Jendela untuk pulang

Ada yang berbeda dengan kondisi desa di tepi kota itu hari ini. Di salah satu rumah rewot pemukiman Antah, seorang wanita paruh baya menggigil kedinginan. Tangan keriput si wanita menarik selimut tipis yang membalutinya hingga menutupi seluruh wajah. Ia juga mulai merasa deru napasnya berjalan tidak beraturan. Sesak menikam dadanya tanpa ampun.  

Entah sudah yang keberapa kali si wanita menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Apa yang terjadi wanita itu juga tidak tahu pasti. Dibalik jendela rumahnya ynag tidak kalah buruk, sekumpulan orang menatap awas. Menelisik dalam-dalam wajah yang sesekali tampak saat si wanita menyingkap cepat selimutnya.  

Wajah-wajah dibalik jendela pias menahan gemuruh. Apa yang sekarang harus dilakukan? Sedikit-banyaknya, mereka mengetahui bagaimana cara memutus rantai penyebaran wabah ini. Mereka tahu tidak ada yang nekat mendekat.  

Kali ini, iras panik mereka semakin menjadi-jadi. Mereka gelagapan. Tempias.Mata mereka membulat tak percaya. Perlahan, gerik tak biasa dibalik selimut kian mereda. Si wanita yang beberapa detik lalu bergelut hebat di atas ranjang kini terhenti begitu saja.  

*** 

Gelombang longitudinal merambati udara bebas dalam bentuk kicauan merdu burung angkasa. Matahari tampak menyembul dari arakan awan stratus. Pancarkan cahaya yang terangi sepetak dari sudut bumi. Telakkan pekat yang beberapa waktu lalu menyelubungi. Tak biarkan gulita memerangkap manusia dalam gelap. Bumi berjalan penuh keseimbangan. Mengukuhkan ketegarannya pada beberapa pasang mata yang mengintip dibalik jendela kaca persegi.  

Akhir-akhir ini manusia lebih memilih untuk menetap di rumah masing-masing. Semesta kehilangan hiruk-piruk yang dahulu memadati kota. Gegap ocehan meraib diiringi jejak kaki yang menjauh. Perlahan, satu-dua memilih mundur. Ya, mundur selangkah. Mereka yakin bahwa dengan mundur bukan berarti pertahanan serta-merta mengendur. Siapa yang tahu? Bisa jadi siasat yang sekarang sedang mereka peralat adalah obat di masa kelak.  

Sepasang mata cokelat yang sesekali memejam itu juga menjadi salah satu penonton. Tangan kiri lelaki itu meraih cangkir kecil di sampingnya, menyesap kopi panas miliknya pelan-pelan. Terkadang bibir hitamnya juga mengeluarkan asap kelabu setelah mengisap sebatang rokok yang diapit. Bedanya, dia menikmati tiap-tiap pesona tanpa ada jendela kaca di hadapan. Si lelaki tersenyum hambar. Boro-boro jendela kaca, keberadaan rumah saja tidak jelas!  

“gue bakal pulang, jen!” Aman, si pemilik mata cokelat membuang asal puntung rokoknya sembarang arah. Ia bebrbalik mendekati lelaki yang berpenampilan jauh lebih acakacakan dibanding Aman.  

Ojen menaikkan satu alisnya. Mengedikkan bahu dan berjalan melewati tempat Aman berdiri. “Gara-gara wabah anj**g nggak jelas ini?” Ojen mendecak kesal. Tidak ambil pusing, ia menyopot sebatang rokok baru dari bungkus bergambar paru-paru rusak. Sekali lagi, ia mengedikkan bahu. Siapa peduli? 

Aman mendesah pelan. Ia juga jauh lebih tidak peduli. Entah apa alasannya ingin pulang, Aman tak tahu pasti. Dia mulai merasa tidak nyaman dengan kehidupan yang sedang dijalanninya. Hidup luntang-lantung. Uang hasil dari merampas yang semakin menipis juga kian membebani pikiran. Ditambah lagi, ada rasa aneh yang baru-baru ini mengambil alih penuh konsentrasinya. Bagaimana kabar ibu dan jendela rusak itu di Antah? 

 

 

 

 

  

 

 

   

12 disukai 5.2K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction