Nyaris sepekan seseorang ini mengikuti. Terkadang bersembunyi di balik perdu, kadang di rimbun bambu, di pokok cemara, atau seperti hari ini dia menggelantung di antara buah maja. Dengan sedikit tenaga dalam, puan menyentil batu seibu jari, berdentam gugur beberapa buah sekaligus menjatuhkan Nalaya.
Nalaya salah tingkah tertangkap basah.
"Engkau cantik, Puan..." tanpa tedeng aling-aling.
Wajah puan ayu memerah seketika. Lemas, seperti tak bertenaga. Dia melempar pandang, menjauh, melarikan diri pada ilalang nun di sana. Sebentar saja, selebihnya dia mampu menguasai diri.
"Tak punya keberanian lebihkah hingga harus menunggu sepekan untuk berwujud?" pertanyaan puan memperhalus pernyataan bahwa si pemuda bertindak pengecut.
Namun bukan Nalaya kalau tak bisa berkelit.
"Akh, Puan... apakah engkau titisan Dewi Uma, demikian indahnya? Hingga membuat seorang seperti aku sukarela menjadi pengecut?"
"Bisa jadi Durga menitis aku, penjaga kubur-kubur, hingga kau pun harus keluar dari liang dan mengaku wajah kepadaku," puan ayu meladeni Nalaya bermain kata-kata.
"Sungguh pandai kau berbalas kata. Maafkanlah sikapku yang tak berbudi dan tak tahu sopan santun ini. Perkenalkanlah, aku Tranggana Nalaya. Sudikah kiranya Puan membagi nama? Tentu mudah kelak kita saling sapa."
Wajah puan dingin. Lalu bersiap melangkah, "Aku tak bernama, anggaplah demikian."
Nalaya mengejar.
Ibarat kata Rajapala sudah kepincut satu bidadari, mencuri pun tak jadi soal agar bisa diperistri. Dia memang berniat mencuri. Bukan selendang, melainkan hati.