BAPAK

Angin semribit mengayun-ayun ujung hijab Salsa. Mendung sudah rata memayungi pusara-pusara acak di pemakaman. Salsa masih bertahan di makam ibunya meski gerimis mulai menyentuhi tanah. Banyak cerita yang siap ia tumpahkan selepas doa-doa ia haturkan untuk almarhum ibunya.

Hai, Bu. Entah mengapa masih cuma ibu yang kupercaya untuk mendengar cerita-ceritaku.

Bu, tiga bulan berjalan tanpa ibu ternyata mampu mengubah banyak hal di rumah. Termasuk aku, juga bapak. Ibu tahu, kan, betapa besar amarahku terhadap bapak? Rasa benciku terhadap bapak karena seringkali memukul ibu tanpa sebab, kini perasaan itu pelan-pelan mulai memudar. Salsa menghela napas panjang, mengambil jeda untuk cerita selanjutnya.

Bu, aku melihat bapak begitu kesepian tanpa ibu. Rasa kehilangan yang rekat di mata bapak karena ditinggal ibu menunjukkan penyesalannya teramat dalam. Sekarang, bapak lebih sering berdiam diri memandangi foto ibu yang menggantung di tembok atas televisi. Aku pernah juga mendapati bapak tertidur di kursi sembari memeluk foto ibu. Jujur saja, perasaanku luluh, Bu. Aku ingin sekali memeluk bapak dan berucap maaf kepadanya. Tetapi, rasanya begitu berat.

***

Pukul sebelas malam, Salsa baru saja menginjakkan kaki di rumah. Bapak sudah pulas di depan televisi yang masih menyala. Salsa mematikan televisi dan berniat untuk mandi setelah seharian bekerja. Namun, langkahnya terhenti, memerhatikan raut wajah bapak yang kian terlihat sepuh. Perasaan Salsa mendadak campur aduk. Ia teringat kebaikan-kebaikan bapak yang selama tiga bulan ini ia tolak karena rasa gengsinya. Kali ini, Salsa ingin menebus itu semua dengan merawat bapak sebaik mungkin.

"Bapak, bangun! Pindah ke kamar tidur," ketus Salsa membangunkan bapak. Meski begitu, sebenarnya Salsa telah mati-matian menepis rasa gengsinya dan berharap bapak merasakan bentuk perhatian kecil dari Salsa.

Menyambut pagi, Salsa menyiapkan sarapan dan secangkir teh untuk bapak. Salsa ingin sekali meladeni bapak, menemani bapak menyantap sarapannya, sharing apa saja sebelum ia pergi bekerja. Tentu saja itu tidak berlaku karena rasa gengsi yang masih menguasai.

"Pak, Salsa siapin sarapan di meja makan. Salsa pergi dulu!" Salsa berlalu setelah berpamitan dengan cara yang baginya sendiri adalah suatu kekeliruan. Sepanjang perjalanan ia membayangkan bagaimana susahnya bapak berjalan dan makan tanpa bantuan orang lain. Ya, produktivitas bapak semakin menurun akhir-akhir ini. Jalannya sempoyongan, membuat Salsa kalut memikirkan bapak.

Sekali waktu Salsa mendapati bapak terjatuh. Hati Salsa ngilu mendengar 'gedebug' suara jatuh bapak. Salsa berlari menghampiri bapak sembari terus mengomel. "Bapak, tuh, nggak hati-hati. Kalau jatuh begini kan, Salsa juga yang repot! Lain kali lebih hati-hati," Salsa menahan air matanya agar tidak tumpah di depan bapak. Sesaat setelah kejadian itu, penyesalan menyelimuti hati Salsa.

***

Bu, Salsa janji akan memperbaiki hubungan dengan Bapak. Salsa bersumpah akan lebih sabar merawat dan menjaga bapak. Sepeti kasih ibu kepada bapak yang tak pernah berkurang secuilpun meski kesakitan terus ibu terima. Salsa akan berdamai dengan bapak, Bu.

Gerimis menjelma hujan. Salsa lekas meninggalkan makam ibunya dan segera bersimpuh di hadapan bapak. Namun, sesampai di rumah, Salsa mendapati bapak sudah tidak bernyawa. Dan untuk pertama kalinya kata maaf terucap dari bibir Salsa. Bersamaan dengan itu, Salsa menemukan sebuah hampers berisikan perlengkapan ibadah. Hampers dari bapak untuk Salsa.

Tangis Salsa pecah.

11 disukai 1 komentar 5.8K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Telat lu, Salsa.
Saran Flash Fiction