Senja yang indah ketika Raya sedang duduk berdua bersama dengan Dewi di tepi telaga dengan air berwarna biru jernih. Burung-burung beterbangan di langit sembari sesekali berkicau. Di bawah pohon pinus dengan beralaskan tikar piknik, Raya menatap dalam ke arah Dewi.
"Dewi... k-ka..." suaranya tersendat di faringnya, seperti ada sesuatu yang menahan. Mendengar namanya di sebut, Dewi yang tadinya sedang fokus menikmati indahnya telaga itu, menoleh ke arah Raya.
"Kenapa Ray?" tanya Dewi polos.
"I-itu dewi. K-kam..." Raya terdiam sejenak, kemudian mengambil nafas dalam. "Bagai mawar dikala senja, betapa beruntungnya sesiapapun yang menyaksikan keindahannya. Ibarat mawar yang bermekaran, wujudmu bagai bidadari, Dewi."
Begitu mendengar kata-kata itu, Dewi refleks membeku. Wajahnya memanas, warna merah naik perlahan dari pipi sampai ke ujung telinganya. Mata yang tadi tenang menatap telaga kini bergetar kecil—antara kaget, malu, dan… senang.
Dia buru-buru menunduk sedikit, seolah mencoba menyembunyikan diri dari tatapan Raya, tetapi senyum lembut tetap terbentuk di bibirnya.
“R-Ray… kamu ngomong apa sih…” bisiknya, suaranya pelan disertai gemetar halus.
Jari-jarinya meremas ujung tikar tanpa sadar, menahan rasa gugup yang menumpuk di dadanya. Ia menoleh sedikit ke arah Raya—tatapan itu terlihat hangat, penuh campuran rasa malu dan kebahagiaan yang tak dapat ia tutupi.
“A-aku… ndak secantik itu,” lanjutnya, meski nadanya lebih terdengar seperti mencoba menyembunyikan betapa manisnya ia tersanjung. Angin senja menyapu lembut rambutnya. Perlahan, Dewi mengangkat wajahnya. Kali ini, tatapannya tertahan lebih lama.
“Tapi… thanks,” ucapnya lirih, senyumnya mengembang pelan di bibirnya, jujur, dan membuat suasana di bawah pohon pinus itu tiba-tiba berubah menjadi jauh lebih hangat dari senja itu sendiri.