Disukai
4
Dilihat
223
SEINDAH RONA SENJA
Romantis

Perpustakaan harusnya menjadi tempat nyaman untuk membaca, namun beda halnya dengan Kana yang selalu mojok untuk melepas rasa kantuknya saat menunggu jam kuliah berikutnya. Seperti siang itu, Kana menelungkupkan kepalanya di bangku pojok ruangan dengan tumpukan buku di hadapanya.

“Ha… ha… ha…..” tiba – tiba sebuah tawa mengganggu telinga Kana, begitupun mendapat desisan dari penghuni Perpus lainya.

Kana hanya membenarkan kepalanya, tak mempedulikan disekitarnya.

“Eh, Kana tuh suka sama kamu.” Kali ini sebuah suara langsung membuat mata Kana terbuka. Namanya disebut oleh seorang cewek di balik bangku. Kana mengenal suara itu. Anya. Yah, Anya. Teman se kelasnya yang selalu dikelilingi cowok – cowok aneh menurut Kana.

“Aih… nggak lah,” sahut suara seorang laki – laki.

“Tapi, hanya Kana yang bisa membantumu lepas dari masalahmu,” sahut laki – laki lainya.

“Ogah, ah!”

Kana mengangkat badanya, duduk tegak sambil menguping suara di sebalik bangkunya.

“Kana itu, masih polos. Dia belum pernah pacaran sama sekali. Lagian, dia tidak punya alasan untuk menolakmu. Dia itu suka sama kamu.” Ucap Anya.

Sontak Kana berdiri, namun seseorang menahanya. Kana menatap Hera yang masih tetap menatap buku sambil terus memegangi tangan Kana. Hera menggeleng pelan menahan Kana untuk tidak merespon mereka.

Gerombolan mereka sering membuat onar di Kampus, bahkan tak jarang mahasiswa yang menjadi korban mereka. Entah kena palak, ataupun hanya mendapat keisengan mereka. Lebih baik menghindar dan tidak cari masalah dengan mereka.

Kana kembali duduk, sambil memikirkan apakah yang mereka sebut tadi benar dirinya atau mungkin orang lain. Ia berharap Kana yang lain dan bukan dirinya yang sedang mereka bicarakan

***

“Ok, gaes. Silahkan cek jadwal dan ketugasan kalian. Tugas ini harus selesai minggu ini.” Jelas Bu Ratri Dosen Kesehatan Mental Masyarakat mengakhiri kelas. “Oh, ya. Ibu sudah menunjuk teman kalian yang sudah lulus dengan nilai paling baik untuk mendampingi kalian selama penelitian. Silahkan bekerjasama dengan baik dan dapatkan nilai yang baik pula.” Lanjut Bu Ratri.

Mendadak kelas bergemuruh setelah mengetahui nama – nama pendamping kelompok.

“Kana…. I love you….” Teriak Anya dari belakang.

Kana yang diundang ikut dalam kelas mendadak terbelalak. Ia tidak membayangkan akan mendampingi kelompok Anya. Kepalanya terasa berat, sementara badanya melemas. Kana menjatuhkan badanya di bangkunya dan menelungkupkan wajahnya di kedua tanganya. Sudah terbayang betapa ricuh hari - harinya, ia seminggu membersamai Anya.

Perlahan Kana mengangkat wajahnya, didapatinya Anya dan kelompoknya sudah mengelilinginya. Kana menatap wajah mereka satu persatu. Sperti dugaan Kana. Orang – orang dengan pakaian belel, sobek – sobek, kumal seperti tidak mandi berhari – hari.

“Argh….” Kana kembali menelungkupkan kepalanya di meja.

“Kana, besok kita jemput jam Sembilan tepat.” Ujar Anya.

Tanpa menunggu jawaban dari Kana, mereka langsung ngeloyor pergi sambil cekikikan.

Kana pun segera bangkit meninggalkan kelas. Ia berjalan lunglai menuju halte di seberang kampus, sebelum akhirnya suara klakson mengagetkanya. Sebuah mobil berhenti dihadapanya. Seorang cowok gondrong dengan jaket kumal tersenyum dan menawarkan tumpangan. Kana menolak pelan.

“Aku ditugasin Anya, buat nganterin kamu. Biar besok aku nggak bingung nyari rumah kamu.” Kata cowok itu.

Ya. Kana tahu. Dia Damar, cowok yang kemarin membicarakanya dengan Anya. Jangan – jangan ini ulah mereka. Mereka yang mengatur agar Kana bisa masuk ke kelompok mereka. Kana menggeretakkan giginya, namun ia tak bisa berbuat apapun selain mengikuti sekenario mereka.

Kana hanya diam sepanjang perjalanan. Damar pun tak mencoba mengajak bicara. Sesekali Kana menunjukkan arah jalan dengan menunjuk saja tanoa bicara.

***

Senja menyapa menghias langit kota Wates. Kana duduk sendirian di pematang sawah setelah seharian menemani Anya dan teman – temanya menyelesaikan proyek di hari pertama. Ia asyik dengan tablet kesayanganya, melihat hasil kerja hari ini.

“Lancar?” sebuah suara mengagetkan Kana. Kehadiran Damar sedari tadi tak di hiraukan Kana.

Kana hanya tersenyum sekilah dan kembali melihat tablet nya.

“Serius banget?” Tanya Damar.

“Kalau nggak serius, mereka nggak akan dapat nilai baik.” Jawab Kana ringan.

“Kalau bantuin olah data, bisa nggak?” Tanya Damar.

Kana mengerutkan dahinya seraya menoleh kearah Damar.

“ini anak, tumben banget ngajakin Kana ngobrol.” Batin Kana.

“Kenapa?” Tanya Damar, “Aku harus nyelesaiin skripsiku tahun ini. Padahal kamu tahu sendiri, aku nggak pernah serius kuliah. Sekarang aku nggak tahu cara olah data.” Jelas Damar lagi.

owh ini kali yah yang dimaksud Anya kemarin?” lagi – lagi Kana menduga dalam hati.

“tenang, aku pasti membayar dengan layak.” Kata Damar seolah tahu keresahan Kana. "Gimana? Deal? " lanjut Damar menilik wajah Kana sambil mengulurkan tangan.

"No! " Tegas Kana.

"Ayolah, Kan. Satu-satunya harapanku cuma kamu. Bahkan orang yang paling dekat sama aku pun, ninggalin aku saat begini." Cerocos Damar.

"Kita nggak sedekat itu untuk berbagi cerita, " Ujar Kana seraya beranjak dari duduknya dan meninggalkan Damar yang mendengus kesal.

***

"Hai... " Sapa Damar dengan senyum lebar saat Kana keluar dari tempat kerjanya.

Sudah sejam Damar menunggu Kana keluar dari kantor tempat ia bekerja.

Kana hanya tersenyum sekilas lalu berlari kecil menyeberangi jalan. Ia terus berjalan menyusuri trotoar menuju pemberhentian Bus.

Sementara Damar segera menuju parkir. Kali ini Damar mengendarai motor kesayanganya. Sudah seminggu Damar selalu menunggu Kana pulang kerja sambilan hanya untuk mendapatkan jawaban ya dari Kana.

"Kan, ayolah. Aku cuma mau nganterin kamu pulang. Sekarang udah malam, lagian bis juga udah nggak ada." Kata Damar saat sampai di dekat Kana.

"Aku udah biasa ngebis, Dam. Lagian daripada kamu di sini, kamu kan bisa ngerjain tugas kamu sendiri. " Jawab Kana.

"Aku butuh bantuanmu, Kan. "

"Cukup, Damar!"

Damar memarkirkan motornya dan mendekati Kana.

"Ok! Kita tunggu satu jam. Kalau nggak ada bis, kamu harus mau aku antar. " Damar memainkan alisnya sambil tersenyum.

Kana mendengus kesal sambil merutuk dalam hati karena bisnya nggak datang -datang. Sesekali ia menghela nafas panjang, sesekali ia berdiri dan berjalan kecil, sedangkan Damar duduk sambil tersenyum-senyum. Damar merasa akan mampu mengalahkan Kana.

"Mbak, nunggu bis, ya?" Sebuah suara mengagetkan Kana. Seorang lelaki tengah baya mendekat dan duduk di bangku kosong seberang Kana.

"E... Iya, Pak. Kok nggak datang-datang, ya? " Tanya Kana.

"Ya, mbak. Bisnya mogok, mbak. Ini saya di oper tadi di sana. Haduh, udah dari tadi cari ojek online juga nggaka nyantol, mbak." Ujar Bapak itu lagi.

Kana menggigit bibir bawahnya sambil sedikit melirik ke arah Damar. Kana bisa melihat seringai Damar yang merasa puas dengan kondisi yang sangat mendukungnya.

"Ayo!" Damar langsung nangkring di motornya dan menyodorkan helm ke arah Kana.

Dengan kesal Kana menerima helm dan naik dibelakang Damar. Sepanjang jalan ia hanya diam, bahkan saat Damar menghentikan motornya di sebuah lesehan pinggir jalan. Kana hanya diam tak melawan. Ia merasa sudah masuk dalam perangkap Damar dan teman-temannya.

"Makan dulu, ya." Damar menarik tangan Kana tanpa menunggu persetujuan.

Kana masih tetap diam dengan bibir manyun dan muka masam.

"Makan di sini enak, loh." Ujar Damar mencoba mencairkan suasana. Ia duduk di depan Kana setelah memesan makanan itupun tanpa bertanya Kana mau makan apa.

Kana mengambil ponselnya dan mngusap layarnya mencoba mengusir rasa canggungnya.

"Maaf, kalau kamu makin tambah kesal. Tapi beneran, aku harus nunjukin ke semua orang kalau aku bisa lulus tahun ini" Kata Damar tak digubris oleh Kana.

Kana masih sibuk dengan hanphone nya tanpa ada aplikasi yang dibuka, hanya menggeser menu saja dari tadi.

"Aku ada temen deket, cewek." Kata Damar pelan. "Aku pikir dia mau bantuin aku saat aku butuh gini. Padahal, aku selalu ada buat dia. Bahkan, aku bela - belain nyamperin dia jauh - jauh, cuma untuk nganterin bahan laporan dia. Tapi, sampai sana dia nganggep aku aja nggak. Aku pulang dari Temanggung, tanpa pamit pun, dia nggak bilang apa - apa." Lanjut Damar panjang lebar.

Kana menghentikan tanganya dan menatap Damar dengan penuh tanya. Ia heran, kenapa Damar se terbuka itu pada Kana.

"Lantas, harus aku? " Ujar Kana ketus.

"Kan... Aku tidak minta bantuan secara gratis. Aku minta kamu ngajarin aku olah data, toh itu kerjaan sampingan kamu." kata Damar, "Lagian, aku pasti bayar. Berapa aku harus membayar?" Tantang Damar.

Beberapa saat Kana terdiam sambil terus mengamati Damar yang balas menatapnya.

"Jadi, kamu berani bayar berapa?" Tantang Kana balik.

"Kita makan dulu," Kilah Damar bersamaan datangnya makanan yang ia pesan.

"Kelasku udah penuh. Kalau kamu memang serius mau belajar, aku antar kamu ke ahlinya." Kata Kana sambil mengunyah makananya.

"Kenapa nggak kamu aja?" Tanya Damar.

"Karena aku, nggak suka sama kamu!" Bentak Kana sambil menahan suaranya.

Kana masih ingat betul bagaimana Damar dan teman-temannya membicarakan Kana dibelakang.

"Ok!" Sahut Damar. "Besok sepulang dari kampus, aku tunggu di parkir belakang." Kata Damar lagi, kali ini sambil tersenyum lebar

Kana mengangkat pundaknya tanpa bicara sambil terus menikmati makananya.

***

Kana asyik membaca laporan hasil kegiatan kelompoknya Anya di taman fakultas. Ia tak menghiraukan Damar yang sedari tadi duduk sambil mengamatinya. Akhir - akhir ini mereka sering bertemu sejak damar ikut les oleh data di lembaganya. Kana juga sering mendapatkan tumpangan gratis sepulang kerja, meskipun Kana tetap waspada dengan Damar.

"Minum," Damar menyodorkan sebotol minuman dingin.

Kana masih tak bergeming membaca kata demi kata diberkas yang dia pegang.

"Serius banget?" Tanya Damar.

Kana menoleh sekilas sambil mencoba tersenyum, ia masih nggak suka sama Damar. Apalagi kalau teringat kata yang ia ucapkan waktu di Perpustakaan.

"Harus dikumpulkan hari ini," Kata Kana kemudian.

Damar memainkan botol minumnya. Tak seperti biasanya, hari ini Damar banyak diam.

"Kenapa?" Tanya Kana melihat Damar yang nampak murung.

"Kemaren aku disuruh ke Temanggung lagi, sampai sana orangnya udah pulang," Damar meletakkan kepalanya di meja sementara tanganya menjuntai ke bawah.

Kana menutup bukunya dan menatap Damar seolah menunggu kelanjutan pertanyaan Damar.

"Tadi ketemu di Kantin, kayak nggak ada yang salah," Kata Damar lirih.

Kana merasa ada yang aneh. Ia merasa tidak begitu dekat dengan Damar, namun lelaki itu sering sekali bercerita tentang kehidupan pribadinya. Kana menatap Damar yang terdiam bergelut dengan pikiranya.

“Ceritalah,” ujar Kana meyakinkan Damar untuk bercerita.


Damar mendengus keras. Perlahan ia menceritakan permasalahanya kepada Kana yang mendengarkan dengan seksama. Sesekali Kana menimpali cerita Damar, yang membuat Damar semakin bersemangat saat bercerita.

Tapi obrolan mereka terhenti saat Anya datang mendekati mereka.

“Hai…” sapa Kana saat Anya sampai didekatnya.

“Hai… makin akrab ajah,” goda Anya melihat Kana dan Damar terlihat akur.

“Ini udah ku tandain yang perlu diperbaiki, Cuma tata tulis aja kok. Isinya udah aman.” Kana mengalihkan Pembicaraan.

“Thank you….” Anya mengambil dokumennya dan membolak – balik sekilas.

“Jadi, selesai ya tugasku.” Kana tersenyum lebar, ia merasa terbebas dari beban berat.

“Yaaa… makasih ya,” Anya merangkul lengan Kana. “OK! Aku cabut dulu, ya. Biar cepet selesai.” Lanjut Anya sambil menunjuk dokumennya.

Kana mengangguk mantap sambil tersenyum.

“Nanti Kalau udah selesai, terus dapat nilai A, aku ajakin kalian jalan,” kata Anya sambil mengerjapkan mata manja kea rah Kana dan Damar.

Kana hanya tersenyum sambil melirik Damar yang tak bergeming. Sementara Anya sudah berjalan meninggalkan mereka yang kembali membisu.

“Aku antar pulang?” Tanya Damar

“Aku langsung kerja,” kata Kana seraya merapikan barang – barangnya ke dalam tas.

“Aku antar,” kata Damar lagi.

Kali ini Kana hanya tersenyum sekilas dan agak berlari mengikuti langkah panjang Damar. Melihat Kana yang sedikit berlari mengejarnya, Damar tersnyum dan membuat langkahnya lebih pendek agar Kana tidak tergesa mengikutinya.

***

Ruangan sudah penuh mahasiswa saat Kana memasuki kelas. Kana langsung menuju kursi kosong di belakang. Satu persatu mahasiswa maju berkonsultasi dengan Dosen pendamping sebelum besok yudisium. Kana mengeluarkan berkas nilanya dan kembali memeriksa satu persatu jangan sampai ada yang kurang apalagi sampai salah.

“Kana?!” sapa seorang wanita yang tiba – tiba duduk di sebelah kana. Kana menoleh, sepertinya ini pertama kali ia bertemu dengan gadis ini. Seorang gadis dengan riasan tipis, berambut panjang terikat rapi, tampak manis namun tak dapat menyembunyikan kegusaranya.

Kana tersenyum tipis.

“Kamu tuh terkenal cewek baik loh di sini. Bahkan banyak yang bilang kamu cewek paling original yang belum pernah pacaran sama sekali.” Cerocos gadis itu lagi.

Kana mengerutkan keningnya mendengar kata – kata gadis itu.

“Kamu siapa?” Tanya Kana.

“Aku Riana.” Jawab gadis itu, “ceweknya Damar,” lanjutnya.

"Ow..." Kana menutup mulutnya yang tiba - tiba melongo.

Entah kenapa Kana merasakan telinganya panas. Kana nggak ada hubungan apapun dengan Damar. Terus, kenapa ceweknya tiba – tiba datang dan mengatakan hal itu.

Kana tersenyum sambil mengangkat bahunya.

“Kalau kamu memang cewek baik – baik, nggak seharusnya kamu ngerebut cowok orang lain.” Cerocos Riana lagi.

“Aku???” Kana menuding dirinya sendiri. “Ngerebut Damar?” Kana seolah tertawa namun tetap terlihat gusar.

Kana menatap Riana tajam.

“Aku nggak pernah merebut Damar!” kata Kana sambil menggeretakkan giginya.

“Kamu pikir aku nggak tahu….” Riana setengah berteriak.

“Saat ini, aku tidak ada hubungan apapun sama Damar!” tegas Kana.

“Tapi kamu sudah merebut Damar dari aku!” Riana mengulang kalimatnya.

“Ini di kelas, sebaiknya kamu ke luar, karena kamu bukan mahasiswa Fakultas ini.” Tegas Kana sambil menunjuk pintu keluar.

Beberapa saat Riana menatap Kana dengan sengit sebelum akhirnya keluar ruangan.

Kana terlihat menahan air matanya karena marah. Sesekali ia menengadah sambil mengipaskan tanganya seolah ia sedang kepanasan.

“Hei, kenapa?” Hera teman sekelas Kana mendekatinya.

Kana hanya menggeleng sambil memejamkan matanya.

“Dia???” Hera menunjuk ke arah Riana menghilang.

“Riana, ngakunya sih ceweknya Damar.” Sahut Anya yang baru saja datang dan duduk di bangku depan Hera.

Kana masih diam karena syok. Ini pertama kalinya ia berurusan dengan cowok sampa dilabrak ceweknya. Padahal Kana dan Damar tidak ada hubungan yang istimewa. Sebatas ngerjain skripsi saja. Itulah kenapa Kana tidak suka pacaran, disamping perjanjian dengan orang tuanya yang nggak ngijinin Kana pacaran apalagi bawa cowok pulang ke rumah.

“Damar tahu soal ini?” Tanya Hera sambil memegang tangan Kana yang dingin.

Kana menggeleng. “Jangan sampai Damar tahu,” ucapnya lirih.

“Damar harus tahu!” Anya membuka Handphone nya untuk menelpon Damar, namun dirampas oleh Kana.

“Nggak! Biarin saja.” Kana kembali mendesah menahan perasaanya.

Anya dan Hera hanya bisa saling tatap. 

Meskipun Anya suka bikin mahasiswa lain kesal, tapi Anya selalu baik sama Kana. Selam proyek kemarinpun Anya bekerja sangat baik. 

Kana tersenyum sambil menggeleng pelan.

***

Kana masih sibuk membereskan meja kerjanya saat Anya datang ke lembaga bimbel dan desain tempat ia bekerja. Kana tersenyum menyembunyikan kegundahanya. Memori tadi siang masih menempel jelas di ingatanya.

“Udah?” Tanya Anya sambil menggamit lengan Kana yang bersiap pulang.

Kana hanya tersenyum dan mengikuti langkah Anya yang terus menggandengnya. Awalnya Kana memang nggak nyaman dengan Anya. Namun, Kana tidak bisa memungkiri kalau Anya tulus berteman denganya. Bahkan Kana lupa tentang ucapan Anya tempo hari.

“Aku antar sampai di sini aja, ya. Dia nungguin kamu dari tadi.” Anya menunjuk seorang laki – laki di halaman kantor.

Kana menggeleng dan menatap Anya sangat kecewa. Baru saja ia merasa Anya teman yang tulus, tapi dipatahkan lagi saat sampai di halaman kantor.

Anya tersenyum dan mendorong Kana agar mendekati Damar yang sedari tadi menatapnya dengan wajah yang sangat tegang.

Tanpa bicara Kana naik dibelakang Damar.

“Mampir sebentar,” kata Damar seolah pada dirinya sendiri.

Mereka berhenti disebuah masjid di tengah komplek.

“Masuk!” perintah Damar pada Kana yang tanpa bicara mengikuti kata Damar.

Kana kemudian duduk bersandar di dinding beranda masjid, menunggu apa yang akan dilakukan Damar. Dalam hatinya khawatir Damar akan melakukan sesuatu yang membahayakan, melihat selama ini tak ada cerita baik tentang Damar. Tapi, ini di Masjid. Nggak mungkin Damar melakukan hal buruk di dalam Masjid.

Damar salah satu cowok yang suka nongkrong di kantin belakang kampus, yang suka mabok di siang bolong saat jam kuliah, yang suka malakin anak – anak baru… argh… kenapa Kana bisa terlibat dengan mereka. Akhirnya sekarang Kana merasakan sendiri ketakutan dan gelisah tak menentu.

“Dam,” lamunan Kana terhenti saat mendengar suara seorang perempuan.

Riana. Jantung Kana berdetak sangat keras. Badanya terasa menghangat seketika, ia hanya bisa melipat kedua bibirnya kedalam dan meremas tanganya sendiri.

“Duduk!” kata Damar ketus.

Akhirnya mereka berdua duduk menghadap ke arah Kana. Kana semakin gelisah. Ia membenarkan duduknya, mencari posisi nyaman untuk menyembunyikan keresahanya.

“Kana!”

“Deg!” Kana terkesiap saat Damar menyebut namanya.

“Ini Riana. Tadi siang kalian ketemu, kan?” Tanya Damar yang disambut anggukan pelan oleh Kana.

“Riana! Sekarang kamu ulangi, apa yang kamu katakana sama Kana tadi siang!” kata damar lagi.

Lagi – lagi Kana kaget dengan sikap Damar. Kana menatap Damar dan Riana bergantian.

“Maaf, Dam!” ucap Riana pelan.

“Kalau kamu tidak bisa mengulanginya, sekarang katakana apa yang sebenarnya terjadi.” Ujar Damar lagi, Kana semakin kebingungan.

Drama apa yang sedang mereka perankan. Lama mereka terdiam, namun akhirnya Riana mulai bicara.


“Kana, maaf. Sebenernya, Aku tidak pernah ada hubungan apapun sama Damar.” Kata Riana setengah berteriak untuk menghalau sesak dalam dadanya.

Kana menatap Damar. Pasti karena Riana mendapat tekanan sama Damar. Namun, Damar juga terlihat kacau dengan tatapan sangat marah terhadap Riana.

“Ada lagi yang mau kamu katakan?” Tanya Damar.

“Tadi siang, aku tidak dapan menahan amarahku. Kamu menjauh sejak dia ada." Jawab Riana.

"Kamu yakin? Aku yang menjauh darimu?" Tanya Damar dengan penuh amarah.

Pertahanan Riana hampir jebol. Ia kembali terdiam sambil menunduk dalam.

"Berapa kali kamu menyuruhku ke Temanggung, dan kamu mengabaikan aku? Lagian, ada hubungan apa kita? Sampai aku harus mengikuti terus orang yang mengabaikan aku?" bentak Damar

Riana mulai terisak lirih. 

"Maaf. Mulai sekarang, aku tidak akan mengganggu kamu, Kana dan teman - temanya.” Riana mencoba mengangkat wajahnya.


“Kana mau ngomong?” Tanya Damar pada Kana yang terlihat bingung.

“Riana. Mungkin jika aku ada diposisimu, aku bisa lebih marah dari kamu. Tapi, pantang bagiku mendatangi wanita lain, ngelabrak wanita lain demi menunjukkan siapa diriku. Itu merendahkan kamu sendiri. Selesaikan masalahmu sama Damar, dan jangan pernah melibatkan orang lain yang belum tentu ada hubunganya dengan kalian!” kata Kana dengan suara gemetar, Kana berdiri dan beranjak meninggalkan mereka namun Damar menahannya.

Riana hanya bisa terdiam sambil terisak. 


“Maaf,” Kana mengulurkan tanganya kearah Riana.

Riana yang masih duduk mendongak menatap Kana. Lama ia menatap Kana yang mencoba tersenyum sambil terus mengulurkan tangan. Riana menyambut tangan Kana dan menjabatnya erat. Kana kemudian berjalan ke luar masjid.

Damarpun bangkit setelah meminta maaf pada Riana yang ikut berdiri dan keluar masjid.

Damar memacu kendaraanya dengan kecepatan tinggi, menuju rumah Kana. Sesampainya di rumah Kana, Kana segera turun tanpa bersuara hendak masuk ke dalam rumah sampai tangan Damar menahannya.

“Kana!”

“Apalagi?”

“Maaf, aku sama sekali nggak ada hubungan sama Riana,” kata Damar seolah ingin menghapus kemarahan Kana.

“Itu, bukan urusanku!” bentak Kana sambil menatap Damar penuh amarah.

“Tapi mulai saat ini, kamu milikku!” ucap Damar masih sambil memegang lengan Kana erat.

“Lepasin!” Kana mengehpaskan tangan Damar.

Damar melepaskan tangan Kana, saat itu juga Kana langsung berlari masuk ke rumahnya. Damar mengacak – acak rambut gondrongnya yang sudah berantakan. Ia lalu meninggalkan rumah Kana setelah beberapa saat berharap Kana kembali keluar dan menahanya pergi.

***

“Aku yakin, selama ini dia hanya manfaatin kamu saja.” Celoteh Hera setelah mendengarkan curhatan Kana tentang ulah Damar tadi malam.

“Aku juga manfaatin dia selama ini,” Kana menggeretakkan giginya.

“Tugas kamu sama Anya udah selesai, kan?” Tanya Hera yang dijawab dengan anggukan oleh Kana.

“Berarti kamu bisa terbebas dari mereka!” kata Hera lagi.

Kana mengangguk kembali kali ini dengan senyum. Sepertinya ia merasa tenang terbebas dari Anya dan geng nya.

“Hai…” suara Damar membuyarkan lamunan Kana, seketika senyum Kana menghilang.

“Apa lagi?” Tanya Kana ketus.

“Hera, sori. Pinjam Kana bentar, ya.” Pinta Damar sambil memainkan alisnya ke arah Hera.

“ee… tapi….”

Tanpa menunggu Hera menyelesaikan kalimatnya yang terbata – bata, Damar sudah menarik Kana meninggalkan Hera sendirian.

Kana yang mencoba meronta tetap tak bisa melepaskan diri dari genggaman tangan kekar Damar. Sampai mereka tiba di parkir dan Damar meminta Kana memboncengnya. Kana tak kuasa menolak. Mereka meninggalkan kampus dan terus mengendarai motor menyusuri jalanan dengan pemandangan sawah di sepanjang jalan. Damar terus memacu kendaraanya melewati tempat – tempat yang belum pernah dikunjungi sama Kana. Hingga damar menghentikan motornya disebuah bukit kecil yang menampakkan pemandangan kota Jogja yang begitu indah. Senja merona saat mereka tiba di sana.

Kana berjalan pelan ke dekat bongkahan batu besar. Damar justru menariknya menaiki batu tersebut dan mereka duduk berdua saling diam hanya menatap rekahan senja yang semakin merah. Damar menatap Kana yang tak bergeming dan terus menatap senja. Terlihat Kana menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis yang membuat wajahnya manis meskipun tanpa riasan. Matanya masih terlihat sembab dan sesekali terlihat bahunya terangkat karena menarik nafas dalam.

“Kana… mulai saat ini Kamu miliku, dan Nggak ada yang boleh nyakitin kamu lagi, seperti kemarin” desis Damar setelah sekian lama diam menatap Kana.

Kana tersenyum mencibir.

“Kana! Aku serius!” ucap Damar.

“Kalau kamu memang serius, datang saja ke Ayahku. Tanyakan, apakah Ayahku bersedia menerimamu menjadi suamiku? Karena aku tidak pernah pacaran, dan tidak pernah mau memiliki hubungan yang hanya menyakitkan!” jawab Kana spontan tanpa menoleh kearah Damar yang tak melepaskan tatapanya.

Damar terdiam.

“Apalagi, Riana sangat terluka karena ulahmu!” sindir Kana.

“Kana!” teriak Damar, “kamu dengar sendiri kan, aku nggak ada hubungan apapun dengan Riana. Kami hanya sebatas teman dekat. Dan kamu tahu, dia orang yang ku belain, tapi tidak pernah menganggapku ada. Sekarang saat aku mulai mendekatimu, dia nggak terima.” Teriak Damar.

“Kamu nggak perlu teriak, Dam. Aku juga nggak mau tahu hubungan kalian.” Kali ini Kana menoleh dan membalas tatapan Damar yang begitu tajam.

“Kamu nggak tahu, bagaimana perasaanku ke kamu, Kana?!” Ucap Damar lirih.

“Aku tahu!” teriak Kana tak terkendali. “Aku tahu semua, Dam! Bahkan aku juga tahu bagaimana kamu dan teman – temanmu manfaatin aku, memperoloku, aku tahu semua!” tangis Kana membuncah.

Damar terlihat kalut melihat Kana yang menangis sampai tersedu.

“Kana, maaf.” Damar mendekati Kana dan mencoba menenangkan, namun tangis Kana semakin menjadi.

Kana menepis tangan Damar, namun Damar memaksa merangkulnya ke dalam pelukanya.

“Kana… Please…. Maafin aku. Aku nggak manfaatin kamu. Sungguh!” Damar mengusap - usap punggung Kana yang mulai mereda.

“Udah malam, Dam. Anterin aku pulang!” Kana melepaskan diri dari pelukan Damar.

Mereka meninggalkan senja yang mulai meremang menuju ramainya kota.

Sampai di rumah Kana langsung masuk kamar tak menghirauikan suara mamanya yang meminta Damar masuk terlebih dahulu. Tapi sepertinya Damar menolak, karena Mama langsung masuk ke kamar Kana.

“Kana!” hardik Mamanya.

Kana meletakkan handphonenya dan menatap Mamanya dengan tatapan sayu dan matasembab karena terlalu lama menangis.

“Seperti kata mama sama ayah dulu. Kamu hanya boleh diantar pulang sama lelaki, kurang dari dua kali. Dan ini sudah yang ke tiga. Itu artinya dia harus menjadi suami kamu.” Kata Mama dengan nada tinggi.

Kana terbelalak.

“Mama, itu nggak berlaku di jaman sekarang, Ma! Kana nggak suka sama laki – laki itu!” jawab Kana.

“Kita sudah buat perjanjian. Kamu nggak boleh pacaran, sampai kamu selesai wisuda. Dan kalau sampai kamu diantar cowok yang sama lebih dari dua kali, itu artinya kamu siap menikah sama dia. Kamu udah sepakat. Dan harus konsekuen karena melanggar janjimu sendiri!” jelas Mama lagi.

“Tapi, ma!” Kana merengek dan merangkul tangan Mamanya. “nggak sama dia juga. Mama mau punya menantu gondrong, dekil, urakan kaya dia?” Tanya Kana sambil memeluk pinggang Mama.

“Kita lihat saja nanti, apakah dia layak menjadi suami kamu atau tidak.” Suara Mama melemah dan memeluk kepala Kana.

***

Pagi terasa dingin, tapi tidak mengurangi semangat Kana menuju kampus. Ia sudah seminggu mendekam di rumah karena tinggal menunggu jadwal yudisium yang diundur. Hari ini Kana sengaja berangkat pagi mau ketemu dosen penguji. Ini batas terakhir tanda tangan dosen dan kalau sampai nggak dapat tanda tangan hari ini, Kana nggak bisa ikut wisuda semester ini.

Kana menunggu di depan ruang dosen dengan sangat gelisah, kadang ia duduk di kursi, kadang ia berdiri sambil berjalan – jalan, kadang duduk dilantai. Sudah dua jam ia menunggu tapi dosen tak juga datang. Tumben juga, hari ini tidak ada mahasiswa lain yang menunggu, biasanya antrinya banyak banget.

Tiba – tiba ponsel Kana berdering.

“Kana, kamu di mana?” tanay Hera dari seberang.

“Nunggu Bu Ratna.”

“Lah?! Kamu nggak tahu? Bu Ratna kan udah kasih pengumuman, kalau mahasiswanya terakhir tanda tangan kemarin. Bu Ratna tugas luar selama tiga bulan…” teriakan Hera sudah tidak terdengar di telinga Kana.

Kana ambruk, badanya terasa lemas. Harapan wisuda semester ini punah gara – gara seminggu ia menutup informasi dari luar. Awalnya hanya menghindar dari Damar, tapi malah dia sendiri yang kena masalah.

Tapi, Kana langsung berdiri, ia berlari menuju ruang dosen. Ia harus mendapatkan solusi secepatnya, karena besok terakhir pengumpulan skripsi. Mana mungkin nggak ada solusi, pasti ada!

Tapi perjuangan Kana terpaksa kandas, itu karena kelalaian Kana sendiri yang abai terhadap pengumuman kampus. Kana duduk lunglai di pojok perpustakaan tempat ia biasa menyendiri. Ia ingin menangis tapi menangispun ia sudah tak mampu.

“Kenapa?”

Kana menoleh. Suara yang sudah seminggu ini tidak mengganggunya, tiba – tiba terdengar lagi.

“Aku mau sendiri,” ucap Kana seolah bicara pada dirinya sendiri.

“Aku Cuma mau ngucapin terimakasih, kamu udah bantuin aku selama ini. Maaf, jika kehadiranku membuat kamu tidak nyaman.” Kata Damar pelan.

Lama Damar menunggu respon Kana, namun Kana tetap diam membisu.

“Bye, Kana.” Kata Damar lagi.

Meskipun terlihat ragu, Damar meninggalkan Kana yang masih mematung.

***

]Hampir sebulan Kana tidak bertemu dengan Damar. Anya dan teman – temanya pun tak pernah menyebut nama Damar saat mereka berkumpul. Seolah Damar benar – benar menghilang. Namun saat wisuda, sekilas Kana melihat Damar keluar menuju parkir. Saat melihat kehadiran Kana, Damar buru – buru menghilang lagi. Kana merasa ada yang aneh.

Jadi, benar selama ini yang dipikirkan Kana. Damar hanya memanfaatkan Kana. Setelah berhasil menyelesaikan skripsinya, Damar manfaatin Kana buat manas - manasin Riana. Mungkin saat ini mereka sudah jadian, Entahlah, sepanjang perjalanan menuju kantor, pikiran Kana campur aduk.

“Mbak Kana, dicari Ibu.” Sapa salah satu rekan kerjanya saat Kana memasuki ruangan.

Kana hanya mengangguk lalu menuju ruang kerja atasanya.

“Kamu yakin bisa pegang kelas sebanyak ini?” Tanya atasanya saat Kana sampai di ruangan.

Kana melihat tumpukan dokumen di meja.

“Bisa, Bu.” Jawab Kana mantap.

Tanpa basa – basi, Kana langsung mengambil tumpukan berkas di meja dan membawanya ke mejanya. Kana ingin menyibukkan diri dan melupakan semua permasalahan yang akhir – akhir ini mendatanginya. Ia ingin menjalani hidupnya seperti sebelum ada Damar.

“Damar,” tak terasa bibir Kana mengeluarkan nama itu.

Entahlah, kenapa Damar justru menghantui kepalanya terus. Padahal selama ini Kana sangat membencinya. Mungkin karena akhir – akhir ini ia terlalu sering bertemu dengan Damar, jadi saat Damar menghilang ada sesuatu juga yang ikut hilang.

Argh….

Kana bangun dari lamunanya. Ia kembali fokus pada pekerjaanya. Namun, lagi – lagi ia tak bisa berkonsentrasi. Pikiranya menghambur ke mana – mana. Damar yang selalu usil dan membuatnya marah kembali menari dibenaknya. sSenyum Damar saat menyambut Kana di parkir kantor juga muncul dengan indahnya, satu persatu sikap konyol Damar ikut memenuhi otak Kana.

Kana semakin kesal dengan dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan pikiranya. Namun, ia terus berusaha menyibukkan diri dan menganggap itu hanya karena Kana terlalu sering bertemu dengan Damar.

***

Penantian Kana telah tiba. Matanya masih terasa rapat saat wajah polosnya dibubuhi make up. Rasanya masih ngantuk sekali, tapi hari besar yang dinanti untuk merayakan kelulusan harus disambut dengan ceria. Setelah selesai berdandan Kana melihat wajahnya ke cermin. Ia tersenyum puas melihat pantulan dirinya dikaca.

"Kana.... Buruan!" Teriak Mama dari halaman.

Kana berlari sambil membawa tas kecilnya.

"Nanti nggak usah pake foto - foto! Langsung pulang!" Ujar Mama ketus saat Kana turun dari mobil.

"Hemmmm," Kana sampai hafal betul omelan Mama masalah ia telat wisuda dan alasanya sangat menjengkelkan.

Kana membaur dengan rombongan mahasiswa yang sebagian besar adik tingkatnya. Ah, ia tak peduli. Toh ia udah bekerja dan ini hanya formalitas saja. Batin Kana. Yang penting punya foto wisuda.

Prosesi wisuda telah selesai. Kana asyik berfoto dan berbahagia dengan teman - temannya. Ia bisa tertawa lepas diantara sahabatnya sambil sesekali melihat hasil fotomereka.

"Aku cabut, ya." Ujar Kana sedikit kesal saat handphone nya berdering, Mama.

Kana berlari menuju parkir. Ia nggak mau Mama semakin ngomel karena ia tak segera datang. Tapi langkah Kana terhenti saat ia mendapati Damar sedang asyik ngobrol dengan Ayah dan Mamanya. Mereka terlihat akrab. Wajah Kana berubah merah. Hatinya kembali kacau dengan berbagai rasa.

Kana berjalan pelan mendekati mereka, ia ragu dengan apa yang dilihatnya.

"Hayuk!" Kata Mama saat melihat Kana datang.

Tanpa menghiraukan wajah Kana yang merona, Mama dan Ayah masuk ke dalam mobil. Begitupun Damar masuk ke bagian supir menggantikan Ayah. Kana masuk mobil dan duduk di sebelah Damar tanpa mampu membuka mulutnya.

Ia tidak berani menoleh ke arah Damar. Ia memakai sabuk pengaman dan menyandarkan tubuhnya yang terasa panas tiba - tiba. Dari sudut matanya, ia melihat Damar tersenyum – senyum sambil sesekali melirik Kana yang mematung.

"Kita makan dulu ya, Mas Damar, " Kata Mama memecah keheningan.

"Ya, tante." Sahut Damar.

Kana sama sekali tidak punya nyali untuk menoleh ke arah Damar. Bahkan sampai di Rumah Makan yang mereka tuju pun, Kana masih terdiam.

"Apa kabar?" Tanya Damar setelah memesan makanan. Ia duduk di depan Kana yang asyik menggeser – geser layar handphone melihat hasil foto tadi di kampus.

Kana mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap Damar. Ia mencoba tersenyum meski terasa canggung dan kembali menatap layar ponselnya.

“Selamat, ya.” Kata Damar lagi.

“Thank you” sahut Kana.

Mereka kembali diam sampai selesai makan. Bahkan Ayah dan Mama yang mencoba memecahkan keheningan mereka pun tak mempan. Kana lebih memilih menjawab singkat untuk menghindari percakapan panjang.

***

“Kan, Bapak ibu nanti malam mau ke rumah.

Aku udah bilang sama Mama, dan OK.

Kamu udah tahu kan?”

Kana terkesiap melihat pesan singkat dari Damar. Dalam waktu bersamaan Mama telepon.

“Kana, Damar bilang Ayah Ibunya mau main ke rumah.” Kata Mama dari seberang

“Ma… ini ada apa, sih?” teriak Kana kalut.

“Kata Damar, kamu yang bilang, kalo Damar serius sama kamu, Damar harus minta ijin ke Ayah. Lah ini Damar mau minta ijin ke Ayah.” Mama menjelaskan.

“Haduh Mama… maksud Kana nggak gitu…” Badan Kana terasa gemetar dan menutup teleponnya tanpa memberikan kesempatan Mama menjawab lebih jauh.

“Kenapa, Kan?” Hera yang baru datang merangkul badan Kana yang hampir terjatuh.

“Her….” Cuma itu yang keluar dari bibir Kana. ia terduduk di kursi kerjanya sambil terisak.

Hera menunggu tangis Kana mereda. Beberapa rekan kerjanya mendekat namun di suruh pergi oleh Hera.

“Kenapa?” Tanya Hera setelah tangis Kana mereda.

Kana menunjukkan WhatsApp dari Damar, Hera pun terkejut membacanya.

“Serius?!” teriak Anya yang tiba – tiba ada dibelakang Hera.

Mereka bertiga saling pandang tanpa bicara.

“Ya… Sory… nggak sengaja baca,” ujar Anya sambil duduk di depan Kana.

“Nggak papa,” sahut Kana. Kana meraup wajahnya dengan tangan menghalau kegusaran di wajahnya, ia mencoba tersenyum.

“Ini daftar mahasiswa yang mau ikut kelas,” Anya menyerahkan sebuah flasdisk ke Kana, tanpa menghiraukan Kana yang masih berusaha menata hati.

“Ok.” Jawab Kana singkat.

“Soal Damar,” Anya menghentikan kalimatnya.

Kana dan Hera menatap Anya menanti kalimatnya dilanjutkan.

“Dia sangat serius sama kamu.” Anya membalas tatapan Kana yang terlihat nanar, “Awalnya, ia memang nggak tertarik, tapi sekarang dia bekerja keras untuk membuktikan bahwa dia sangat serius.” Kata Anya lagi sebelum akhirnya berpamitan.

Hera merangkul pundak Kana yang mesih terdiam. Sesekali ia mengelus lengan Kana.

“Dulu Damar pernah nembak aku. Tapi, ak yakin Damar hanya mempermainkan aku. Aku bilang sama dia, kalau dia serius aku suruh minta ijin sama Ayah. Terus….” Cerocos Kana mencoba meluapkan isi hatinya.

“Terus sekarang, Damar mau ke rumah sama orang tuanya?” Tanya Hera.

“He em?” Kana mengangguk.

“Ini namanya lamaran, Kana” kata Hera sambil memeluk erat sahabatnya.

Kana menggeleng ragu.

“Kamu bisa bilang sama Damar, jika kamu tidak bisa menerimanya.” Kata Hera lagi.

“Gimana kalau Ayahku mengijinkan?”

Hera mengangkat pundaknya.

“Hergh…. Aku harus pulang!” Kana mengacak – acak kepalanya sendiri kemudian merapikan mejanya dan berpamitan ijin pulang.

Hera hanya bisa menatap sahabatnya pergi, dalam hatinya terselip doa semoga Kana baik – baik saja.

***

Mentari mulai turun di ujung Pantai Nampu, menyisakan semburat jingga memerah yang merona indah. Kana meluruskan kakinya, duduk diatas pasir putih. Tanganya terjulur ke belakang menopang tubuhnya yang terasa berat. Matanya menerawang jauh. Rambutnya dibiarkan terkena angin, menutupi sebagian wajahnya yang terlihat lelah.

“Maaf,” Ucap Damar lirih sambil memutar – mutar cincin di jari manisnya.

Semalam mereka resmi bertunangan disaksikan orang tua mereka. Tapi tidak seperti pasangan yang lainya, Kana justru terlihat muram.

“Entah perasaan itu kapan datangnya. Tapi sejak saat kamu bilang aku harus minta ijin ke Ayahmu, aku berusaha keras memantaskan diri agar aku layak memilikimu.” Lanjut Damar sambil tertunduk dan masih memegang cincin dijari manisnya.

Kana menggigit bibirnya mencoba mencerna kalimat Damar.

“Mungkin kamu bahagia, tidak ada yang nggangguin saat aku nggak ada. Tapi, aku sesak karena dikarantina saat bekerja, daann... aku sangat merindukan kamu,” kembali Damar mencoba menjelaskan.

 “Aku tidak tahu akan seperti ini!” Teriak Kana diantara deru ombak. Kali ini Kana duduk bersimpuh, kedua tanganya mencengkeram pasir dihadapanya. Ia menunduk dalam.

“Kamu bisa bilang semalam, kalau kamu tidak bisa menerima pertunangan ini!” teriak Damar tak mau kalah. “Tapi kenapa nggak kamu lakukan?” Damar mencengkeram kedua lengan Kana.

Kana terdiam. Dalam hati ia juga heran, kenapa dia bahkan tak memiliki keinginan menolak Damar. Bahkan, semalam Ayah mempersilahkan Kana untuk memberikan jawaban sesuai hati dan keinginan Kana. Tapi, kana hanya mengangguk memberikan persetujuan. Kana juga tersenyum saat acara foto bersama.

Kana menatap cowok gondrong di hadapanya. Jaket belelnya mempertegas badanya yang terlihat kekar, rahangnya terlihat tegas dengan rambut tergerai sebahu. Kana menggigit bibirnya. Banyak yang ingin ia sampaikan, tentang kekhawatiran yang ada dalam hatinya, tentang apa yang ia inginkan.

“Aku tidak mau, kamu menderita hanya karena omong kosongmu dimasa lalu. Jadi, saatnya kamu memutuskan. Apakah kita bisa bersama atau tidak?!” Suara Damar menjadi pelan.

Kana masih menatap mata Damar yang sekarang sayu. Damar mengerutkan dahinya. Beberapa saat mereka saling menatap dalam diam.

Aku tidak mungkin menarik ucapanku dan mempermalukan Mama,” batin Kana.

Perlahan Damar melepas lengan Kana.

“Kamu tidak perlu memaksakan diri, Kana.” ujar Damar lagi. “tapi, meskipun kamu tidak menikah denganku, maukah kamu mengenakannya?” Kata Damar setelah beberapa saat diam sambil mengamati wajah Kana.

Damar mengeluarkan sebuah kain dari tasnya dan mengulurkan kearah Kana.

“Pakailah!” Damar meletakkan sebuah jilbab di pangkuan Kana. “Setidaknya kamu akan aman dari pandangan lelaki kurang ajar seperti aku,” lanjut Damar diakhiri dengan senyum canggung.

Kana menatap kain di pangkuanya. Kedua matanya tak mampu menahan genangan air yang semakin merebak. Tiba – tiba Kana tersenyum tipis sambil memegang jilbab dari Damar. Hatinya bergetar. Ia mengangguk - anggukkan kepalanya sambil menahan tangisnya.

“Aku bersedia menikah denganmu,” kata Kana dengan yakin.

Damar menatap mata Kana dengan tatapan tajam. Kana masih tersenyum manis dengan derai air mata haru, yang membuat Damar hampir ikut meneteskan air mata.

“Kamu serius?” ucap Damar lirih tak dapat menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya, sampai ia tak dapat berkata apa – apa lagi.

Kana mengangguk – anggukan kepalanya meyakinkan Damar. Damar ingin sekali merayakan kebahagiaannya dengan memeluk Kana, namun ia mengurungkan niatnya. Ia menarik kembali tanganya dan hanya berani mengepalkan tanganya dengan salah tingkah. Tak terasa senyum Kana semakin lebar melihat ulah Damar yang menurutnya menggemaskan.

***

Akad telah ditunaikan, Kana dan Damar telah resmi menjadi pasangan suami istri. Meskipun Kana masih ragu akan perasaanya sendiri ke Damar. Namun, Kana tetap tersenyum menyambut teman – temannya yang datang.

“Selamat, sayang…. Kamu makin cantik pake jilbab,” Hera memeluk Kana dengan haru yang dibalas oleh Kana dengan pelukan hangat. 

Hera tidak tahu, Damarlah yang membuat Kana memakai jilbab dengan mantap.

“Kalau sampai dia macem – macem, aku orang pertama yang akan menguliti dia!” Kata Hera lagi sambil menunjuk kearah Damar.

Damar hanya nyengir mendengar ucapan Hera.

“Kana...." Rombongan Anya mendekat, "Selamat ya, Kan. Dia banyak berubah sejak dekat sama kamu, yang pasti dia sangat sayang sama kamu.” ucap Anya saat memberikan selamat.

Kana menoleh sekilas ke arah Damar yang tersipu, lalu membalas pelukan Anya dengan hangat. 

Satu persatu tamu memberikan selamat atas pernikahan mereka. Kedua orang tua mereka pun tampak bahagia menyaksikan kedua mempelai.

***

Damar menatap wajah Kana yang terpantul dalam cermin rias. Meskipun Nampak lelah karena perjalanan panjang, Kana masih terlihat manis dalam balutan jilbab berwarna merah muda. Merasa ada yang mengamati, Kana menoleh dan mendapati Damar mencoba mengalihkan pandangan dengan salah tingkah.

Kana tersenyum, lalu duduk di sebelah Damar.

“Terimakasih, sudah mau menjadi istriku,” Kata Damar sambil meraih tangan Kana.

“Sejak kapan?” Kana menatap Damar yang dijawab dengan gelengan pelan.

“Entahlah. Aku merasa nyaman saat ada didekatmu. Aku bisa menceritakan semua yang ingin kuceritakan, bahkan cerita pribadiku,” Damar mencium punggung tangan istrinya.

“Kenapa aku? Padahal, aku mendengar kamu bilang ke Anya, nggak akan mungkin kamu suka aku?” Tanya Kana penuh selidik.

Damar menggenggam kedua tangan Kana.

“Karena kamu yang bisa membuat aku berubah menjadi lebih baik. Kamu juga yang membuat aku bisa menjalani semua permasalahanku jadi lebih mudah.” Jelas Damar sambil terus menatap Mata Kana. “Kamu yang membuat aku bekerja keras, agar aku bisa layak minta ijin mencintaimu di depan Ayahmu. Kamu juga yang membuat aku khawatir, saat kamu jauh dariku. Kamu juga yang membuat aku terus ingin berada didekatmu.” Lanjut damar.

Kana tersenyum sambil menatap lekat Damar yang terlihat berbeda hari ini. Dama terlihat lebih segar dibanding sebelumya. Rambutnya yang gondrong sudah terpangkas rapi, jaket belelnya berganti kaos putih bersih.

“Maaf, beginilah caraku mencintaimu,” kata Damar seolah pada dirinya sendiri.

Kana tak sanggup menahan diri lagi. Ia menghambur kedalam pelukan Damar. Damar membalas pelukan Kana dengan penuh kasih sayang. Ia benar – benar merasa bersalah selama ini menganggap bisa memanfaatkan Kana untuk menyelesaikan tugas akhirnya, bahkan untuk menjalani masa sulit dalam keluarganya dan juga dari Riana. Damar semakin erat memeluk Kana, seolah ingin menunjukkan bahwa ia sangat mencintai Kana.

“Aku sayang banget sama kamu, Kana. Aku mencintaimu,” ucap damar lirih di samping telinga Kana yang hanya dibalas dengan pelukan dari Kana.

 Tidak ada alasan bagi Kana untuk menolak lelaki yang menunjukkan betapa sangat berharganya diri Kana. Bahkan Damar meminta Kana untuk berhijab, meskipun Kana menolak cintanya. Tak ada alasan bagi Kana untuk membiarkan rasa khawatirnya membunuh tunas cinta yang mulai tumbuh dihatinya. Kana memutuskan untuk melupakan kekhawatiranya dan memilih memupuk tunas cinta dalam hatinya.

Rona senja terlihat cerah memasuki celah cendela, gemericik air pegunungan terdengar menambah indah suasana. Kana dan Damar masih terbuai dengan suasana, bahkan saat indahnya senja beranjak menuju malam yang cerah penuh bintang.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi