Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
4,956
Sebuah Usaha Meluk Mantan
Romantis

SEBUAH USAHA MELUK MANTAN

Hari itu kau terlihat cantik di mataku. Cantik dengan caramu sendiri, meski tak berbalut bedak sama sekali. Tentu, lengkap dengan alis tebal yang simetris alami itu. Kau sudah lama tahu, alis milikku kalah tebal jika dibandingkan punyamu. Dan terima kasih, kau tak pernah mempermasalahkan ataupun menuntutku ke pengadilan.

Wajahmu teduh menawarkan senyum gratis. Kalau disuruh bayar, aku masih mau nawar. Tarikan pipimu mengalun tanpa paksaan. Tak lupa, dalam setiap tarikan senyuman itu, kau sertai bibir tipis seperti biasa. Tanpa bercak lipstik merah setitikpun. Hingga keseluruhan romanmu, hanya berhiaskan aroma sabun cuci muka. Dan aku lupa merek sabunnya.

Aku menatap puas keseluruhan wajahmu. Wajah yang sama, yang kadangkala membuat aku bangga sedang memilikinya. Pastinya, lengkap dengan hidung besar itu. Hidung besar, yang seringkali dihiasi satu benjolan jerawat 3 cm di samping kirinya. Dan jerawat yang lebih imut lain, berserakan sekenanya. Jerawat yang sesekali membuatmu tak nyaman, dan kau selalu memberi porsi cerita kepadaku atas kebencianmu pada jerawat yang satu itu. Kemudian, aku hanya tertawa tanpa suara. Karena ada ataupun tidak adanya jerawat itu, sama sekali tak berpengaruh terhadap kekagumanku atas kelebihan serta kekuranganmu.

Aku ingat, karena saat itu aku memang sengaja mendekat. Saat tepat kita berhadapan dalam jarak 5 cm seperti yang waktu itu, aku heran kenapa aku tidak pernah bosan terhadapmu selama tiga tahun ini. Aku mencoba mencari tahu. Kulihat matamu, kutatap lamat-lamat dalam jarak sedekat ini. Masih hitam seperti biasa, lalu kenapa rasa cintaku tak pernah biasa?

Aku mengatur posisi. Lebih mendekat sekian senti lagi. Hidung kita bertemu. Aku mengakrabkan hidung kita dengan gesekan ringan nan sederhana. Berharap atas perkenalan keduanya, aku mendapat petunjuk dari orang dalam. Dan saat hidung kita bertemu, aku masih tidak menemukan apa-apa. Kecuali, napasmu yang mulai cepat serta matamu yang pelan-pelan memejam. Dan sisanya, aku tidak sedang ingin menceritakan dalam tulisan ini.

Aku masih belum menemukan jawaban satupun. Kau spesial. Tapi, aku juga bingung bagaimana menjelaskannya. Aku mencoba menarik kedua sudut bibirku. Mencoba menertawakan diri sendiri atas ketidakmampuanku. Dan atas adegan selepas pertemuan hidung itu, kau menyunggingkan senyum. Senyum seperti biasa, tapi manis. Manis bamget. Semoga aku tidak kena diabetes, karena insulin mahal. Dan ajaib, karena senyum yang satu itu. Aku seperti punya kewajiban untuk membalas dengan senyum yang memiliki tingkat keindahan yang sama.

Sekian tahun berlalu. Dan ketika aku sudah menyerah atas pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Dalam diam kemudian hati berbisik. "Cinta itu rasa, rasa alat ukurnya ada di hati. Bukan di panca indera." Aku tertegun sejenak, menikmati kebodohan yang begitu lama, serta rasa syukur yang tiada tara. Kemudian aku kembali tersenyum. Hari itu aku tersenyum karena berusaha terus membahagiakanmu. Dan hari ini, aku juga masih tersenyum karena berusaha ikut berbahagia atas kebahagiaanmu bersama orang lain.

"Cuma mau bilang. Terima kasih, karena kamu udah cakep." :)

-Danasmara

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
endingnya nyesek banget, bikin keseluruhan cerita jadi amat nyesek. Saya kasih 😭😭😭😭😭/😭😭😭😭😭
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi