Disukai
3
Dilihat
1349
Rumah Ternyaman
Drama

Lomba Cerpen

Kwikku x Falcon publishing

Judul: Rumah Ternyaman

Genre: Slice Of Life

Isi Cerita:

Memang tidak semua yang setiap orang rasakan akan selalu bahagia. Ada saja saatnya rasa kecewa bahkan kesedihan berlarut datang dalam kehidupan. Di balik itu semua ada satu tempat yang selalu menjadi alasan untuk tetap tegar dan mencoba kuat menjalani kehidupan.

Rumah memang tidak selalu menjadi tempat ternyaman tapi, dari rumah kita tau arti kehidupan mulai dari 0. Bagaimana semua itu di jalani dan lewati.

Seperti rumah yang selalu menjadi tempat ternyaman bagi Kayla di saat Kayla kecil. Menginjak remaja dan dewasa seperti saat ini Kayla sudah bekerja. Kayla rasakan semua itu yang dulu nyaman ternyata tidak selalu akan begitu ketika dirinya sudah bertumbuh menjadi orang dewasa.

Banyak bisikan kecil namun, terdengar sangat jelas di telinga Kayla dari orang-orang yang selalu ingin tau tentang kehidupannya. Kayla acuh tak acuh meski sebenarnya sakit hati apalagi sampai mengetahui langsung ada seseorang yang membicarakan dirinya bahkan keluarganya sekalipun.

Kriett ...

Pintu kamar terbuka, Kayla yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya bergegas ke dapur untuk sarapan.

“Fyuhh ...” keluhnya saat membuka laci yang ternyata tidak ada apa-apa untuk di makan.

Drttt ... drt ... drt ...

Suara mesin jahit terdengar sangat jelas di ruang depan rumah. Ya, kedua orang Kayla penjahit kecil yang masih mengambil barang mentahan dari orang lain. Belum ada cukup dari tabungan untuk membuat usaha sendiri.

Langkah kaki Kayla berjalan ke ruang depan sekedar menghampiri orang tuanya.

“Mah, pak gak ada apa-apa buat sarapan?” tanya Kayla.

“Gak ada nanti tunggu tukang tahu aja dulu.” Jawab Marisa ibu Kayla.

“Keburu telat,” keluh Kayla cemberut kembali ke dapur.

Dari arah kamar terlihat Rama adik pertama Kayla yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Di susul Rafa adik paling bungsu yang selalu membuat Kayla kesal karena tingkahnya yang super aktif sulit untuk di beritahu.

“Berangkat sekolah dulu,” Rama menyalami mamah. Sementara itu tersenyum melirik ke arah sang ayah yang bernama Tomi. “Pak, anter ya ...” ucap Rama.

Kedua mata Tomi menyipit menatap Rama yang minta di antar ke sekolah. Tanpa berkata-kata Tomi keluar sembari mengambil kunci motor.

“Ikut dede mau ikut mah,”

“Dede ikut!”

“Mau ikutttt!”

Ocehan Rafa yang tidak berhenti membuat keadaan jadi, ramai.

“Udah tunggu aja nanti tuh mau tahu kan? Nanti tukang tahu lewat gak usah ikut angin. Nanti flu lagi!” tegas Marisa.

“iya udah di rumah aja dek ih!” sambung Kayla yang selalu kesal melihat Rafa rewel.

“Gak mau! Mau ikut!” Rafa berlari keluar menyusul Rama. “kakak! Dede mau ikut!” teriaknya langsung naik motor di depan.

“ikut-ikut terus kamu mah bukannya belajar!” tegas Tomi pada Rafa.

“biarin aja,” timpal Rafa.

Brummm ...

Suara motor menghilang keadaan rumah pun ikut hening. Hanya ada suara mesin jahit. Kayla duduk di tempat Tomi sang ayah berhadapan dengan Marisa sang ibu yang fokus menjahit. Sesekali melihat jendela berharap tukang tahu cepat datang.

Krukkk ...

“Perut sudah berbunyi hahah,” ucap Kayla tertawa kecil. “Lama banget tukang tahu keburu jam delapan,” lanjutnya.

“Beli telur aja sana kalau kelamaan mah. Nanti kerja jalan jangan minta anter bapak. Liat ini kerjaan banyak. Di buru-buru lagi sama yang punya.” ucap Marisa memberi uang pada Kayla.

“iya iya, biasanya juga jalan sendiri ini.” jawab Kayla menerima uang bergegas ke warung hanya untuk membeli satu telur.

Waktu menunjukkan sudah jam tujuh lebih. Kayla dengan cepat membuat telur ceplok seadanya yang hanya di baluri penyedap rasa.

Semua sudah tersaji sang ayah dan adik bungsunya kembali ke rumah selepas mengantar Rama ke sekolah. Sementara sang ayah melanjutkan pekerjaannya. Kayla tau bahwa Rafa akan mengganggunya sarapan.

“mamah dede mau telor jugaa mah,”

“mah mau di suapin!”

“mah! Mamah ihh!”

“Astaghfirullah! Iya bentar dulu dek. Ini mamah lagi jahit sedikit lagi. Kan nunggu tukang tahu. Sabar!” tegas Marisa.

“ih! MAMAHHH!” teriakan Rafa membuat Tomi sang ayah kesal hingga melempar botol plastik ke arah tembok dekat Rafa.

PRAKK!

“Jangan rewel terus kamu dek! Liat ini kerjaan mamah sama bapak lagi di buru-buru. Sabar nanti tunggu tukang tahu dulu!” tegas Tomi memelototi Rafa.

“GAK MAU! MAU TELUR SEKARANG GAK MAU TAHU!” kesal Rafa hingga menjatuhkan piring yang Kayla pegang sampai telur dan nasi berhamburan kemana-mana.

“Astaghfirullah dede ih!” gerutu Kayla refleks mendorong Rafa hingga jatuh.

“Kayla! Ga usah dorong Rafa juga kamunya.” seru Tomi.

“marah dede mah! Huh!” Rafa mengambil handphone Tomi dan masuk ke kamar usai membuat kekacauan di pagi hari.

“HUH!” dengus Kayla emosi tertahan.

“Kata mamah juga sabar tunggu tukang tahu jadi, kaya gini kan udah tau punya adik gak bisa diem. Rewel terus harusnya kamu juga ngerti dikit. Tuh Rama aja tadi gak sarapan dulu langsung berangkat sekolah aja!” tegas Marisa sembari membereskan nasi dan telur yang berhamburan.

“iya-iya aku terus yang salah. Apa-apa salah aku lagi,” gerutu Kayla. “udah sini sama Kayla aja di beresinnya.” ujar Kayla.

“Gak usah sana biar mamah aja,”

“Ck!” decak Kayla mencuci tangannya.

“kamu tuh Kayla kalau di bilangin jangan decak decak gak sopan. Orang tua ngasih tau kamu tuh biar bener bukannya ngelawan!” tegas Tomi.

“iya pak iya! Siap!” ucap Kayla mendelikan mata.

“gak tau terimakasih banget sama orang tua tuh kamu.” Ucap Tomi kesal.

TAHU! TAHU! TAHU!

Baru saja Kayla hendak minum muncul tukang tahu yang sedari tadi di tunggu-tunggu. Rafa keluar kamar lagi hendak keluar rumah namun, Tomi menahannya.

“sok diem dulu! Jangan ribut biar kakak aja yang beli,” seru Tomi.

“Kayla ambil uang di dompet mamah beli tahu dulu sana lima ribu aja.” ucap Marisa sambil berjalan ke toilet.

“hmm,”

Tanpa bicara satu kata pun Kayla langsung keluar membeli tahu. Memasang wajah cemberut menahan kekesalan dalam hatinya.

“Tuh tahu nya. Mau berangkat kerja dulu. Udah mau jam delapan. Assalamualaikum,” ucap Kayla tidak lupa membawa tas berisi air minum.

“waalaikumsallam,” jawab semuanya.

“Kayla gak makan dulu pak?” tanya Marisa.

“Gak,” jawab Tomi.

“suka ribut duluan sih udah tau punya adik nya gak bisa diem. Hadeuhh pusing mamah jadinya.” Gerutu Marisa.

“mah Dede mau tahu! Goreng mah goreng,” rengek Rafa menarik-narik baju Marisa.

“iya duduk Dede nya jangan kesana kesini terus mamah buatin dulu!” tegas Marisa.

----

Tempat kerja yang tidak begitu jauh dari arah rumahnya membuat Kayla selalu memilih untuk jalan kaki melewati gang yang cepat menuju tempat kerjanya. Berjalan sembari menahan lapar di perutnya.

“apa-apa aku terus yang salah. Ngomong aja kalau aku gak boleh sarapan. Gak bisa gitu ngertiin aja dikit aku. Ada adik apa-apa aku yang di salahin. Cape lama-lama jadi, dewasa. Keluarga kaya gini. Rumah juga gak nyaman banget jadinya!” gumam Kayla pada dirinya sendiri sembari berjalan terus.

“mana rumah yang dulu buat aku nyaman?” lanjutnya sedih.

Kayla bekerja sebagai admin packing di sebuah toko online shope baju yang cukup besar dan tiap harinya selalu ramai pembeli.

“Kayla tumben telat lima belas menitan kamu. Biasanya awal terus.” Ucap Nanda teman dekat Kayla.

“Biasa,” jawab Kayla di balas senyuman dari Nanda seolah-olah tau yang terjadi dengan Kayla.

“ini di kemanain?” tanya Kayla melihat barang berserakan.

“taruh ke belakang kayanya selusin selusin kaya biasanya aja,” jawab Nanda.

“ohh yaudah biar aku yang taruh sekalian aku catet. Kamu ke kasir lagi aja nan,” ujar Kayla.

“Oke deh,”

Beberapa lusin baju yang sudah di ikat rapi Kayla masukan dan si susun satu persatu ke rak khusus lusinan baju. Beres dari itu semua lusinan yang tertata rapi Kayla catat dengan sangat teliti. Kesalahan sedikit saja Kayla pasti kena amarah dari atasan nya.

“Kay, udah beres belom nyatetnya?” tanya Amel.

“Udah kok, kenapa Mel?” tanya Kayla.

“ibu toko mau lihat catatannya.” Jawab Amel.

“Oh ini,” Kayla menyodorkan catatan yang langsung Amel ambil dan berikan pada ibu pemilik toko.

Waktu makan siang atau bisa di bilang waktu istirahat tiba. Ke enam karyawan pun bergegas keluar mencari makan.

“Ayo beli mie ayam,”

“Aku pengen bakso,”

“Yaudah ayo eh, Kayla ayo makan bareng,” ajak Nanda.

“Ay ...” baru melangkahkan kaki keluar toko. Amel menepuk pundaknya memasang wajah gugup yang seolah-olah Kayla pahami pasti ada kesalahan lagi yang dirinya lakukan.

“Mel? Ada apa nih?” tanya Kayla gugup.

“Ibu toko nyuruh kamu ke belakang sebentar.” Jawab Amel.

“Ohh yaudah. Nan, kamu sama yang lainnya istirahat duluan aja.” Ujar Kayla.

“Ohh oke deh kita duluan ya,” sahut Nanda.

Di temani Amel perasaan Kayla merasa tidak enak. Dan, benar saja yang Kayla rasakan. Ibu pemilik toko memasang raut wajah kesal di hadapan Kayla.

“Amel kamu istirahat aja sana. Saya mau bicara sama Kayla.” Ucap ibu toko.

“Iya Bu, aku duluan ya la.” Ujar Amel menepuk pelan pundak Kayla.

“iya,”

Brak!

Terkejut Kayla ketika ibu toko melempar buku catatan dengan keras ke meja yang Kayla berikan tadi pada Amel.

“Lihat itu kamu yang bener kalau nyatet. Sama sekali gak ada yang sesuai sama catatan barang dari Arya.” jelas ibu toko.

“maaf Bu sebelumnya tapi, saya mencatat sesuai apa yang ada di rak. Perlusin yang di rak.” Jawab Kayla.

“Yaudah saya minta kamu bawa catatan Arya kamu hitung ulang lagi barang yang Arya bawa sama yang kamu udah taruh Perlusin. Harusnya ngerti dong kamu bukan sehari dua hari kerja di sini loh. Aduhh!” ucap ibu toko menggelengkan kepala.

“baik Bu, sekali lagi maaf.” Ucap Kayla memelas kembali membenarkan catatan lusinan itu.

“yaudah sana,”

Kruukkk!

“Duh, mana laper lagi. Jadi, gak mood mau makan siang juga. Padahal kan aku udah teliti itungannya kok bisa salah. Ini lagi catatan si Arya beda jauh banget. Hih!” gerutu Kayla.

“Kayla ini buat kamu. Aku tadi beli roti selai. Kamu gak istirahat ya tadi?” tanya Amel beres makan siang menghampiri Kayla.

“enggak catatan aku salah semua tadi itungannya dan ini harus di hitung ulang samain sama catatan si Arya.” terang Kayla. “makasih rotinya ya.” Kayla tersenyum.

“iya sama-sama. Yaudah semangat ya jangan down karena ucapan ibu toko. Kita semua tau emang hobinya kan begitu marahin karyawan.” Ledek Amel terkekeh kecil.

“Amel ... Amel,” Kayla ikut terkekeh kecil.

Seharian bekerja barang baru pun datang lagi. Kayla masih menghitung baju lusinan di rak untuk di samakan dengan catatan Arya.

“Huh! Barang baru lagi nih.” Ucap Arya karyawan yang di tugaskan membawa barang baru tiap harinya.

“Hm,” dehem Kayla tanpa melirik Arya.

“yaelah cuek banget neng.” ujar Arya.

“kalau udah tinggal taruh aja nanti aku yang hitung.” ucap Kayla masih tidak melirik Arya.

“oke deh,” Arya kembali ke depan namun dengan perasaan heran. “si Kayla kenapa ya gak biasanya begitu.”

Di bantu karyawan satu lagi Kayla membongkar semua baju lusinan yang ada di rak untuk di hitung ulang tidak lupa Kayla dan temannya rapikan lagi.

“Seratus lusin baju.” Ucap Kayla fokus pada catatan. “fyuuhhh ... beda lima doang padahal.” Ucap Kayla ketika menyadari memang catatan hitungan Kayla yang salah.

Kembali ke belakang menemui ibu toko yang sedang mengetik membantu admin chat membalas pesan dari customer.

“Bu, ini maaf catatannya. Iya saya yang salah kurang hitungan lima lusin.” Ucap Kayla menaruh catatan di meja.

“tuh kan apa saya bilang juga. Saya yang punya toko di sini jadi, saya gak mungkin salah nuduh orang yang lakuin kesalahan. Yaudah lanjut kerja lagi. Dan, barang yang datang baru tadi kamu jangan masukin rak dulu tunggu barang lain nya biar gak salah-salah lagi kamu hitungnya!” tegas ibu toko.

“iya Bu.”

Capek dan lelah itu yang di rasakan Kayla bolak balik merapikan barang, menghitung barang. Waktu terasa cepat berlalu sore pun tiba semuanya bergegas untuk pulang kembali ke rumah masing-masing.

“aku duluan ya,”

“iya hati-hati.”

“Kayla aku duluan ya. Hati-hati kamu di jalan.” ujar Amel tersenyum.

“iya Mel, kamu juga.”

Brumm ...

Hampir semua teman kerjanya berangkat dan pulang menaiki motor. Karena memang jarak mereka cukup jauh berbeda dengan Kayla yang dekat dengan tempat kerjanya itu. Jadi, jalan kaki pun tidak sampai satu jam.

Rintik hujan turun tanpa Kayla sadari. Kayla berlari sebelum hujan menjadi deras.

“duh lupa gak bawa payung.” ujar Kayla berlari.

Kayla berhenti di depan rumah sempat terkejut melihat ada orang yang bertamu ke rumahnya namun, tidak Kayla kenali.

“Terimakasih ya pak.” ucap Tomi.

“iya pak, bu kalau ada yang ingin di bantu hubungi saya lagi saja.” Ucap pria itu.

“iya pak.” Kedua orang tua Kayla tersenyum ramah.

“baik kalau begitu saya permisi.” Ucap pria itu lagi.

“iya silakan pak,”

“Mah, pak itu siapa?” tanya Kayla.

“Biasa,” jawab mamah singkat. Terlihat oleh Kayla di tangan orang tuanya memegang uang yang cukup banyak.

“Nih liat mamah sama bapak minjem uang. Udah pusing buat bayar SPP adik sekolah kamu. Belum lagi pendaftaran adik kamu juga yang bontot, bayar kontrakan juga. Jadi, motor jaminannya.” terang Tomi.

“Apa? Tapi, kan motor cuman ada satu kenapa di jadiin jaminannya?” tanya Kayla terkejut.

“Udah kamu gak usah ikut mikirin. Mamah sama bapak yang capek kerja siang sampai malam juga. Lagi buntu aja jadi, minjem uang ini juga demi kebaikan kita semua.” Ujar Marisa.

“Tapi mah kenapa gak pakai uang tabungan buat buka usaha dulu?” tanya Kayla.

“Dari bulan apa juga uang itu udah kepake buat kebutuhan adik-adik kamu. Nyisa cuman beberapa ratus lagi buat ngisi rekening aja biar gak di blokir.” Ungkap Marisa.

“Hmm ...”

“Udah sana bersih-bersih langsung makan kalau laper.” Ucap Marisa.

“Mau langsung ke atas aja. Gak laper juga.” Jawab Kayla singkat.

“Yaudah,”

Posisi rumah keluarga Kayla ini mengontrak jadi, kedua orang tua dan adik-adiknya di bawah sementara Kayla di atas. Karena tidak memungkinkan untuk satu kamar empat orang lagi dengan posisinya Kayla sudah dewasa.

Brak!

Kini kesal yang di rasakan Kayla. Bukan kesal pada orang tuanya tapi, merasa kesal pada dirinya sendiri. Sebagian besar anak lain mungkin sudah bisa membahagiakan orang tua mereka masing-masing. Berbeda dengan Kayla yang sama sekali masih merasa menjadi beban keluarga.

“Kalau ada mesin waktu pengen banget balik jadi, kecil lagi. Kayanya beban pikiran gak akan sebanyak ini. Gak akan sebanyak jadi, orang dewasa bahkan mungkin waktu kecil gak ada tuh sama sekali mikirin sesuatu yang bikin pusing kepala.” gumam Kayla sembari berganti pakaian.

“Uang tabungan aku juga mana cukup buat bantu bayar utang-utang. Niatnya juga buat beli rumah walau sederhana seenggaknya gak ngontrak kaya gini. Jadinya kan bisa satu rumah gak pisah-pisah kaya gini.” Lanjut Kayla menatap celengan di depan matanya.

Brak!

“Kakak!” Rafa si adek bungsu masuk kamar Kayla sontak membuat Kayla kaget.

“Rafa! Kamu kebiasaan kalau masuk gak ketuk dulu. Udah besar kamu tuh ngerti dikit!” tegas Kayla.

“Hehe!”

Rafa mondar-mandir tidak mau duduk. Memegang semua barang-barang milik Kayla bahkan sampai mengacaknya. Kayla geram sampai tak sengaja mendorong Rafa.

“Ihh! Gak ngerti banget sih!” seru Kayla.

Duk!

“Aw! Huuuu mamahhh!!! Mamahhh!” rengek Rafa keras.

Marisa mendengar tangisan Rafa yang memang terdengar kencang sampai ke kontrakan bawah.

“Astagaa! Kamu apain adik kamu?” tanya Marisa memelototi Kayla.

“Rafa gak bisa diem mah ih!” jawab Kayla kesal.

“Hiks,” Rafa terus merengek.

“Kamu tuh harusnya ngerti sama keadaan adik kamu. Bimbing bukannya malah di marahin! Udah tau punya adiknya gak bisa diem!” ujar Marisa.

“Aku juga ngerti. Harusnya Rafa yang udah mau delapan tahun lebih ngerti bukannya malah kaya gini.” ungkap Kayla.

“Nanti juga ngerti sendiri. Jangan di marahin tapi, kasih pahamin.” ujar Marisa.

“Hmm, coba dulu kalau mamah gak ngandung Rafa pasti Rafa gak akan ada di sini juga.” Celetuk Kayla.

“KAYLA! Kamu kalau bicara jangan kemana-mana ya. Harusnya kamu bersyukur punya adik. Bimbing bukannya malah di marahin!” seru Marisa sangat kesal.

“Iya-iya oke fine aku salah terus!” ucap Kayla kesal. “Emang bener keadaan rumah udah beda banget sekarang.” Batin Kayla.

Marisa keluar kamar Kayla menutup pintu agak keras. Kayla tidak memperdulikannya. Menangis sudah menjadi keseharian Kayla tiap pulang kerja. Jikalau ada bahagia pun rasanya sementara. Yang Kayla rasakan hanya ingin rumah yang nyaman tanpa perlu ada masalah ekonomi atau bahkan masalah dari saudara sendiri.

“Hiks, iya emang apa-apa sekarang aku yang salah. Dulu aku di ngertiin banget sama orang tua tapi, sekarang gak sama sekali. Aku yang harus ngertiin keadaan. Gini banget jadi, dewasa.” Ucap Kayla sembari meneteskan air mata.

Drtt ...

Telepon masuk dari Rama menyadarkan Kayla yang sedang menangis.

“Halo? Apa?”

“Kata mamah makan sini.” ucap Rama di telpon.

“Gak lapar nanti aja.” Kayla mematikan teleponnya.

Berbohong juga seakan menjadi keseharian Kayla. Perutnya padahal terus berbunyi menahan lapar. Apalagi saat bekerja Kayla tidak makan siang. Hanya di belikan roti itu pun tidak membuatnya kenyang.

“Bener-bener kata aku gak apa-apa itu jadi, keseharian aku sekarang.” Ucap Kayla pada dirinya sendiri.

Hujan yang semakin deras turun membuat kedua mata Kayla mengantuk bahkan sampai tidak memperdulikan perutnya yang lapar.

“Hoamm,”

“Mau makan gak kakak kamu?” tanya Marisa.

“Gak lapar katanya mah.” jawab Rama.

“Yaudah biarin lapar juga nanti kesini. Kebiasaan baperan kakak kamu di bilangin gitu juga.” Ucap Marisa.

“Emang kenapa mah tadi?” tanya Tomi.

“Biasa sama si Rafa berantem terus.” jawab Marisa.

“Fyuhh ... adik kakak selalu kaya gitu. Susah buat akur. Gak ada yang mau ngalah dan ngerti satu sama lain jadi, kaya gitu.” terang Tomi.

“Tapi, aku apa-apa ngertiin kakak sama adik ah. Kalau di suruh ke warung atau ke mana-mana pasti aku gak pernah nolak pasti nurut ya kan?” ungkap Rama terlihat membanggakan diri.

“Hmm iyain deh Rama,” ucap Tomi dan Marisa bersamaan.

“Hehe,”

Mereka berempat makan sementara Kayla lelap tertidur.

Malam terasa begitu cepat. Rutinitas seperti biasanya Kayla jalani lagi. Hari-hari terasa sama seperti biasanya. Tidur, makan, mandi, kerja tidak dengan main. Kayla tipe orang yang kalau temannya mengajak main Kayla langsung mau tapi, Kayla tidak mau kalau mengajak temannya main. Kayla merasa setiap dirinya yang mengajak main temannya suka tidak bisa dan menolak dengan berbagai alasan.

“Ehh besok kan Minggu kita main yuk,” ajak Amel.

“Hayuu kemana nih?” tanya Nanda.

“Ke mall atau gak tempat wisata yuk.” Jawab Amel.

“Hayu aja yang lainnya gimana?” Nanda melirik ke yang lainnya.

“Boleh deh, hayu,”

“Hayu juga.”

“Aku gak kayanya.” Jawaban Kayla membuat semua melirik Kayla.

“Ko gak?” tanya Amel.

“Gak mau aja hehe. Maaf ya, ada urusan lain.” Jawab Kayla beralasan.

“Yahhh yaudah deh,” ucap Nanda dan Amel bersamaan.

Kayla tidak bisa untuk langsung mengungkapkan kekesalan pada teman-temannya. Meskipun begitu kekesalan yag muncul di benak Kayla tidak berangsur lama. Bukan berniat membalas dendam. Kayla juga hanya ingin di rumah saja hari libur besok. Meskipun rumah yang dulu membuatnya nyaman kini selalu membuatnya meneteskan air mata.

“Agak kesal sih kalau misal aku yang ajak pasti nolak semua.” batin Kayla melanjutkan pekerjaannya.

Sepulang kerja Kayla mendengar suara pecahan kaca dari rumahnya.

Prang!

“Dede! Astagfirullah! Gak bisa diam banget kamu!”

Suara Tomi sang ayah yang begitu keras memarahi Rafa sontak membuat Kayla terkejut.

“Rafa!” teriak Kayla masuk rumah tanpa mengetuk pintu.

“Kakakkk!” Rafa menghampiri Kayla dan memeluk Kayla. “Hiks, bapak marahin dede kak.” rengek Rafa semakin erat memeluk Kayla.

“Kenapa mah, pak?” tanya Kayla.

“Adik kamu gak bisa diem mecahin gelas di kasih tau juga.” terang Marisa sembari merapikan pecahan kaca.

“Hm, kalau nakal lagi bapak gak akan kasih jajan!” tegas Tomi hanya sekedar menakut-nakuti Rafa.

“Maafin Dede, dede gak sengaja.” Rengek Rafa langsung di gendong Tomi.

“Haduhh anak bontot ... anak bontot.” Ucap Marisa tersenyum. Membuat Kayla ikut tersenyum.

“Kamu sih dek kata kakak juga nurut ya, oke?” Kayla mengacungkan jempol pada Rafa.

“Iya kakak,” Rafa tersenyum.

“Kayla makan dulu tuh. Mamah masak tumis terong balado. Kemarin juga kamu gak makan kan. Tadi sarapan juga dikit. Jangan baperan kalau orang tua ngasih tau tuh tandanya sayang. Sejahat-jahatnya orang tua mereka tuh sayang banget sama semua anaknya gak ada pilih-pilih mau anaknya dewasa, remaja, atau masih bayi sekalipun. Jadi, jangan berpikir kalau orang tua gak ngerti anak-anaknya mereka tuh ngerti tanpa harus anaknya bilang juga. Tapi, cara mengertinya memang beda-beda. Paham kan?” jelas Marisa.

Kayla mengangguk mengiyakan. Meski tidak sejalan dengan apa yang ada di hati dan pikirannya. Bagaimana pun orang tua pasti selalu mengerti keadaan anaknya meski tanpa harus anaknya bilang. Namun, terkadang memang tidak semua orang tua begitu. Ada anak yang memang menutupi semuanya dengan kebahagiaan semata menutupi kebohongan dari sebuah kesedihan. Tapi, tetap rumah lah tempat ternyaman bagi semuanya.

“Iya mah Kayla coba pahamin semuanya. Mungkin karena Kayla udah dewasa sekarang jadi, apa-apa gampang masuk ke hati.” terang Kayla tersenyum tipis.

“Jadi, anak dewasa harus kuat. Kalau ada yang gak suka kamu abaikan aja. Hidup-hidup kamu yang jalanin. Mereka cuman tau luarnya aja. Makanya kadang orang ada yang milih di luar kan daripada di rumah? Nah, kaya gitulah mereka ibarat cuman tau tumpahan satu tetes air daripada beribu-ribu air yang berjatuhan. Sebaik-baiknya merasa di luar juga. Rumah tempat kamu pulang.” jelas Tomi sang ayah membuat Kayla takjub.

“Wahhh!!! Bapak bijak banget sekarang. Kerennn!” Kayla mengacungkan jempolnya.

“Kamu ini Kayla ... Kayla,” Tomi menggelengkan kepala.

“Hahahaha,” semuanya tertawa kecil.

Tidak terasa hari berjalan terasa cepat Kayla sampai lupa kalwu hari ini gajian. Pantas saja teman-temannya mengajak semuanya untuk jalan-jalan besok.

“Eh, aku gajian sekarang. Sampai lupa aku.” ucap Kayla beres makan.

“Gajian? Alhamdulillah. Cusss!” Tomi terlihat bersemangat jikalau mendengar anaknya gajian.

“Bapak paling semangat kalau kak Kayla gajian.” Ledek Tomi terkekeh kecil.

“Ya iyalah,”

“Dedek ikut mah, pak.” ucap Rafa.

“Ambil ke ATM kan?” tanya Marisa.

“Iya mah.” jawab Kayla. “Sekarang aja ayo sekalian beli cemilan.” ujar Kayla.

“Yaudah ayok. Pake maskernya dulu dek.” ucap Marisa.

“Aku sendiri di rumah?” tanya Rama.

“Terus kamu mau ikut nyempil di ban? Udah tau motor satu Rama.” ucap Tomi.

“Iya deh iya.”

Satu motor berempat bisa di bayangkan bagaimana itu. Sementara Kayla sudah besar tapi, masih belum bisa naik motor. Kalau pun bisa motor tidak bisa di pakai bersamaan karena hanya satu. Belum ada uang untuk menyicil yang baru.

“Nanti kalau aku bisa motor aku mau beli motor sendiri ah.” ucap Kayla.

“Ya iya masa mau pakai yang ini.” tukas Tomi agak keras karena bising dengan kendaraan lain.

Brummm ...

Tak butuh waktu lama sampai di ATM. Untungnya tidak banyak antrian Kayla di temani Marisa sang ibu masuk ke ATM.

Tit ...

Tit ...

“Kamu mah udah gede juga masih harus sama mamah.” ucap Marisa.

“Hehehe,” Kayla terkekeh kecil.

“Hilihhh,” Marisa ikut tertawa.

Uang gaji total satu juta itu tidak semua Kayla pegang. Sebagai tanda berbakti pada orang tua Kayla lebih memberikan banyak pada orang tuanya. Sisanya Kayla pegang hanya tiga ratus ribu saja.

“Yuk cuss kita beli makanan.” ucap Kayla menaiki motor lagi.

Brumm ...

“Beli bensin dulu ah udah mau abis ini. Berempat gini satu motor.” ujar Tomi.

“Iya pak iya,”

“Mah, mau sayur mah.” Rengek Rafa.

“Iya dek nanti beli bensin dulu bapaknya.” Ucap Marisa agak keras karena bising dengan suara kendaraan.

Brumm ...

Brummm ...

Hari-hari berlalu bulan-bulan terlewati banyak kabar baik yang Kayla dapatkan ntah dari pekerjaan, pertemanan atau pun keluarga. Semua itu ternyata berproses. Dan, proses nya memang tidak sebentar. Harus banyak kekecewaan yang di rasakan apalagi menginjak fase kedewasaan.

Harus kuat mengalami perubahan dalam keadaan baik keluarga atau pun pertemanan. Nyatanya people come and go jadi, tidak semua yang merasa membuatmu nyaman akan selamanya menetap bersamamu.

Kayla memang merasa kadang selalu baik jika, berada di luar rumah apalagi saat bersama teman-temannya. Tapi, seiring berjalannya waktu. Kayla paham sebaik-baiknya suasana di luar bagianya saat dulu. Keluarga dan rumah lah tempat paling nyaman. Meski kadang banyak di terpa kekesalan atau pun kekecewaan dari keluarga sendiri. Tapi, percayalah tanpa keluarga tidak akan pernah tau arti sebuah perjuangan dalam kehidupan. Dan, dari rumah lah kehidupan pahit manis dari nol itu di mulai sampai berakhir.

“Harus perbanyak bersyukur. Sebaik apapun keadaan di luar yang dulu aku rasain meski gak banyak aku ceritain. Tapi, tanpa keluarga aku bukan apa-apa kayanya. Rumah juga bakalan jadi, tempat paling nyaman kalau mau nangis, marah, atau pun teriak sekali pun. Bukannya aku introvert juga. Tapi, itu memang benar adanya. Baik buruknya keadaan di rumah pasti akan menjadi tempat ternyaman bagi pulang. Berbeda dengan keadaan di luar baik buruk pun orang hanya bisa membicarakan seenaknya tanpa tau kebenarannya. Jadi, bagi aku Kayla rumah adalah tempat ternyaman. Percayalah,” batin Kayla tersenyum merasa kebahagiaan kembali menyelimutinya lagi di fase kedewasaan ini.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi