Disukai
1
Dilihat
1291
Debu Kalbu
Religi

Lelaki setengah baya menyembul dari balik pintu kayu rumahnya. Sebuah kain berbentuk batok kelapa menangkupi bagian atas tempurung kepala. Baju kurung putih yang tersulur hingga paha melayang-layang di udara. Dia menebahkan serban yang tersampir di bahunya ke dada. Mengusir hawa panas dari matahari siang yang bersinar garang. Dia melaju keluar rumah dengan wajah lebuh membayang di aspal. Dibanjuri sinar menyengat hingga mukanya tampak ledang.

Suara panggilan Tuhan mulai menggema. Dia terus melangkah dengan hati bahagia. Betapa kehidupannya terasa sangat sempurna. Sebagai seorang hamba, dia tak pernah mengabaikan-Nya. Dia terus berjalan pelan dengan rasa bangga. Tiba-tiba, pandangan matanya menjegil lebar. Gerakan laju kakinya tampak kian melamban. Seorang perempuan dengan muka berbedak tebal berjalan dari arah berlawanan. Di kedua pipinya terpoles tipis warna merah muda. Bibirnya dibaluri gincu merah darah. Kedua alisnya selegam jelaga. Bulu matanya melengkung lentik ke cakrawala. Rambut hitam terjulur lepas hingga punggungnya. Kakinya jenjang, berkulit putih mulus dengan mengenakan rok pendek. Sepatu berhak tingginya berkeletak-keletuk seirama langkah kakinya menapak di jalanan. Semakin lama mereka semakin mendekat. Dia terus saja melangkah sembari tetap memandang perempuan itu. Hatinya berkata-kata. Betapa wanita di hadapannya sama sekali tak menghargai karunia Tuhan. Dia diciptakan dengan tubuh hampir mencapai kata sempurna. Hanya saja dia memamerkannya untuk dilihat mata para pria. Di dunia ini manusia sudah tak lagi mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan secara cuma-cuma.

Dia terus saja berjalan hingga akhirnya dia dan perempuan itu berpapasan. Dia sama sekali tak mengujarkan sapaan atau ucapan. Hanya ada sebuah kalimat yang terselip dalam batinnya tatkala perempuan itu telah melewati dirinya.

“Perempuan itu sungguh berdosa....”

 

***

 

Seorang gadis tengah tercenung di teras rumahnya. Sedari tadi pikirannya terus menjalar di seputar kesehatan ibunya. Dia ingin sekali membawa ibunya ke dokter. Hanya saja dia belum memiliki biaya. Berhari-hari sudah dia melempar lamaran kerja, tetapi belum ada yang menghubunginya untuk tes wawancara. Kini ibunya tengah beristirahat di dalam kamar. Terkadang terdengar suara batuknya yang deras hingga sampai ke teras rumah. Hatinya semakin membuncah. Pikirannya kalut. Kalau begini keadaannya, dia tak akan pernah bisa membawa ibunya berobat ke rumah sakit. Dia tahu ibunya pasti mengidap penyakit yang terbilang parah. Hal itu terbukti ketika suatu kali dia menemukan bercak darah di seprai tempat tidur ibunya. Dia ingin segera tahu penyakit yang bersarang di tubuh ibunya. Dia juga ingin segera mengobatinya sebelum terlambat.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara telepon genggamnya berdering. Dia lekas merogohnya dari saku. Melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal. Dia menerima panggilan itu. Suara perempuan di seberang mengabarkan sesuatu kepadanya. Matanya langsung berkaca-kaca. Dia tak pernah berhenti mengucap syukur kepada Tuhan dalam hatinya. Setelah melalui pangilan tes wawancara, akhirnya dia diterima bekerja.

Sebelum berangkat di hari pertamanya bekerja, dia mematut sejenak di depan cermin. Betapa wajahnya dipenuhi riasan. Seragam bekerjanya terasa terlalu ketat dan minim. Sesungguhnya dia enggan mengenakannya. Hanya saja ini satu-satunya kesempatan baginya untuk mendapatkan uang. Demi menjemput kesembuhan untuk ibunya. Dia pun segera melangkah keluar rumah. Di tengah jalan, dia melihat seorang lelaki berwajah cerah. Sungguh jengah dirinya berpapasan dengan lelaki itu. Dia merasa bersalah gara-gara berpakaian terbuka di hadapannya. Tatkala hampir berpapasan dia tersenyum ringkas, namun lelaki itu mengabaikan senyumannya dengan berpaling muka. Gadis itu pun membatin dalam dada, “Tuhan, ampunilah hamba....”

 

***

 

Dia terus melangkah di sisi kiri jalan. Debu-debu melayap di udara. Suara mesin kendaraan yang berseliweran memekakkan telinganya. Cahaya matahari masih terik memancar. Untung saja angin terus bersemilir menggoyangkan dahan-dahan pohon yang tumbuh di sekitarnya. Baju kurungnya ikut melayang-layang disentuh angin. Suara azan sebentar lagi usai. Dia sedikit mempercepat laju langkahnya. Sesekali dia melirik ke kanan dan kiri. Sekonyong-konyong matanya menangkap sebuah kedai yang letaknya tak jauh dari masjid. Langkah kakinya sontak berhenti. Dipandanginya seorang lelaki paruh baya yang tengah duduk di kedai itu. Di mejanya terletak sebotol bir. Lelaki itu tengah asyik merokok. Dia embuskan asap dari dalam mulutnya sehingga mengepul di udara. Hatinya kembali berkata-kata. Sungguh hidup lelaki paruh baya itu sia-sia. Dia menghabiskan masa dengan hanya berbuat dosa. Lelaki itu sangat tak menghargai kebaikan Tuhan. Dia rela menghancurkan tubuhnya secara perlahan-lahan. Andaikan saja tubuhnya dia gunakan untuk beribadah, pastilah kehidupannya lebih bermakna. Apakah dia tak mengasihi tubuhnya sendiri? Apakah dia tak pernah berpikir untuk memakai nikmat-Nya dengan melakukan kebaikan? Entah apa yang ada di dalam otak lelaki itu. Dia pasti sangat dinantikan merah saga api neraka.

Saat dia melihat lelaki paruh baya di seberang sana menoleh ke arahnya, dia kembali melangkah. Debu-debu masih melayap di udara. Sembari berjalan kembali, ada sebuah ujaran yang menyelusup ke dalam batinnya.

“Lelaki itu benar-benar pendosa....”

 

***

 

Lelaki dengan rambut panjang bergelombang itu terserang candu. Itulah yang menggerakkan kakinya menuju tempat tongkrongannya. Dibanjuri cahaya panas mentari dia gegas berjalan dengan pasti. Sesampainya di sana, dia duduk di sebuah meja yang letaknya tak begitu jauh dengan aspal. Dia memesan sebotol minuman keras dengan merek yang sama seperti biasanya. Seorang perempuan dengan dandanan sundal mengantarkan pesanannya. Dia menuangkan minuman itu hingga memenuhi setengah gelas. Dia tenggak minuman itu hingga tandas. Tak lama, dia mengambil sebatang rokok dari sebuah kotak yang tersimpan di saku kemejanya. Dia menyulut ujung rokok itu hingga menyala. Asap pun mulai melayang-layang di udara. Segalanya terasa nikmat, namun ada sesuatu yang tak terjamah. Sesuatu yang tak pernah dia reguk meskipun telah menandaskan berpuluh-puluh botol minuman keras. Berbungkus-bungkus lintingan rokok. Entah apa itu. Dia sendiri tak tahu. Pokoknya, tetap saja ada sesuatu yang kurang. Di tengah lamunannya, sekonyong-konyong suara azan berkumandang. Dia menoleh ke arah menara masjid yang letaknya tak jauh dari tempatnya berada. Dia terpaku. Suara azan itu di telinganya terdengar sungguh merdu. Hatinya sontak melunak. Merasakan sesuatu yang telah lama beku kini mencari dalam dadanya. Dia teringat dengan seorang perempuan tua yang kerap menyuruhnya bersembahyang ketika kecil dulu. Dia selalu mengindahkan permintaan perempuan tua itu. Perempuan itu adalah kedamaiannya sejak kecil hingga remaja. Sampai suatu ketika, perempuan tua itu pergi dari kehidupannya untuk selama-lamanya. Semenjak itulah dia mencari kedamian di dalam lautan minuman keras.

Dia menoleh ke seberang jalan. Dia menangkap sosok lelaki berpakaian serba putih tengah lekat memandanginya. Sungguh mulia lelaki itu, batinnya. Dia berandai-andai menjadi taat seperti lelaki itu. Dia mengembangkan senyum kepada lelaki itu, namun dia berpaling muka. Dalam batin dia bermunajat, “Tuhan, ampunilah dosa-dosa hamba....”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi