Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
7
Komik Shinchan, Rokok Lintingan dan Kacamata Bertangkai Satu
Drama

Bapak dalam ingatan kepalaku adalah sosok gemoy yang tengah malam duduk membaca komik Shinchan di meja makan, ditemani rokok lintingan karena tidak bisa beli Sampoerna Kretek kesukaannya dan segelas kopi hitam yang disesapnya sedikit demi sedikit, agar tidak lesap buru-buru.

“Hoi,” sapanya dari balik kacamata yang tangkainya sudah dilem berkali-kali, setiap kali aku bangun tengah malam, terburu-buru ingin ke kamar mandi.

Tak jarang, aku terbangun oleh cekikik gelinya karena tingkah polah Si Shinchan. Di sampingnya sudah menumpuk jilid-jilid lain yang rencana dibacanya. Itu semua koleksi kakakku yang putus sekolah karena tiada biaya.

Komik-komik itu dibelinya bekas, di Pasar Senen, dengan menumpangi KRL dari Stasiun Bekasi yang gerbongnya belum sebagus sekarang. Masih banyak pengamen, pedagang cang-ci-men dan orang-orang tak punya kaki yang mengesot sambil bawa-bawa sapu, sementara mulutnya bersalawat berharap rezeki turun dari langit—atau dari atap gerbong kereta?

Komik-komik itu seharga Rp10.000 dapat 3, dibeli kakakku dari jeri payahnya menjadi tukang antar galon. Tidak apa-apa, kan? Menghibur diri dengan hasil keringat sendiri.

Jika pagi tiba, ketika aku bersiap sekolah, seringnya, Bapak masih mendengkur. Ibu bernada tinggi—bukan sedang menyanyi seriosa—menyuruhku membangunkan Bapak, bagaimana pun caranya, untuk minta uang jajan. Aku lebih suka menggelitik perut gemoy Bapak, bahkan menggigit dan meniup telinganya.

Berhasil, Bapak bangun, tapi, bukan untuk memberiku uang jajan, melainkan balas dendam. Ditariknya aku ke dalam pelukannya, dicium pipiku kiri-kanan, bahkan dijilat-jilat. HOEK! Bisa bayangkan aroma liur orang baru bangun tidur?

“Sangu, loh, Pak! Malah jilat-jilat kayak si meong.”

“Nggak ada,” jawab Bapak, sambil kembali memeluk guling. “Minta ibumu sana.”

“Ih, kata Ibu, Ibu nggak punya uang.” Tak menyerah, kutarik bahunya agar telentang. Lagi dan lagi, aku dipeluk kuat-kuat, seperti John Cenna mengunci lawannya.

Huh! Lepek wajahku oleh air liurnya. Seragamku pun berantakan lagi. Dengan bernesu-nesu, aku berangkat sekolah. Ketika bel istirahat berbunyi dan anak-anak lain jajan di kantin, air mata menggenang di pelupuk mataku.

*

Aku tidak pernah bertanya, kenapa Bapak tidak kerja?

Namun, jika kalian penasaran, aku akan jawab: dia bekerja, kok, meski serabutan. Kadang menyopiri sepupunya yang tinggal di Tebet, mengantar parsel saat musim natal dan lebaran, kadang mengecat rumah Pakde—kakaknya dan seringnya, Bapak mondar-mandir rumah Pakde mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan, pulangnya tidak selalu diberikan uang, kadang Indomie, telur atau beras.

Pada saat-saat seperti itu, di usiaku yang remaja, aku sering kesal dan tak mau mengerti, jika keinginanku tidak terpenuhi. Jika ingin sesuatu, seperti HP Nokia 5300 Express Music, aku tahu diri, mengutarakannya pun tidak sampai hati.

Bapak terimbas badai PHK 1998, tepat pada usianya yang tidak produktif lagi. Setelah itu, sulit baginya menafkahi kami.

Jika saja, aku yang telah dewasa bisa kembali dengan mesin waktu, aku ingin bilang padanya: aku tak apa hidup miskin, asal bersama Bapak. Karena, Pak, hidup setelah kepergianmu justru lebih berat. Tak ada yang kumintai restu saat menikah, tak sosok Eyang Kung yang menggendong anak-anakku dan tak ada lagi sosok gemoy yang bisa kupeluk sepuasnya. Terakhir kali, tubuhmu bahkan kurus kering karena kanker paru-paru yang menggerogotimu, Pak.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi