Disukai
1
Dilihat
1,388
BOSS TO SCHOOL
Romantis

Pernahkah kalian mendapati bos yang absurd-nya luar biasaa, udah gitu nggak nyangka bakal satu... SEKOLAH?

Bayangin, satu sekolah! Gila, nggak?! Lilan aja sampai pengen request kamar RSJ terdekat cuma buat jauh-jauh dari kelakuan random bosnya. Tapi tunggu deh, buat apa sih bos Arion pergi ke sekolah Lilan?

•••

Namanya Lilan Mayangluna, gadis 18 tahun yang duduk di bangku SMA, kehidupannya super duper sibuk dengan ia memegang dua peranan penting di dua tempat berbeda:

Satu, pelajar SMA.

Dua, sekretaris di N-TECH, Nusantara Tech.

Oke, ini bukan magang. Kelas akhir kayak Lilan nggak mungkin dapet kegiatan magang di tempat bergengsi semacam N-TECH, kecuali kalau dia memang punya chemistry sama bos sendiri.

Ew, bahkan Lilan sendiri geli mendengar kalimat chemistry sama bos sendiri. Karena—argh, apaan?! Nggak ada untungnya chemistry-in bos sendiri, yang ada Lilan misuh-misuh, dosanya makin banyak.

Oh iya, omong-omong, N-TECH adalah institut teknologi yang baru-baru ini disebut perusahaan baru yang cukup pesat perkembangannya. Kalau kalian pernah mendengar tentang ICON+, anak perusahaan dari PLN, yang mana menguasai bidang jaringan internet di tahun 2000-an, sekarang ada versi upgrade-nya—begitulah Lilan menyebut.

Dua potong roti panggang tersentak dari panggangan bersamaan suara ting! yang menandakan kematangan roti-roti tersebut telah mencapai level sempurna. Lilan meraihnya, kemudian mengolesi satu sisi dari masing-masing potongan dengan selai cokelat kacang kesukaannya. Hari ini ia tidak bisa masak sarapan pagi, maka dari itu sandwich menjadi jalan ninjanya.

Udah kayak orang Eropa aja, Lilan menggerutu dalam hati. Meski begitu, ia tetap telaten mengolesi rotinya dengan selai. Karena setengah jam lagi ia harus sampai di kantor pusat N-TECH untuk absen, kemudian pergi ke sekolah sebelum jam tujuh pas. Sesuatu yang merupakan makanann sehari-hari buat Lilan.

Menjadi sekretaris N-TECH tidaklah mudah, apalagi ia harus menuntaskan perannya sebagai pelajar.

Ini tahun 2050, heii. Jangan bercanda. Kalian kurang cekatan mengambil keputusan saja, semuanya akan berantakan. Peradaban ini lebih ketat dan disiplin daripada peradaban sebelumnya.

Lilan yang baru saja memotong roti menyamping hingga memperoleh bentuk segitiga, menoleh ke arah pigura mini yang mencakup fotonya bersama Sang Bunda. Senyum tipis terulas di bibirnya.

"Pagi, Bunda," sapanya ceria, "Lilan bakal berjuang lebih keras kayak yang Bunda pengin. Bunda tunggu hasil dari Lilan ya?"

Gadis itu tinggal seorang diri. Jauh dari keluarga besar, baik keluarga ibu maupun ayahnya. Hanya rumah ini yang ia punya, sebagai satu-satunya peninggalan sang Bunda yang selalu ia rawat.

Lilan mengapit sandwich selainya diantara dua bibir. Lantas memakai jas kantornya dan mengalungkan tali ransel pada bahu. Seraya bergegas, Lilan menghampiri dulu pigura ibunya. Mendaratkan satu kecupan pada permukaan kacanya.

"I love u," Kemudian menghilang dari balik pintu usai memakai pantofel cepat-cepat.

—BOSS TO SCHOOL—

"Kamu terlambat,"

"Ya enggak lah, Pak! Orang cuma lebih dua detik aja!"

"Tetep terlambat,"

"Pak?!"

"Sekretaris macam apa kamu?"

Napas Lilan menggebu. Ia sudah kehabisan ide menghadapi bosnya yang menatap gadis itu congkak, "Macam-macam!" pelototnya garang, "Pak, plis lah jangan bercanda! Masa dua detik aja kehitung terlambat?!"

"Rules are rules, princess. Don't you think N-TECH will forgive your mistake?"

Lilan memutar bola matanya malas, "Okeh, okeh!" Kedua tangannya terangkat ke udara, pertanda ia sudah menyerah berdebat argumen, "saya siap push up 20 kali."

Arion menyeringai tipis, "Siapa yang suruh kamu push up?"

"Bapak maunya apa, sih?!"

"Led me to Internusa," Arion memutuskan. Matanya menatap serius dengan kedua tangan bersedekap di depan dada, "ini bentuk kompensasi punishment kamu."

Yang mana kalimat tersebut sukses memicu keterkejutan Lilan. Gadis itu, bimbang antara ingin menyergah atau menyanggupi cepat-cepat permintaan Arion supaya punishment-nya tidak diganti.

"Internusa?!"

"Yang sopan kamu sama bos sendiri,"

Hell. Bagaimana Lilan tidak ngegas mendengar sebuah tempat yang baru saja disebutkan Arion merupakan... SEKOLAHNYA. Iya, sekolahnya! Internusa High School adalah sekolah internasional yang dikelola sendiri oleh Presiden Indonesia 2050, Jerome Agashoka. Sekolah bergengsi yang menyatukan sistem pendidikan SMA dan SMK. Sekolah ini mengutamakan pendidikan keteknologian. Itu artinya, diwajibkan bagi setiap siswa untuk mampu menguasai komputer.

Tapi, sungguh. Lilan seterkejut itu. Untuk apa Arion memintanya mengantar dia ke Internusa, sementara Lilan terikat aturan yang menegaskan bahwa setiap ada Arion, ia harus menjalankan perannya sepenuh hati sebagai seorang sekretaris. Itu artinya, Lilan tidak bisa bersekolah karena Arion ikut dengannya.

"Ya saya nggak bisa masuk kelas, dong?" protes Lilan.

"Siapa yang bilang?"

Hih, Lilan menggerutu lagi dalam hati, "Kan ada peraturannya, Bapakeeee. Aturan pertama, sekretaris harus mendampingi bos kemanapun bos pergi. Aturan kedua—"

"Peraturan berlaku di mana?"

Lilan mengernyit bingung mendapati pertanyaan itu.

"Di... N-TECH?"

"Nanti kita mau ke mana?"

"Ya Internusa, lah!"

"Jadi, peraturan N-TECH berlaku disana, nggak?"

"...."

"Daripada buang waktu, lebih baik kita bergegas. Rapiin ekspresimu. Jangan kayak anak kecil kena damage KDRT."

Begitulah. Sampai sepanjang perjalanan Lilan masih menggebu emosinya di dada. Ia cukup senang bekerja di N-TECH untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi ia cukup jengkel juga setiap hari harus berhadapan dengan bos menyebalkan seperti Shakarion Pratama.

Mukanya sih iya, tampan, mapan, berwibawa. Tapi Lilan sering bertanya-tanya dalam hati, apakah orang-orang terdekat Arion tidak pernah mengalami sefrustasi apa menghadapi sifat asli Arion.

Gadis itu menempelkan pipi bosan ke kaca jendela mobil. Bete. Itulah yang Lilan rasakan. Harus semobil dengan Arion, mana mobilnya kejebak macet pula! Astaga....

Ya, meski Lilan sudah izin ke wali kelas dan guru pengampu mata pelajaran dan memberitahukan bahwa ia akan terlambat karena ada urusan, tetap saja Lilan merasa resah. Tahu, tidak? Hari ini akan diadakan ulangan Desain Komunikasi Visual, mata pelajaran kesukaan Lilan. Bisa rasakan sekecewa apa Lilan meninggalkan ulangan tersebut hanya karena ajakan Arion? Lilan pikir, ia hanya perlu datang ke kantor pusat untuk absen kemudian melenggang pergi ke sekolah.

Sudah. Seperti itu saja.

Tapi, ya, kenyataan mengalahkan ekspektasi.

Internusa.

Lilan meloloskan satu tarikan napas keras-keras. Berhasil menarik lirikan Arion yang atensinya tersita dari Tablet. Tampaknya Arion sedang mengerjakan sesuatu, biasanya, sih, memeriksa pencapaian yang didapat perusahaan selama satu bulan ini. Apapun itu, Lilan bodoamat. Ia badmood. Kalau Lilan badmood, orang penting seperti Arion bisa saja kena imbasnya.

Dan entah kenapa Arion biasa-biasa saja dengan sikap Lilan yang bisa terbilang sangat tidak sopan.

Kembali ke Lilan, gadis itu overthinking. Semester ini ia sudah banyak izin, yang mana itu berpengaruh terhadap eksistensinya di kelas akhir. Nilai sikap diperhitungkan juga lewat banyaknya absen. Lilan sekhawatir itu. Masuk ke Internusa adalah impian Bundanya. Harapan Sang Bunda bertumpu pada pundak Lilan, menjadi beban yang ia pikul sehari-hari. Lalu, masuk N-TECH sendiri adalah keinginannya. Dulu, Lilan berpikir masuk N-TECH bisa mengimplementasikan peribahasa "sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui".

Dengan masuk N-TECH, ia bisa mencukupi finansial sekaligus mendapatkan ilmu maupun bekal keahlian dari pekerjaannya. Internusa dan N-TECH sama-sama insitusi yang menyangkut dunia teknologi. Lilan tidak mau ketinggalan zaman begitu saja. Ia yang merasa masih kurang pengrtahuan seputar teknologi kala masuk Internusa, melihat peluang adanya lowongan pekerjaan di N-TECH. Tadinya, Lilan mengira akan sulit mendapatkan pekerjaan itu, namun nyatanya ia benar-benar diterima!

Sumringah tulus yang menghias wajah Lilan kian hari kian pudar setelah mengenal karakter asli si bos. Arion. Pertama kali Lilan mengenalnya, Arion kelihatan seperti bos kalem yang memang dasarnya cuek. Tapi makin hari... Hahhh.

"Kita sampai,"

Biocar yang dua orang itu tumpangi masuk dengan mulus ke dalam pintu gerbang Internusa. Pintunya langsung menggeser terbuka usai Arion men-scan tanda pengenalnya. Beruntung tidak ada siswa yang berlalu-lalang. Jika ada, kedatangan biocar N-TECH akan membuat heboh.

"Still set as auto-drive and please take me back around 4 PM," titah Arion pada biocar-nya. Lilan terkejut mendengar itu.

"Kok jam 4 sore, Pak?!" Tambahlah derita Lilan, ia tidak akan bisa istirahat bila berurusan dengan Arion.

Mendengar protesan sang sekretaris, Arion mendengus kecil, "Udah, ikuti aja yang saya mau," Lalu membukakan pintu untuk Lilan. Gadis itu merengut bete seraya keluar dari mobil.

Produk-produk keluaran N-TECH memang tiada duanya. Semuanya berbau teknologi dan referensi masa depan. Sejauh ini, N-TECH mendominasi pasar saham baik nasional maupun internasional. 2050 menjadi tahun gemilang bagi peradaban manusia dengan adanya N-TECH. Biocar adalah contoh kecilnya. Iya, KECIL. Soalnya masih banyak lagi produk-produk fantastis yang mampu membungkam dunia.

"Kan saya udah nganterin Bapak ke Internusa, nih. Saya harus—"

"Iya, ke kelas aja. Sana, urusan saya banyak,"

Lilan cengo mendengar respon itu.

"Bapak marah sama saya, kah?"

"Enggak. Siapa yang bilang gitu?"

"Loh, tapi saya kan—"

"Saya cuma minta kamu bawa saya ke Internusa, bukan buat nemenin sepanjang waktu."

"Tapi tadi bilang jam 4 sore—!"

"Buat urusan saya. Bukan urusan kamu."

Lagi, Lilan greget dengan tingkah atasannya. Namun mendengar Arion menegaskan setiap jawabannya tadi, Lilan tidak bisa berkata-kata. Arion mau menyelesaikan urusannya sendiri tanpa Lilan. Membebaskan Lilan dari perannya sebagai asisten pribadi Arion sekaligus mempersilakan gadis itu menjalankan tugas sebagai pelajar.

—BOSS TO SCHOOL—

"Kamu itu kelas 12, harusnya sadar tugas dan tanggung jawab kamu ngga bisa dicampuri sama urusan luar. Ngerti, nggak?"

Meski sudah izin kepada guru pengampu mapel, tetap saja Lilan harus menerima segala ceramahan yang keluar dari mulut pria berusia 30 tahunan yang merupakan Guru Desain Komunikasi Visual. Lilan menunduk, tidak mampu berbicara atau menyangkal apa yang dikatakan guru tersebut.

"Kalo kamu absen terus kayak gini, beasiswamu bisa dicabut sama sekolah, Lan. Sudah terhitung 10 kali lebih kamu absen di mata pelajaran saya. Sama aja kamu bermasalah di salah satu mata pelajaran," Pak Erwin menyandarkan punggung di kursinya, melepas kacamata yang bertengger pada pangkal hidungnya, "ada apa ini? Kenapa setiap mata pelajaran saya, kamu selalu absen?"

Lilan menggigit bibir. Bimbang. Ia mempertimbangkan apakah baik ia membeberkan perihal izinnya itu. Di sekolah ini, tidak ada yang tahu tentang Lilan yang bekerja sebagai sekretaris N-TECH. Kalau Lilan beberkan, bisa-bisa ia hanya akan mendapat cemooh dan gelak ejek. Mustahil bisa mendapatkan pekerjaan di N-TECH. Fresh graduate pun belum tentu, apalagi siswa biasa seperti Lilan. Tidak akan ada yang percaya gadis itu mendapat posisinya secepat meraup air untuk minum.

"Saya minta maaf," ucapan itu terasa pahit di mulutnya.

Pak Erwin menghela napas, selembar kertas ia tempatkan di hadapan Lilan, "Suruh wali atau kerabat kamu untuk tanda tangan disini," Ia menambahkan, "itu surat perjanjian antara kamu dan saya. Janji bahwa kamu akan selalu hadir. Kalau tidak, kamu saya nyatakan bermasalah."

Lilan speechless. Tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Ia tatap kertas bertuliskan surat perjanjian itu. Kalau sampai ia dinyatakan siswa bermasalah dan di kemudian hari dikeluarkan, maka... impiannya dan impian Sang Bunda akan pupus. Bundanya dulu sangat memimpikan cita-cita menjadi desainer grafis ternama.

Lilan dan Bundanya memiliki kesukaan yang sama, yaitu menekuni keahlian DKV.

"Emangnya kenapa kalo turun nilai?"

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Kirana, teman sebangku sekaligus sahabat masa SMP. Mereka berdua sedang di rooftop saat ini, menghabiskan dua kaleng soda yang mereka beli dengan merk yang sama beserta berbungkus-bungkus jajanan yang beberapa diantaranya sudah bercecer di sekitar.

"Ya gue nggak punya kesempatan buat dapetin beasiswa scholarship, lah!" dengus Lilan, "beasiswa itu kesempatan gue."

Kirana manggut-manggut pelan, tampaknya memahami kondisi mood down-nya Lilan.

"Lo kan pinter. Kenapa harus permasalahin beasiswa? Mau lo cuma nyelesaiin aljabar aja lo udah dianggap jenius," celetuk Kirana, "beasiswa nggak cuma didapet dari sekolah itu sendiri. Lo bisa cari beasiswa di luar sekolah. Djarum, contohnya."

"Lagian, kenapa sih lo tiap jam 7 sampe jam 9 harus izin?" Kirana mempertanyakan yang mengganjal di hatinya selama ini, "dulu pas Guru Konseling minta kita nulis goals dan 'what should I do next', lo bilang pengin banget jadi desainer grafis, dan yang mau lo lakuin itu kudu hadir di mapel DKV. Lo itu nekat, tau nggak? Udah tau DKV mapel peminatan bergengsi, butuh biaya banyak pula."

Ah, masa-masa itu ya. Lilan murung, diingatkan hal seperti itu membuat dirinya kedapatan buncahan rasa bersalah. DKV adalah impiannya. Batu loncatan menuju cita-citanya. Hari itu ia sudah berjanji kepada diri sendiri dan juga di hadapan semua orang yang hadir di kelas Konseling. Tapi hari ini...

"Gue mau ke kelas," Lilan beranjak, hal itu memacu kebingungan Kirana.

"Loh? Mau balik sekarang?"

"Bentar lagi bel,"

Lilan butuh waktu sendiri. Jujur, ia tak mau setega itu mengabaikan Kirana, namun hati kecilnya membutuhkan recovery. Dan Kirana yang tampak memahami suasana hati sang sahabat, membiarkan cewek itu pergi sendirian ke kelas.

"Tahu, tidak? Melamun saat jalan kaki mempercepat setan merasuki tubuhmu,"

"?!"

"Nggak usah kaget gitu, kamu udah ketemu saya tiap hari,"

"YA BAPAK MUNCUL GITU AJA KAYAK SETAN?!"

Lilan emosi. Demi Tuhan. Ia baru saja sampai di pintu kelas, disambut oleh hal tak terduga yang rupanya Arion yang tengah menatapnya santai, duduk di kursi terdepan. Beruntung saat itu kelas maupun koridor sedang sepi. Murid-murid masih sibuk berada di kantin maupun menonton beberapa cowok main basket.

"Ssstt, kamu tuh emang kebiasaan ngegas di mana-mana, ya?"

"Kenapa Bapak di kelas Lilan?!"

"Lan—"

"Wah, Lilan gak mau ya! Masa hidup Lilan se-dramatis novel-novel wattpad?!"

"Lilan—"

"Ini nggak lucu, Pak! Kalo Bapak suka cerita wattpad jangan terapin ke Lilan, dong! Ke cewek lain aja, Lilan nggak mau chemistry sama bos sendiri!"

Arion berdecak jengah. Tangannya bergerak cepat menyentil kening cewek itu.

"Ngawur," komentar Arion. Melipat kedua tangannya di depan dada, "denger. Saya kesini buat urusan penting."

"Kalo penting terus kenapa Bapak di kelas say—"

"Saya udah satu semester nggak masuk sekolah,"

"WHAT?!!"

"Kamu teriak sekali lagi saya pecat dari perusahaan,"

"...."

"Omong-omong, kamu habis dari mana?"

"...."

"Saya tanya sama kamu, loh. Bukan sama angin."

"Jadi, Bapak itu anak yang pernah dibicarain satu kelas..."

"Oiya, kalo di sekolah panggil Arion aja, jangan pake Bapak. Kesannya ambigu," Arion menyela setelah ingat apa yang ingin ia peringatkan kepada Lilan, "dan ya, saya vakum. Cuma wali kelas yang tau alasan saya vakum itu buat ngelola perusahaan."

"Bapak umurnya berapa, deh?"

"19, saya nunggak."

"HAH?!"

"Saya lebih suka kerja daripada sekolah,"

Lilan membisu. Ia masih blank menghadapi kenyataan yang ada. Arion rupanya sekelas dengannya. Tapi... urusan vakum untuk mengelola perusahaan adalah sesuatu yang sulit dicerna oleh otak Lilan.

Apa Arion dulu se-berpengaruh itu di sini sampai-sampai sekolah mengizinkannya vakum?

Atau karena alasan lain?

Lalu, tanpa sadar Lilan menepak permukaan meja.

"JADI YANG BAPAK BILANG JAM 4 ITU KARENA SEKOLAH??"

"Ya iya, emang kamu kira apa?"

Lilan kesal. Sungguh, ia masih tak percaya pada kenyataan yang disuguhkan di depannya.

"Sebenernya Bapak beneran sekolah, nggak sih? Lilan nggak percaya deh!"

Arion menghela napas sabar, "Iya, bener. Saya sekolah. Masih status pelajar, mau liat KTP saya?"

"Tapi kok bisa sambil ngelola perusahaan??"

"Kamu nanya?"

"PAKKKKK SAYA SERIUS"

"Arion, jangan Bapak."

Demikian satu hari penuh misuh-misuh Lilan jalankan sepenuh hati. Gadis itu masih kurang puas dengan jawaban Arion. Hei, kalau kalian jadi Lilan, bagaimana reaksi kalian mengetahui bos kalian yang menjengkelkan bisa satu sekolah dengan kalian? Bukankah itu mencurigakan?

"Lo kenal sama cowok nunggak itu?"

Lilan mengedikkan bahu menanggapi Kirana yang berdiri di sisi mejanya. Ini sudah pukul empat tepat. Bel pulang baru saja berbunyi. Satu per satu temannya meninggalkan ruangan. Lilan sendiri masih malas mengangkat pantat dari kursi, alias mager.

"Mana gue tau" acuhnya.

Kirana memberengut, "Tapi kok gue liat dia curi-curi pandang ke arah lo mulu? Gue pikir dia kenal lo,"

Fuck u, Stupid Boss. jengkel Lilan dalam hati, "Nggak tau deh, iseng kali dia," Lilan menjawab asal.

Kirana memilih diam karena ia merasa mood Lilan masih belum sepenuhnya pulih. Akhirnya, gadis berambut pendek itu manggut-manggut. Tangannya menepuk bahu Lilan, "Gue pulang duluan ya?" Ia tersenyum, "nanti kalo lo kesusahan ngerjain tugas DKV, telepon gue aja. Okeyy?"

Dan hanya Lilan tanggapi dengan acungan jempol. Mood-nya semakin memburuk, serius. Tugas-tugas Pak Erwin banyak ia tinggalkan. Materinya pun sudah ketinggalan jauh. Lilan mendengus malas. Jidatnya dibenturkan pelan ke meja, dengan tangan menggantung lunglai di tepi meja. Yang mana hal itu menarik perhatian Arion yang sibuk berbenah di bangkunya.

"Saya tau Bapak lagi liatin saya dari tadi. Bapak mau ngetawain utang tugas saya yang numpuk kayak dosa, kan?" Tiba-tiba Lilan berbicara, "saya bukan Bapak yang punya privilege VIP di sekolah ini. Kalo saya punya, sih, saya bakal milih kerja aja di N-TECH daripada sekolah."

"Saya nggak ketawa,"

"...."

"Daripada galau kayak gitu, lebih baik kamu ikut saya ke N-TECH,"

"Nginep?"

"Iya,"

"Pak, saya lagi ga mood bercanda loh,"

"Yang bilang omongan saya candaan siapa? Masih inget posisi kamu di N-TECH?"

Arion sengaja mempergunakan stratifikasi jabatan mereka untuk menyeret paksa Lilan kembali ke N-TECH. Bagaimanapun, di dalam prosedur perusahaan, tugas Lilan sebagai sekretaris aktif kapanpun Arion minta cewek itu untuk bertugas. Entah itu pagi, sore, maupun malam. Maka, mau tak mau, Lilan bangkit mengerjakan titah Arion.

"Ada rapat sampe pagi kah, Pak?"

"Enggak ada," Arion mengarahkan mobilnya ke area basement N-TECH yang dominan temaram. Mesin mobil dimatikan. Ia lirik sekilas jam digital yang terpampang di sebelah dashboard mobil, "saya cuma mau kamu bantu saya ngerjain sesuatu. Deadline-nya dua hari lagi."

"Jadi, kita lembur?"

"Bisa dibilang, iya,"

Mereka berdua sudah keluar dari mobil. Berjalan bersama menuju pintu dasar yang di dalamnya hanya ada dua lift yang membawa pengunjungnya naik ke lantai tujuan. Arion menekan tombol yang akan membawa mereka ke lantai empat, tempat di mana ruangan pribadi Arion berada.

"Project kayak apa?" Lilan menyuarakan rasa penasarannya, "produk baru? Kalo produk baru, bukannya harus bikin proposal, desain, dan prototype nya dulu? Masa deadline cuma dua hari? Customer dari mana, tuh?"

Arion menggeleng, "Saya cuma pengen rancang desain produknya. Konsep, paham? Proposal dan lain-lain belakangan. Yang penting ide dan konsepnya dulu. Sekali-kali melenceng dari prosedur perusahaan gapapa lah,"

"Saya diminta nyari referensi desainnya, Pak?"

"Nggak. Kita kerja bareng. Nggak ada pembagian tugas,"

Lilan merengut tak mengerti. Tidak biasanya Arion menurunkan tugas seperti ini. Biasanya, Arion akan membentuk sekelompok orang dengan kualitas tertentu, yang akan bekerja membangun desain dan rancangan produk N-TECH. Tapi kali ini berbeda. Produk ini hanya akan dikerjakan oleh dua orang, yakni Arion dan Lilan.

"Tumben nggak pake tim, Pak?"

"We're team,"

"Maksud Lilan—"

"Kamu tinggal ikut desain aja apa susahnya sih?"

"Iya iyaaa, siap pak bos!"

Lilan tanpa bawel itu... kayaknya bukan Lilan. Perdebatan argumen mereka berhenti dengan Arion yang tak lagi menanggapi suara Lilan. Mereka berdua memasuki ruangan pribadi Arion. Sang direktur N-TECH meminta Lilan beristirahat dulu selama 15 menit. Sementara dirinya menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk merancang desain.

Lilan meraih sebungkus camilan keripik dari dalam tasnya, sisa jajan tadi bersama Kirana. Seraya menyuapkan sekeping demi sekeping keripik asin ke dalam mulut, Lilan mengacak-acak isi laci tempat meja kerjanya berada. Mencari-cari kemungkinan rancangan desain yang akan mereka buat. Lilan pernah iseng membuat beberapa sketsa produk teknologi N-TECH, baik sketsa manual maupun digital—di Tablet perusahaannya. Sesekali ia berkhayal bahwa hasil sketsanya akan diklaim oleh Arion sebagai desain tetap suatu produk. Namun, karena di N-TECH posisinya sebagai sekretaris, Lilan jadi tidak bisa menunjukkan sisi bakatnya. Ia akan lebih sering mengatur jadwal Arion dan melayani laki-laki itu di forum kerja.

"Lan, sini,"

Arion melambai. Cowok itu sudah berada di meja dengan tiga komputer menguasai meja. Lilan dengan sigap beranjak, memenuhi permintaan Arion untuk menghampirinya. Lilan tidak bisa untuk tidak terperangah melihat apa yang Arion tunjukkan padanya.

"Udah lama saya arsip desain ini. No, sebenernya ini desain udah lama ngarat di file-file perusahaan," Arion menjelaskan tanpa Lilan minta, tahu bahwa gadis itu punya sejuta pertanyaan, "dan saya butuh kamu untuk menyempurnakan desain ini."

Lilan menutup mulutnya tak percaya, "S-Serius, Pak?! T-Tapi desain ini terlalu—"

"Sebenernya, selama kamu jadi sekretaris, saya selalu memantau kamu. Kalau nggak ada panggilan dari saya, kamu selalu iseng desain ntah di kertas atau di N-SKETCH," Arion memutar kursi kerjanya hingga menghadap Lilan. Di tangan dia, terdapat tiga lembar kertas menampakkan visualisasi berbeda-beda, "ini desain-desain kamu yang kamu kirim enam bulan lalu saat mendaftar sini, ingat? Saya sengaja nolak, dengan alasan standar desain yang dibutuhkan terlampau tinggi. Padahal, perlu saya akui, bakat desain kamu bisa melampaui bakat tim desainer grafis di perusahaan ini."

"T-Tapi kenapa Bapak nolak karya saya?"

Arion, tanpa ia sadari, mengulas senyum tulus, "Karena saya mau nguji. Saya biarin para desainer mengeksploitasi bakat mereka pada tugas yang saya biarkan sambil saya bandingkan desain-desain mereka dengan punya kamu," Ia agak mencondongkan tubuh, "lagipula, sebenarnya saya emang lagi butuh sekretaris. Jadi, ya.. Desain kamu saya simpen aja. Kan saya cuma butuh kamu sebagai sekretaris, bukan desainer grafis."

Lilan tidak bisa berkata-kata lagi.

"Kamu tahu kenapa saya sengaja minta kamu absen pagi-pagi banget, sampe kamu harus rela minta dispensasi ke sekolah?"

"Karena saya sekretaris Bapak?"

Arion menggeleng, "Totally wrong," Ia beralih pada komputer tengah. Menggeser kursor untuk mengeklik tab yang menampilkan grafik dan tabel kinerja karyawan N-TECH.

"Karena saya nggak mau jadiin kamu lulusan berprodigi Desainer Komunikasi Visual Internusa,"

Jawaban itu sukses membungkam rapat-rapat mulut Lilan.

"Dengar, Lilan, ini bukan bualan atau akal-akalan saya. Ini kenyataan. Saya sama sekali tidak memercayai lulusan yang mempelajari artistik dan visualisasi digital," Arion menggeleng tegas, "kenapa? Karena lulus hanyalah predikat. Yang saya dan N-TECH butuhkan adalah kualitas. Meski dinyatakan lulus dan berlabel terbaik, bukan berarti dalam praktik lapangannya ia akan menjadi yang terbaik. Sampai disini, paham maksud saya?"

"Bapak sengaja bikin Lilan nggak ngikutin pelajaran DKV?"

"Betul. Sejak saya tahu kamu memiliki bakat yang dibutuhkan perusahaan ini lebih dari peran sekretaris dan telah saya lacak track record kamu, saya memutuskan untuk menjadwalkan kamu absen pagi. Untuk menghindar dari pembelajaran DKV di sekolah kamu. Saya benar-benar minta maaf bila saya telah menghalangi perjalanan akademikmu, tapi—"

"Jadi, meski saya nanti dikatakan bermasalah di mapel tersebut atau kemungkinan terburuknya, saya akan dikeluarkan, saya masih bisa meraih impian saya untuk menjadi desainer grafis?" Lilan membelalak, menyimpulkan apa yang dijelaskan bosnya. Kepalanya menggeleng-geleng. Pertanda ia masih belum memercayai fakta di hadapannya, "perusahaan ini terlalu gila."

"Yah, harusnya kamu bersyukur. Saya memilih merubah segala prosedur perekrutan karyawan semenjak saya diangkat menjadi Presiden Direktur. Saya pikir, lulus saja tidak cukup untuk memenuhi syarat. Makanya, saya butuh bukti-bukti kualitas calon karyawan, apakah pantas mereka bekerja mendorong perkembangan perusahaan ini. Dan kalau kamu mau tahu, saya sudah memecat lebih dari 200 karyawan yang tidak kompeten,"

Dua ratus karyawan. GILA! Lilan nyaris jantungan mendengar ini.

"Saya bicara ini bukan buat ngompor-ngomporin kamu bolos sekolah, ya. Saya cuma bilang kenyataan. Ketua bidang Desain Komunikasi Visual Internusa sekarang ini jauh lebih mementingkan nilai dan predikat kompeten yang diukir di selembar kertas kaku daripada implementasi bakatnya. Saya nggak suka itu. Makanya, jalan licik saya buat rekrut karyawan ya... dengan melihat potensi kamu,"

Hari ini hari apa, sih? Senin? Lilan tidak yakin apakah Tuhan sengaja membuat hari ini terasa lebih berwarna daripada hari-hari lainnya. Mendengar semua eksplanasi Arion yang mengapresiasi bakat sembunyi-sembunyinya is another level of happiness. Tanpa Lilan sadari, Arion memantaunya. Arion yang tahu Lilan punya bakat terpendam, langsung saja memanggil gadis itu di waktu yang bertepatan dengan ia yang hendak merancang produk baru.

Kali ini, Arion berniat merancangnya tanpa bantuan tim desainer grafis yang biasa. Ia lebih butuh potensi Lilan.

"Gimana, Lilan? Ready for the new project? I wanna see a lot of your ability," Arion mengulurkan tangan, "kamu nggak harus sekolah buat capai kejayaan kamu. Potensimu-lah yang harus kamu kejar terus, Lan. Ayo, tunjukin kalo kamu bisa jadi desainer terbaik lewat project ini."

Lilan tidak tahu lagi harus bagaimana ia berterima kasih kepada Arion. Detik ini, hari ini, adalah saat-saat di mana Lilan dapat merasakan arti bersyukur.

Arion adalah orang pertama yang berhasil membawanya keluar mengejar cahaya kemenangan.

Waktu terus bergulir. Detik berselang. Menit berganti. Begitu pula jam dan hari. Project yang Arion ajukan ialah Meta-Realm, konsep dunia maya berbasis permainan hasil pengembangan VR Game di tahun 2000-an.

Konsep produk sudah ada sejak lama. Hanya saja, Arion membutuhkan orang yang tepat untuk mengembangkannya. Dan ia menemukan Lilan. Cewek remaja yang tak ia sangka-sangka memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Selama bekerja, Lilan-lah yang lebih banyak bicara dan mempresentasikan pemetaan pikirannya. Ia menjelaskan dengan penuh percaya diri prinsip kerja Meta-Realm. Sementara si bos hanya sesekali manggut-manggut dan mencatat poin penting celotehan sekretarisnya.

Hari demi hari mereka lalui dengan bekerjasama. Sekolah tentu tidak luput. Dan hal itu sering menimbulkan kecurigaan di antara teman-teman sekelas Lilan, yang mana beredar pula gosip kecil soal rumor pendekatan Lilan dengan si anak baru, Arion.

Senin lagi. Ah, rasanya baru Senin kemarin Lilan mendapat kabar gembira tentang pengakuan Arion terhadap bakatnya.

Senin ini, Lilan fix tidak masuk sekolah. Ia sudah nyaman mendesain-desain di N-TECH.

"Pak," interupsi Lilan. Ia sedang mengarahkan pixel-pixel di layar menyatu menjadi suatu bagian mirip sayap, "saya masih penasaran loh, kok Bapak tiba-tiba masuk sekolah? Ini beneran Bapak pernah vakum satu semester atau karena alasan lain?"

"Kamu bener-bener berpikir kayak gitu?"

"Berpikir gimana, Pak?"

"Tentang alasan lain,"

"Yaa abisnya, Bapak mencurigakan," Lilan merengut, "nggak ada manusia yang kayak Bapak, loh. Bisa multitasking kayak gitu—eh, multirole. Pertama, peran jadi CEO N-TECH; kedua, jadi anak SMA biasa."

"Bukannya kamu juga kayak gitu?"

"Tapi—"

"Saya punya urusan sama Pak Erwin," Arion meletakkan mug berisi cokelat panas di meja kerja sekretarisnya, "terkait DKV."

"Ada apa sama DKV?"

Arion menghela napas, menatap sekretarisnya yang memasang raut bertanya-tanya, "Perlu kamu tau, mempelajari ilmu DKV memerlukan biaya yang besar. Ini terkait penyewaan software untuk praktik," Ada jeda sejenak di kalimatnya, "sedangkan menurut peraturan sekolah yang tertulis, siswa tidak diperbolehkan dipungut biaya untuk urusan pembelajaran. Tapi, Pak Erwin itu... Dia nyalahgunain posisinya sebagai komite di sekolah. Kamu ikut ngerasain juga, kan? Selama kamu ngikutin pelajaran itu, kamu nggak jarang dimintai biaya."

Lilan terdiam. Dalam hati, ia sepakat akan kata-kata bosnya.

"Nah, kedatangan saya ke sekolah mau nuntut program kerja Pak Erwin. Kalau mau, saya pengin dia turun jabatan. Malu-maluin dunia pendidikan teknologi aja. Kenapa pula IHS ngebolehin pengurusnya pungli ke siswa?" Ini untuk pertama kalinya Lilan mendengar Arion mengomel, "saya tuh kasian liat lulusan-lulusan yang murni punya predikat baik, bukan modal ijazah doang, nggak keterima kerja gara-gara kehambat latar belakang ekonomi dan perhatian dari mentornya. Kecualikan 200 karyawan yang saya pecat, mereka mah, emang dasarnya lulusan kertas."

Lilan tertawa lepas. Arion mengernyit, mempertanyakan kenapa sekretarisnya tertawa tanpa alasan.

"Bapak diem-diem perhatian, ternyata," Lilan terkekeh geli, "bossy-nya top markotop! Berani banget tuntut Pak Erwin!"

"Kalo nggak saya tuntut, karakter-karakter kayak kamu di generasi mendatang susah saya cari buat perusahaan," Cowok itu menjauh sedikit, kembali ke meja kerjanya. Menghadap layar komputer yang menyala terang, "kamu nggak perlu khawatir kalau-kalau nanti beneran dicap bermasalah oleh sekolah. Selepas dari IHS, kamu cuma perlu lanjutin peranmu di N-TECH ini. Seenggaknya, perusahaan udah akui potensi kamu lewat ide Meta-Realm ini."

Dari Arion, Lilan meraih cahayanya. Dari Arion, ia bisa menggapai impiannya. Impian dia dan Sang Bunda, telah tercapai detik itu juga.

My stupid boss, bring me a spectacular hopes, Mom. tulis Lilan pada secarik kertas notes pada suatu sore yang membawa sang senja bersinar elok menyinari jagat. Beliau suka karya Lilan, suka muji desain-desain Lilan juga. Meta-Realm resmi diluncurkan esok. Lilan sama sekali nggak nyangka, apa yang Lilan kerjakan satu bulan lalu bisa mencapai hasil yang memuaskan.

Gadis itu tersenyum. Senyumnya kian lebar seiring wajah sang Presiden Direktur melintas di benaknya. Masa-masa ketika ia bekerja melayani Arion serta N-TECH; masa ketika ia mendapat pengakuan oleh bosnya; dan masa di saat ia mulai dekat oleh kegemilangan hidupnya.

"Lilan!"

Klakson mobil di halaman rumahnya berhasil menyita atensi gadis itu, bertepatan dengan seruan seorang laki-laki yang melongokkan kepalanya dari jendela mobil. Itu Arion dengan penampilan bossy-nya. Mereka berdua sudah janjian akan pergi ke suatu tempat untuk merayakan keberhasilan project Meta-Realm mereka. Semua jerih payah dan suka-duka mereka selama mengerjakan Meta-Realm, terbayar lunas dengan pencapaian yang melebihi ekspektasi.

Bunda, kalau Bunda izinin, boleh nggak, Lilan balas jasa Bos Arion dengan pengakuan perasaan Lilan?

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi