Cerita-Cerita Ketika Hujan Datang

Di Pelataran Toko

Tiga orang anak sekolah berteduh di pelataran toko tepat di pinggir sebuah jalan besar. Ketiganya melepas sepatu. Satu anak menyimpannya di dalam tas kresek hitam, satu lagi memasukkannya ke totebag bekas belanjaan, satu yang lain hanya mendekap sepatu itu erat-erat menjaga agar sepatu tak basah.

“Ayahku memberikan tas kresek hitam, untuk wadah sepatu ketika hujan seperti sekarang,” ujar anak dengan kresek hitam.

“Ibuku membawakanku totebag bekas belanjaan, sama juga untuk menyimpan sepatu ketika hujan,” sambung anak dengan totebag bekas belanjaan. Sekali ia melongok ke dalam totebag di tangannya.

Keduanya lantas menoleh ke arah anak tanpa tas kresek dan totebag, berbarengan mereka bertanya, “Kau tak membawa tempat untuk sepatu?”

“Aku tak membawa keduanya, lantaran aku tak memiliki ayah dan ibu. Sejak lama aku telah menjadi yatim piatu…” 

Di Sebuah Rumah

Tepat di seberang toko itu, di sebuah rumah, seorang ibu sedang tampak berdoa di kamar, hujan deras masih bergemuruh di luar sana. Ia berdoa untuk salah satu anaknya yang sedang sibuk bekerja di pulau seberang, juga memohon kelembutan hati untuk sekadar memaafkan seorang manusia. Di ruang keluarga, seorang ayah sedang termangu-mangu menatap hujan, mengingat dirinya di masa lalu, ketika belasan tahun ditinggalkannya rumah ini untuk mencari bahagia di tempat lain. Di ruang tamu, anak bungsu mereka sedang berdiri menatap hujan, ingatannya kembali ke belasan tahun lalu, ketika ayahnya berlari pergi dan tak kunjung kembali, meski kini sosok itu duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Hujan bergemuruh, luka masa lalu masih berdiam di dalam rumah yang nyaris lengkap diisi penghuni.

Di Sebuah Coffee Shop

Sepuluh depa dari rumah yang dingin itu, seorang perempuan muda ingin sekali menyanyi setelah seorang pemuda baik hati mengajaknya untuk saling jatuh cinta. Hujan di luar ditimpa musik dari pelantang suara di ujung ruangan. Ini saatnya, waktu yang dirasanya pas untuk bernyanyi, saat dirinya merasa dicintai. Ia berdiri, merapikan syal berwarna marun di lehernya, dan bersiap meminta izin untuk bernyanyi. Tapi ia baru ingat, pita suara miliknya telah lama terkunci, bahkan semenjak ia masih bayi. 

Di Sebuah Taman

Tak jauh dari coffee shop, di sebuah taman, hujan masih betah dan seakan tak akan kunjung berhenti. Seorang pemuda berjalan di taman, seikat bunga gladiol dan krisan dibawanya dengan hati-hati. Air menetes dengan deras dari payung miliknya, tapi ia tak peduli, hari ini rasa cintanya haruslah disempurnakan kepada gadis itu, kawan karibnya sejak kanak dulu. Di sebuah gazebo di tengah taman, matanya menangkap dua sosok itu. Gadis kecintaannya dan seorang pemuda yang entah siapa sedang menghabiskan waktu berdua. Di bawah hujan, di sebuah taman, seorang pemuda menemukan jawaban bahwa cinta tak begitu mudah beralih rupa menjadi suatu kesempurnaan, dan kali pertama ia tahu bagaimana rasanya patah hati itu, serasa nyaris sesak napas lantaran menahan gugu. 

Di Langit

Hujan masih betah turun, tampaknya hujan tak begitu peduli dengan segala kemuraman atau sekadar patah hati, lantaran hujan demikian mencintai bumi.

2 disukai 5.8K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction