ANAK KECIL PENABUH TAMBUR
Oleh : denhenry
Bapak adalah pendukungku nomor satu. Tentu ibuku juga, tetapi Bapak adalah yang nomor satu. Saat aku dipilih sebagai penabuh tambur pada pawai berikutnya di desaku, Ibu menjahitkan bagiku sepasang rompi dan celana merah dari bahan beledu. Saat kucoba pakai bersama kemeja putih itu, amboy! sungguh gagah aku.
Tetapi Bapak, rasanya tak ada yang mengalahkan dukungannya padaku. Dibuatkannya aku sepasang tongkat penabuh dari kayu Jambu. Dipilihnya batang kayu yang paling liat lalu diukirnya tiap lekuk dengan hati-hati. Saat sudah mulai berbentuk, diserutnya dengan beling berujung runcing supaya halus seratnya, lalu dilapisinya dengan meni berwarna gading hingga tampak kuning kemilau.
Saat ku coba, berat dan panjangnya sungguh pas di tanganku. Tapi tunggu sampai kau dengar suaranya, saat kupukulkan pada kulit tambur itu, begitu bulat dan nyaring. Aku yakin, tak ada yang punya tongkat penabuh sebagus milikku ini.
Bila tiba waktuku berlatih, diboncengnya aku diatas sepeda anginnya itu ke lapangan desa. Aku belum diajari satuan jarak, tapi sekalipun sudah, bagiku itu cuma angka dan baris huruf yang tak ku mengerti maknanya. Jadi biar ku jelaskan saja padamu seberapa jauh jarak dari rumahku ke lapangan itu. Bayangkan seekor burung Pipit yang mampu terbang dengan cepat karena bobotnya yang ringan itu, dia akan perlu setidaknya dua belas kali hinggap untuk beristirahat jika ingin mencapai lapang dari rumahku. Nah, sekarang kau tahu betapa jauhnya itu.
Sepanjang aku berlatih, tak hentinya Bapak memandangku dengan matanya yang berbinar-binar. Barangkali ia bangga dan mengagumiku, atau tongkat penabuh di tanganku, entahlah. Yang jelas melihat Bapak di sana membuatku tenang meski kadang ada saja satu dua pukulanku yang melenceng dari temponya.
Latihan selesai tepat saat tonggeret mulai bernyanyi. Bapak cepat-cepat mendudukkanku ke boncengan sepedanya. Beliau sendiri duduk di atas sadel dan mengayuh dengan tangkas dalam diam. Melewati bukit-bukit berlatar langit senja, tanpa henti kami melaju, takut hari keburu gelap sebelum kami sampai ke rumah dimana Ibu sudah menunggu.
***
Latihan berikutnya, aku menangis begitu keras saat tiba-tiba tongkat penabuh ku yang kuning kemilau itu mendadak patah saat lagu mencapai klimaksnya. Bapak segera menghambur masuk barisan dan menghiburku. Di balik pandangan yang meremang karena air mata, ku lihat kelabu di wajahnya. Barangkali ia turut merasakan sedihku, atau kecewa karena maha karyanya tumpas begitu saja sebelum melaksanakan tugas mulia, entahlah.
Latihan selesai sebelum tonggeret mulai bernyanyi. Pada hari-hari seperti ini, biasanya kami singgah dulu di warung Mak Dai, menikmati segelas air tebu dan segenggam kue warna-warni. Namun tidak hari ini. Bapak cepat-cepat mendudukkanku ke boncengan, lalu beliau sendiri duduk di atas sadel dan mengayuh dengan tangkas dalam diam. Lebih diam dari biasanya, hingga nyanyian tonggeret terdengar begitu riuh di telinga.
Malam sudah larut dan Bapak masih terjaga. Dikumpulkannya berbagai macam batang kayu yang ia temui dari ladang belakang rumah hingga kaki bukit sana. Sebagian ku kenali sebagai kayu Melinjo, Kelengkeng dan Kopi. Matanya tampak berkilat-kilat di bawah sinar petromaks, memilih batang yang lurus dan liat.
Esok paginya ku lihat beberapa pasang tongkat penabuh sudah berbentuk. Bapak berdiri dalam diam memandangi karya-karyanya sambil berkerut dahi. Ditimangnya masing-masing tongkat penabuh itu dengan kedua tangan, dilihatnya dengan teliti sambil memicingkan satu matanya, lalu dilecut-lecutkannya seolah memukul tambur tak kasat mata. Namun tak kunjung diselesaikan lalu diserahkannya padaku. Barangkali masih belum sempurna, pikirku.
Hingga hari latihan berikutnya tiba, aku tak kunjung menerima ganti tongkat penabuh ku yang patah. Bapak masih saja sibuk memotong, memilah, mengukir, membentuk dan menyerut. Kini hampir semua kayunya tak ku kenali, barangkali Bapak mencari ke atas bukit atau sampai ke pinggiran hutan sana.
Dititipkannya aku berangkat latihan, berboncengan bertiga dengan Umay dan bapaknya. Umay duduk di tengah berpegangan pada sadel, sedang aku sedapat-dapatnya mengait pinggiran celananya supaya tak terpelanting ke belakang ketika bapaknya mengayuh dengan laju. Susah payah ku jaga keseimbanganku di atas boncengan dengan setengah pantat melayang di udara, setengahnya lagi berbagi dengan pantat Umay yang gempal. Bayangkan menahan posisi itu, sejauh jarak terbang burung Pipit yang perlu setidaknya dua belas kali hinggap untuk menyelesaikannya.
Tonggeret sudah mulai bernyanyi. Ku selesaikan latihanku, meminjam tongkat penabuh milik bang Madun, pelatihku. Bapak tak kunjung menjemput. Terpaksa kutempuh lagi jarak yang setidaknya perlu dua belas kali hinggap bagi burung Pipit untuk menyelesaikan terbangnya itu, berdesakan kembali dengan pantat Umay yang gempal.
***
Hari pertunjukan pawai tiba, namun Bapak tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Sudah beberapa hari ini beliau tak pulang. Kata Ibu, beliau mencari kayu Besi yang cuma ada jauh di dalam hutan sana. Ya, Bapak masih mencari bahan terbaik untuk tongkat penabuhku.
Jangan tanya bagaimana keadaan rumahku. Batang-batang kayu berbagai ukuran centang perenang memenuhi halaman belakang yang tak seberapa. Alat-alat tukang dari yang sederhana macam palu dan pahat hingga yang rumit berbentuk aneh-aneh turut memeriahkan suasana, terbengkalai dalam berbagai posisi, tersebar ke seluruh sisi.
Hari itu akhirnya aku diantar Ibu. Ku pakai celana dan rompi merah beledu di atas kemeja putihku. Ku sambar saja salah satu tongkat penabuh yang belum dilapisi meni itu dan ku selipkan di pinggangku. Tanganku berpegangan kuat pada sadel, dan kami menempuh jarak yang setidaknya perlu dua belas kali hinggap bagi burung Pipit untuk menyelesaikan terbangnya itu dalam diam. Barangkali kami melamunkan hal yang sama, kapan Bapak pulang?
Sepanjang penampilan aku terus melirik ke barisan penonton di kiri kanan. Wajah yang membuatku tenang itu tak kunjung nampak. Hingga pawai selesai dan penonton menyepi, tetap hanya ada Ibu yang memaksakan senyumnya padaku, berdiri di bawah pohon Randu sambil tangannya meremas-remas ujung bajunya dengan gelisah.
***
Bapak pulang membawa tongkat penabuh yang kuning kemilau. Aku menerimanya dengan senyum yang kupaksakan lalu kusimpan di bawah dipan.
Malam itu aku bermimpi, pada jarak yang setidaknya perlu dua belas kali hinggap bagi burung Pipit untuk menyelesaikan terbangnya itu, ada sepasang bapak dan anaknya berboncengan sepeda angin. Bapaknya mengayuh dalam diam sementara anaknya bercerita tentang semua hal yang ditemuinya. Sesekali ditepukinya paha sang anak pelan dengan satu tangan, tanda ia mendengarkan.
Melewati bukit-bukit berlatar langit senja, sang anak diam-diam berharap jika saja waktu bisa dibekukan selamanya.