

Kukembalikan tatapanku pada jendela itu, mengambil ancang-ancang dengan hati-hati. Aku pun melompat jauh dan menelusup masuk ke dalam jendela, mendarat dengan suara keras. Sang matahari yang duduk di tepi ranjangnya terperanjat kaget. Dia menoleh dan tersenyum lega saat melihatku.

“Chayana, aku sudah menunggu—“

Saat itulah, pedangku teracung ke arahnya, memotong ucapannya. “Masa kejayaanmu telah habis, Yang Mulia. Menyerahlah kepadaku.”

4 disukai 5.3K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction