"Nona, apakah anda ingin saya ajari mengeja gerimis?" Tanya seorang lelaki, dengan raut tak terbaca.
Suara itu memecah lamunan yang sudah si gadis rajut bersekon lalu. Perlahan binar kosongnya mulai terisi, dengan pendar redup kunang-kunang. Kepalanya mulai mencari sumber suara, yang barusan dengan lancang mengganggu khayalnya.
"Maaf?" Tanyanya, setelah menemukan si pengganggu.
"Apakah Nona, ingin saya ajari mengeja gerimis?" Pertanyaan tersebut kembali si lelaki ajukan, masih dengan raut yang sama.
"Kenapa ... Apakah karena saya terlihat menyedihkan? Saya tak perlu dikasihani, Tuan. Lagi pula, tak akan ada yang berubah." Lirih si gadis, sembari mengulum bibirnya membentuk garis lurus.
"Nona, saya bukan orang yang pantas mengasihani makhluk lain. Tidak kah anda lihat, jika saya yang seharusnya anda pandang begitu?" Sahut si lelaki, kali ini sembari menatap tepat pada manik cokelat sang empunya.
"Tuan, siapa yang akan mengasihani orang yang berpakaian rapi, berambut klimis, berwajah tampan, dan bertutur sopan. Coba bandingkan dengan saya yang berwajah kuyu, penampilan acak, tak terawat ... menyedihkan. Atau begitulah mereka mengatakannya," tutur si gadis dengan senyum getir menghias lisannya.
Demi mendengar kalimat tersebut, si lelaki mulai bangkit dari tempatnya duduk. Lantas berdiri ke tepi kanan, untuk menjulurkan tangan menyambut gerimis yang kian menderas dari atap halte tersebut. Dia belum menanggapi percakapan terakhir tadi, dirinya sedang sibuk mengeja bait gerimis. Percis seperti yang selalu petrikornya katakan. Setiap rinai yang jatuh mengandung kehagiaan tak terhingga. Petrikornya, ya?
"Nona, anda tidak menyedihkan. Mereka yang salah, anda hanya tersesat. Nona, manik anda menunjukkan binar yang sama seperti milik saya. Campuran antara kekosongan dan kesakitan. Apakah anda ingin saya ajari mengeja gerimis?" Jelas si lelaki, disambung pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.
"Anda cenayang, Tuan? Baiklah, karena anda orang yang keras kepala. Sanggahan saya tak akan dihiraukan. Ya. Anda bisa mengajari saya mengeja gerimis." Akhirnya si gadis mengalah, sebab tahu jika percuma saja untuk berdebat.
"Saya manusia biasa, walaupun dia juga sering memanggil saya si kepala batu. Baiklah Nona, pertama anda harus meyakini jika. Setiap rinai yang jatuh mengandung kehagiaan tak terhingga. Ingat anda harus menyakininya dengan sepenuh hati, atau semuanya tidak akan bekerja." Jeda sebentar, untuk melihat respon si empunya. Meski nampak kebinggungan si gadis tetap menuruti perkataan lawan bicaranya.
"Kemudian mulailah menyambut bahagia itu dengan tadahan yang besar, tampung airnya hingga anda cukup yakin untuk memilikinya." Lanjutnya seraya menunjukkan tadahan tangan, yang menampung penuh tetes gerimis di dalamnya.
Si gadis mulai beranjak, untuk mempraktikkan apa yang baru saja didengarnya. Dia berdiri 4 langkah dari tempat si lelaki berpijak, bersekon setelahnya hanya suara deras gerimis yang mengisi halte bis di sore menjelang malam itu. Hingga tadahan si gadis penuh, dirinya mulai menjulurkan tangan agar si lelaki melihat jika tugas pertamanya selesai.
"Bagus sekali, Nona. Sekarang anda cobalah membaca airnya, jangan melihat saya begitu. Saya tidak bergurau, lihatlah tadahan tangan anda dulu, untuk buktikan ucapan saya." Seruan si lelaki menggema, saat mendapati sang lawan bicara menatapnya dengan mata memicing.
"Anda jangan melantur, Tuan. Hanya ada air di-" belum selesai kalimatnya terucap, suara si gadis langsung tercekat. "Bagaimana, bagaimana bisa ada tulisan di atas air. T-tuan, anda sungguhan manusia kan?" Sambungnya linglung.
"Saya manusia biasa, Nona. Anda melakukan arahan dengan baik, sekarang bacalah dengan keras setiap bait yang tertera dari tadahan gerimis itu." Tuntut si lelaki, diiringi senyum samar yang sangat tipis dari ranumnya.
"BERDIRILAH, MELANGKAH DAN BERLARI; HIDUPLAH DENGAN SUKA CITA. MENGENANG ADALAH HAK ISTIMEWA DALAM HIDUP, MELUPAKAN ADALAH KEBODOHAN ORANG YANG HIDUP." Seruan lantang si gadis, mengisi ruang kosong dijalan kota sore itu.
Tepat setelah bertutur, si gadis jatuh terduduk. Seolah kalimat yang dirinya ucapkan, telak menggembleng tubuh ringkih itu hingga tersungkur. Tak dia pedulikan gaun kusut kelabunya yang sekarang bercampur genangan air keruh. Atau kaki yang dirajam rintik gerimis hingga basah. Pipinya bahkan sudah membentuk anak sungai kecil. Sekarang perasaannya mulai membaik, meski hanya semili-sekon, setidaknya ia bisa sedikit bernapas.
Sementara si lelaki nampak tak beranjak, ia masih setia mengeja gerimis, dalam tadahan tangannya. Petrikornya, lagi-lagi benar. Kalimat di sana masih sama, seperti bertahun lalu.
.
.
.
Sore tahun 2008, awal musim penghujan menyambangi bumi. Di kamar sederhana berwarna monokrom, seorang gadis remaja terlihat kesal karena kehadirannya tak digubris si pemilik kamar. Sekarang sedang gerimis, dirinya ingin main di luar. Tapi tidak mau bersenang-senang sendiri, maka dari itu, ia masuk ke sini dengan niat baik untuk mengajak adiknya ikut serta.
"Janu, ayo keluar! Aku akan mengajarimu mengeja gerimis lagi."
"..." Tak ada respon dari lawan bicaranya.
"Aku tahu kau kesal, berhenti memicingkan mata kecilmu itu. Kau belum bisa membacanya, karena kau tidak memahami konsep yang kuucapkan," tak ada respon berarti dari si empunya. "Kalau kau sudah bisa, kau pasti akan tercengang. Tadahan setiap orang memiliki pesannya masing-masing. Kerennya, kata di sana tak akan berubah atau hilang sebelum si empunya bisa menakhikkannya," lanjut gadis belia itu, kepada yang lebih muda.
Sementara targetnya malah sibuk meneruskan goresan pensil pada sketsa kasar dalam buku gambar berukuran A3.
"Kak Yuni kalo mau mendongeng nanti saja, aku harus menyelesaikan sketsaku. Atau Mama akan mengomel lagi hingga telingaku pengang, seperti minggu lalu." Balas si empunya tanpa berhenti mengayunkan tangannya untuk membuat goresan.
"Kau tak asik, sama seperti Mama. Baiklah lanjutkan agenda membosankan itu, aku akan bermain gerimis sendiri saja. Tsk, padahal dulu Janu-ku adalah lelaki kecil yang manis. Dasar kepala batu, huh." Omelnya sambil berlalu pergi. Si adik hanya bisa menghela napas pasrah sebagi respon. Kakaknya selalu kekanakan.
.
.
.
Lepaskanlah dengan hati yang bijak, kenanglah dalam masa terbaiknya saja. Kalimat yang selalu bertengger dalam bait gerimis miliknya. Tepat setelah Kak Yuni pergi, untuk bermain bersama gerimis tanpa pernah akan kembali lagi.
"Kehilangan ternyata tak pernah mudah, ya kan Nona?" Lirih si lelaki, sembunyikan segala emosi yang coba meruntuhkannya, lagi.
;
;
;
;
18 Agustus'24