Purwokerto, 29 Februari 2020
Naya menoleh ke arah kiri di mana jendela bening menampilkan lanskap langit biru muda yang sedang dipenuhi segerombol awan, persis seperti gumpalan kapas. Selain itu, cakrawala juga ditemani oleh cahaya cemerlang mentari yang terlihat malu-malu kucing menampakkan wujudnya. Gadis berkemeja putih tulang itu membuka kotak di pangkuan dan mengambil origami berbentuk kupu-kupu yang tersisa satu-satunya di sana. Kemudian, dia mengangkat kertas itu ke arah jendela dan lekas memotret dengan memposisikan tulisan 2922 yang tertera pada origami kecil tersebut sebagai objek utamanya.
“Cuacanya mendukung banget deh. Fotonya jadi tambah estetik ehe,” puji gadis itu pada hasil jepretannya sambil tersenyum sumringah.
“Ayahhh ... Ana mau bobok.” Terdengar rengekan keras dari seorang anak yang duduk di seberang Naya. Suasana hati anak tersebut tampak buruk karena berulang kali kantuknya terusik saat kereta sedang menikung.
“Sini, sandarin kepalanya di bahu Ayah aja,” balas sang ayah sambil menepuk-nepuk bahunya.
“Nggak bisa, Yah. Keretanya goyang-goyang mulu. Kepala Ana jadi pusing,” gerutunya.
“Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita udah mau sampai di Jakarta kok. Ana mau Ayah pangku dulu?” tawar Gilang.
“Mauuu,” jawabnya cepat.
Gilang lekas mengendong Ana dan mendudukkan gadis itu di pahanya dengan posisi seperti induk koala sedang memeluk sang anak. “Bilang aja Ana mau Ayah peluk. Iya, ‘kan?” skeptisnya sambil mencubit gemas kedua pipi sang putri.
Ana tertawa renyah.
“Ayah, nanti kita main ke Dufan ‘kan, Yah? Ayah udah janji kemaren sama Ana, kalau kita bakalan naik komedi putar lho. Ayah nggak lupa, ‘kan?” ucap Ana menagih.
Gilang mengangguk-angguk. “Ingat dong! Pokoknya kita nanti ke makam Bunda dulu, terus langsung main ke Dufan, ya. Setuju?” jawabnya sambil melayangkan high five yang langsung disambut penuh semangat oleh gadis kecil itu.
Naya yang tidak sengaja menguping obrolan manis ayah dan anak tersebut tersenyum haru. Sosok Ana dan sang ayah benar-benar mengingatkan Naya kepada masa kecilnya. Bahkan posisi piatu yang terjadi kepada Ana telah lebih dulu dialaminya 10 tahun lalu.
“Naya juga mau main ke Dufan sama Ayah. Walau itu janji delapan tahun yang lalu, tapi ayah masih ingat, kan?” monolog Naya lirih sambil menatap sendu kertas kecil yang ada di telapak tangannya.
•••
Jakarta, 29 Februari 2012
“Nayaaa ... udah kelar pakek seragam belom? Ayok, makan dulu. Nasi gorengnya Ayah taruh di atas meja, ya,” pekik Ataya yang sedang sibuk mengaduk sup ayam.
“Udah, Yah. Tapi rambut Naya belum dikepang,” adunya dari dalam kamar.
“Oh iya, hari ini jadwal rambut Naya dikepang dua, ya? Ya udah, Naya ke sini aja dulu, makan. Kalau supnya udah mateng, baru Ayah kepangin rambut Naya,” terang Ataya.
Naya memang selalu berganti-ganti model ikatan rambut setiap harinya. Penampilan Naya sebelum pergi sekolah betul-betul diperhatikan oleh Ratna, ibunya. Namun, sejak sang ibu meninggal karena sakit leukimia, ayahnyalah yang kini menjadi tata rias pribadi Naya. Sebenarnya, tidak hanya menjadi MUA profesional, Ataya juga merangkap sebagai koki ternama khusus untuk anak semata wayangnya. Walau belum sesempurna kelembutan almarhum istrinya, Ataya selalu berusaha ada di masa tumbuh dan kembang sang putri dengan balutan kasih sayang.
Sesuai instruksi, Naya lekas melangkah ke dapur dan melahap nasi goreng lezat buatan Ataya.
“Nasi goreng Ayah enak bangettt,” sanjung Naya, “tapi nasi goreng Buna masih belum ada duanya sih,” sambungnya.
Ataya berhenti mengacau sup dan menoleh datar ke arah putrinya. “Ih, kebiasaan deh, udah diajak keliling pakek helikopter nih seru-seruan, eh Ayahnya malah diterjunin. Mana pakek ditendang segala lagi,” sarkasnya pura-pura kecewa.
Naya terkikik. “Bercanda Ayah hehe. Masakan Ayah sama Buna sama-sama enak kok,” katanya sambil memajang dua jari di depan mukanya, pertanda mengajak sang ayah berdamai.
Kepala Ataya begeleng-geleng gemas. Tangannya cekatan mematikan kompor. Kemudian, dia menyeduh sesendok sup dan meniupnya pelan-pelan. “Naya, cobain deh. Udah pas belom atau Ayah perlu tambahin sedikit garam lagi?” tanya Ataya seraya mengarahkan sendok ke mulut Naya.
Naya menggeleng keras. “Ini udah pas banget, Yah. Kalau urusan sup, Ayah nggak ada duanya deh haha,” pujinya lagi.
“Dasar kamu!” Ataya menjawil hidung mungil sang putri.
Usai menggantung apron di dinding, Ataya menyisir rambut Naya. Dengan lihai, dia menyocang kedua sisi rambut anak itu hingga tertata rapi. Sedangkan empunya, masih sibuk melahap makanan di hadapan. “Nggak nyangka putri kecil Ayah bentar lagi mau masuk SMP nih. Belajar yang bener ya, Sayang. Buna pasti bangga banget sama kamu di atas sana,” ujarnya sambil menepuk lembut puncak kepala Naya.
“Oh iya, dong. Masak Naya kecil terus,” balasnya tengil.
Ataya tidak bisa berkata-kata lagi. Ketika dia sedang berbicara hal yang serius pun, Naya kerap kali menanggapinya dengan lelucon. Terkadang, Ataya takut, sang anak akan dewasa duluan tanpa pengawasannya karena sikap Naya itu seperti tidak peka akan beban kehidupan dan selalu tampak ceria. Entahlah, Ataya pun bingung dia harus tenang atau khawatir tentang hal itu.
“Oh ya, Yah. Naya ‘kan ada ulangan Matematika hari ini. Kalau nilai Naya bagus ada hadiahnya nggak kira-kira?” tanyanya.
“Hmm ... ada. Kalau nilai Naya ada di rentang 85 ke atas, pulang sekolah nanti kita langsung pergi ke Dufan. Gimana?” tawar Ataya.
Mata Naya berbinar. “Mauuu! Tapi ini serius ‘kan, Yah? Ayah nggak bakal sibuk sama kerjaan kantor ‘kan? Janji?” tanyanya memastikan.
Laki-laki itu mengulum bibir bawahnya. Ternyata, meski sudah berusaha meluangkan waktu sedemikian rupa, anaknya masih tetap merasa kesepian karena dia selalu sibuk dengan kerjaannya selaku pegawai kantoran.
Ataya berlutut di hadapan putrinya. “Ayah janji,” katanya sambil mengulurkan jari kelingking yang ditanggap riang oleh Naya. “Oke, semuanya udah selesai ‘kan?” lanjutnya bertanya.
Naya mengangguk.
“Sip, ayok kita berangkattt,” seru Ataya, “nanti kalau udah pulang tungguin Ayah jemput dulu, ya. Oke?” pesannya.
“Okee.”
“Nggak boleh ikut orang yang nggak dikenal, nanti Naya diculik. Oke?”
“Okeee.”
“Good girl!”
•••
Di depan pagar sekolah, terlihat sosok gadis berseragam merah putih mondar-mandir sendirian sambil menendang batu kerikil yang ada di dekatnya. Kepala Naya spontan menengadah ke atas tatkala mendapati kilat dan petir memunculkan diri. Sesekali, dia menggunakan kertas hasil ulangan Matematikanya yang tertera nilai 98 itu sebagai teropong ala-ala untuk mendeteksi keberadaan sang Ayah. Namun, setelah sekian menit, gadis itu mulai mengerucutkan bibir. “Ayah kok jemputnya lama banget, ya? Udah mau hujan lho ini,” gumamnya.
“Eh, Naya masih belum di jemput?” tegur guru yang baru selesai mengunci pagar.
“Belum, Buk. Ayah mungkin masih di kantor,” balasnya.
“Naya pulang sama Buk Tari aja gimana?” usulnya.
Naya menggeleng. “Ayah minta Naya buat nunggu sampai di jemput, nggak boleh sama orang lain,” jujurnya mematuhi perkataan sang ayah.
Buk Tari melenggut paham. “Kalau gitu ... gimana kalau Buk Tari telponin Ayah Naya aja?” tawarnya kembali.
Gadis itu setuju.
Saat Bu Tari hendak mencari nama Ataya, nomor yang akan dituju sudah lebih dulu menelepon.
“Hallo, Pak? Baru saja saya mau menelpon Bapak. Ini Nayanya belum bisa dijemput kah, Pak? Soalnya teman-teman Naya udah pada pulang semua, dia nunggu sendirian di depan pagar. Saya nawarin Naya buat diantar ke rumah sih, tapi anaknya mau pulang sama Bapak aja katanya,” jelas Bu Tari.
“Hmm ... maaf, Buk. Sebenarnya saat ini saya ditimpa masalah besar. Kalau Buk Tari tidak keberatan, boleh minta tolong antarin Naya ke kantor polisi saja? Saya sedang ditahan di sini.”
•••
Jakarta, 29 Februari 2020
Kepada penumpang terhormat, beberapa menit lagi kereta akan tiba di Jakarta. Kepada seluruh penumpang yang akan mengakhiri perjalanan, harap siapkan barang-barang Anda. Kami mengingatkan Anda untuk tetap berada di kursi sampai kereta benar-benar berhenti. Terima kasih telah menggunakan layanan kami dan sampai jumpa di perjalanan selanjutnya.
Pengumuman dari operator kereta api tersebut membuyarkan lamunan Naya dari kenangan lampaunya.
Ya, sejak hari itu Ataya menetap di kantor polisi. Beliau menjadi tahanan Polres Metro Jakarta Pusat karena dikatakan telah terlibat dalam pengedaran obat-obatan terlarang. Hal tersebut terjadi saat ada pemeriksaan bulanan di perusahaannya. Tatkala giliran tempat duduk Ataya yang diperiksa, pada lacinya terdapat sabu-sabu seberat dua kilogram dan data alamat tujuan pengiriman narkoba jenis stimulan tersebut. Namun, Naya tahu pasti, ayahnya bukan sosok tercela seperti itu. Ataya sendiri sudah bersumpah bahwa hal itu bukanlah perbuatannya. Dapat dipastikan, Ataya telah dijebak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Sialnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena semua bukti valid mengarah kepada dirinya. Oleh karena itu, akhirnya Ataya harus rela ditahan selama kurang lebih delapan tahun lamanya padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun.
Jujur, delapan tahun yang lalu adalah hari terberat untuk Naya karena orang yang selalu menjadi garda terdepan untuknya mendadak hilang begitu saja. Hari di mana putusan pidana ayahnya telah di jatuhkan, Naya mendapatkan titipan kotak yang berisikan 2922 lipatan origami berbentuk kupu-kupu dan sepucuk surat dari Ataya. Di surat itu, sang ayah meminta Naya untuk setiap harinya membuka satu origami dan membaca tulisan yang ada di dalamnya hingga hari ke 2922. Di mana hari itu, dia memperkirakan dirinya akan bebas dari penjara.
Adapun isi origami tersebut seperti ini:
[Origami 1] Mungkin waktu Naya baca ini, Ayah udah nggak ada di samping Naya. Naya sekarang tinggal sama Oma di Purwokerto, ya. Naya harus tetap rajin belajar, kita pasti ketemu lagi nanti!
[Origami 31] Nak, gimana harinya? Capek, ya? Maaf ya, kalau dunia jahat banget sama, Naya. Tapi, Ayah yakin, Naya itu anak kuat dan tegar^^
[Origami 79] Nay, walau kadang kebaikan kamu masih ditanggapi buruk oleh segelintir orang. Jangan bosan buat jadi anak baik, ya
[Origami 93] Selamat ulang tahun putri kecil Ayah. Ayah sayanggg banget sama Naya. Semoga kamu nggak bosan nungguin Ayah, ya. Kita harus ketemu lagi!
[Origami 1007] Naya, maaf kalau Ayah pernah nggak sengaja bentak Naya. Tapi Naya tahu ‘kan, kalau Ayah sayang banget sama Naya? Di sini Ayah kepikiran, dengar bentakan Ayah aja bisa bikin Naya nangis sesenggukan di kamar, gimana kalau dunia ini terlalu kejam sama Naya? Ayah sedih nggak bisa ada di samping Naya. Tetap selalu baca pesan-pesan Ayah sampai hari terakhir ya, Nay :')
Begitulah kira-kira gambaran besar isi di balik kertas origami yang dilipat menyerupai kupu-kupu itu.
Meski mereka dipaksa saling berjauhan, Ataya selalu punya banyak cara untuk tetap ikut berkontribusi dalam masa kedewasaan sang putri. Bohong, jika Naya bilang dirinya tidak sedih, tapi di sisi lain dia sadar betapa sayangnya sang ayah kepadanya dan betapa beruntungnya dia memiliki ayah seperti Ataya di kehidupan kali ini.
Ketika kereta berhenti, tidak lengah Naya memesan ojek yang menangkring. Setidaknya, macet akan lebih mudah ditaklukkan daripada menggunakan mobil. Ia benar-benar tidak sabar lagi untuk menyambut hari kepulangan sang ayah. Sesampainya di tempat tujuan utama, kaki Naya terpaku. Sudah lama sekali objek di depan ini tidak menjadi lansekapnya. Tatkala gadis berusia 21 tahun itu akan melanjutkan langkah, dia melihat seorang pria setengah baya yang tampak kurus melambaikan kedua tangannya ke atas dari kejauhan. Cukup berbeda dari ingatan Naya terdahulu, tapi sosok tersebut tentu saja tetap familiar.
Tak berpikir panjang lagi, Naya langsung berlarian memangkas jarak di antara dirinya dan sang ayah. Sedangkan Ataya siaga di tempat seraya merentangkan tangan untuk mendekap putri kecilnya yang sudah tumbuh dewasa menjadi gadis anggun.
“Selamat pulang kembali, Ayah, hiks,” ucap Naya penuh haru.
Ataya mengeratkan pelukannya. “Makasih Nak karena udah sabar menunggu datangnya hari ini. Yang pasti, terima kasih karena Naya tetap hidup dan sehat,” ujarnya.
Sebenarnya, filosofi pengiriman 2922 kertas origami tersebut adalah harapan Ataya agar anaknya bisa tetap kuat menjalani hidup dan tidak berpikiran mengambil jalan pintas meski masalah seberat apapun sepeninggalnya delapan tahun. Setidaknya, kupu-kupu rekaan tersebut dapat menjadi alasan terkecil Naya untuk tetap hidup, pikirnya.
“Naya udah buka origami terakhir Ayah?” tanya Ataya. Meski tidak bersuara, Ataya dapat merasakan kepala anaknya bergeleng ria dalam dekapannya. “Coba Naya buka sekarang,” titahnya sambil merenggangkan jarak.
Gadis itu mengikuti komando. Ia kembali mengambil kupu-kupu rekaan berwarna kuning itu dan membaca coretan pena yang tercantum di sana. “‘Akhirnya kita sampai di hari ini ya, Nayaaa. Seharusnya kita udah ketemu lagi sih, semoga perkiraan Ayah benar deh hihi. Ayah nggak sabar banget buat ketemu Naya. Naya juga gitu nggak? Buat menuhin janji Ayah yang belum terlaksana, kita wajib penuhin kalau udah ketemu, ya. Naya siap ke Dufan?’.” Usai melafalkan itu, Naya mendongak, menatap wajah ayahnya yang mulai keriput. “Ayah nggak lupa?” tanyanya.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Ataya menggelengkan kepalanya. “Ayah nggak pernah lupa sama Naya dan janji yang Ayah ucapin ke Naya. Bahkan setiap hari, setiap waktu, cuma Naya yang memenuhi pikiran Ayah. 'Gimana kabar Naya', 'Naya makannya bener nggak', 'Ada yang jahatin Naya nggak di sekolah', gitu,” ucapnya transparan.
Mendengar ucapan itu, Naya tidak sanggup lagi menahan sesak di dadanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Hari ini akan jadi hari yang panjang untuk Naya, dia akan menceritakan semua hal yang terjadi selama sang Ayah tidak berada di sisinya: bagaimana dia menemukan sahabat yang baik hati, tingkah kucing peliharaannya di rumah Oma, hari-harinya di kuliah hukum menjelang semester akhir, pemuda berkacamata jurusan Desain Komunikasi Visual yang dia taksir. Semuanya! Namun, untuk saat ini, dia hanya ingin menghabiskan waktu dalam dekapan hangat ini.
Sekali lagi, selamat hari kepulangan, Ayah ....
*)