Mendarah

Pagi ini, aku kembali mendatanginya. Bukan mendatangi secara langsung dan bertatap muka dengannya. Tapi, hanya mengamati dari jarak yang cukup jauh dari rumahnya.

Sebut aku pengecut karena tidak berani langsung menemuinya. Sebut aku penakut karena hanya berani melihatnya dari kejauhan. Tapi, hanya ini yang bisa kulakukan, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Dari balik pohon cemara, aku melihat dia baru saja keluar dari rumahnya. Dengan setelan kemeja biru dan celana bahan berwarna hitam, kulihat dia tengah bergegas untuk berangkat bekerja.

Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Setiap kali melihat wajahnya, entah mengapa hatiku langsung diselimuti rasa rindu yang amat sangat.

Namun, senyum di wajahku langsung memudar seketika, ketika melihat ada seseorang yang mengekor di belakangnya. Sesosok wanita, yang kuakui berwajah cantik, dengan sumringah melepas kepergian dia.

Seperti rutinitas suami istri pada umumnya, dia mencium kening wanita itu sebelum pamit untuk bekerja.

Ya, dia dan wanita itu adalah sepasang suami istri. Lebih tepatnya, dia seorang suami dan wanita itu adalah istri barunya.

Hatiku tiba-tiba saja mencelos sakit menyadari kenyataan pahit itu. Lelaki itu, lelaki yang selalu kuamati dari jarak jauh adalah lelaki yang sudah bahagia bersama wanita lain. Benar-benar sebuah kenyataan yang tentu saja membuat hatiku sakit.

Tanpa terasa, air mataku jatuh. Saking tidak kuatnya melihat kebahagiaan yang ditunjukkan dia dan istri barunya. Tapi, buru-buru kuusap air mataku agar tak jatuh lagi. Sekuat tenaga aku menahan kesedihan dan kekecewaan yang kurasakan.

Tidak, aku tidak boleh terus begini. Aku tidak boleh menangisi lelaki yang sudah tidak pernah memperdulikanku lagi. Aku tidak boleh meratapi lelaki yang sudah tidak menganggap aku ada.

Tidak boleh.

Aku harus ingat, ada hati yang harus kujaga. Ada seseorang yang lebih menyayangi dan mencintaiku sepenuh hati. Seseorang yang selalu setia menungguku di rumah.

Ada seseorang yang paling mencintaiku di dunia ini. Seseorang yang rela mengorbankan segalanya untukku. Seseorang yang akan sedih jika tahu kalau aku masih memikirkan lelaki itu.

Ya, aku harus melupakan lelaki itu bagaimana pun caranya. Aku tidak boleh lagi merindukannya. Cukup hari ini aku mengamati dan menangisinya.

Cukup hari ini.

Sebelum aku benar-benar pergi dari tempat persembunyianku, aku menoleh sekali lagi ke arah rumahnya. Lelaki itu sudah masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangannya ke arah wanita itu, sampai akhirnya mobilnya melaju melewatiku yang masih bersembunyi.

Aku menghela napas panjang. Ingin rasanya menangisi lelaki itu sekali lagi. Tapi seperti janjiku tadi, aku tidak boleh lagi mengamatinya seperti ini. Mengamati lelaki itu.

Ya, lelaki itu. Lelaki yang dulu kupanggil Ayah, kini sudah bahagia bersama istri barunya. Dia sudah bahagia dengan hidup barunya, setelah meninggalkan aku dan ibu begitu saja. Tanpa kata, tanpa rasa.

Kini yang kupunya hanyalah Ibu. Dia yang selalu setia menungguku pulang ke rumah. Dia yang selalu mencintaiku tanpa syarat.

Untuk Ibu yang tak pernah menyebut nama Ayah sejak kepergiannya, aku pun juga akan melakukan hal yang sama. Kenanganku bersama Ayah akan kukubur dalam-dalam.

Demi Ibu. Demi wanita yang selalu mengajariku untuk selalu menjadi anak yang tangguh. Demi wanita yang selalu ada di sampingku. Demi wanita yang tak pernah meninggalkanku, meski telah merasakan sakitnya ditinggalkan....

2 disukai 4.7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction