Oleh-oleh

 

Aku selalu membawakannya oleh-oleh. Buah tangan yang kubawa tiap kembali dari bepergian, karena setalah ibuku wafat, dia satu-satunya wanita yang dekat denganku,

“Hati-hati di rantau orang,” ia mengingatkan setiap kali aku akan berangkat ke proyek, seperti saat ini.

 “Jangan cemas!” sahutku “Aku bisa menjaga diri. Aku sudah melewati banyak bahaya. Hutan liar,  sungai yang tenang namun menghanyutkan, binatang buas yang mengerikan!”

“Bahaya bukan hanya itu,” ia mendengus. “Bahaya bisa berujud apa saja. Hutan yang lebat, sungai yang menghanyutkan, binatang pemangsa, bahkan nona-nona jelita juga bahaya yang harus kau pikirkan karena bisa membuatmu jatuh.”

“Kau cemburu,” aku tertawa menanggapi ucapannya.

“Siapa bilang?” wajah jelitanya bak kepiting rebus kini.

“Aku tahu kau tidak akan mencemburuiku.” Aku menarik nafas, mencoba mengorek perasaannya.

“Memang tidak!”

“Cemburu itu wujud cinta, dan aku orang yang tidak pantas untuk dicintai, setidaknya olehmu.”

“Bukan begitu!” Ia tampak salah tingkah. ”Siapa saja pantas untuk dicintai, lebih-lebih kamu!”

“Jadi, kau mencintaiku?” dadaku berdegub lebih kencang kini.

Ia merengut.

“Benarkah?” aku tidak mau berhenti menggodanya.

Ia makin salah tingkah. Makin merengut,  wajahnya makin semerah kepiting rebus.

“Tidak?” aku menarik nafas pelan, kecewa. “Sudah kuduga, kau tidak mencintaiku.”

“ Bukan aku yang harus membuat pernyataan itu.”

“Pernyataan apa?”

“Sudahlah, aku ingin kau hati-hati di rantau orang.” Ia bangkit, dan hilanglah kesempatan mendengar pengakuanya.

“Aku akan hati-hati. Oya, akan kubawakan kau oleh-oleh nanti.”

“Tidak usah, asal kau kembali dengan selamat bagiku itu oleh-oleh terhebat. Jaga dirimu, aku menunggumu!”

Oh manisnya.

 “Aku akan menjaga diriku,” aku mengangguk. “Tetapi aku tetap akan membawakan oleh-oleh yang besar untukmu, yang membuatmu tidak akan bisa melangkah,”

Dia tertawa, membantuku mengangkat tas  ke mobil .

Aku melambaikan tangan, pergi.

==

Dia pergi lagi. Entah kapan kembali. Bisa bulan depan, enam bulan lagi atau dua puluh bulan kemudian.

“Sebenarnya aku bosan hidup begini, pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Aku merindukan kehidupan normal. Seperti orang lain, aku ingin punya keluarga, tempat di mana aku pasti menuju bila kembali dari tempat jauh. Jika ada keluarga, kita tahu pasti tujuan kita ketika kembali. Tidak seperti sekarang, aku kembali ke kampung ini hanya karena kakakku masih di sini. Ibu dan ayah sudah tidak ada, jadi sepi dan kosong. Untung kau masih di sini.”

Aku mendengarnya dengan penuh pikiran. Benakku bahkan terus berandai-andai, mungkinkah ia…

“Tapi, menikah lalu meninggalkan istri sendirian juga bukan hidup yang normal,” ia tertawa kecil. “Aku harus terus bekerja, mengumpulkan uang, barulah memutuskan  untuk memiliki keluarga.”

 Aku mengangguk, dalam hati memarahi diri dengan angan yang muncul di kepala. Bagaimana mungkin aku berharap ia akan berhenti bepergian . Andaipun ya,belum tentu ia memilihku menjadi pelabuhannya.

===

Kudengar dia sudah kembali. Pengembaraan yang lumayan lama, hampir setahun, tanpa berita. Entah proyek mana, tetapi kali ini dia pulang dengan bonus berlimpah; mobil baru dan rupiah dalam jumlah yang wah. Itu cerita yang kudengar dari kakaknya.

Oya, dia juga membawa oleh-oleh. Oleh-oleh yang sungguh membuatku tak sanggup melangkah, seperti katanya sebelum berangkat.

   Dia pulang dengan seorang perempuan cantik, yang sudah dinikahinya. Oya, ada sepasang anak juga.    

 

7 disukai 2 komentar 8.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
gaya bahasanya enak banget, jadi betah bacanya. ceritanya pun saya suka. ❣️ mantap. 🌟🌟🌟🌟🌟
makjleb.... padahal udah berharap...
Saran Flash Fiction