Unsight

 Raeliana menoleh, mengamati seorang pemuda yang berdiri agak jauh darinya.

Sekarang sudah lewat pukul lima sore. Raeliana sedang di halte, menunggu bus jurusan arah rumahnya. Tadi sepulang sekolah, dia memang sempat bermain ke rumah teman sekelas terlebih dulu.

 "Mobil. Truk. Bemo."

 Dahinya berkerut, merasa heran mendengar gumaman si pemuda lagi.

Penampilan si pemuda biasa saja, tidak ada yang aneh kecuali fakta bahwa dia hanya berdiri di pojokan dan bergumam sambil memandangi jalanan.

 "Pegawai. Pengusaha. Tua. Muda. Laki-laki. Perempuan."

 Kali ini Raeliana sedikit memiringkan kepala. Berpikir.

 Kenapa si pemuda menyebutkan berbagai macam hal secara acak? Apa dia sedang menghafal?

 "Merah. Hijau. Kuning."

 Raeliana mengerjap, semakin merasa heran karena orang-orang di halte hanya bersikap biasa seolah sikap si pemuda itu hal yang wajar.

 Dia ... kenapa, ya? batinnya, tidak habis pikir.

Namun rupanya Raeliana tidak perlu terlalu lama berpikir karena ada seorang perempuan baya yang datang tergopoh-gopoh dan langsung menghampiri si pemuda.

 "Aduh .... Maaf ya, Nak. Ibu terlambat menjemput," ujarnya sembari tersenyum sayang. "Ayo, kita pulang. Pegang tangan Ibu ya, hati-hati."

 Mata Raeliana sontak melebar sewaktu ibu itu menuntun si pemuda.

 "Dia buta, Mbak," bisik orang yang berdiri di dekatnya, seorang perempuan pekerja berusia sekitar tiga puluhan. "Pemuda itu korban tabrak lari. Kejadiannya tiga bulan lalu, di penyeberangan di depan halte ini. Waktu itu ada sebuah mobil sport yang menerobos lampu merah dan langsung menabraknya, lalu kabur. Sejak itu dia jadi berkelakuan aneh, berdiri berjam-jam di pojokan halte sambil bergumam tidak jelas. Yah, mungkin karena stres. Kasihan."

 "Oh!"

 Beberapa saat, Raeliana masih berdiri termangu. Dengan perasaan iba, dilihatnya si pemuda yang tengah dituntun perempuan baya yang mungkin ibunya itu. Namun kemudian dahinya berkerut, mendengar beberapa kata yang digumamkan si pemuda saat melintas di dekatnya.

 "Bunuh. Pisau. Tikam. Bunuh. Pisau. Tikam. Bunuh. Pisau. Tikam. Mata."

 "I—tu ... maksudnya apa?" bisiknya, meneguk ludah dan merasa merinding.

 Menarik napas dalam, Raeliana mencoba tidak memikirkannya lebih jauh. Toh, mungkin saja dia hanya salah dengar 'kan?

Tidak lama, bus yang ditunggunya datang dan Raeliana bergegas pulang. Dia pun segera melupakan soal pertemuannya dengan si pemuda di halte bus.

 Tiga hari kemudian, terjadi kasus pembunuhan yang dimuat secara besar-besaran dalam berita.

 Seorang pengusaha muda ditemukan tewas di sebuah taman di dekat apartemennya. Ada banyak luka di tubuh korban, terutama bagian kedua mata yang ditusuk secara brutal sehingga hancur.

 Tidak ada saksi mata atas kejadian tersebut. Namun yang lebih aneh adalah sejak saat itu, si pemuda yang biasanya ada di halte bus, tidak pernah lagi terlihat.

5 disukai 7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction