Disukai
0
Dilihat
1177
Seribu Asa Kunanti
Drama

Semilir angin bertiup lembut membelai-belai rambutku, gemuruh ombak pantai pasir putih Bira menemaniku dalam kesepian yang kurasa. Aku kembali lagi ke sini, ke tempat terakhir kali kita berpisah satu tahun yang lalu. Aku masih teringat ketika kita masih sama-sama menempuh pendidikan di SMA dua tahun yang lalu, ketika kita pertama kali menyatukan hati kita dalam satu kata cinta. Pantai ini menjadi saksi indahnya mekar bunga-bunga cinta kita, kamu sering mengajakku kemari karena ingin menyatukan hati kita yang kadang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu karena kamu lahir di daerah pantai, kamu sering bercerita kepadaku tentang keindahan dan keistimewaan kehidupan pantai. Sementara aku yang lahir jauh dari kehidupan pantai, sering menyangga pembicaraanmu ketika kamu menjelaskan keistimewaan itu, malah aku merasa takut ketika kamu mengajakku datang ke tempat ini. Aku takut dengan kehidupan pantai, karena aku merasa trauma ketika mengingat tragedi tsunami di Aceh. 

Aku memang bukan orang Aceh, aku lahir di Bulukumba, namun tsunami Aceh adalah bekas yang menyakitkan bagiku, sebab tsunami itu telah menelan kakakku sebagai korban ketika dia sedang menjalankan tugas di sana sebagai anggota kepolisian. Mulai saat itu aku selalu teringat peristiwa tragis tersebut ketika melihat gelombang ombak. Namun kini ketika kamu telah berlalu dalam dekapan harapanku, semuanya telah berubah, Mila yang dulu sangat takut ketika melihat gelombang ombak, kini telah berubah menjadi Mila yang sangat berani menatap ombak. Aku tidak tau kenapa sikapku kepada ombak begitu drastis berubah, mungkin inilah yang pernah dikatakan oleh sahabatku Amelia dulu, bahwa nanti aku akan berani menatap ombak karena kekuatan cinta yang kita miliki. Dan kekuatan cinta yang kita miliki pula yang membuatku setia menunggumu di sini, di pantai ini. Walau kedatanganmu tak juga ku tau kapan sebenarnya kamu datang merangkulku dan memelukku dalam dekapan rindumu.

Satu tahun yang lalu, ketika kamu mengajakku ke pantai ini, ketika itulah perpisahan kita bermula tanpa pernah kuduga sebelumnya. Bahkan ketika kamu pergi meninggalkanku sendiri, dengan alasan ingin membelikanku makanan yang bisa kita makan bersama, namun hingga pagi menjemput mentari bersinar, kamu juga tak kunjung datang seperti janjimu. Aku tidak tau bahwa kepergianmu kala itu adalah akhir bagiku melihat senyummu, senyum yang membuatku luluh mengikuti ajakanmu kemari, walau aku takut melihat ombak. Senyum itu pula yang menjadi obat bagiku ketika aku sakit, aku tidak tau sejauh mana senyum bisa menjadi penyembuh terhadap penyakit yang diderita, aku tidak tau apakah ada dalam ilmu medis yang menjelaskan keampuhan senyum tersebut? Yang pasti ketika aku melihat senyummu, sesukar apapun kehidupan yang kurasakan, seberat apapun beban yang kupikul, semuanya berubah laksana bunga yang mekar di kala hujan menyirami bumi. 

Namun kini ketika kamu telah tiada, dan ketika senyum itu juga pergi mengikuti langkahmu, semua terasa berbeda, kadang angin yang bertiup sepoi terasa hampa membawa semerbak udara yang membuatku sesak. Sesak karena sudah satu tahun lamanya aku menunggumu di sini, sejak kepergianmu itu. Aku hanya kembali kerumahku ketika orang tuaku datang menjemputku, namun ketika pagi tiba aku datang lagi kemari di pantai ini menunggumu hingga sore tiba. Aku juga tidak bisa tinggal di rumah, sebab di rumah kini menjadi penjara bagiku, Ibuku sering memintaku untuk menerima pendapatnya tentang kedatangan pemuda yang hilir mudik ke rumahku untuk melamarku. Apalagi pemuda-pemuda yang datang ke rumahku adalah pemuda yang sesuai dengan strata sosialku, semua yang datang kepadaku adalah keturunan darah biru, sama sepertiku.

Dalam kondisi yang sangat sulit ini, aku selalu berharap kamu datang kepadaku menjadi pelindungku, melindungiku dari teriknya mentari dan dinginnya malam. Tetapi semua itu hanya harapan belaka, harapan yang hanya menjadi kemungkinan namun tetap ku percaya demi dirimu yang meninggalkanku disini. Aku tidak tau kenapa aku begitu setia menunggumu disini, menatap gelombang ombak, membasahi kakiku dengan air laut, seperti ketika kita masih bersama beradu kata memperdebatkan kehidupan pantai dan kehidupan daratan. Semua itu aku lakukan hanya untuk mengobati perasaan rindu kepadamu, aku sudah tuli mendengar comelan dan bahkan hinaan mereka yang melihatku disini, aku sudah buta melihat riuh pengunjung pantai ini, aku bahkan bisu membicarakan selain kata-kata yang biasa kita bicarakan. Semua ini aku lakukan demi menunggumu, menunggu kedatanganmu kembali.

Dalam kehidupan ini hanya dua orang yang menjadi tumpuanku, kamu dan ibu. Aku masih ingat ketika kamu berkunjung ke rumahku di Bonto Tangnga dulu, ketika itu aku memperkenalkanmu kepada kedua orang tuaku, hari itu ayahku hampir mengusirmu keluar dari rumah. Alasannya hanya satu, ayah tidak mengizinkanmu dekat denganku karena strata sosial kita beda, aku berdarah biru sedang kamu berdarah biasa. Namun ibu pada hari itu sangat bijaksana, ibu segera menenankan ayah dari amarahnya yang meluap, ibu berkata bahwa hubungan kita tidak mesti mereka ikut campur. Peristiwa itu yang membuat luluh hati ayah, dan segera mengizikan kita berhubungan kembali.

Namun sejak kamu pergi meninggalkanku, semua pembelaan ibu berubah seiring berubahnya masa yang berlalu meninggalkanku karena kepergianmu. Akhir-akhir ini ibu selalu menasihatiku untuk segera melupakanmu, melupakan setiap kata yang pernah kita ucap bersama, dan setiap kali ibu menasihatiku, ibu selalu menangis. Aku sangat ingin menghapus air mata ibu, namun jujur aku tak sanggup, aku tak sanggup melakukan itu karena yang ada dalam pikiranku hanyalah namamu. 

Namamu itulah yang meracuni pikiranku hingga aku menjadi anak pembangkang, yang berani meninggalkan rumah tanpa izin orang tua. Namamu pulalah sebabnya, aku menolak lamaran anak Karaeng Mampi tiga bulan yang lalu, seorang tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dan kehormatan sehingga tidak ada yang berani menantang setiap perkataan-perkataannya. Aku selalu kebingungan, sebab kini aku sudah berani melawan siapa saja yang ingin menghapus namamu dari pikiranku.

Penolakan itu pulalah yang membuat ayah membenciku, karena aku dianggap mencoreng kehormatan ayah di tengah masyarakat, appakasiri’ mempermalukan. Dulu sebelum penolakan itu, ketika sore tiba orang tuaku datang menjemputku disini, namun kini tak ada lagi yang peduli terhadap diriku, mungkin karena orang sudah menyebutku gila. Kamu mungkin tau betapa kehormatan sangat dijunjung tinggi di tengah masyarakat kita. Kamu mungkin paham betapa malu sangat ketat mewarnai kehidupan adat istiadat kita. Sehingga kadang malu harus mengorbankan segala sesuatu, yang bisa menghalangi keberadaanya di tengah kehidupan adat. 

Sekalipun kamu tau semua itu, kamu tidak ada di sisiku untuk melindungiku. Ketika aku menjadi korban, kamu tidak ada di sampingku untuk membelaku. Kini Aku sudah kehilangan dua orang tumpuanku, kamu dan Ibu. Kamu telah pergi meninggalkanku sendiri dan Ibu sudah tidak pernah lagi datang kesini menasihatiku, mungkin karena Ibu takut menemuiku yang menjadi sumber kebencian keluarga, itu semua akibat penolakan tiga bulan yang lalu. Apalagi mereka sudah tidak menganggapku lagi keluarganya. Ini semua terjadi karena penghianatanmu kepadaku dan kebodohanku menunggumu, menunggu ketidakpastian. Tapi apakah aku salah? Berdosa? Atau tidak bertangggung jawab?

Kadang aku menyesal menerimamu menjadi kekasiku dulu, mungkin semua ini tidak akan terjadi jika aku tidak jatuh cinta kepadamu. Namun ketika kesadaran itu datang menghampiri, dan penyesalan itu membayangi, serta merta wajahmu datang mewarnai pikiranku yang tak karuan lagi. Wajahmu berkelebat dalam memoriku, sehingga kata-kata penyesalan hilang tertelan oleh kalimat indah yang mengingatkan kita dahulu. Pada kondisi itu, aku kembali lagi pada sikapku yang pertama yaitu mencintaimu hingga mati. 

Mungkin inilah nasib yang digariskan Tuhan kepadaku, mungkin inilah yang menjadi suratan takdirku, mati dalam penantian menunggu orang yang tak kunjung tiba. Kini pantai ini terasa seperti rumahku sendiri. Dan aku akan tetap setia menunggumu di sini, di pantai ini hingga kata-kata tak sanggup lagi terucap. Hingga mata menjadi buta melihat warna kehidupan, dan telinga menjadi tuli mendengar suara-suara nyanyian alam. Tak mesti ada yang berubah dalam kehidupan ini, hanya kesetiaanlah yang mesti kita pelihara hingga mata tertutup rapat dan kata-kata tak mungkin lagi terucap. Aku masih disini dan tetap disini, setia menantimu, menanti seribu asa.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi