Flash Fiction
Disukai
3
Dilihat
266
Di Bawah Langit Jogja
Romantis
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Kereta yang melaju pelan di Stasiun Gambir sore itu membawa sepotong cerita lama yang belum sempat aku lupakan.

Di antara keramaian orang yang lalu lalang, aku melihat lagi sosoknya, Naya. Gadis yang pernah mengisi hari-hariku dengan tawa kecil dan diam-diam mencuri semua perhatianku.

Mungkin orang lain menganggap tak ada yang spesial. Mungkin hanya aku, karena sedang terbuai rasa “jatuh” yang menyenangkan. Kalian pasti tahu maksudku.

Aku berdiri terpaku, sementara Naya sedang duduk di bangku panjang, memegang sebuah buku. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda, seperti kebiasaannya dulu. Tapi ada sesuatu yang berbeda, matanya menerawang jauh membiarkan buku terkulai ditangannya.

“Naya,” panggilku pelan, berusaha untuk tak mengejutkannya.

Dia menoleh, matanya membelalak kecil sebelum akhirnya tersenyum. “Jihan? Kenapa kamu bisa di sini?”

Aku tersenyum kaku mencoba menyembunyikan kegugupan. “Kamu mau ke mana?”

“Jogja,” jawabnya. Ada urusan keluarga.”

“Kamu kenapa bisa di sini,” ulangnya, karena aku belum menjawabnya.

Obrolan kami pun berlanjut. Naya masih seperti dulu, penuh cerita.

***

Waktu seperti berputar ke aras lama. Aku ingat hari itu, di taman belakang sekolah, Naya memberiku sebuah kado kecil, kalung berliontin bintang.

Supaya kamu ingat mimpi-mimpi kita,” katamu waktu itu.

Tapi kehidupan tidak pernah semulus yang kita mau. Selepas SMA, aku ke luar kota untuk kuliah, dan Naya tetap di Jakarta. Kami hanya sempat berjanji untuk tetap saling berkabar, tapi jarak dan kesibukan membuat kami perlahan kehilangan kontak.

***

“Naya, kenapa kita berhenti saling bicara dulu?”

Dia terdiam sejenak. “Jihan, hidup nggak selalu sesuai rencana. Kadang kita harus memilih jalan yang nggak kita inginkan.”

Aku mencoba menebak arah pembicaraannya. Tapi pengumuman keberangkatan kereta memotong percakapan kami. Naya berdiri, merapikan tasnya, dan tersenyum padaku.

“Jaga diri, Han. Aku senang kita bisa ketemu lagi,” katanya sebelum beranjak menuju pintu kereta.

Aku mengejarnya, memanggil namanya. Naya berhenti dan berbalik. Ada air mata di matanya yang belum sempat dia hapus.

“Kamu nggak mau cerita apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku.

Dia menggigit bibirnya, ragu. “Aku harus pergi, Han. Tapi aku janji, suatu hari kamu akan tahu semuanya.”

Dia menyerahkan sebuah amplop kecil kepadaku sebelum masuk ke dalam kereta. Aku berdiri di sana, memandangi kereta yang perlahan menjauh, membawanya pergi lagi ke bagian lain waktu yang aku tidak tahu kapan bisa bersama lagi.

Aku membuka amplop itu.

Jihan,

Aku tahu kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku menjauh darimu. Alasannya sederhana, tapi juga rumit. Aku tidak ingin menjadi beban untukmu. Waktu itu, aku divonis sakit yang cukup serius, dan aku tidak ingin kamu mengorbankan mimpi-mimpimu untuk menemaniku berjuang. Aku ingin kamu tetap melangkah maju, meskipun tanpaku.

Sekarang aku sudah lebih baik, tapi aku sadar bahwa luka yang dulu ada di antara kita sulit untuk disembuhkan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu, di mana pun kamu berada.

Naya

Tiba-tiba aku merasa marah pada diriku sendiri karena tidak pernah tahu apa yang dia alami. Tapi di saat yang sama, aku merasa lega karena dia masih memikirkan aku, bahkan di tengah perjuangannya sendiri.

Lalu aku memutuskan untuk mencarinya lagi. Aku tahu ini mungkin terlihat bodoh, tapi aku tidak peduli. Aku ingin memperbaiki segalanya, atau setidaknya memastikan bahwa dia tahu aku tidak pernah menyalahkannya.

Beberapa bulan kemudian, aku akhirnya menemukannya di sebuah kafe kecil di Jogja. Naya terlihat lebih sehat, dengan senyum yang lebih cerah.

“Jihan?” tanyanya, terkejut melihatku.

“Bagaimana bisa tahu aku disini?”. Dia memandangku dengan tak percaya. Aku hanya tersenyum. “Aku di sini untuk memenuhi janji kita. Mengingat mimpi-mimpi kita.”

Kami memesan segelas kopi. Kami berbicara panjang lebar, tentang gula dan kopi—hitam putih masa lalu. Tentang kesalahpahaman, dan tentang mimpi-mimpi yang sempat tertunda. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kadang, hidup membawa kita berputar jauh hanya untuk kembali ke titik temu. Dan di titik temu itulah, aku dan Naya memulai cerita baru kami.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi