Disukai
52
Dilihat
1362
Ampun Tetangga
Drama

Aku Bianca Cantika usia 30 Tahun, statusku sudah menikah dan memiliki dua anak cewe dan cowo. Semula aku tinggal dirumah orang tua selama tiga tahun. Setelah adik bungsuku menikah aku pindah dikontrakan dekat rumah orang tua dan hampir lima tahun aku dan suamiku bernama Leon Wirahadi 33 Tahun, kami menabung untuk membeli rumah dikawasan komplek perumahan dan tipe rumahnya sesuai keuangan kami.

Hari H sudah tiba, terpampang jelas raut wajah sedih Ibuku saat aku berkemas merapikan barang-barangku.

“Ica Ibu pasti sepi nak, apalagi Ibu ini sudah terbiasa sama kedua cucu Ibu, nanti kangen berat," murung Ibuku sambil menimbang sih bontot Fira Wirahadi usia 2 Tahun.

“Ada Tio sama istrinya tinggal dirumah Ibu masa masih sepi. Ica sesekali pasti main kerumah Ibu. Ica ini ikut suami Ibu, ” jelasku.

“Iya deh Ibu paham tapi gimana kalau rumah kamu dijadiin investasi aja. Kita tingkatin rumah kita terus buatin kamar khusus buat keluarga kamu," seru Ibu.

“Ibu, gak enak sama mas Leon. Tio nikah, Ica aja langsung pindah ke kontrakan selama satu tahun. Ibu di dalam rumah gak boleh banyak kepala keluarga kental dengan masalah," jelasku.

“Tio belum punya anak jadi Ibu sepi," ucap Ibunya murung lagi.

“Insya Allah istri Tio bakal hamil, doain terus dong Ibu," balas ku bijak.

“Doa Ibu gak pernah putus buat kedua anak Ibu," ujar Ibu menatapku.

Diperjalanan menuju rumah kami, Leon tersenyum dan berbisik.

“Ada kejutan buat kamu yang," kata Leon.

“Apa?” tanyaku penasaran.

Dia diam sambil tertawa tidak menjawab pertanyaanku. Memasuki lorong perumahan Leon berhenti sejenak dan menutup erat kedua mataku pakai seuntai kain pengikat.

“Papa mau diapain mamanya, kenapa mata mama ditutup,"ata anak pertamaku Elfiki Xavaro usia 4,5 Tahun.

“Papa pengen liatin kejutan buat Mama," terang Leon pada Fiki.

Selang beberapa menit mobil berhenti, akupun dituntun oleh Leon menuju rumah kami.

“Sureprise," teriakan Leon mengagetkanku, kain pengikat dibuka olehnya. Betapa terkejutnya aku melihat teras rumah bak tempat nongkrong ala caffe.

“Sayang kamu beli mesin kopi," ugkapku berdecak syok.

“Iya spesial buat kamu sama ada mesin batu es, blender tangan buat racik minuman. Cangkir imut buat minum plus sedotan berbagai macam bentuk ada semua," terang Leon.

“Makasih sayang, tempat duduknya bagus banget terus mejanya lucu. Warna pernak-perniknya ngenah banget dihati aku,"ungkapku lagi girang.

“Fakta, zaman sekarang warna kesukaan kamu sebutannya cewe kue tapi kalau kamu cewe gula, suka nuansa putih digabung sama satu warna yaitu peach," ujar Leon ngarang.

“Makasih sayang, panah lancip sih ini namanya," ucapku berseri-seri.

“Sama-sama sayang tapi apa kata kamu barusan, panah lancip ?" tanya Leon.

“Iya selancip panah nusuk ke hati aku I Love U suamiku," gombalku riang lalu berkedip pada Leon.

“Bisa aja kamu, Ayo Fiki sama Fira kita lihat kamar baru kalian," seru Leon bersorak bersama anak-anak.

Kenyataannya memang benar rumahku istanaku tepat yang aku rasakan, ucapan syukur tidak hentinya aku katakan.

Tiba weekend, aku dan Leon ingin membagikan paket kotak makanan kecil-kecilan ke para tetangga untuk bersilahturahmi.

“Assalamualaikum," kataku mengedor tetangga deretan depan rumah.

“Waalaikumsalam, siapa ya?” sahut orang dalam rumahnya.

“Hallo mbak, salam kenal aku Bianca baru pindah rumah nomor A5," terangku pada wanita sebaya dengankun sembari beri kotak makanan padanya.

“Oh ya salam kenal juga kenalin aku Lili, sudah pindah ya mbak entar soreh gabung emak-emak nongkrong dilapangan Voli ya," ajak Lili.

“Iya mbak kalau gak ada halangan entar soreh aku keluar rumah," balasku.

Setelah dari rumah Lili, aku menuju sebalah rumahku.

“Assalamualaikum," seruku mengucap salam.

“Waalaikumsalam," jawabnya singkat.

“Salam kenal Ibu, aku Bianca tetangga sebelah. Ini ibu ada makanan kecil syukuran pindahan rumah," kataku mencoba seramah mungkin.

“Terima kasih ya, salam kenal juga panggil saya Tante Ulik. Tasya ini ada makanan dari Tante Bianca," ucap Tante Ulik.

Ketika waktu soreh aku dan keluargaku bermain dilapangan Voli. Lalu aku bergabung bersama Ibu-ibu yang sedang asyik mengobrol.

Aku membuat bubur sumsum untuk dicicipin para tetangga.

“Ibu-ibu semua aku bikin bubur sumsum buatan sendiri, soalnya sekalian bikin untuk anak-anak sama suami aku," seruku menyodorkan bubur sumsum.

“Wah, makasih banyak loh Bianca sering-sering aja bawak makan. Canda loh Bianca," kata Kirana.

"Bianca, aturan tetangga baru harus begitu. Bawak makanan bikin kesan pertama baik, bukan jutek terus ngomel berisik ngerumpi depan rumah orang," kata Clara sindir Lilik.

"Waduh iya ya mengingatkan kita pada seseorang peran antagonis perumahan kita," sambung Puteri.

"Itukan masa lalu gak ada cerita gak berkesan kita gak dekat. Toh diusir beratus kali kalian masih nongkrong depan rumah aku. Kita berantam beratus kali damai berkali-kali," kata Lilik membela diri.

"Ya wajar kami berisik rumah kamu depanan sama lapangan voli," balas Hani.

“Bianca sudah masuk grup Ibu-ibu perumahan belum?” tanya Ibu Rina ketua pengaturan Ibu-ibu.

“Belum Buk," jawab ku.

“Tenang aja nanti Ibu masukin grup, berapa nomor HP kamu?" tanya Ibu Rina bermuka ramah.

"Oh iya Handphone aku kemana ya," kataku.

Kemudian aku meraba saku celana ingin mengambil Handphone karena hendak juga mengabadikan video Fiki dan Fira bermain. Ternyata Handphoneku tidak ada lalu aku segera berjalan kembali menuju kerumah.

“Handphoneku sepertinya tinggal dirumah, aku ambil dulu Ibu-ibu," kataku sembari melangkah pergi.

"Iya ambillah dulu," balas Ibu Rina melambaikan tangan.

Baru beberapa langkah berjalan seketika aku baru ingat Handphoneku ada di Leon, akupun kembali lagi menuju lapangan Voli. Mendadak aku melihat Buk Rina dan Tante Ulik yang sedang mencicipin makanan buatanku sontak mereka memuntahkan bubur sumsum itu. Mereka menjulurkan lidahnya seolah menjijikan.

Melihat kejadian itu aku sangat kecewa tapi aku sadar begitulah kehidupan sosial tidak semua orang menyukai kita. Kita tidak bisa menuntut mereka agar membalas kebaikan kita. Ikhlas dan mati rasa, acuh dan bersikap biasa. Tidak saling menganggu satu sama lain itulah yang harus aku tanamkan sekarang hidup bertetangga.

Aku pura-pura tidak melihat dan menghampiri suamiku untuk mengambil Handphone. Setelah itu aku bertukar nomor dengan Ibu Rina dan aku menyibukkan diri mengambil Foto suami dan anak-anakku.

Hari berlalu, aku sibuk masak didapur dan membersihkan rumah sedangkan Fiki dan Fira asik bermain. Aku mengumpulkan sampah rumah karena diluar ada bunyi klakson mobil pengangkut sampah datang.

Aku keluar pagar dan betapa terkejutnya aku melihat gentong sampahku penuh padahal sampah rumahku tidak terlalu menggunung.

Selepas kejadian sampah tadi aku menceritakan kejadian pada Leon.

“Sayang tadi waktu mobil pengangkut sampah datang tiba-tiba gentong sampah kita penuh banyak banget," ocehku.

“Perasaan kamu aja kali, Mobil sampah datang seminggu tiga kali wajar sampah kita banyak," balas Leon mencoba menetralkan pikiranku.

“Penghuni tetap didapur kan aku, jadi aku lebih tahu setiap hari takaran sampah kita," sewotku.

“Ya sudah nanti aku beli tutup gentong sampah, jadi pikiran kamu tenang," balas Leon yang selalu positif thinking.

Keesokkan harinya Ibu-ibu mengedor rumahku lalu mereka ingin berkunjung kerumah. Akupun membuka pagar mempersilahkan mereka masuk.

Aku bikin minuman ala caffe, jus buah dan ada juga request kopi. Dirumah juga aku menyimpan persediaan roti cemilan untuk keluargaku dan tamu dadakan.

Mereka asik berfoto dan memegang pernak-pernik perabotan rumah. Tante Ulik tidak sengaja memecahkan keramik guci warna peach yang ada dimeja teras rumahku.

“Guci warna peachku," gumamku sedih.

“Maaf ya Bianca Tante gak sengaja kesenggol tapi guci ini banyak dipasar nanti Tante ganti ya," kata Tante Ulik membuatku tambah frustasi.

“Bianca mintak biji kopinya sedikit ya, kebetulan suami aku juga ada mesin kopi tapi mesinnya murah gak semahal punya kamu," kata Lili sambil membungkus biji kopi kedalam plastik.

Ekspresi wajahku datar dan tidak karuan, rasanya ingin aku usir mereka semua.

“Anak kamu yang kecil nangis terus dikamar kayaknya ribut sama abangnya, sebaiknya kita-kita pulang ya," ujar Tami rumahnya sebelahan dengan Ibu Rina.

“Bianca, besok datang ya masak-masak dirumah aku perumahan kita ngadain yasinan bulanan sama ngerayain bikin gardu depan lorong. Sekalian sumbangannya sekarang aja Bianca," ujar Hani rumahnya paling depan.

“Iya Mbak, Insya Allah aku datang," balas ku singkat.

Beruntungnya Tami mengerti dengan ekspresi ku terlihat kesal. Akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing.

Besoknya Ibu-ibu mulai berdatangan kerumah Hani mereka bergotong royong memasak makanan. Berhubung aku baru dan akupun tipe orang yang tidak mau ribet lalu tipe orang tertutup dengan orang baru, aku merasa sangat cangguh. Aku juga masih punya anak kecil Fiki dan Fira yang sangat aktif, sebab itu aku hanya membantu masak sebisa kemampuanku. Mengupas bawang, bumbu dapur dan mengiris sayur-sayuran sembari memangku Fira yang sedari tadi ada di pangkuanku.

Mendadak Fira buang air besar akupun dan anak-anak izin permisi pulang kerumah.

Malam hari tiba waktunya yasinan dan makan-makan bersama, kemudian aku memutuskan tidak datang. Berhubung diluar gerimis hanya Leon yang datang. Kebetulan juga Fiki dan Fira sudah terlelap tidur.

Tidak lama setelah itu Leon kembali pulang dari yasinan, Tami mengirim pesan ke ponselku.

“Mbak Bianca kenapa gak datang yasinan?” tanya Tami.

“Anak-anak sudah tidur. Kenapa mba, ada cerita apa?" tanyaku balik.

“Tadi tu ya pembagian lauk, berhubung aku tadi lagi nyuci piring sepintas lihat dalam kulkas Hani sisa lauknya masih banyak. Terus Lili bilang kasih lauk untuk mbak Bianca" cerita Tami.

“Terus," kataku penasaran sekali.

“Haninya ngotot marah, dia bilang gak usah dikasih. Bianca aja gak bantuin masak dan lagi dia juga gak datang. Pokonya gak usah dikasih," seru Tami bercerita.

“Kata Lili balik marah, gak boleh seperti itu mbak Hani, dikasih rata jangan sama dengan tetangga yang dekat dengan mbak Hani doang yang dikasih. Bianca berhak dikasih lauk juga, ada haknya disitu dia juga nyumbang banyak loh lima puluh ribu," terang Tami.

“Terus dijawab sama Hani mbak, matanya mendelik hampir keluar gitu. Terserah ya, aku yang nentuin siapa saja dikasih. Masak-masaknya kan dirumah aku," sambung Tami makin asyik bercerita.

“Lili balas sengit terus dia pergi pulang tanpa pamit. Misal masak-masak gini ada pembagian lauk harusnya dikasih semua bagi rata, jangan pilih kasih gini," akhir Tami bercerita.

“Waduh seru juga ya, nyesal aku jadinya gak datang. Secara tidak langsung gara-gara aku dong," ucapku tertawa.

“Ha Ha Ha.”

Tami tertawa terbahak-bahak, aku pun tertular tawanya.

“Begitulah ampun banget tetangga-tetangga kita mbak banyak ragam dan drama," sambung Tami.

"Tami bukannya Ibu-ibu seumuran kita punya anak kecil ya tapi mereka dari pagi dirumah mbak Hani bantu masak-masak, anaknya dikaparin ya?" tanya ku heran.

"Oh, itu rombongan mbak Hani anggotanya Clara, Kirana, Puteri, mereka semua punya anak kecil. Anaknya super instan masak lauk simpel. Terkadang ya kalo lagi ngumpul, mereka makan dirumah mbak Hani, Kandangan juga mereka pesan online. Buk Rina, Tante Ulik itu tim hore berisik," jelas Tami.

Begitulah keseruan obrolan malam ku dengan Tami. Semua kedok berbau busuk sudah tercium dan sudah terukir diingatanku.

Tiba weekend waktunya bersantai, kebetulan Leon ada acara kantor dan anak-anak diantarkan kerumah orang tua Leon. Aku sejenak ingin bersantai dan memanjakan diri.

Mendadak hidungku mendengus tanda ada yang tidak beres dari rumahku.

"Bau tidak sedap berasal dari dapur, Leon pasti lupa buang sampah. Tukang sampah besok datang aku buang dulu deh," gumamku.

Lantas aku keluar dengan percaya diri sambil memakai masker wajah dan pakai jilbab kurung sambil membawa dua kresek sampah.

"Gentong sampah masih kosong kita lihat besok pagi pasti numpuk, aku harus pasang 10 cctv biar jelas," rutukku.

Aku terkejut ada seseorang mencolek pundakku.

"Kebetulan Bianca ada, berhubung Hani pergi kita-kita pinjam teras kamu ya buat ngemil sambil ngobrol, yuk Ibu-ibu" seru Clara.

Ucapan Clara sepertinya direspon Ibu-ibu lain dan mereka mengikutin omongan Clara.

"Maaf semua tapi aku tuan rumahnya, aku belom mengiyakan," ucapku dongkol.

"Aduh, kita lihat Leon sama anak-anak kamu pergi. Jadi kamu gak ada alasan buat nolak kita-kita bertamu," kata Clara mengedipkan mata padaku.

Spontan aku begitu terkejut sama sikap Clara dan tetangga yang lain tidak tahu rasa malu. Lidahku berat untuk bergerak bak tertindih batu kebencian melihat tingkah Clara.

"Tenang kita cuman sebentar ngemil, ngobrol sama-sama terus Poto grup diteras kamu. Latar teras kamu tu bagus banget buat poto grup terbaru, kamu harusnya bangga gak sia-sia ngedekor rumah ada gunanya," bisik ibu Rina.

Satu setengah jam lebih mereka mengacak-acak teras rumahku, begitulah kalau dinding rumah kita berjarak dekat dengan rumah tetangga satu sama lain. Kental dengan suara tetangga yang berisik, rusuh, berpendapat seenaknya dan penasarannya stadium akut. Kelebihannya daerah rumah menjadi aman, jauh dari kata rampok karena rumah tetangga berdekatan. Kreatif membangun lingkungan bersih didaerah perumahan.

Sorehnya aku duduk diteras menunggu keluargaku pulang, Leon dan anak-anak pulang naik taxi online. Leon melihat Ibu Rina dan Tante Ulik dari dalam mobil menaruh sampah kedalam gentong sampah kami.

Lalu Taxi online berhenti didepan rumah, melihat Leon turun aku bergegas membuka pagar dan juga melihat Ibu Rina dan Tante Ulik ngibrit cepat-cepat masuk rumah menutup pagar.

"Sayang benar kata kamu, mereka berdua biang keroknya," kata Leon.

"Betulkan, bisa-bisanya kamu gak percaya sama omongan aku. Kasihan tukang sampahnya padahal bisa dapet uang sampah dari tiga rumah, mereka malah nitip sampah ke kita. Setiap bulan cuman tiga puluh ribu keras banget kali uang kertas tuh ngeluarinnya," balasku sengit.

"Kantong sampah kita taruh didekat cucian piring saja, gak usah lagi pakai gentong," kata Leon.

Perkara sampah akhirnya selesai, Ibu Rina dan Tante Ulik tidak lagi menitipkan sampah tempat kamu. Mereka sadar kalau ketemu langsung tersenyum malu, rasa tidak enak tergambar jelas diwajah mereka apalagi terbongkarnya didepan Leon.

Merekapun berlangganan sampah karena biasanya suami mereka buang sampah langsung ke pangkalnya ataupun bayar harian dua ribu rupiah.

Keesokkan harinya, aku jalan santai menikmati pagiku.

"Bianca," pekik Ibu Rina.

"Iya Ibu," jawabku berjalan kaki.

"Tagihan uang bulanan, yasinan bulanan, arisan sama uang keamanan," ujar Ibu Rina.

"Arisan?" tanyaku kaget.

"Masuk saja kamu arisan baru juga dua puteran, kamu dobel aja bayarnya anti ribet-ribet," usul Ibu Rina.

"Saya gak ikut arisan buk, kalau bayar untuk yasinan sama keamanan saya ada dananya," ujarku.

"Waduh kamu itu punya mobil mewah, rumah kece bagus, suami kerja dikantoran masa gak mau ikut arisan. Pokoknya wajib ikut, khusus buat ibu-ibu mampu," jelas Buk Rina.

"Maaf ya Ibu-ibu tapi aku harus izin suami dulu, nanya sama dia," terang ku rada kesal.

"Kenapa memangnya kamu dikasih uang bulanan pas-pasan ya, kasihan. Kamu harusnya pegang gaji suami utuh. Takutnya dia jajan pukang ayam diluar," kata Ibu Rina memanasi pikiranku.

"Iya betul tuh walaupun kamu pengangguran, gak menghasilkan uang, sarjana tapi ujungnya jagain anak. Power kamu harus unggul dari suami. Bisa-bisa kamunya kepental balik kerumah orang tua, mana badan kamu kurus mudah disenggol," ujar Tante Ulik makin memanasi.

"Terima kasih saran Ibu-ibu, soal aku izin suami dulu. Maaf Ibu-ibu aku masih banyak kerjaan harus berberes rumah, silahkan lanjut nagih kerumah yang lain," omongku mengusir Ibu Rina dan Tante Ulik.

Ternyata benar apa kata Ibuku, punya tetangga itu rezekian. Mereka beragam, jika beruntung dapet tetangga baik rasa keluarga dan gak neko-neko. Jika apes dapet tetangga ribet dan usil bahkan setiap langkah kita dilihat.

Terutama rasa ingin tahu dan ucapan mereka yang tajam, rasanya makin mengulat alias menjijikkan.

Senin pagi, pedagang sayur keliling datang. Aku pun keluar rumah hendak membeli beberapa sayur karena persediaan menipis.

"Bianca nanti jam empat soreh kita kumpul ya mau bikin rujak bersama," seru Ibu Rina.

"Iya Ibu-ibu nanti aku keluar rumah jam empat," balas ku.

"Ibu-ibu tahu gak sih Puteri kemarin gak bayar sumbangan buat gardu jalan, katanya belum dikasih uang sama suaminya. Padahal sumbangannya tiga pulu ribu doang masa gak ada," sewot Ibu Rina.

"Suami sih Puteri bukannya gaji harian. Setiap hari pasti ada kan uang, mungkin dianya aja gak mau sumbangan, gak ada simpatinya sama daerah rumah dia sendiri," oceh Tante Ulik.

"Biasa Ibu-ibu, pasangan nikah mudah, banyak anak pengeluaran banyak tapi gak sesuai pemasukan," timpal Hani.

"Asal kamu tahu Bianca, sih Puteri itu kayaknya gak tahu cara menjamu tetangga. Dia pakai acara bikin undangan kerumah dia, bakso ayamnya benyek. Kuahnya butek, es jeruknya asam kurang gula gak enak pokonya pengen muntah," ujar Ibu Rina mengumpat Puteri.

"Sebaiknya Ibu Rina deh kayaknya harus berobat penyakit dalam soalnya perut Ibu Rina gak beres masa muntahin terus makanan pemberian tetangga. Saran sih kalau gak mau ke dokter paling gak perut Ibu Rina aja ajarin sopan santun gimana caranya menghargai pemberian tetangga," jelas ku panjang lebar.

"Bianca omongan kamu gak sopan banget," bentak Tante Ulik.

"Orang berumur kalau mau dihormatin, disegani dan dihargai harus tahu kondisi serta situasi orang mudah. Patut mengerti, paham dan bijaksana karena orang berumur banyak makan garam bukan malah balik asal kayak anak kecil. Sakit-sakitan juga gak, sehat bugar," sambungku.

"Aku minta maaf kalau menyinggung Ibu Rina karena aku hanya menyampaikan pikiranku tanpa bermajsud mengumpat siapapun dibelakang," kataku tegas dan aku langsung pulang kerumah.

Perasaanku sering muncul kerinduan mengingat kenangan tinggal dirumah orang tua.

Waktu sudah menuju pukul empat, setelah sholat ashar lantas aku keluar rumah mengajak Fiki dan Fira bermain bersama. Aku fokus mengawasi kedua anakku bermain dijalan depan rumah.

"Bianca," panggil Tami.

"Iya Tami," balas ku tersenyum.

"Ayo sekarang kita bikin rujak," ajak Tami.

"Ayo," balasku sembari ikut juga gabung bersama Ibu-ibu.

Terlihat wajah Ibu Rina masih jutek padaku. Aku pun pura-pura tidak melihat dan acuh seperti biasa saja.

Mendadak Laras tetangga kami yang notaben kurang mampu perutnya sakit dan sedang hamil sudah sembilan bulan beberapa minggu.

Laras terlihat mules sepertinya dia ingin melahirkan. Bapak-bapak yang mendengar teriakan Laras kesakitan mereka mendekat dan memberi pertolongan. Beberapa mencari bidan terdekat, ada juga yang membopong Laras masuk kerumah.

Sementara kami menyiapkan tempat tidur lesehan diruang TV rumah Laras, Ibu-ibu Lain menyiapkan baskom, ember kecil, kain dan perkakas lain untuk melahirkan. Sementara aku dan Tami menenangkan Laras agar mengatur nafas juga menggosok-gosok pundak Laras agar meringankan rasa sakitnya.

Akhirnya bidan dan suami Laras datang, kami semua keluar dari rumah Laras menunggu diluar.

Kami semua cemas dan juga semua tetangga berkumpul, bersatu untuk berjaga-jaga memberi pertolongan pada Laras.

Aku pun sesekali pulang kerumah sembari meyuapin makan untuk Fiki dan Fira. Semua anak-anak kecil perumahan bermain bersama diluar rumah.

Maghrib tiba, Laras masih bukaan lima. Kami kembali kerumah masing-masing.

Setelah sholat isya, kami berkumpul kembali. Para tetangga membawa makanan dan minuman untuk bidan yang merawat Laras.

Tidak ketinggalan aku membawa buah pepaya, jeruk dan roti-rotian untuk diberikan pada bidan.

Kami juga menggelar tikar duduk-duduk didepan rumah dekat Laras sambil mengemil makanan.

Rasa deg-degan dan was-was bercampur aduk menunggu lahiran anak Laras berjenis kelamin Laki-laki.

Kami bercanda tawa satu sama lain mengurangi kecemasan kami pada Laras. Begitu juga Ibu Rina, sepertinya tidak ada rasa kesal lagi dengan ku.

Kami bersatu untuk saling tolong menolong walaupun tetangga suka iseng tapi untuk urusan darurat mereka garda terdepan.

Tidak lama Laras berhasil melahirkan anak pertama, kami semua menangis terharu. Kami semua berpelukan karena perjuangan Laras tidak sia-sia.

"Alhamdulillah," seru Ibu-ibu mendengar tangisan nyaring dari anak Laras.

Kami semua bersorak riang dan sepenggal kisah lahiran Laras akan jadi kenangan penting untuk memperkuat hubungan para tetangga terutama Ibu-Ibu. Sehebat apapun konflik yang terjadi diantara para tetangga jika ada salah satu dari tetangga dalam keadaan darurat jauh dari keluarga, kita harus bersatu karena sejatinya hidup dalam masyarakat sosial orang tidak bisa hidup tanpa pertolongan orang lain.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi