Disukai
2
Dilihat
1122
Jangan Ada Penasaran
Romantis

Malam ini begitu sepi rasanya. Tidak ada suara keramaian orang-orang, tidak ada kicauan burung bahkan angin pun enggan melewati kota ini. Seakan kota ini tidur dan hanya lampu jalanan yang menyala. Aku membereskan bonekaku dengan rapi dan membuat mereka berjejer rapi berhadapan denganku.

Inilah aku yang sebenarnya. Bercerita pada bonekaku yang diam seribu bahasa. Aku merasa kesepian. Walau aku punya teman, walau aku punya anggota keluarga yang banyak tetapi aku masih merasa sendiri. Aku merasa terpisahkan oleh dunia. Aku menatap bonekaku dengan sendu. Kali ini aku siap bercerita tentang aku yang dulu. Ralat, tentang aku dan dia.

Pertama kali bertemu dengannya di tempat les dekat dengan tempat tinggalku. Setelah beberapa hari aku mencoba les di sana, temanku yang lebih tua satu tahun memintaku untuk menemaninya. Dia tidak tahu bahwa teman perempuan yang biasa bersama sudah mengganti jadwalnya. Akhirnya aku menyetujuinya karena ia bilang tidak ada perempuan lagi hari itu, kecuali guru lesku. 

Seiring berjalannya waktu, satu per satu datanglah kakak kelasku. Aku mengenali mereka semua. Benar apa yang dikatakan temanku, semuanya siswa laki-laki. Untung saja guru lesku berbaik hati mengizinkanku menemani temanku. Walaupun mereka laki-laki, suasana menjadi riuh seperti pasar. Mereka bercerita dan tertawa bersama walaupun ada yang berbeda sekolahnya.

Beberapa saat kemudian, seseorang datang bersama ayahnya menggunakan motor sederhananya. Perhatianku langsung teralihkan padanya. Setelah ia turun dari motor, ia langsung berpamitan dengan ayahnya dan langsung masuk ke dalam ruangan. Pandanganku tidak bisa lepas darinya. Apakah aku tiba-tiba tersihir olehnya? Mungkin karena aku baru pertama kali melihatnya.

Disaat dia mencari tempat duduk, temannya merekomendasikan kepadanya untuk duduk di sebelahnya. Aku sontak langsung terkejut karena aku baru tersadar bahwa dia duduk di hadapanku. Aku langsung mengalihkan wajahku kemudian berpura-pura membaca materi buku seorang kakak kelas laki-laki yang di sebelahku. 

Semuanya berjalan lancar. Kenapa aku sangat semangat dan suka pada jam ini? Kenapa pelajaran sesusah ini, mereka belajar tanpa keluh apapun? Mereka belajar dengan semangat dan penuh canda tawa sehingga aku terasa ikut andil dalam ini. 

“Mba, kakak yang di depanku siapa namanya?” bisikku pada temanku.

“Oh, itu namanya Ali” Aku tidak mendengar jelas waktu itu. Suasana sangat ramai yang membuatku salah mengingat namanya. Adi? Abi? Ani? Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku ingin bertanya kembali namun tidak bisa karena suaraku pasti tidak akan terdengar.

“Ganteng, kan?” ujar temanku tiba-tiba. Untung saja hanya aku yang mendengar perkataannya itu. Aku melihat kakak itu untuk memastikan apakah benar dia tampan atau tidak. Namun aku tidak bisa melihatnya dengan lama karena ia melihat ke arahku juga. Aku tidak tahu.

Malam itu terasa sangat menyenangkan. Walaupun mereka kakak kelas, mereka sangat ramah dan dapat mengubah suasana seketika. Aku pulang bersama temanku dengan jalan kaki. Momen itu tidak akan pernah aku lupakan. Disaat itu, aku tidak tahu bahwa pertemuan ku dengannya terasa sangat spesial bagiku sekarang. Dan saat itu aku tidak tahu bahwa nanti aku akan memiliki banyak cerita spesial dengannya. 

Satu tahun kemudian, aku bersekolah di SMP yang bisa dibilang sangat populer di daerahku. Sekolah ini banyak sekali prestasi, entah itu di bidang akademik ataupun non akademik. Semua keluargaku sangat bangga padaku. Walaupun banyak tekanan nilai, tetapi aku bisa bilang bahwa masa SMP adalah masa terindah bagiku.

Setelah masa perkenalan sekolah, aku sudah memiliki banyak teman di kelasku. Kita bercanda gurau dan berusaha saling memahami satu sama lain. Kami pun pergi ke kantin bersama. Berjalan bersama sambil bercerita menyenangkan. Kami menuruni tangga dahulu yang sangat ramai untuk bisa menuju ke kantin. Dari arah berlawanan aku melihat seseorang familiar bagiku. Dia terlihat diam dan biasa saja. Namun kenapa pandanganku tak bisa lepas darinya? Waktu itu aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku sempat mengenalnya? Tapi siapa? Dan dimana aku bertemu dengannya? 

Kami hanya lewat tanpa menyapa. Aku terus pergi menuruni tangga sedangkan dia terus menaiki tangga. Temanku langsung menyeretku tanpa aba-aba. Aku berusaha melihatnya kembali namun ia sudah pergi entah ke mana.

Setelah itu, ternyata kami selalu bertemu di tempat yang sama dan di jam yang sama. Tapi anehnya, kami tidak saling menyapa juga. Aku baru mengetahui namanya bersama temanku. Kami pun membuat nama julukan padanya karena dia selalu muncul di hadapan kami. Anggap saja julukannya adalah Shone. 

Ada satu kejadian yang membuatku menggelengkan kepala. Di saat jam pelajaran, tiba-tiba aku kebelet buang air. Aku mencoba sendirian ke kamar mandi yang suasananya kadang membuatku merinding. Aku menebak apakah kami akan bertemu? Tapi sepertinya tidak mungkin. 

Aku terus berjalan kemudian menuruni tangga. Dan ternyata, kita bertemu di luar jam istirahat. Tapi bagaimana mungkin ini kebetulan? Kami berpapasan kembali dan hanya memandangi satu sama lain tanpa berbicara. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat itu. Apakah dia mengenali aku?

Setelah selesai buang air, aku keluar dari kamar mandi. Aku mengecek kerapihan seragamku sebelum masuk kembali ke kelas. Aku melihat diriku di cermin dan berpikir apakah kita akan berpapasan kembali? Aku melamun sebentar dan anehnya aku mempersiapkan diriku jika benar bahwa kita akan berpapasan kembali. Setelah siap, aku pergi menuju ke kelas. Sesuai dugaan, kita berpapasan kembali. Dia menatapi aku kembali dan membuat suasana menjadi canggung

“Kak Ali ”Aku memberanikan diri untuk memanggilnya. Dan kalian tahu apa reaksi dia? Dia terkejut sedikit dan menatap kepergianku dengan bingung. Aku tersenyum untuknya hanya beberapa saat lalu pergi meninggalkannya. Aku sangat malu.

Setelah kejadian itu, kami masih memandangi tanpa menyapa. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah dia tidak penasaran denganku. Aku sempat bingung. Apakah dia sudah mengingat dan mengenali aku? Aku tak sempat bertanya karena faktanya kami tidak dekat. 

Kami masih sama selama satu tahun. Dan terkadang, kami pernah naik angkutan umum yang sama. Tapi tidak ada bedanya. Setiap perjalanan pulang, dia mengobrol dengan temannya atau menatap jalanan yang penuh akan kendaraan. Dan lagi, aku hanya penasaran dengannya. Saat itu aku tidak mengharapkan apapun darinya. Hanya mengenali aku saja sudah cukup bagiku. Yakin, itu saja.

Hari dimana ia pindah rumah merupakan salah satu hal epic dalam pertemuan yang tidak sengaja. Saat itu aku baru saja pulang mengaji dari masjid. Aku pulang terakhir dari yang lain karena merapikan meja dan barang lainnya agar masjid terlihat bersih dan tertata rapi. 

Beberapa saat kemudian dan baru saja aku melangkahkan kakiku, dari arah yang berlawanan aku melihat tiga orang yang membawa barang bawaan yang terlihat berat. Seorang ibu, dan 2 orang disampingnya mungkin anaknya karena satu laki-laki tinggi dan satu laki-laki yang terlihat masih anak-anak. Aku pikir mereka orang pindahan yang pak ustaz bilang padaku tadi. Jadi aku tidak terkejut akan hal itu.

Namun disaat kami berpapasan, aku sangat terkejut karena itu adalah Kak Ali. Aku tersadar bahwa sebelum mengenali sosok laki-laki tinggi itu, aku bergumam bahwa dia memiliki wajah yang tampan. Aku langsung menyadari perkataanku dan mempercepat jalanku. Bodoh amat apa yang mereka pikirkan, aku ingin pulang secepatnya. Kenapa aku memiliki pikiran seperti itu? Sepertinya ini efek samping dari sihir dia.

Allah memang sulit ditebak. Dia membuatku semakin dekat dengan dia. Namun aku seperti menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan. Tapi bagaimana lagi. Aku anak pemalu. Aku baru sadar kembali dan yakin bahwa Kak Ali adalah laki-laki pertama yang membuat aku gugup seperti mendapatkan juara lomba, mungkin lebih dari itu?

Ramadhan waktu itu menjadi terasa berbeda. Kehadiran Kak Ali membuatku bertambah semangat dalam menjalani ibadah puasa dan melaksanakan tarawih. Sungguh, aku seperti mendapat dorongan untuk melaksanakan itu semua dengan sempurna. Perpindahan Kak Ali membuat kami menjadi selalu bertemu. 

Waktu itu, aku dan teman rumahku sengaja berangkat awal untuk pergi ke masjid. Setelah sholat maghrib, kami langsung ke masjid dan menunggu adzan isya berkumandang. Selagi menunggu, kami bermain di pelataran masjid dan memakan camilan kami. Setelah berlompatan dan berlarian, kami pun duduk untuk istirahat.

Beberapa saat kemudian, datang seseorang menggunakan sepeda dari arah barat. Dia pun memarkirkan sepedanya sekitar masjid dan menghampiri teman-temannya. Aku tidak tahu bahwa itu adalah Kak Ali. Dia menggunakan kacamata kotak dan berwarna hitam yang membuatku tidak mengenalinya. Aku juga tidak tahu akan keberadaan teman-teman Kak Ali yang ternyata tak jauh dariku. Aku langsung terdiam dan tidak mau berulah lagi. Aku tidak mau mencari perhatian dia. 

Itu adalah pertama kalinya kita satu masjid. Bisa dibilang dia termasuk anak rajin. Dia tidak pernah terlambat untuk tarawih. Dengan sepeda merahnya, dia berangkat dari rumah ke masjid yang jalanannya gelap dan suasana lumayan mencekam karena sepi. Mungkin karena orang baru, dia orang yang pendiam dan malu-malu. Tapi setelah bersama dengan temannya, dia langsung berbicara dan terlihat senang. 

Satu bulan itu sangat menyenangkan bagiku. Ramadhan waktu itu adalah yang terbaik. Tidak hanya karena Kak Ali, semua yang aku lakukan bersama teman-teman dan keluarga membuatku semangat untuk menjalaninya. Bermain bersama sambil menunggu azan magrib, menjual buah salak di pinggir jalan, mengaji di masjid dan lain-lain. Seakan-akan liburan waktu itu terasa sangat cepat yang membuatku tak jenuh. Aku sangat rindu nuansa masa itu.

Namun di saat hari raya, aku tidak melihatnya. Dari salat sampai acara silaturahmi satu kelurahan, dia tidak datang. Apakah dia sudah pulang kampung? Secepat ini? Mungkin dia juga rindu dengan keluarga besarnya. Setidaknya aku masih bisa melihatnya di sekolahnya nanti.

Aku memasuki kelas baru di awal semester dengan semangat yang berada di lantai dua. Ternyata ada alasan lain aku berada di kelas itu yaitu bisa melihat Kak Ali dengan mudah. Kebetulan macam apa lagi ini? Setiap hari aku bisa memandanginya melalui jendela kelas atau balkon pelataran kelas. Saat itu aku berterimakasih kepada Tuhan karena setidaknya dengan melihat Kak Ali membuat otakku merasa dingin. Terasa ter-refresh pikiranku.

Setiap istirahat jika tidak ingin jajan, aku langsung ke balkon untuk melihat dia bersama teman bangku aku. Karena kita satu nasib yaitu menyukai kakak kelas. Tunggu? Menyukai? Tidak, maksudku mengidolakan. Aku tidak tahu sebanyak apa yang menyukai Kak Ali waktu itu, tapi yang jelas lebih dari 1. 

Sepenglihatanku, dia pendiam dan berjalan kaku seperti robot di sekolah. Namun disaat dia bertemu temannya, ekspresinya langsung berubah seketika. Aku tidak tahu dia bagaimana. Aku hanya tahu dia siswa laki-laki yang tidak berperilaku aneh-aneh. Aku memandangi dia dari atas dengan tersenyum. Terasa sejuk seolah aku berada di pedesaan yang dekat dengan gunung. 

“Cha, kenapa kita kasih julukan dia ‘Shone’ ?” Tanya temanku tiba-tiba. 

“Karena film” Aku tersenyum dan menjawabnya dengan semangat. Temanku bingung akan jawabanku. Apakah kalian tahu film berjudul ‘The little thing called love’ ? Itu adalah film favorit aku sepanjang masa dan tidak bisa aku lupakan ceritanya.

Aku selalu menontonnya saat kelas 2 SMP karena aku baru mendownloadnya. Entah kenapa, jalan ceritanya sangat mengasikan dan cerita komedi yang tidak pernah membosankan. Cerita itu sangat mirip denganku. Aku baru menyadari sekarang.

Aku selalu memandangi dia di balkon kelas. Bertemu dengan dia secara tidak sengaja membuatku merasa gugup dan salah tingkah. Setelah menonton itu, secara tidak sadar dan dengan polosnya aku mengikuti semua caranya. Menulis inisial nama dia di atas bintang di malam hari dengan senyuman indah. Sekarang itu terdengar lucu bagiku. Kenapa saat itu aku melakukannya? Seperti tidak ada kerjaan lain. 

Disaat di rumah dan hari libur, aku sengaja melewati rumahnya dengan alasan bersepeda dengan temanku. Ternyata aku seniat itu sampai aku lelah sendiri untuk menjadi seorang pengamat. Entah sampai kapan aku menjadi seorang pengamat. Apakah aku bisa mengakhiri semua ini? 

Satu hari yang membuatku bingung kepadanya. Disaat istirahat, aku sengaja membeli kue di koperasi sekolah. Walaupun ramai, aku beruntung membeli kue itu karena kue itu bisa dibilang kesukaan para siswa di sekolahku. Pokoknya setiap hari selalu habis tanpa tersisa. Aku langsung memakannya setelah duduk di bangku dalam kelasku. Aku memakannya sambil bercerita dengan temanku. Namun hanya beberapa saat, makanan itu sudah habis dan aku keluar sendirian untuk membuang bekas bungkus makanan itu.

Aku melihat tanganku, terlihat sangat kotor karena terdapat sisa kue itu. Setelah membuang, aku pergi menuju kamar mandi yang tak jauh dari kelasku. Beberapa saat kemudian, aku dikejutkan oleh kehadiran Kak Ali. Lagi-lagi kami hanya memandang satu sama lain. Kami diam beberapa saat tanpa suara apapun di depan pintu kamar mandi. 

Aku bingung dengannya. Bagaimana dia ada disini? Ini kan gedung untuk kelas 2, lantai dua lagi dan hanya ada 2 kelas saja. Mungkin dia punya urusan di lantai 3 atau di lantai 1. Aku menyapanya dengan senyuman dan langsung masuk ke dalam meninggalkannya yang masih diam seribu bahasa. Aku berpikir sendiri di dalam kamar mandi yang sempit sambil membasuh tanganku sampai bersih. Apa yang sedang ia pikirkan tadi? Apa dia masih tidak mengenaliku? Apa dia tidak mengetahui namaku? Apa dia lupa tentangku? 

Setelah keluar dari kamar mandi, aku melihat sekitar dan kak Ali sudah pergi. Aku menoleh ke kiri, seakan aku melihat jejak kepergian Kak Ali. 

“Ngapain dia di sini?” gumamku.

Hari-hari berikutnya, aku memandangi dia di tempat biasanya dengan tatapan bingung. Raut wajahku tidak sesenang sebelumnya. Aku masih kepikiran kejadian itu. Jika kita saling kenal, kenapa tidak saling menyapa? Sangat payah. Aku semakin penasaran dengannya. Dia itu orang yang seperti apa secara dekat. Aku melamun sambil memandangi kelas Kak Ali. 

“Cha, temani aku ke perpustakaan yuk!” ajak temanku tiba-tiba. Aku yang sedari tadi melamun langsung tersadar. 

“kenapa harus aku? Emang mau ngapain?” Aku melihat Kak Ali sedang kembali ke kelas. Terlihat dia baru saja membeli kue terlaris dari koperasi. Aku tidak ingin menyia-nyiakan momen ini.

“Aku ingin meminjam buku, tapi tidak membawa kartu. Nah sebagai pembawa kartu setiap hari, tolong dong pinjamkan sambil temani aku” pinta temanku dengan wajah memelas. Aku ingin melihat Kak Ali lagi namun temanku yang satu ini terlihat ingin sekali meminjam.

Aku menghela napas dan terpaksa menyetujuinya. Dia kegirangan dan tanpa aba-aba langsung menarikku. Setelah sampai di perpustakaan, aku tidak mengira bahwa jendela perpustakaan sangat lebar dan tidak ditutupi oleh tirai sehingga kelas Kak Ali terpampang jelas di sana. Di depan kelas dia memang banyak anak laki-laki, tapi aku tidak melihatnya. Aku kecewa dan terus berjalan membuntuti temanku.

Setelah memilih buku yang temanku sukai, kami menuju meja Sang pustakawan. Aku mengeluarkan kartuku dan menyerahkannya pada temanku. Sambil menunggu temanku, aku iseng membaca buku yang berada di rak tak jauh dari keberadaanku. Walaupun dekat dengan jendela besar itu, aku berani karena Kak Ali tidak ada disana. Tapi apakah benar dia tidak ada disana? Aku sempat ragu tentang keberadaannya. Aku menoleh ke arah jendela dengan perlahan dan mempersiapkan hatiku.

Mati aku, perasaan tadi dia gak ada.

Dia terlihat sedang duduk di bangku panjang depan kelas yang sengaja di dekatkan ke pagar lantai dua. Dia melihat ke arah perpus sambil memakan kue yang tadi ia beli. Mukanya seperti Sang penjaga petak umpat yang sudah menemui pemainnya. Aku langsung berbalik badan dan meminta temanku untuk mempercepat prosesnya. Kemudian kami pergi dan balik ke kelas.

Dia lagi nantangin aku atau gimana. Nakutin … tapi kece. Eh?

Itu salah satu kejadian epic juga dalam sejarahku. Walaupun hanya duduk dan makan, tapi kenapa tatapannya tidak bisa diartikan. Dia sedang memikirkan sesuatu dan menatapku dengan tajam seolah sedang melemparkan pisau kepadaku. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Karena dari tadi kita saling diam, aku punya kejadian tentang suara dia. Kejadian itu adalah pertama kalinya aku mendengar dia berbicara sepanjang itu. Jadi, waktu itu sekolah mengadakan sebuah acara adu kreativitas antar kelas untuk memperingati hari kemerdekaan. 

Saat itu, kelasku membuat Monumen Nasional dan sekitarnya dengan bahan utama yang wajib yaitu kardus susu yang mensponsori acara itu. Aku bersemangat karena sepertinya kerajinan milik kelasku sangat bagus dan tidak tertandingi. Namun disaat melihatnya di lapangan, semangat itu luntur karena banyak yang bagus dan sangat kreatif. Apakah kelasku bisa menang?

Temanku memaksaku untuk menetap di lapangan. Dia tidak memberitahu alasannya kenapa aku harus berada di sana. Beberapa menit kemudian, acara dimulai dan satu per satu mempresentasikan hasil karyanya. Disaat kelas Kak Ali dimulai, aku menundukkan kepala karena aku tidak tahu ia akan ikut. 

Kak Ali mempresentasikan hasil karyanya. Temanku berteriak yang membuatku sangat malu. Aku menyuruhnya diam dan dia langsung terdiam. Aku melihat kak Ali dengan tatapan tidak percaya. Dia berbicara sepanjang itu dengan semangat. Wali kelasnya yang berada di belakangku melihat Kak Ali dengan tersenyum bangga.

Seandainya aku juga ikut presentasi dengan teman kelasku. Aku juga akan terlihat olehnya. Aku menolak tawaran temanku dengan mentah karena aku tidak suka menjadi sorotan. Aku sangat pesimis jika orang-orang mulai melihatku apalagi membicarakanku. Karena pembicaraan mereka yang pertama pasti tentang kelemahanku. 

Jujur aku terpana melihatnya mempresentasikan hasil karyanya dengan bangga waktu itu. Dia semangat sekali dan mengatakan bahwa ia membuatnya sendiri dengan waktu yang singkat. Sebenarnya aku tidak percaya tapi wali kelasnya tersenyum seolah dia setuju akan perkataan kak Ali. Apakah itu benar? 

Ya, hanya waktu itu aku mendengar suaranya. Bayangkan, semasa SMP hanya waktu itu aku mendengar ia berbicara panjang lebar. Iya si, kita memang tidak dekat tapi tolonglah setidaknya menyapa. Apakah menyapa adalah hal yang sulit dilakukan? Tapi walaupun aku pernah mendengar suara dia, aku melupakan bagaimana suaranya sekarang. Karena itu sudah sangat lama, hanya sedikit informasi untukmu.

Semakin bertambahnya waktu, tetap tidak ada yang berkembang tentang kedekatan kita. Aku hanya sering melihatnya dan bertemu dengannya. Disaat aku melihatnya, aku seperti melihat sosok lain. Apalagi jika kita pulang bersama. Dia terlihat lesu, lelah dan cemberut. Berbeda dengan di sekolah, vibes-nya beda aja. 

Sewaktu semester 2, temanku bilang bahwa ia sedang di dekati oleh kakak kelas di sekolah kita. Aku langsung semangat dong karena akhirnya temanku ada yang suka.

“Siapa?” Aku penasaran siapa yang menyukai temanku yang satu ini.

“Dia yang satu kelas dengan kak Ali” jawab dia dengan malu-malu. 

Aku pernah mendengar bahwa akhir-akhir itu, dia selalu di dekati oleh kakak itu. Aku tidak percaya kakak itu langsung mengatakannya. Kalau zaman sekarang istilahnya sat set sat set. Aku berpikir kembali, aku mendengar dari temanku bahwa dia itu anak saleh dan baik. Mungkin mereka cocok, aku langsung menyetujuinya dan berpikir bagaimana mereka bersatu.

“Kamu suka gak sama dia?”Aku memastikan hal ini dulu.

“Mmm … mungkin iya” dia sempat ragu-ragu. Tapi terlihat dia sedang salah tingkah dan malu-malu mengatakannya.

“Aku punya ide” Badannya langsung mendekat ke arahku seakan-akan dia siap mendengar ideku yang bisa dibilang cemerlang.

Aku menyarankan kepada temanku bahwa kirim pesan untuk meminta nomor Kak Ali pada kakak itu. Aku tersenyum dan dia seakan tahu maksudku. Bagaimana aku melewatkan kesempatan ini? Satu dayung, dua pulau terlampaui. 

Keesokan harinya aku mendapatkan nomor Kak Ali dari temanku. Aku sempat bahagia, akhirnya aku punya nomornya walaupun dengan cara ilegal. Aku punya kesempatan untuk dekat dengannya. Aku sangat senang. Beberapa saat kemudian, aku mencoba mengirim pesan padanya.

“Kak, saveback. Ini Echa” Aku menulis itu pada pesan dan langsung mengirimnya. Bisa dibilang, aku menunggu lama untuk mendapatkan balasan darinya. 

“Iya” balasan darinya setelah beberapa jam kemudian. Aku sangat terkejut mendapat balasan itu. Tapi apa mungkin dia langsung tahu bahwa itu adalah nomorku? 

Beberapa saat kemudian, dia melihat story Whatsapp-ku yang berisi tentang idolaku. Ternyata dia memang menyimpan nomorku, dengan mudah? Apa ini? Kenapa jantungku tidak bisa berhenti berdetak sangat cepat? Aku berusaha menenangkan diri sendiri, tapi aku tidak bisa berhenti tertawa. Kenapa hanya itu aku senang sekali? 

Hari-hari kemudian, temanku menjadi sangat dekat dengan kakak kelas yang satu kelas dengan Kak Ali. Temanku bercerita bahwa kakak itu mengaku bahwa Kak Ali adalah orang yang sangat membosankan. Contoh seperti ini. Pertandingan sepak bola yang menang adalah Indonesia. Nah, Kak Ali selalu bercerita seminggu dengan topik yang sama dan cerita yang sama. 

Bayangkan betapa bosannya kakak itu jadi teman ceritanya. Tapi aku masih gak percaya sama dia, karena aku belum mengalaminya secara langsung. Kenapa aku harus percaya sama orang yang tidak aku kenali? Maksudku aku mengenalinya baru-baru ini, masa langsung percaya perkataannya. Maaf untuk kakak yang mengaku satu kelas dengan Kak Ali.

Ternyata Kak Ali jarang aktif Whatsapp. Jadi jika aku ingin mengirim pesan padanya, aku harus menunggu dia sedang aktif dulu. Jika tidak, aku harus menunggu balasannya berbulan-bulan. Lama banget, tapi itu adalah fakta. Memang susah sekali ingin dekat dengannya. Apakah aku tidak bisa menjadi teman ceritanya?

Beberapa minggu kemudian, temanku resmi berpacaran dengan kakak itu. Aku lupa bagaimana mereka langsung jadian karena sebenarnya mereka seperti Tom and Jerry sebelum kakak itu menyatakan suka kepada temanku. Selalu nakal tapi ternyata ada rasa pada temanku. Ada-ada saja. Nah, giliranku kapan? Hiks, aku tidak tahu.

Sepanjang hari aku menatap handphone-ku dan mengecek profil Kak Ali. Terlihat sama seperti sebelumnya. Dia tidak pernah aktif. Tapi setiap ada kesempatan, aku memberi pesan yang tidak bermanfaat bagiku. Pesan yang kedua, aku hanya bertanya tentang kakak kelas lain yang dikenali oleh Kak Ali. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi sudah off dulu. Jadi, aku hanya tersenyum tipis di kamar sendiri sedangkan hatiku seperti teriris.

Sungguh aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Dia kelas 3 saat itu, jadi aku maklumi dia karena sibuk untuk belajar. Aku menunggunya sampai dia lulus dan aku memiliki niat untuk mengatakan padanya bahwa aku mengidolakan dia. 

Disaat pentas seni setelah ujian, aku mencoba mengatakannya namun aku tidak membawa sesuatu sebagai tanda terima kasih. Jadi, aku hanya melihatnya dan berharap dia masih bisa berada di dekatku. Aku tidak tahu tapi yang jelas, saat itu aku mempunyai firasat bahwa dia akan pergi jauh. 

Ramadhan yang kedua bersamanya. Hari pertama entah kenapa aku gugup kembali disaat bertemu dengan dia. Aku ingin menghampirinya namun tidak bisa karena aku disuruh pulang oleh keluargaku. Hari kedua, hari ketiga, semuanya sama. Aku tetap tidak bisa memberikan hadiah itu kepadanya. Aku janji hari berikutnya aku akan memberikan ini.

Namun harapanku sirna, ia tidak datang ke masjid. Hari keesokannya lagi, aku pergi ke rumahnya bersama temanku dengan sepeda. Aku terkejut bahwa rumahnya sudah kosong dan tidak ada barang apapun. Dia pindah rumah kembali, tapi kemana? 

Aku melihat handphone-ku dengan tatapan kosong. Apakah aku harus bertanya padanya? Apakah aku punya hak untuk mengetahui keberadaannya? Dia mengganti foto profilnya beberapa minggu kemudian. Ternyata ia memasang foto sekolahnya. Akhirnya aku punya kabar tentangnya.

Tunggu foto profil? Berarti dia sedang aktif. Aku mencoba menghubunginya namun handphone-ku tidak mau bekerja sama denganku. Tiba-tiba saja handphone-ku rusak. Semua memori, semua history di handphone-ku hilang seketika. Aku terkejut dan langsung panik. Kenapa bisa seperti ini? Aku hanya memberi satu hadiah kecil saja, apakah tidak boleh?

Beberapa hari kemudian, handphone-ku kembali normal. Namun hanya beberapa nomor yang masih tersimpan dan nomor Kak Ali tidak menjadi salah satunya. Aku meminta dua temanku namun mereka tidak memiliki nomornya. Aku meminta temanku yang memiliki pacar pernah satu kelas dengan Kak Ali. Dia tidak memilikinya dan baru putus dengan pacarnya itu. Aku merasa bersalah dan hanya pasrah dengan keadaan.

Dan ramadhan itu adalah ramadhan pertama yang membosankan bagiku. Pertama kalinya aku tidak nafsu sahur. Pertama kalinya aku malas berbuat sesuatu. Setiap hari aku hanya murung dan menunggu magrib untuk berbuka puasa. Aku tidak tahu perasaan ini. Rasanya sedih campur kecewa karena tidak bisa bertemu dengannya dan tidak bisa melihatnya lagi. 

Setelah itu aku tidak mendengar kabar apapun darinya lagi. Semua tentang Kak Ali seketika hilang. Aku sudah kelas 3 SMP dan aku tidak ingin lulus sekolah dengan perasaan kecewa. Aku menceritakan tentang Kak Ali kepada teman dekatku di kelas 3. Aku mempercayai mereka karena mereka mempercayaiku juga. Satu tahun terakhir di SMP, aku hanya mencoba menjadi diri sendiri yang lebih percaya diri. Walau tidak sepenuhnya, aku sedang mencobanya.

Ujian kelulusan sebentar lagi akan tiba dan aku masih bingung akan lanjut ke sekolah menengah atas atau kejuruan. Pilihan aku hanya dua waktu itu. Jika aku masuk ke sekolah kejuruan, aku akan bertemu dengan Kak Ali kembali. Jika aku masuk ke sekolah menengah atas, keluargaku akan bangga dan mungkin aku tidak akan menjadi diriku yang dahulu.

Walaupun seharusnya aku memilih sekolah kejuruan dengan mudah, aku tidak bisa memutuskannya dengan mudah waktu itu. Karena ini menyangkut pendidikanku, menyangkut masa depanku. Setelah berpikir panjang, aku memilih SMA dimana di sana banyak perubahan yang terjadi padaku. Kak Ali? Kita bisa bertemu kembali jika Tuhan menghendakinya. Yang utama adalah diri kita sendiri.

Beberapa bulan kemudian, aku lulus dan diterima di sekolah menengah atas yang sangat populer di daerah tempat tinggalku. Masa orientasi di sini sangat berbeda saat SMP. Setelah satu angkatan, orientasi ekskul pun ada. Belum cara belajar mengajar angkatanku berbeda dengan angkatan sebelumnya. Harus bekerja ekstra dan membuat berat badanku menjadi turun drastis 

Tiba-tiba pandemi meledak, boom! Kita semua harus berada di rumah. Aku harus tinggal selama 2 tahun di rumah yang bagai penjara. Jeruji besi itu terlihat disaat aku melihat luar jendela. Setiap malam aku hanya menangis sendirian dan memeluk bonekaku yang tidak bisa melakukan apapun. Meratapi nasibku di rumah dan membuatku tidak fokus terhadap pelajaran.

Aku tidak bisa mengatakan apapun pada siapapun. Sahabatku? Tidak, aku terlalu banyak meminta tolong perihal sekolah padanya. Aku tidak mau menambah beban sahabatku yang mau menemaniku selama 4 tahun ini. 

Selama SMA, aku melihat kembali Kak Ali secara tiba-tiba. Walau hanya sebentar, dia selalu membuatku goyah. Aku tidak pernah mendapatkan kabar apapun dari Kak Ali semenjak kehilangan kontaknya. Tetapi secara tidak sengaja, kami berpapasan kembali dan membuat hatiku gelisah. 

Aku mulai hidup secara normal dengan mencoba menghilangkan rasa penasaran itu saat kelas 3 SMA. Aku sibuk memperbaiki diri dan nilaiku yang sangat hancur. Aku mengisi waktu luangku untuk belajar dan menggemari idolaku dengan cara mendengarkan musiknya. Aku berusaha menyingkirkan perasaan itu dan itu berhasil. Aku lulus dengan tenang. Walaupun nilaiku termasuk standar, aku senang bisa lulus dengan aman dari SMA yang membuatku banyak berubah. Tak ada Echa yang ceria, tak ada Echa yang terbuka, dan tak ada Echa yang selalu cerita kepada temannya. Aku sudah berubah. 

Teman-temanku sudah mulai masuk kuliah di kampus masing-masing. Untuk perayaan sekaligus perpisahan, kami mengadakannya di sebuah kafe populer walaupun masih baru di buka. Suasana di sana ramai, orang-orang sangat menikmati makanan dan minuman di kafe ini. Apalagi malam minggu, banyak pasangan mampir di kafe ini.

Aku memesan sebuah kopi dingin yang menurutku tidak mahal dan bisa aku minum. Sepertinya, aku tidak cocok dengan kafe karena harga minumannya melebihi ekspetasiku, mahal. Aku menunggu pesananku karena aku baru datang. Temanku yang lain sudah dari tadi memesan dan mulai memakan sedikit demi sedikit.

Kami bercerita tentang masa SMA kami masing-masing. Ternyata kita punya banyak kisah duka dan tawa masing-masing. Aku mendengarkan cerita mereka dan tertawa bersama. Sesekali kami membuat konten untuk menaikkan suasana kami menjadi meriah.

Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Aku terkejut akan kehadirannya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku tidak bisa membayangkan kejadian ini. Aku bertemu Kak Ali. Shone yang selalu aku lihat di balkon dengan senyuman, kini menjadi pelayan kafe? Aku tidak percaya ini.

Bagaimana bisa? Dia sangat keren memakai itu. Seperti di drama Korea, aku selalu mendambakan hal itu. Melihat para pelayan kafe yang sedang membuat pesanan, mengantarkan pesanan dan membersihkan kafe sampai bersih. Tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang saat mendengar suaranya yang dekat dengan telingaku. Suara manisnya berhasil membuat telingaku menjadi panas dan seketika menjadi berkeringat.

Bagaimana ini? Aku harus melupakan perasaan itu semua, tetapi dia datang kembali dalam hidupku. Apakah aku bisa menangani ini? Apakah aku bisa melupakan perasaan ini? Tolong, jangan ada rasa penasaran lagi kepadanya. Cukup sekali untuk dia. Tapi jika aku masih ada rasa penasaran untuknya, apakah ada kisah menarik lagi diantara kita? Aku penasaran, ups!

4 September 2022 - selesai

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi