"Aku capek dikekang terus. Mulai sekarang kita putus!"
"Tapi ...."
"Aku merantau buat cari pengalaman, relasi dan pertemanan! Kalo kayak gini terus, hidupku nggak bakalan ada kemajuan."
"Yaudah. Kalau gitu balikin semua barang-barang yang pernah aku kasih ke kamu! Tv, kompor, rice cooker, dan kasur."
Penghuni kontrakan berbondong-bondong keluar, saat mendengar suara keributan serta bisingnya benda-benda berterbangan dari kamar nomor 11. Mereka saling bertanya satu sama lainnya.
"Ada apa lagi sih? Perasaan hampir tiap hari si Debhrine berantem sama cowoknya." Salah satu tetangga yang bernama Bimo ikut penasaran dengan keributan yang tercipta di kamar nomor 11.
"Cowoknya cemburuan, Mas. Kalo aku jadi Debhrine, mending putus aja. Cantik-cantik kok mau sama cowok kayak gitu. Putus ya putus aja, ngapain minta balikin barang yang udah dikasih. Enggak ada harga dirinya banget jadi cowok," sahut Bu Puri.
"Kasian! Mending Debhrine sama aku aja. Seluruh jiwa raga akan ku berikan. Nggak usah dibalikin kalo putus," celetuk Bimo seraya menaikkan sebelah alisnya ke arah Bu Puri. Sementara tetangga lain hanya bisa tersenyum mendengar celotehan Bimo.
"Ya kali si Debhrine mau sama kamu. Dia mah cocoknya sama cowok tajir," canda Bu Puri seraya menggeplak pelan lengan Bimo.
Bimo mengelak. Tak menanggapi candaan Bu Puri. Ia terlihat gelisah saat melirik arloji yang melekat di pergelangan tangannya. Saat itu jarumnya berputar mendekati angka delapan. "Udahlah, saya berangkat dulu ya, Bu." Bimo berpamitan kepada tetangganya yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri di perantauan.
"Berangkat kemana?" tanya Bu Puri dengan suara khasnya yang lantang seperti orang ngajak berantem.
"Ke tempat pengajian. Nggak liat apa? Udah rapi, pake seragam pake sepatu. Ya mau kerja lah ...."
"Ngapain capek-capek kerja, Bim?"
"Biar bisa deketin si Debhrine lah," celetuknya.
Tak lama setelah Bimo pergi, seorang pria dengan wajah sembab keluar dari kamar nomor 11. Spontan pria itu menjadi pusat perhatian para tetangga yang sejak tadi me-nguping keributan dari luar.
Dari wajahnya, terlihat bahwa pria itu baru saja menghabiskan dua liter air mata. Ia menuruni anak tangga yang menjadi penghubung antara lantai atas dan lantai bawah. Kemudian memacu motor jadulnya dengan kecepatan tinggi.
Lubang knalpot dari motor pria itu mengeluarkan asap hitam pekat. Sehingga membuat para tetangga yang berkerumun di sekitarnya terbatuk-batuk.
"Enggak sopan amat sih!"
"Huuu ...."
Para tetangga menyorakinya. Perlahan-lahan mereka bubar dan kembali mengerjakan pekerjaan masing-masing.
***
Setelah berhasil mengakhiri hubungannya bersama Reynand, Debhrine merasa hidupnya kembali tenang.
Tak sedikit orang yang ikut berbahagia, namun banyak juga yang menyayangkan keputusannya. Sebagian dari mereka menyebutnya sebagai 'gadis yang tidak tahu terimakasih'.
Bagaimana tidak, berkat jasa dan pengorbanan Reynand, ia bisa menginjakkan kaki di ibukota dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan besar.
Namun, sifat Reynand yang posesif membuat gadis cantik berwajah ke-arab-araban itu risih. Gerak-geriknya selalu diawasi. Pertemanan pun dibatasi. Ia merasa seperti menjadi tawanan yang direnggut kebebasannya.
Debhrine tersentak saat ponselnya berdering. Ia bergegas meraih benda pipih berwarna hitam yang sudah retak di sana-sini. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Reynand? Pria bertubuh jangkung itu kerap kali melampiaskan amarahnya pada benda-benda yang tak bersalah.
Debhrine me-reject panggilan saat melihat nama Reynand tertera di layarnya. Kemudian membiarkan benda pipih itu teronggok di atas ranjang. "Males ah! Mending aku siap-siap. Hari ini kan udah janjian sama seseorang," gumam Debhrine. Sesaat kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.
Debhrine berdandan ala kadarnya. Mematut diri di hadapan cermin. Berputar ke kiri dan ke kanan untuk memastikan penampilannya sudah cukup sempurna.
Malam ini, ia memakai dress selutut berwarna hitam dengan rambut ikalnya dibiarkan tergerai. Wajah chubbynya terlihat semakin menggemaskan dengan sentuhan make-up tipis-tipis. Tak lupa memoles bibirnya yang mungil dengan lipstik berwarna peach.
Debhrine melonjak girang saat mendengar suara pintu diketuk. Dengan sigap ia membukakan pintu. Memberikan senyum termanis untuk pria yang akan berkencan dengannya.
Namanya, Tama. Rekan kerja yang selalu menaruh perhatian kepadanya. Bahkan hampir setiap hari ia membelikan makan siang untuk Debhrine di saat jam istirahat kerja berlangsung. Itulah sebabnya, Reynand merasa tersaingi dan cemburu buta.
"Kamu cantik banget sih!" Tama memuji Debhrine. Sehingga gadis itu nyaris melayang.
"Ah kamu bisa aja." Debhrine tersipu. Wajahnya memerah. Menahan diri agar tidak terbang.
"Serius. Aku beruntung banget kalau bisa jadi pacar kamu," ucap Tama dengan penuh percaya diri.
Padahal, Debhrine tidak berminat untuk menjalin hubungan yang serius dengannya. Gadis itu hanya menyukai sifat Tama yang royal. Ia menganggap Tama tidak lebih dari sekedar dana darurat. Hehehehe.
Tiba-tiba saja Reynand datang mengacaukan rencana kencan yang sudah dirancang sedemikian rupa. Dengan wajah merah, kedua tangan mengepal ia mendekat dan melayangkan satu pukulan tepat di wajah Tama.
Spontan Debhrine berteriak histeris. Menahan Tama yang hampir oleng akibat kerasnya pukulan yang dihadiahkan Reynand kepadanya. "Jangan bikin keributan di sini, ya! Atau aku panggil polisi," ancam Debhrine.
"Benar kan dugaanku? Kamu putusin aku cuma gara-gara dia," tuding Reynand dengan suara bergetar. Sesaat kemudian pria itu menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya di hadapan Debhrine dan juga Tama yang sedang meringis memegangi pelipisnya.
Bukannya iba, Debhrine malah semakin kesal melihat kelakuan Reynand. Apalagi beberapa tetangga mulai mengintip dari balik jendela kamar masing-masing menyaksikan keributan yang sama seperti tadi pagi.
"Memalukan," desis Debhrine. Ia melangkah maju dan mendekatkan wajah tepat di telinga Reynand. "Hei kamu punya kuping nggak sih? Aku mau putus karena kamu terlalu posesif. Masa semua kontak cowok di HPku kamu blokir. Masih banyak tingkah kamu yang terlalu berlebihan untuk ukuran seorang pacar. Gimana kalo udah jadi suami? Bisa-bisa aku dikurung terus."
Debhrine meninggikan suaranya beberapa oktaf. Entah bahasa apa yang akan membuat Reynand mengerti dengan ucapannya. Sementara ia sudah menjelaskan panjang kali lebar menggunakan bahasa manusia. Namun, pria itu tetap menudingnya macam-macam.
"Aku aduin ya, sama orangtuamu di kampung," ancam Reynand.
"Aduin aja! Orangtuaku juga enggak akan sudi anaknya dikekang, diatur-atur sama orang lain. Lagian mereka juga udah tau kalau kita putus." Seolah menantang, Debhrine berkacak pinggang dengan bola mata membulat.
"Dasar keluarga enggak tau terimakasih," umpat Reynand.
"Apa kamu bilang?" Debhrine kembali meninggikan suara. Ia tidak terima kedua orangtuanya dihina. Apalagi Reynand selalu mengungkit, seolah-olah telah melakukan jasa yang begitu besar.
"Ada apa ini? Kamu lagi ... kamu lagi. Enggak malu apa bikin onar di kontrakan orang? Pergi sana!" Mendengar keributan yang terjadi, membuat jiwa emak-emak dalam diri Bu Puri berontak. Ia membawa sapu ijuk dan menghalau Reynand.
Ajaib. Hanya bermodalkan sapu ijuk, tetapi cukup membuat nyali Reynand menciut. Pria itu lari tunggang-langgang meninggalkan kontrakan sembari menahan malu karena dirinya jadi bahan ledekan para penghuni lainnya.
"Sebaiknya kamu pulang juga. Kita batalkan acara malam ini," pinta Debhrine kepada Tama. Pria itu mengangguk dan pamit undur diri.
"Lain kali kalo cari pacar yang bener, Neng. Jangan yang cemburuan kayak gitu," ucap Bu Puri dengan napas ngos-ngosan. "Cakep-cakep tapi enggak bisa milih cowok. Apa perlu saya jodohin?" Imbuhnya. Bu Puri, walaupun mulutnya rada ceplas-ceplos, tapi ia sangat peduli dengan para penghuni kontrakan.
"Enggak usah, Bu. Biar saya cari sendiri aja," sahut Debhrine seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tuh ... cowok yang tinggal di kamar nomor 10. Mending sama dia aja." Bu Puri menunjuk sebuah kamar kontrakan yamg tertutup rapat.
Debhrine mengernyitkan dahi. Dia bingung, karena selama dua bulan tinggal di sana, belum pernah melihat kamar itu terbuka. "Yang mana? Aku belum pernah liat orangnya."
***
Menahan rasa malu usai keributan yang mengganggu ketenangan penghuni kontrakan, Debhrine masuk ke dalam kamar, menutup pintu rapat-rapat dan merebahkan tubuh di atas kasur tipis pemberian Reynand.
Hampir dua jam merebahkan diri, tetapi Debhrine merasa sulit meraih kantuk. Konsentrasinya buyar, mengingat ucapan Bu Puri tentang pria penghuni kamar nomor 10. Ia jadi penasaran dan tidak sabar untuk melihat wajahnya. "Kalau Bu Puri udah ngasih rekomendasi, udah pasti nggak akan mengecewakan deh," gumamnya. Kemudian ia menyembunyikan diri di balik selimut hingga terlelap di alam bawah sadarnya.
***
Dering alarm berbunyi nyaring. Memaksa Debhrine untuk mengakhiri mimpi indahnya. Ia sengaja memasang alarm satu jam lebih awal dari biasanya demi bertemu dengan penghuni kamar sebelah.
"Mana sih orangnya?" Debhrine yang sudah rapi sengaja berdiri di atas balkon sambil sesekali melirik ke arah pintu kamar nomor 10 yang masih tertutup rapat. "Ah sudahlah ... mungkin orangnya sedang pulang kampung," pikir Debhrine. Namun saat hendak berbalik badan, tiba-tiba terdengar suara pintu berderit dari kamar sebelah.
Seorang pria mengenakan jaket berwarna hitam keluar dari kamar nomor 10. Ia tersenyum manis saat Debhrine menatapnya. "Penghuni baru ya, Mbak?" tanya pria itu.
Terbelalak. Debhrine meneguk saliva berkali-kali. Seolah tersihir dengan ketampanan pria yang baru saja menyapanya. "I ... iya, Om. Baru dua bulan tinggal di sini," jawab Debhrine terbata-bata. Bagaimana tidak, pria penghuni kamar sebelah mampu menggetarkan hatinya pada pandangan pertama.
Apalagi, cambang tipis yang membingkai di wajah pria itu membuat debar-debar di dada Debhrine semakin tak karuan.
"Nama kamu siapa? Mau berangkat kerja?"
Lagi-lagi Debhrine hampir tak menginjak tanah. Suara pria itu terdengar lembut namun sangat gagah.
"Namaku Debhrine. Ini mau berangkat kerja."
"Oh ya. Kalau begitu saya berangkat dulu ya," ucap pria itu. Kemudian ia berlalu meninggalkan Debhrine yang mematung dengan kedua mata membola.
"Kirain mau nebengin." Debhrine menggerutu. Kemudian ia turun saat melihat Tama yang setia menunggunya di parkiran. "Maafin aku ya, Tama. Aku nggak akan ngerepotin kamu lagi kalau udah pacaran sama Om tampan," ucap Debhrine di dalam hati.
***
Setelah mengenal penghuni kamar nomor 10, Debhrine merasa hidupnya menjadi berwarna. Setiap waktu senggang, ia gunakan untuk bersantai di atas balkon sambil memantau pria incarannya keluar dari kamar.
"Nah ... itu dia!" Debhrine salah tingkah saat pria itu keluar dari kamar dan menghampirinya. Kemudian ia bergegas masuk ke dalam dan kembali keluar dengan menenteng sebuah ember berwarna hitam.
"Kamu lagi ngapain malam-malam begini?" tanya pria itu dengan membawa sebatang rokok di tangannya. Ia melirik ke arah ember yang ada di tangan Debhrine.
"Krannya mati, Om. Saya mau mandi nggak ada air." Debhrine menjawab seraya menyunggingkan senyum termanisnya. Ia berharap, pria itu mau membantunya.
"Sini embernya." Pria itu menggapai ember yang ada di tangan Debhrine. Membawanya ke samping kontrakan untuk mengisi air.
"Yes ... ternyata dia perhatian sama aku," pekik Debhrine tertahan. Hatinya seolah hendak meloncat keluar, setelah mendapatkan respon yang baik dari 'Om tampan '.
Tak lama kemudian pria itu kembali dengan membawa ember yang sudah terisi air. Satu tindakan kecil ini sudah cukup membuat Debhrine semakin mengaguminya. "Ini airnya. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan ya," ucapnya seraya meletakkan ember di depan pintu.
"Baiklah, Om. Terimakasih."
pria itu menganggukkan kepala. Menyalakan pemantik dan menyulut ujung rokoknya. "Kenapa kamu manggil aku dengan sebutan, Om? Apakah aku terlihat tua?" tanyanya.
Sejenak Debhrine berpikir. Ia merangkum wajah pria yang yang sedang duduk di hadapannya. Seolah tak ingin melewatkan setiap inci ketampanan yang tersuguhkan. "Aw!" Debhrine dibuat meremang saat matanya tak sengaja melihat sesuatu yang menyembul di balik kaos pria itu. "Bulu dadanya lebat sekali, Om." Debhrine berteriak seraya menutup kedua matanya dengan telapak tangan.
Pria itu terkekeh geli. Dia membenahi kancing kemejanya dan meminta Debhrine untuk kembali membuka matanya. "Kamu nggak suka cowok berbulu dada?" tanyanya. "Aku cukur aja ya kalo gitu."
"Eh ... jangan, Om! Aku suka kok. Malahan pengen banget punya suami kayak Om," ucap Debhrine. "Alamak ... mati aku." Debhrine membatin saat menyadari dirinya keceplosan.
"Namaku Wira. Tadi pagi kita belum sempat kenalan." Pria itu menjulurkan tangan ke arah Debhrine.
"Iya, Om. Nggak apa-apa," sahut Debhrine. "Aduh ... gimana nih? Mudah-mudahan dia masih single. Tapi ... wajahnya kelihatan seperti bapak-bapak. Ya Tuhan ... semoga saja dia duda. Hehehe."
"Kamu lagi ngomong dalam hati?"
"Eh ... kok dia tau?" Debhrine menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya berubah menjadi merah jambu karena malu kepergok sama Om tampan. "Enggak kok, Om," jawabnya.
Sejenak pria itu diam. Menghisap rokok dan menghembuskannya sehingga membentuk suatu kepulan. Aroma nikotin yang sangat kuat membuat Debhrine sempat terbatuk-batuk.
"Besok kan hari libur. Kamu mau temenin aku nggak?"
"Kemana, Om? Jangan macam-macam sama saya ya! Nanti istri Om cemburu."
Wira mengernyitkan dahinya. "Istri?"
"Ya," jawab Debhrine dengan wajah cemberut.
"Aku belum menikah."
"Alhamdulillah ...." Debhrine menghela napas lega. Ternyata ia tidak perlu repot-repot bersaing dengan siapapun untuk mendapatkan cinta Om tampan.
"Kamu belum jawab. Mau atau enggak?"
"Temenin kemana, Om?"
"Terserah, kamu mau kemana?"
"Aku belum pernah ke Mall. Gimana kalau Om bawa aku ke Mall. Hehehe." Sebenarnya Debhrine merasa malu, tetapi mumpung ada kesempatan, ia akan memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik mungkin. Apalagi, berdasarkan survei Bu Puri, pria penghuni kamar nomor 10 ini bekerja di perusahaan besar dan sangat royal kepada teman dekatnya. Baik lelaki maupun perempuan.
"Boleh. Tapi jangan panggil aku dengan sebutan 'Om' dong! Kesannya terlalu tua," pinta Wira.
"Emang usia Om berapa tahun?" tanya Debhrine penasaran.
"25 tahun."
"Tapi mukanya boros. Keliatan kayak umur 30 tahunan ehheheeh," celetuk Debhrine tanpa memikirkan bagaimana perasaan Wira.
Sejak saat itu, Wira dan Debhrine selalu menyempatkan diri untuk bertatap muka dan saling bercengkrama di atas balkon sambil menikmati pemandangan malam dari atas kontrakan.
Mereka menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih. Walaupun sudah menginjak bulan kesembilan, tetapi Wira belum pernah sekalipun mengungkapkan isi hatinya kepada Debhrine.
"Ah ... nggak apa-apa. Yang penting aku nyaman, dia mau ngurusin kalau aku sakit. Dia juga nggak pernah nolak kalau aku minta dibelikan ini-itu." Debhrine berusaha menghibur diri. Semakin hari ia semakin mencintai Wira. Walaupun sampai detik ini juga Wira tidak pernah menyatakan cintanya.
Menginjak sepuluh bulan kedekatannya bersama Wira, ia mulai merasakan ada perubahan sikap yang mencurigakan.
Wira mulai cuek, jarang menghubunginya dan sering beralasan lembur.
"Jam segini baru pulang, kamu lembur atau ngapain?" Debhrine mencegat Wira tepat di depan pintu kamar nomor 10. Memasang wajah sinis penuh kecurigaan.
Wira tersenyum miring. Senyum yang baru pertama kali diterima Debhrine. Berbeda dengan senyuman-senyuman di hari kemarin yang penuh dengan ketulusan.
"Harusnya aku tanya, kenapa kamu masih duduk di teras malam-malam begini?" tanya Wira dingin, sedingin salju.
Debhrine merasa ada yang tidak beres. Apakah selama ini Wira tidak pernah mencintainya? Lalu ... apa artinya setiap perhatian yang ia berikan selama sepuluh bulan ini? Bermacam pertanyaan berseliweran di benaknya.
Seolah menjawab rasa penasarannya, tiba-tiba saja ponsel milik Wira berdering.
Dengan sigap Debhrine merampas benda pipih itu dari tangannya yang kokoh. Hampir saja Debhrine membanting benda itu saat menyaksikan sesuatu yang tertera di layar ponselnya. "Siapa dia?" tanyanya.
"Dia cuma teman," jawab Wira seraya memalingkan wajahnya ke sembarang arah.
"Teman dekat atau pacar baru?" Debhrine mulai meng-interogasi pria yang ada di hadapannya. Ingin menangis, tetapi ia tahan. Walaupun di hatinya berkecamuk. Kecewa, minder jadi satu saat melihat wajah yang tertera di layar ponsel itu sangat cantik dan penampilannya sangat modis.
"Dia mantanku yang pernah aku ceritakan sama kamu. Kami baru saja ketemuan hari ini." Akhirnya Wira mengaku setelah sempat berkilah sebelumnya.
Gemuruh di dalam dada tak bisa dibendung lagi. Debhrine melemparkan ponsel itu ke lantai dan bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Braakkkk ....
Membanting pintu. Menguncinya rapat-rapat. Mengacuhkan Wira yang berusaha membujuknya dari luar kamar.
"Buka pintunya, Debh!" Wira berteriak seraya menggedor-gedor pintu kamar. Beruntungnya, tetangga tak mendengar keributan yang tercipta di antara mereka berdua.
"Tega kamu! Bukannya perempuan itu udah nikah? Terus kalian ketemuan di mana?" Debhrine enggan membukakan pintu, namun ia masih ingin berdebat.
"Buka pintunya! Setelah itu aku akan jelaskan," pinta Wira memelas. Mungkin ia takut kalau sampai ada tetangga yang menyaksikan keributan di antara mereka berdua.
Debhrine yang sedang meringkuk di balik pintu, terpaksa membukakan pintu demi menuntut penjelasan dari Wira, pria yang dicintainya namun menyakitinya.
"Kamu anggap aku apa selama ini?" tanya Debhrine dengan suara lirihnya.
Kalian bisa membayangkan bagaimana sakitnya saat cinta bertepuk sebelah tangan, bukan?
Wira menundukkan wajahnya dalam-dalam. Menahan diri untuk tidak terpancing emosi. Untuk beberapa saat ia menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya secara kasar. "Ya ... dia mantan pacarku yang udah nikah. Tapi satu bulan yang lalu kami kembali bertegur sapa lewat media sosial. Dan dia ngajak ketemuan," ungkap Wira.
"Ketemuan dimana?"
"Di hotel."
Kejujuran Wira membuat hati Debhrine mencelos. Tidak bisa berkata apa-apa lagi selain membiarkan bulir-bulir bening berjatuhan dari sudut netranya. Tidak bisa dibayangkan, apa yang terjadi di dalam kamar hotel itu.
"Dua orang dewasa berada di dalam satu ruangan tertutup. Apalagi sama istri orang, apa itu wajar? Enggak mungkin kalian cuma ngobrol di sana," cecar Debhrine seraya menyeka jejak air matanya.
Wira terdiam. Ia tidak bisa mengelak saat Debhrine menudingnya ke arah 'sana'. Karena memang dia sudah melakukannya bersama mantan kekasihnya yang sudah menjadi istri orang lain.
Geram. Karena ponsel milik Wira tak henti-hentinya berdering, Debhrine merampas kembali ponselnya dan menjawab panggilan tersebut.
"[Maaf, kamu siapa? Tolong jangan ganggu Wira lagi! Kamu sudah punya suami dan kami juga akan menikah,"] Debhrine berbohong. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Wira ketika ia mengatakannya.
Wira merampas ponsel yang ada di dalam genggaman Debhrine secara kasar. Kemudian berbicara dengan wanita yang sedang menghubunginya. "Dia bohong. Aku dan dia nggak pernah pacaran," ucapnya. "Dia cuma tetangga kontrakan yang suka ngeluh, sakit-sakitan dan menyusahkan saja," pungkasnya.
Tanpa pikir panjang, Debhrine mendorong tubuh Wira yang tinggi besar itu keluar dari kamar dengan kekuatan tenaga dalam. Sehingga membuat pria itu terhuyung untuk beberapa saat.
Mengunci pintu. Debhrine mengemasi pakaiannya dan berniat untuk pulang ke kampung halaman. Menyibak tirai. Tetapi tidak ada siapapun lagi di depan pintu. Sepertinya Wira benar-benar tidak menginginkannya lagi. Ia hanya menganggap Debhrine sebagai tetangga yang sakit-sakitan dan menyusahkan.
***
"Selamat tinggal, Wira. Biar ku larung kisah kita di lautan bersama dengan kapal yang membawaku ke tempat tujuan," lirih Debhrine saat kapal yang ia tumpangi mulai berlayar mengarungi lautan lepas. Sejenak ia memejamkan mata, menikmati semilir angin laut yang menerpa wajahnya.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya. Debhrine yang terperanjat segera berbalik badan. Dan ... surprise! Tama sedang berdiri tepat di depan wajahnya dengan senyum mengembang dari sudut bibirnya.
Debhrine tak menyangka, ia bertemu dengan Tama, pria yang telah ia kecewakan demi Wira. Seolah malu, Debhrine hanya membalas senyuman itu dengan anggukan pelan dan wajah tanpa ekspresi.
"Aku udah liat statusmu di WA kok. Yang sabar ya," ucap Tama seraya menyentuh pundaknya.
Debhrine mengangguk sekali lagi. Ia bingung harus mengatakan apa. Rasa malu dan bersalah bercampur jadi satu. "Mungkin ini karma karena aku pernah menyia-nyiakanmu, Tama." Akhirnya Debhrine bersuara. Terlihat jelas rona kesedihan di wajahnya.
Dengan kedua tangannya, Tama bergegas menyeka air mata yang berguguran di wajah gadis cantik itu. Ia menggeleng pelan. Menatapnya lekat-lekat kemudian berkata, "Ini bukan karma. Tapi ini hanya ujian di dalam hubungan kalian, Debhrine. Percayalah ... dia pasti akan menyesali perbuatannya."
"Tama ...." Hanya sepatah kata yang mampu ia ucapkan. Selebihnya, ia kembali menangis.
"Aku akan menikah dengan Nana. Semoga kamu bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik daripada Wira. Ingat! Jangan memaksakan diri untuk dicintai. Karena itu hanya akan membuat harga dirimu jatuh."
Sampai kapan pun Debhrine akan selalu mengingat pesan Tama saat bertemu di dalam kapal dua bulan yang lalu. Selama itu juga cintanya kepada Wira belum pudar sedikitpun.
"Bingung kan? Di sini nggak ada kerjaan. Enakan di kota," sindir Mak Era, ibu yang telah melahirkannya. Rupanya uang bisa mengubah sifat seseorang dalam waktu sekejap.
Dulu, saat ia masih bekerja di kota, dia selalu disanjung dan dipuja. Sekarang, saat dirinya menjadi pengangguran, selalu saja disindir dan diremehkan karena tidak bisa memberikan uang seperti saat ia bekerja di kota.
"Sabar, Mak. Bentar lagi Debhrine dapet kerjaan," sahut Debhrine seadanya. Walaupun banyak uneg-uneg yang ingin ia lontarkan kepada ibunya.
"Pokoknya Emak nggak mau tau. Kamu harus pergi merantau lagi. Enggak perlu kirimi Emak duit, cukup jangan nambah-nambahin beban di sini."
Tiba-tiba Pak Arif, tetangga sebelah rumah, masuk tanpa permisi. Mengatur napas sejenak sebelum menyampaikan sesuatu kepada Debhrine.
"Ada yang nyariin kamu di luar," ucapnya.
"Siapa, Pak?" tanya Debhrine heran.
"Udah sana keluar!" titahnya.
Memutar bola mata malas, Debhrine terpaksa menuruti perintah Pak Arif. Ia melangkah gontai, berjalan menuju ke halaman rumahnya.
Di sana nampak seseorang yang begitu familiar di matanya. Sedang duduk dan tersenyum menatapnya dari kejauhan.
Debhrine terpaku. Kakinya seolah terpancang di bumi, saat seseorang itu melangkah mendekatinya.
"Maafkan aku, Debhrine! Saat itu, aku khilaf." Wira meraih jari-jemari Debhrine yang pucat dan berkeringat dingin.
Debhrine menepisnya. Menjaga jarak dari seseorang yang dirindukan sekaligus dibencinya. Ia bingung, harus berbuat apa di situasi yang tidak diinginkan seperti ini.
"Aku janji, tidak akan mengulanginya lagi. Maukah kamu memaafkan dan menikah denganku?"
Nyaris ambruk, Debhrine merasa kakinya cukup lemah untuk menopang tubuhnya. Ia tak menyangka akan dilamar secepat ini oleh Wira.
Mengumpulkan keberanian, Debhrine akhirnya bersuara. "Terus, gimana mantan pacarmu itu?" tanyanya dengan nada sinis.
"Dia sudah memperbaiki hubungannya dengan suami," jawab Wira. Terlihat gurat-gurat penyesalan di wajahnya. "Kamu belum jawab. Aku datang untuk menjemputmu, Debhrine."
Debhrine memejamkan mata, menarik napas panjang sebelum mengambil keputusan.
"Ayo, jawab." Wira mendesaknya. Menatap gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
"Ya ... aku mau," jawab Debhrine. "Tapi ...."
"Tapi, apa?"
"Aku mau ... kita bikin perjanjian pra nikah. Kalau kamu atau aku yang berkhianat di dalam pernikahan, harus siap menerima konsekuensinya."
Wira mengangguk. Merangkul Debhrine dengan penuh damba dan kerinduan. Ia berjanji, akan memberikan yang terbaik untuk Debhrine. Demi menebus kesalahan yang pernah ia lakukan.
Akhirnya, setelah mendapat restu dari kedua orangtua masing-masing, Wira dan Debhrine melangsungkan pernikahan.
Keduanya shah menjadi pasangan suami-istri. Wira memboyong Debhrine kembali ke kota dan membina rumah tangga bersama.
Kini, mereka dikarunia sepasang putra-putri yang lucu sebagai pelengkap kebahagiaan. Mereka sangat bersyukur, walaupun terkadang kerikil-kerikil berdatangan di dalam rumah tangga, tetapi mereka bisa menghadapinya dan saling menguatkan.