Ojek Payung

Di antara rintik gerimis yang melambai lembut, tak jarang kau temui berlusin-lusin bocah berbaris tanpa alas kaki. Tangan kanannya membawa sebuah payung yang dikembangkan. Dan dua-tiga lainnya bergelantungan di lengan kiri siap disewakan.

Rini, gadis penyemir sepatu yang biasa menenteng kotak perkakas berisi alat-alat semir mulai mengganti peluang penghasilannya melalui ojek payung begitu musim penghujan tiba seperti teman-temannya.

“Ojek payung, Kak?” tawar Rini pada seorang laki-laki yang berteduh di halte begitu gerimis berubah menderas.

“Nggak, Dek,” tolak laki-laki tadi. 

“Habis kampanye, Kak?” masih tanya Rini melihat kaos bergambar salah satu partai politik yang laki-laki itu kenakan. “Jadi orang dewasa itu enak. Dapat kaos, dapat duit, dapat nasi kotak pula selepas kampanye.” 

Laki-laki bernama Wahyu itu mulai tertarik dengan celetukan Rini.

“Kamu tahu apa soal kampanye?”

 “Tahu sekali lah, Kak. Bapak dan Kakek saya sudah biasa ikut kampanye. Peserta kampanye bayaran.” 

Wahyu tergelak. “Tapi saya bukan peserta kampanye bayaran lho, Dek. Saya pendukung setia partai ini.”

Kali ini justru Rini yang tertawa. Saat Wahyu hendak bertanya, bocah itu sudah berlari menghampiri seorang pelanggan yang menyewa payungnya.

Beberapa siang berikutnya, Wahyu yang habis penasaran pada tawa Rini waktu itu, memutuskan pergi ke halte tempat Rini menjajakan payungnya. Seperti yang ia duga, bocah itu berlarian kesana kemari menawarkan payung di tengah hujan. 

“Dek!” seru Wahyu. Rini yang melihatnya segera menghampiri. Pakaian kumalnya tak berubah. Tapi pancaran matanya tak kalah cemerlang seperti siswa sekolah terdepan. 

“Ojek payung, Kak?” tanya Rini masih mengenali Wahyu.

“Sini, kamu!” Wahyu menepuk tempat duduk kosong di sampingnya. “Kamu jawab pertanyaan saya, nanti saya bayar dua kali lipat dari jasa ojek payung kamu.” Rini menantap Wahyu dengan raut bingung.

“Waktu kemarin, kenapa kamu tertawa saat saya bilang pendukung setia salah satu partai politik?” Rini mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha mengingat-ingat percakapannya bersama Wahyu di kesempatan yang lalu.

“Ooh... itu?!” seru Rini, “Habis kakak lucu sekali.”

“Lucu bagaimana?” Wahyu bertanya semakin penasaran.

“Bapak saya mau ikut kampanye karena memang menghasilkan, Kak. Dapat duit. Tapi kakak mau-mau saja ikut kampanye sukarela. Buang-buang waktu, buang-buang tenaga, jadi burung beo bersorak-sorak mengikuti pemandunya. Tak dibayar pula.”

“Tapi saya itu yakin kalau partai yang saya pilih bisa memakmurkan negara ini.” tukas Wahyu percaya diri. Sedangkan Rini nyengir sambil menggelengkan kepalanya.

“Semua partai itu sama, Kak. Kalau menang, suka lupa. Makanya saya bilang Kakak itu lucu. Padahal kalau betulan menang di pemilihan nanti, nggak jamin mereka ingat sama janjinya.” Wahyu, meskipun tidak setuju dengan ucapan Rini, ia masih mendengarkan celotehan Rini tak berhenti untuk tertarik. Dari penampilan, Rini tampak seperti anak yang tak pernah merasakan bangku sekolah. Tapi Wahyu belum pernah menemukan bocah yang memiliki pemikiran semacam Rini. 

“Kalau mereka tepat janji, dan berpolitik demi kepentingan bangsa, saya pasti nggak bakal putus sekolah seperti sekarang.”

Wahyu tertegun pada ucapan bocah itu. Celetukan yang berhasil memukul kesadarannya atas fakta kaum papa di negeri ini. Rini mengulurkan tangannya menagih janji Wahyu yang akan membayarnya dua kali lipat. Begitu melunasinya, ia tersenyum menatap bocah yang kembali menawarkan ojek payung pada pejalan kaki di sekelilingnya. Yang mungkin saja sama butanya seperti dirinya. 

12 disukai 2 komentar 5.8K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Sejak pandemi korona nggak ada lagi ojek payung di kota saya. Jadi ingat bertahun lalu ketika dunia masih aman dan nyaman.😊🤗
Mengena sekali 👍👍
Saran Flash Fiction