Peniru Ulung

Pada sore hari Rino, Aldo, Icha dan Kemal sedang bermain membuat istana pasir di kolam pasir di taman bermain yang ada di sekitar perumahan mereka. Mereka masih TK. Setahun lagi mereka akan masuk SD.

"Akhirnya selesai juga," ucap Kemal.

"Iya, jadi bagus," ucap Icha senang.

"Bentar, ya, aku pinjem hape mama dulu buat foto," teriak Aldo lalu berlari ke rumahnya yang memang dekat dengan taman bermain.

Tiba-tiba Miki, Mika dan Niko datang. Mereka anak kelas 5 SD. Mereka suka mengganggu anak lain.

Miki menendang istana pasir itu dan membuat semuanya menjadi berantakan. Lalu Mika dan Niko juga ikut membuat kerusuhan.

"Kok diberantakkin?" protes Icha.

"Kenapa emangnya?" bentak Miki dan melototi Icha. Icha melangkah mundur ketakutan.

Saat Miki hendak memukul Icha, Rino langsung menghalangi, "Gak boleh!" Miki langsung memukul Rino hingga terjatuh. Rino pun membalas dengan pukulan. Akhirnya mereka bertengkar.

Mika, saudara kembar perempuannya Miki, menengahi dan menarik Miki untuk pulang. "Aku laporin ke papa mama!" ancam Mika. Miki, Mika dan Niko langsung berbalik pulang.

Aldo yang baru datang terkejut istana pasirnya berantakan dan Rino terlihat memar di pipinya. Icha langsung menangis kencang, sedangkan Kemal membantu Rino berdiri.

***

Panji, ayahnya Rino baru saja pulang dari kantor. Setelah berganti pakaian, ia mengetuk pintu kamar Rino. Bi Minah, seorang asisten rumah tangga menghampiri dan berkata pada Panji, "Maaf Pak, tadi Rino pulang pipinya memar. Kata temennya, Rino habis dipukul sama Miki, anaknya Pak Tama."

Panji pun langsung membuka pintu kamar Rino. Di sana terlihat Rino sedang tiduran memunggungi ayahnya. "Rino, sini coba papa lihat," Panji berkata halus.

Rino berbalik lalu Panji menarik dan memangku Rino. Bi Minah datang membawakan obat memar. Panji mengoleskan obat pada memar di pipi kanan Rino pelan-pelan. "Habis ini kita ke rumah Miki, ya."

***

Malam harinya Panji menggandeng Rino menuju rumah Pak Tama, ayahnya Miki. Rumah Pak Tama menggunakan dinding kaca sehingga isi rumahnya terlihat dari luar. Saat mereka sudah di depan rumah Pak Tama, Panji terkejut dengan apa yang dilihatnya di dalam rumah itu.

Plaak! Pak Tama menampar Miki dengan keras. "Kamu mau jadi anak apa, hah? Preman?" teriak Pak Tama.

"Maaf, Pa," ucap Miki pelan sambil memegang pipinya yang sakit. Tanpa sadar ia mengeluarkan air mata.

"Anak laki-laki gak boleh cengeng!"

"Iya, Pa," Miki buru-buru mengusap air matanya.

Panji langsung buru-buru mengetuk pintu. Ia tampak khawatir. Pak Tama membukakan pintunya. "Ooh Pak Panji. Baru saja saya dan Miki mau ke rumah bapak," sambut Pak Tama. "Silakan masuk, Pak."

"Bi, tolong bikinkan teh, ya," perintah Pak Tama pada asisten rumah tangganya.

"Tidak usah repot-repot, Pak," sela Panji. "Saya hanya sebentar, kok."

"Sebelumnya saya minta maaf, ya, Pak atas perlakuan anak saya ke Rino," Pak Tama memohon pada Panji. "Saya akan memberinya hukuman."

"Sebenarnya tadi kami sempat melihat Pak Tama menampar Miki," ucap Panji.

"Maaf, Pak Panji jadi melihat..."

"Maaf, Pak, saya bukan bermaksud menggurui," potong Panji. "Menurut saya sebaiknya Bapak jangan menampar Miki. Justru hal itu membuat Miki jadi meniru Bapak untuk menampar dan memukul anak lain. Kalau begitu, saya permisi."

Panji menggendong Rino lalu pulang.

4 disukai 4.2K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction