Disukai
2
Dilihat
3,217
Kisah Ular
Drama

Satu-satunya hal yang sangat membahagiakan sekaligus menyenangkan bagiku adalah menjadi seekor ular. Tak ada yang lebih membebaskan perasaan selain ketika aku bisa bergerak, menyelinap, datang, dan kemudian pergi dengan begitu mudah. Di sepanjang hidupku, inilah yang kusebut “kemerdekaan mutlak”. Karenanya, aku tak pernah benar-benar ingin menghilangkan kebiasaan ini.

*

Gadis itu muncul di hadapanku secara tiba-tiba. Kusebut saja dia Renjana. Aku tak tahu siapa namanya. Dia tak mengatakan apapun, dia tak mengenalkan dirinya kepadaku, dan aku pun tak menanyakan siapa namanya. Dia datang dari negeri antah-berantah, lalu kami bertemu di tangga pintu masuk bianglala di pasar malam. Kami berdua berebut menyodorkan tiket, beradu pandangan mengintimidasi, berjuang paling keras untuk mendapatkan gerbong yang tinggal satu-satunya itu. Meski akhirnya aku dan dia harus mengalah. Si penjaga memaksa kami berdua menaiki gerbong yang sama.

“Tak ada waktu untuk berdebat. Masih banyak orang mengantre di belakang,” kata lelaki remaja bertubuh kerempeng itu kepadaku. Dan, o, mungkin aku harus berterima kasih kepadanya atas ide yang tak menyenangkan itu.

“Hati-hati,” kataku sedikit berteriak saat menyodorkan tanganku untuk dia, Renjana. Gerbong bianglala bergoyang seiring gerakan gadis itu menjejakkan kakinya di tempat pendaratan. Perjalanan bianglala terhenti sementara kami berdua turun. Kebekuan yang terjadi selama perputaran bianglala mulai mencair. Sedari awal sebenarnya aku memang tak berniat untuk melakukan obrolan pendek nan tak penting.

“Terima kasih,” katanya pelan, nyaris tak terdengar olehku. Dia tersenyum, lalu melenggang pergi. Setelahnya, bianglala melaju perlahan, kembali berputar. Masih ada puluhan orang yang menunggu gerbong itu kosong. Aku lalu berjalan, menuruni tangga, dan menjauhi riuh-rendah kebisingan itu.

Kakiku melangkah menuju tempat-tempat selain bianglala. Sejujurnya aku pun tak tahu ke mana harus menuju karena memang tak ada tempat yang asik di pasar malam bagi pria penyendiri. Semuanya riuh-rusuh, bising tak karuan. Namun anehnya, bahkan di tempat sebising ini aku masih merasakan kesunyian.

**

Fakta pertama, Renjana itu adalah gadis biasa yang tidak cantik. Namun, matanya yang bulat kecil serupa biji almond itu punya pancaran sebening embun. Ia menyedot semua perhatianku untuk tenggelam di sana. Jika kau pernah melihat mata seseorang dan tak ingin melepaskan diri dari pandangannya, nah, seperti itulah yang kurasakan.

Kupikir, aku kehilangan gadis itu setelah ia berjalan mendahuluiku, lalu hilang begitu saja ditelan kepadatan ratusan orang. Sempat aku sedikit-sedikit mencari ke setiap sudut pasar malam untuk sekali lagi menemukan tubuh berbalut rok selutut dan sweater rajut pink yang duduk bersamaku tadi. Namun ternyata, tebakanku salah. Dia tiba-tiba muncul di hadapanku dengan memegang dua botol minuman bersoda. Sepertinya rasa penasaranku tak bertepuk sebelah tangan kali ini.

“Hei!”

“Hai juga,” jawabku kikuk.

“Kau ke mana habis ini?”

“Mencoba segala arena yang ada di sini.”

“Boleh aku ikut?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Sebaiknya jangan. Kau akan kepayahan mengikutiku nanti,” jawabku sambil tersenyum.

Dia membalas senyumanku. Ternyata, tak hanya punya sepasang mata seindah rembulan, ia juga punya senyum secerah mentari. Aku bersumpah bahwa senyumnya amat menawan, seolah semua sinar di muka bumi ini berasal dari kilau gigi lurusnya yang cemerlang.

***

Dari kumpulan hal menarik yang ingin kuingat tentang dirinya adalah aku bisa menemukan pancaran seperti pelangi yang berpendar dari mata almondnya ketika ia bercerita. Dia mengikuti ke mana pun aku melangkah. Meski telah berulang kali kukatakan, ternyata tidak mudah meyakinkan dirinya bahwa ia boleh berhenti, atau pergi bila ia lelah. Perempuan itu agaknya memang keras kepala. Tidak mudah membuatnya paham bahwa aku benar-benar tak memerlukan pengawalan darinya.

“Kakimu itu terlalu indah untuk mengikutiku. Kau bisa capek setengah mati.”

“Tidak apa-apa, aku suka. Asalkan bisa sama kamu, capek pun tak apa-apa.”

Begitulah Renjana, dengan segala alasan yang dibuatnya, ia berhasil juga membawaku duduk diam menunggu dirinya menghabiskan gula-gula kapas berwarna pink yang bau manisnya mengerubungi rongga hidungku. Perasaan aneh menjalari naluriku. Meski dahulu aku pernah sebersedia ini menunggui seorang gadis di pasar malam, namun bersama Renjana kali ini aku merasa seperti sedang menjaga seorang kanak usia lima tahun.

“Kau tau … Aku tak suka sendirian. Aku takut kegelapan, dan aku takut ditinggalkan,” kata gadis itu bersemangat.

“Tentu. Semua orang tak suka sendiri.”

“Kita sama kalau begitu.”

Aku mengangguk. Dia, gadis yang kunamakan Renjana itu, tersenyum lagi dengan gula-gula pink yang menempel di giginya.

“Kau mau berjanji kepadaku?”

“Apa?”

“Setialah hanya kepadaku!”

Aku mendelik, kaget setengah mati.

“Aishiteru!” sambungnya lagi.

Aku masih berusaha mencerna ucapan Renjana ketika bunga semerah sakura bermekaran di wajahnya. Aroma gula-gula kapas yang memenuhi hidungku berganti dengan bau bunga, bau enak yang harusnya bisa membuatku betah berlama-lama di sisinya.

Sambil memegangi setangkai gula-gula kapas, kupandangi wajah gadis itu dengan saksama.

“Jangan terlalu cepat menjatuhkan hatimu kepada orang asing. Kau bisa terluka kapan pun,” kataku.

“Kau bukan orang asing. Aku suka sekali padamu. Mungkin, bisa dibilang jatuh cinta padamu. Kau baik, ramah, dan … lumayan tampan. Suatu hari, kau harus bertemu dengan orang tuaku. Dan, kita akan berbicara tentang masa depan kita.”

Mendengar ucapannya yang lugu itu, jantungku carut-marut. Kepalaku cenat-cenut. Beberapa bagian tubuhku mulai terasa panas dan gatal. Reaksi tak terduga itu datang tiba-tiba setelah sekian lama aku sempat lupa tentang bagaimana rasanya.

“Apa kau tak suka?” tanyanya lagi. Dua mata almond itu memandangku lekat-lekat, menunggu jawaban keluar dari mulutku yang beku.

“Emm, hei, apa aku bisa pergi sebentar? Aku butuh melakukan sesuatu,” tanyaku.

“Oh, ke toilet? Silakan. Jangan lama-lama. Aku tunggu di sini.”

“Baiklah.”

Segera aku beringsut meninggalkan Renjana. Berjalan aku cepat-cepat mencari tempat terbaik yang bisa membenamkan diriku dalam kesendirian. Kali ini tampaknya aku benar-benar butuh sendirian untuk merasa nyaman. Berada jauh dari area keramaian, sebuah pohon akasia yang besar dahannya sebesar tubuh lima orang dewasa tumbuh di sudut lapangan dan tanpa penerangan langsung menyita perhatianku. Perlahan, kududukkan diri di bawah rindang dahannya. Aku lalu menggeliat, memutarkan kepala, dan meregangkan tubuh.

Plooop!

Aku kecil sekarang, mengilap, hitam dan bersisik. Dengan sekali sentak, tubuhku bisa menyelinap di antara jalinan akar pohon. Aku ingin segera pergi ke mana pun, menjauh dari tempat ini. Kurasa, tak perlu aku melihat wajah gadis bermata almond itu basah dengan air mata kekesalan.

“Oi, buru-buru amat!” Suara perempuan yang datang entah dari arah mana berhasil membuatku ketar-ketir.

Dari kegelapan, berjalan lambat seekor ular lain. Dia mendekat lalu menatapku sinis.

“Pasti lagi main kabur-kaburan,” katanya sambil menertawakanku.

Sontak kubalas ucapannya yang menyindirku itu dengan senyuman.

“Mau pergi bareng?” tanyanya lagi.

“Hmm. Ayo!” sahutku bersemangat. Perasaanku menghangat.

“Namaku Renjana. Siapa namamu?”

~~~

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Wah. Terima kasih tlah sudi membaca 😊
Maa syaa Allah, sangat suka dengan gaya bahasanya kak ... Ceritanya unik