Disukai
0
Dilihat
1,549
Dinul Making Love
Komedi

Dinul Making Love

By: allunasshi

“Mah, seriusan kita pindah ke rusun kumuh kaya gini?” gadis dengan surai coklat sepunggung itu menatap rusun sepuluh tingkat di depannya dengan alis mengkerut.

“Menurut kamu? Kalau masih kaya kita gak mungkin pindah ke sini!” delik Viona, selaku sang ibu.

“Jual mobil atau apa kek, Ma.”

“Mobil apa lagi yang mau di jual? Semua udah di sita Bank!”

Kedua perempuan itu menghela nafas kasar.

“Yaudah si, sementara doang juga.” Syafi, gadis berusia 17 tahun itu menimpali.

“Tapi lo lihat aja, lingkungan ini tuh kumuh! Kalau temen-temen gue tahu gimana? Bisa malu gue!”

“Kalau ngikutin gengsi mah gak ada habisnya, Kak.”

“Denger apa kata adik kamu, tuh.”

Tiga pasang mata kompak menatap tajam pada Randi yang baru saja membuka suara.

“Ini kalau Papa gak ikut investasi bodong sampai gadai semua aset, kita gak bakal miskin!” delik Lala, membuat Randi terdiam seribu bahasa.

“Maaf ya keluarga ku tercinta.”

Tak ada yang menyahuti, tiga perempuan itu kompak menarik koper masing-masing menaiki tangga menuju unit mereka yang ada di lantai tujuh.

“Ini gak ada lift?!”

“Yakali, Kak. Ini rusun, bukan apart.” Syafi menyahuti.

“Capek tau! Mana jauh banget ke lantai tujuh!” Lala tak henti mengeluh sedari tadi.

“Mama juga capek, Kak. Jangan ngeluh mulu! Mama jadi bet mut tau!”

“Tapi capek banget, Mah! Gak kebayang setiap hari naik turun tangga tujuh lantai. Bisa tegang betis aku!”

“Yasudah, biar Papa aja yang bawain kopernya.”

Kompak tiga perempuan itu menyerahkan koper masing-masing pada Randi.

“Kalau gak bisa sekaligus, di angsur aja, Pa.” Lala melanjut langkah menaiki tangga ke tiga menuju lantai empat, di susul oleh Viona juga Syafi.

“Semangat, Papa pasti bisa!”

Randi menatap kepergian tiga orang itu, menghembus nafas lelah hingga akhirnya kembali melanjut langkah dengan membawa dua koper terlebih dahulu.

Banyak mata penghuni rusun tertuju pada mereka, membuat Lala merasa tak nyaman namun tetap memaksa tersenyum.

Gak kebayang gimana reseknya tetangga gue nanti.

Lala membatin dalam hati, membayangkan hari buruk akan segera menimpa sebentar lagi.

Di lantai ke lima, Lala terlonjak kaget saat seekor monyet melompat ke depannya.

Uuu aaak ... uuu aaak ... .

“Aaa! Mama!” jerit gadis itu ketakutan, untung saja monyet tersebut di ikat tali, hingga tak melompat langsung ke tubuhnya.

Seorang cowok dengan piyama coklat bergambar pisang keluar dari salah satu unit, rambutnya acak-acakan dan ada jejak rambut di wajahnya. Khas orang bangun tidur.

“Kenapa sih, Dinul sayang?” monyet itu langsung melompat saat cowok itu bertanya. Lala di buat tak berkata saat monyet coklat itu kembali bersuara.

Uuu aaak ... uuu aaak ... uu uu uu ... .

“Oh, gitu? Siapa yang ganggu?” cowok itu bertanya seolah mengerti apa yang monyet tadi katakan.

Uuu aaak ... uuu aaak ... .

“Dia ngerti?” bisik Viona yang berdiri di belakang Lala. Gadis itu menggeleng, “gila kayanya, Ma.”

“Gue mau lewat, monyet lo mengganggu, bisa di kandangi aja, nggak?” Lala membuka suara setelah jengah menyaksikan percakapan antara monyet dan manusia itu.

Cowok itu menoleh sebentar, menatap Lala, lalu menatap Dinul, kembali.

“Dinul ganggu dia?”

Uuu ... uuu ... aaak ... aaak ...

“Katanya dia gak ganggu, lo aja yang kepedean.”

Lala mengepal tangan kesal, ingin melontarkan segala sumpah serapahnya.

“Emang lo ngerti bahasa monyet?!”

“Telepati.”

“Telepati ... telepati ... sama-sama monyet kalian!” maki gadis itu kesal. “Awas lo!” Lala mendorong tubuh cowok yang menghalangi jalannya, namun monyet itu ... .

Uuu ... aaak ... uuu uuu uuu ... .

Arghh, bangsat! Rambut gueeee!!!” teriak Lala histeris saat monyet itu menarik dan menggigit rambutnya.

“Eh, itu monyet kamu gigit rambut anak saya!” panik Viona.

“Dinul, jangan nakal sayang. Lepas.” Seolah mengerti dengan apa yang cowok itu katakan, monyet itu langsung melepas rambut Kania.

“Dasar monyet anjing!” maki Lala, tahu bahwa ia di maki, monyet itu menggeram hingga memperlihatkan giginya.

“Kaya ngerti aja lo!” delik Lala, mundur beberapa langkah.

“Lo jangan maki-maki Dinul gue dong!” protes cowok itu tak terima.

“Diem lo! Muka lo juga kaya monyet.” Maki Lala sebelum akhirnya melanjut langkah dengan perasaan kesal.

“Monyet sialan! Bau bangke dah rambut gue.”

☆ ☆ ☆

Tiga hari berlalu, tak sehari ‘pun Lala lewatkan tanpa mengeluh atas kemiskinan yang baru saja menimpa mereka.

Kini gadis itu tengah bersiap pergi kuliah, mengenakan denim dengan atasan rajut berwarna hitam, di padukan dengan flat shoes berwarna putih. Rambut coklatnya di biarkan tergerai begitu saja, tak lupa dengan tas tote hitam berisi buku yang ia sampir di satu pundak.

Setelah puas mematut diri depan cermin, gadis itu mematri langkah keluar dari kamarnya.

“Ma, aku ke kampus dulu.”

“Iya sayang, hati-hati ya. Uang kamu masih ada, ‘kan?"

“Masih, assalamu’alaikum.”

“Wa’ alaikumsalam.”

Setelah mencium tangan Viona dan berpamitan dengan sopan, gadis itu keluar dari unitnya. Menyapa beberapa tetangga yang ia temui.

“Jan ampe gue ketemu tuh monyet sialan lagi!” Lala sudah mewanti-wanti, namun sial. Monyet itu ada di sana, di tempat pertama kali mereka bertemu.

“Mati gue!”

Uuu ... aaak ... uuu ... aaak ... .

Lala mengentak kaki kesal, monyet itu melompat turun ke lantai, melompat-lompat sambil terus bersuara.

“Woi cowok titisan monyet, itu peliharaan lo mengalangi jalan gue!” teriak Lala, berharap cowok itu keluar dari unitnya.

Akhirnya setelah lima belas menit di hadang monyet, cowok itu keluar dari unitnya.

“Woi, monyet lo suruh minggir! Gue udah telat ngampus ini!” teriak Lala, cowok itu menoleh sekilas.

“Dinul, diam di sana.” Tunjuk cowok itu ke arah pohon tinggi, sang monyet langsung menurut dan melompat ke pohon tersebut.

Lala dapat bernafas lega, segera berjalan melewati pohon yang entah apa namanya itu. Ia tak tahu, dan tak mau tahu. Ia hanya ingin segera pergi ke kampus, karena ia pasti sudah terlambat.

“Monyet lo lama-lama gue sate baru tau rasa!” delik Lala saat melewati cowok itu.

“Awas aja lo macam-macam ama monyet gue!” 

Lala tak menganggapi, berlari menuruni tangga untuk segera menuju halte bus.

Fyuhh! Capek!” keluhnya, menyeka keringat di pelipis. Tak perlu menunggu lama di halte, sebuah Bus jurusan kampusnya langsung tiba dan Lala langsung naik.

Sesuai dugaannya, ia terlambat dan berujung tak boleh masuk kelas. Lala duduk di kantin kampus sambil membaca novel di tangannya, hingga tepukan di bahu mengalihkan pandangan.

"Eh, Dian. Duduk.” Lala menyimpan novelnya saat Dian, sahabatnya datang.

“Kenapa bisa telat, lo?” tanya gadis bersurai hitam pendek sebahu itu, “gak biasanya lo telat.”

“Di hadang monyet, gue!” Lala kembali kesal mengingat kejadian tadi.

“Monyet yang narik rambut lo itu?”

“Iya! Ngeselin banget tau gak, apalagi pemiliknya. Beeeh, sama-sama kaya monyet!”

“Jadi kepo gue, yang mana orangnya.”

“Duh, amit-amit deh Yan! Sebelas dua belas sama mo—“

“Kak Farhan, sini!”

Lala menggantung kalimatnya, saat Dian memanggil seseorang membuat Lala ikut menoleh ke belakang.

Mata gadis itu membulat sempurna menyadari siapa yang datang. “LO?!”

“Kenalin, ini Kak Farhan, kating kita. Dari prodi teknik sipil juga.”

Lala masih setia dengan keterkejutannya, sebelum umpatan keluar dari mulut gadis galak itu. “Shit, hidup gue gak di rumah, gak di kampus, ketemu sama manusia monyet ini!”

☆ ☆ ☆

Siapa yang menyangka dunia akan se-sempit ini? Dan siapa pula yang akan menyangka bahwa Lala akan berakhir duduk di boncengan motor cowok itu hanya karena tak ada lagi bus yang akan membawanya pulang.

Tadi, Dian meminta bantuan Farhan untuk memeriksa tugas kelompok mereka, karena berasal dari jurusan yang sama, yaitu Teknik Sipil. Saat ingin pulang, Dian di jemput pacarnya, Tama. Sedangkan Lala, tak lagi kebagian bus karena hari sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dan berakhirlah ia pulang bersama Farhan yang belakangan ini menjadi objek penguji kesabarannya.

Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam, tak satu ‘pun yang membuka suara hingga sampai di rusun mereka.

“Makasih.” Lala menyerahkan helm bogo hitam tanpa kaca itu kembali pada Farhan.

“Sama-sama.”

Rasanya awkard, Lala mendadak jadi gadis pendiam, begitu juga dengan Farhan. Canggung menyelimuti keduanya.

“Gue antar sampe unit lo, mau?” entah sadar atau tidak atas ucapannya, Farhan berkata demikian.

“Gak usah, pastiin aja monyet lo gak ganggu gue lagi besok dan seterusnya.” Farhan tak menjawab, mengeluarkan kunci dari saku celananya.

“Sekali lagi makasih, gue pulang dulu.”

“Iya.”

Uuu ... aaak ... uuu ... aaak ... .

“MONYET SIALAN! FARHAN MONYET LO NARIK TAS GUE WOI!!”

Farhan terkekeh kecil melihat wajah Lala yang berubah pias, mata gadis itu mulai berkaca-kaca antara takut dan kesal.

“AAAH MONYET ANJING!”

Dugh!!

Uuu ... aaak ... u ... u ... .

“Mampus lo!” kata Lala usai menendang monyet itu dengan kakinya yang tak panjang.

“WOI DINUL GUE!” Farhan terkejut bukan main saat monyetnya terlempar ke lantai usai membentur dinding akibat tendangan Lala.

“Lama-lama beneran gue sate lo!” delik Lala, memungut tasnya yang sengaja ia jatuhkan untuk menendang monyet tak berakidah dan akhlak itu.

“Dinul ayo ke rumah sakit,” Farhan melepas pengait tali di kalung Dinul. “Niuuu ... niu ... niu ... .”

Lala menatap Farhan aneh, cowok itu masuk ke dalam rumahnya dan membanting pintu kasar.

“Katanya ke rumah sakit?” monolog gadis itu heran. “Freak, anjir.”

Pintu kembali terbuka saat Lala hendak mematri langkah lagi. “Sampai Dinul gue koma, awas lo!” ancam Farhan, lalu menutup pintu lagi.

“GUE HARAP BUKAN KOMA TAPI MATI!” teriak gadis itu.

“WOI BERISIK GUE SAKIT GIGI!!”

•••

“Geser, Sya!” Lala mendorong tubuh adiknya dari kasur hingga terjatuh ke lantai.

“Bangsat, sakit!” umpat Syafi, namun Lala abaikan. Tubuhnya sudah terlalu pegal dan lelah, hari ini sangat berat baginya.

“Geser dikit lah, Kak. Itu di samping lo masih ada ruang, ke sana dikit.” Syafi balik mendorong tubuh Lala.

“Arghhh!!!” Lala bangkit dari duduk nya, berjalan keluar dari kamar, menuju ruang tengah dan tidur di sofa.

Rumah ini jelas jauh lebih kecil di banding rumah lamanya yang begitu mewah bak istana. Bahkan luas rumah ini tiga kali lebih kecil dari kamarnya. Sangat sesak, dan rasanya Lala ingin menangis saja.

Malam bertambah larut, namun kantuk belum juga melandanya. Hingga di pukul tiga dini hari, barulah gadis itu dapat tertidur.

“LO SELINGKUH YA?!”

Prang!!

Prang!!

Teriakan dan lemparan barang terdengar jelas di telinganya, berasal dari tetangga samping.

“AH ANJING GILA GUE TINGGAL DI RUSUN INI!!!”

☆ ☆ ☆

Sehubung ini hari libur, Lala memutuskan untuk pergi berlari pagi dulu. Menggunakan celana legging olah raga yang di padukan dengan kaos polos dan sepatu sneakers abu-abu membalut kakinya.

Beberapa ibu-ibu menatapnya sinis.

“Anak gadis kok pulang malam, mana pakaiannya kaya gitu lagi.” Lala mendengar jelas ucapan ibu-ibu gendut dengan daster ungu terang seperti terong itu, namun ia tak merasa bahwa dialah yang di bicarakan.

“Kuliah apa sampai jam sepuluh malam? Jadi ayam kampus?” ibu-ibu kurus dan pendek dengan daster merah ikut menimpali.

“Duh, jauh-jauh deh untung anak gue gak kaya Lala itu.”

Oke.

Dirinya yang di maksud.

Lala menghentikan langkahnya, berbalik menatap tiga ibu-ibu yang sedari tadi mengatakan hal tak wajar tentangnya.

“Maaf ya ibu, tapi ibu ngomong kaya gitu ada bukti?” Lala datang menghampiri.

“Emang kamu merasa di omongin?” ibu ber daster ungu menjawab jutek.

“Saya sih gak merasa, tapi ibu baju kuning tai ini jelas menyebut nama saya.”

“Apa kata kamu? Tai?!”

“Iya, lihat aja baju ibu kuningnya, kaya tai.”

“Dasar gak punya sopan santun! Pasti orang tuanya gak pernah mengajari sopan santun!”

Lala celangak celinguk. “Ini kenapa cuma suaranya yang ada, wujudnya kok gak ada?”

“HEH, KAMU!”

“Oalah Ibu daster merah toh, maaf Buk, gak keliatan tadi. Ibunya kecil sih.” Lala berucap tanpa beban, memancing emosi tiba wanita itu.

“YANG SOPAN YA KAMU!” bentak ibu ber daster ungu, sembari berkacak pinggang.

 “Maaf, Buk. Saya sopan sama orang yang sopan, bukan sama orang yang lancang. Permisi.” Lala berbalik badan, namun beberapa langkah ia berjalan, jambakan di rambutnya membuat gadis itu berteriak kesakitan.

“Dasar pelacur!”

“SAKIT ANJING!”

Aksi jambak menjambak terjadi, tiga lawan satu. Lala nyaris menangis jika Farhan tak datang melerai.

“INI APA-APAAN SIH?!” bentak cowok itu membelah keramaian yang menyaksikan.

Farhan menarik Lala ke dalam pelukannya, gadis itu menangis di dalam pelukan.

“Ngapain kamu bela cewek malam itu? Udah kamu pakai ya?!” bentak si ibu daster kuning.

“GUE BUKAN PELACUR, SIALAN LO!” teriak Lala emosi.

“Kalau gak ngapain kamu pulang malam?!” ibu daster ungu kembali memancing emosi.

“MAKANYA LO SEKOLAH JANGAN AMPE GERBANG DOANG! GUE KULIAH MALAM YA PASTI PULANG MALAM! BUKAN JADI JALANG!” bahu Lala naik turun dengan nafasnya ber detak tak karuan.

“Halah, alasan!”

“MAKANYA JADI ORANG BERPENDIDIKAN! OTAK UDANG!”

Farhan langsung menarik Lala pergi dari kerumunan agar tak terjadi cekcok lebih jauh lagi. Cowok itu membawa Lala menaiki motornya, menuju taman Metropolitan.

Keduanya duduk di salah satu ayunan taman, saling berhadapan. Lala tak lagi menangis, namun urat lehernya masih tercetak jelas menandakan amarah yang belum sepenuhnya padam.

“Tunggu di sini dulu, jangan ke mana-mana.” Pesan Farhan, di balas anggukan oleh Lala. Selang lima menit, cowok itu kembali dengan dua es krim vanila coklat di tangan dan memberikannya satu kepada Lala.

“Naikin mood dulu.” Ujar cowok itu, menyodorkan es krim yang sudah ia bukakan untuk Lala.

Lala menerima, memakan es krim itu dengan tangan yang masih terkepal erat. Farhan melepas kepalan itu, “rileks.”

Lala menatap Farhan lamat, ada sesuatu di dalam dirinya yang bergejolak, tapi apa?.

Ternyata di balik ke-aneh-an dia, ada sisi baiknya juga.

☆ ☆ ☆

Dua bulan usai keributan di lantai lima, dan sudah tiga bulan lamanya Lala sekeluarga tinggal di rusun ini, namun gadis itu masih tak bisa hidup dengan tenang atau sekedar menerima takdir bahwa keluarganya jatuh miskin.

“SYAFI LO JEMUR BAJU GUE DI MANA?!” teriakan Lala menggelegar ke seluruh penjuru.

“Di jemuran biasa, Kak.”

“GAK ADA! ITU BAJU BRAND MAHAL SYAFI! KENAPA DI JEMUR SEMBARANGAN SIH!”

“Liat dulu baik-baik.” Tegur Randi, pria itu baru saja membenarkan saluran air yang tersumbat.

“Nggak ada, Pa. Aku udah cari ke semua jemuran, gak ada. Pasti di ambil tetangga lagi!”

“Yaudah lah, Kak. Mau di gimanain lagi.” Viona ikut menimpali, wanita yang biasanya tampil glamor dengan balutan dress mewah, kini menggunakan daster dan memasak. Pekerjaan yang sedari dulu tak pernah mau ia lakukan.

“Kok yaudah sih, Ma?! Itu baju mau aku pake ke kampus sekarang loh! Syafi, lo tanggung jawab!”

“Baju yang lain masih banyak, Kak. Jangan gedein masalah kecil deh!” Syafi mulai merasa kesal.

“Gedein masalah kecil gimana? Udah jelas lo salah gara-gara asal jemur baju gue! Sialan!” Lala mendorong tubuh mungil Syafi yang berdiri di depan kamar, lalu membanting pintu kasar.

Randi dan Viona hanya bisa menggeleng kepala pelan, ingin marah juga tak bisa, jadi hanya memilih diam saja.

“Kekanakan banget!” delik Syafi saat Lala keluar setelah beberapa saat di kamar.

“Bacot!” maki Lala, berjalan meninggalkan rumah menuju kampus.

Langkah besar dan mata tajam serta aura tak bersahabat yang ia pancarkan, membuat tak satu ‘pun tetangga berani menyapanya, terlebih lagi setelah kegalakannya terdengar oleh seluruh penghuni rusun.

“AWAS LO DINUL JAN AMPE GUE TENDANG LAGI LO!” bentak Lala saat monyet yang semula di pohon itu hendak melompat ke lantai, namun tak jadi. Monyet itu trauma dengan tendangan yang diberikan Lala dua bulan lalu.

“Bentak-bentak monyet gue lo, nanti dia sedih!” marah Farhan, cowok itu sudah menunggu Lala sepuluh menit lalu.

“Berisik lo!”

Farhan mendelik, menatap Lala kesal, mengikuti langkah gadis itu. Entah mengapa, sejak kejadian dua minggu lalu, Farhan merasa ingin selalu dekat dengan Lala. Ia juga sangat suka mengusili gadis itu.

Lala tiba di parkiran lebih dulu, duduk di atas motor matic Farhan dan memasang asal helm bogo-nya dengan wajah tertekuk.

Farhan tertawa kecil melihat tingkah Lala yang terlihat menggemaskan, tangannya bergerak membuka helm gadis itu, merapikan rambutnya lalu memasang kembali helm itu dengan benar.

“Senyum dong, biar cantik.”

Lala membuang muka, menahan panas di wajahnya yang kini bersemu merah. “Cepetan, telat nanti gue.” Farhan tertawa pelan, lalu naik ke motornya dan mulai membelah padatnya jalanan Jakarta sore siang ini.

Semilir angin menyapa wajah keduanya, Lala memejamkan mata, merasakan hembusan anila yang lembut menyapu wajah. Rambutnya yang tergerai bergerak indah mengikuti irama angin. Seulas senyum terbit di wajah gadis itu, hingga memperlihatkan lesung samar di kedua pipinya.

Farhan diam-diam menatap Lala di pantulan kaca spion dan menggigit pipi bagian dalamnya.

Cantik banget, ya allah.

☆ ☆ ☆

“La, lo di panggil ke ruang dekan.” Dian berjalan menghampiri Lala yang berdiri di depan lokernya sambil menyusun beberapa buku.

“Dekan? Ngapain?” tanya gadis itu, “perasaan gue gak bikin kasus.”

“Coba aja datang dulu, di panggil dekan gak melulu kasus.” Ujar Dian, dibalas anggukan kepala oleh Lala.

“Thanks, ya.”

“Sama-sama, gue duluan ya, mau ketemu ayang.”

“Yeeu, ayang mulu otak lo! Yaudah sana, tiati!” Lala membalas lambaian tangan Dian. Setelah mengunci kembali lokernya, gadis itu segera berjalan menuju ruang dekan.

Tok ... tok ... tok ... .

“Masuk!” sahut seseorang di dalam sana, Lala membuka pintu lalu masuk sambil menyapa sopan.

“Permisi, Ibuk. Katanya Ibuk memanggil saya, ada apa ya, Buk?” tanya Lala langsung pada intinya.

“Kampus kita ada bentar lagi buka penerimaan calon mahasiswa baru, nah, jadi saya memilih dua orang untuk menjadi model promosi kampus. Salah satunya kamu, bagaimana? Kamu bersedia?”

Lala sedikit terkejut mendengar hal itu, ingin menolak juga tak enak. Akhirnya gadis itu mengangguk setuju, toh, dia juga tak ada kegiatan lain sepulang kuliah.

“Pemotretannya kapan ya, Buk?”

“Besok pagi, bagaimana, kamu bersedia?”

“Bersedia, Buk.”

Bella tersenyum senang, lalu mempersilahkan Lala keluar dari ruangannya.

“Permisi Buk.”

“Iya, hati-hati.”

•••

“Jangan tebel-tebel, woi!” protes Lala saat Dian mengoles lipstik di bibirnya.

“Kalau gak di tebelin gak keliatan di kamera!” jawab Dian, cewek itu mulai kesal karena Lala banyak protes.

“Ya tapi jangan tebel banget, nanti kaya tokecan gue!”

“Berisik lo! Udah sana foto, kak Farhan jamuran nungguin lo.”

Lala mendelik sebal, berjalan menghampiri Farhan yang ternyata menjadi rekan pemotretannya.

“Ready, La?” tanya Tama, yang menjadi fotografer mereka, karena cowok itu dari prodi Seni Fotografi.

Sesi foto di mulai, Lala merasakan detak jantungnya berdegup kencang tak karuan. Duh, ini ciri-ciri serangan jantung kah?

Sekitar dua jam, akhirnya semua selesai. Lala menghapus make-up dan mengganti bajunya kembali. Keluar dari ruang ganti, ia di buat terkejut dengan Farhan yang menunggunya di depan ruangan sambil bersandar pada dinding.

“Pulang bareng?” ajak cowok itu, Lala tampak gugup.

“Gapapa?”

“Ayo.” Farhan menarik pergelangan tangan Lala, membuatnya rasa ingin melompat dari tempat.

“Han.” Panggil Lala, cowok itu menoleh menatap Lala lamat. “Kenapa, hm?”

Lala menundukkan pandangan, menatap kedua sepatunya. “Gue gatau ini kenapa, tapi jantung gue rasanya gak nyaman. Dia berdetak cepat terus, muka gue juga rasanya panas. Belum lagi perut gue yang rasanya banyak tikus jalan. Gak nyaman banget.” Adu gadis itu panjang lebar.

Farhan menarik senyum lebar, saat Lala mengangkat kepala, segera cowok itu berubah ke ekspresi semula.

“Ayo ke dokter, kayanya tanda-tanda gagal jantung.”

☆ ☆ ☆

Tiga hari lamanya Lala menghindari Farhan, baik di rumah maupun di kampus. Malu menerpa saat mengingat pengakuan tak langsungnya beberapa hari lalu, dan melihat respons Farhan, Lala menjadi sedikit kecewa.

“Apa gue yang terlalu berharap sama dia, ya?” monolog gadis itu, ia ada kerja kelompok sore tadi dan baru pulang pukul delapan malam.

Lala menunduk sambil terus berjalan, hingga tak sadar ada seseorang yang sudah menunggunya dari tadi.

Seseorang yang ia hindari.

“Jalan itu lihat lurus ke depan, bukan nunduk, gak ada uang di sana.”

Lala sontak mengangkat pandangan, netra hitam kecoklatan nya beradu dengan netra hitam legam milik Farhan. Tiga detik kemudian, Lala membuang muka.

“Gue capek, duluan.”

Langkahnya terhenti saat Farhan menarik lembut pergelangan tangan gadis itu.

“Duduk dulu dong, gue kangen.” Farhan membawa Lala duduk di kursi panjang depan rumahnya. Dinul yang sedari tadi diam di pohon, langsung melompat ke pangkuan Lala membuat gadis itu sedikit terkejut. Namun beberapa detik kemudian ia tersenyum saat Dinul memejam mata.

“Lo gak kangen sama gue?” Lala mengalihkan atensinya, menatap Farhan sejenak. Wajahnya tersipu malu, ingin mengatakan yang sebenarnya namun gengsi. “Nggak, biasa aja.”

Farhan mengangguk kecil, ia tahu Lala berbohong. “Dinul butuh mama, lo mau gak jadi mamanya dia?”

Lala mengerjap mata dua kali, ia paham ke mana arah pembicaraan ini, namun tak ingin kepedean.

“Maksud lo?”

Farhan menghembus nafas pelan guna mengurangi gugupnya. Cowok itu merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk monyet.

Do you wanna be my girl friend?

Lala menjerit dalam hati, namun sebisa mungkin terlihat biasa saja.

“Yes, i do.”

Farhan meninju angin kesenangan, memasangkan kalung itu di leher gadisnya, lalu membawa Lala ke dalam pelukan.

“Gue kira bakal di tolak.” Aku cowok itu jujur.

“Tapi nggak, ‘kan?” 

Lala merasakan banyak tikus berlarian di perutnya. Ia pikir cintanya akan bertepuk sebelah tangan, namun ternyata tidak. Siapa yang akan menyangka bahwa ia akan jatuh cinta pada cowok yang dulu begitu ia benci.

Uuu ... aak ... uuu ... aaak ... .

Dan siapa pula yang akan mengira bahwa ia akan menjadi Mama Dinul, si monyet yang dulu ingin sekali ia sate.

Benar kata pepatah, jangan terlalu dalam membenci seseorang, jika tak ingin jatuh cinta terlalu dalam pula.

Malam ini, di tanggal 24 Oktober 2022, di bawah indurasmi yang temaram dan anila malam menusuk tulang, cinta mereka telah di resmikan dengan Dinul si monyet montok sebagai saksinya.

Salam sayang Dinul (DIgoyang inUL) monyet lucu, montok dan menggemaskan.

-The End-

Karya: Allunasshi

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Komedi
Rekomendasi