Jam dinding menunjukan pukul 16:30 tepat.
Dua orang saling berhadap-hadapan di sebuah coffe shop yang cukup terkenal di kota jakarta, karena menyediakan tempat outdoor dan indoor sekaligus. Cocok buat semua tipe pengunjung.
Dua pemuda ini sedang menunggu coffe pesanan mereka di antar. Salah satu dari mereka berpenampilan santai dengan menggunakan celana kasual serta baju kaos putih polos dengan di lengkapi aksesoris topi di kepala. Dia sibuk membalas pesan entah dari siapa. Seto, itu lah nama panggilan nya.
Sementara satu nya lagi, dengan tampilan khas nya, yaitu memakai outfit yang berwarna hitam dari atas sampai bawah kecuali kaos kaki nya yang berwarna putih. Pemuda ini sibuk menatap sekeliling yang menyuguhkan berbagai macam pemandangan, ada yang sedang bercengkrama mesra antara dua pasang kekasih, mereka tertawa cekikikan membuat para kaum jomblo yang melihat nya iri.
Serta ada juga sekelompok anak 4-5 orang duduk melingkar di meja yang agak luas mungkin mereka mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas kampus yang mereka benci atau bisa juga mahasiswa yang sibuk organisasi kesana kemari. Entahlah.
"Eh Van sibuk ngeliatin apa? Kata nya kamu ada yang mau di omongin ya?" Seto membuka percakapan.
"Iya To, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi gimana ya cara aku ngomong nya? Aku bingung."
"Ngomongin apa emang?"
"Eee ... sebenarnya aku lagi suka sama seseorang To," ucap Revan.
Seketika Seto menatap sahabat nya, sambil mengernyitkan dahi.
"Suka sama siapa Van? sini cerita dulu sama aku," Seto antusias.
"Janji jangan kaget ya To," ucap Revan dengan wajah meyakinkan.
"Sama siapa sih?"
"Gue sebenarnya ... suka sama Rima To."
Seketika Seto terdiam menatap wajah sahabat nya. Wajah nya tiba-tiba berubah. Dia Sama sekali tidak menyangka nama itu yang keluar dari mulut sahabat nya. Namun Revan tidak menyadari nya.
"HAH!!! kamu serius Van suka sama Rima?" tanya sahabat nya meyakinkan.
"Iya To," jawab Revan dengan antusias.
"Sejak kapan kamu suka sama dia Van?"
"Aku juga bingung, seperti nya aku jatuh cinta pada pandangan pertama." jawab Revan dengan tersenyum seolah-olah mengenang pertemuan pertama mereka.
"HAH!!! waktu lomba tingkat provinsi lima tahun yang lalu?"
"Iya To, waktu itu di lorong asrama, ketika semua orang bersorak gembira dengan kemenangan mereka, dia menatap lorong itu dengan tatapan kosong. Mata nya berkaca-kaca. Hati nya remuk. Dia belum siap menerima sebuah kekalahan. Aku tidak tega melihat nya, tapi waktu itu aku hanya melihatnya menangis ter isak-isak dari kejauhan tanpa membantu sedikitpun.
"Astaga, berarti sudah lama kamu memendam perasaan sama dia Van?"
"Iya to, hampir lima tahun aku memendam perasaan ini sendirian tanpa di ketahui orang lain."
“Pandai banget lo bersandiwara Van, bahkan aku aja tidak menyadari nya," ucap Seto sambil menggeleng-gelengkan kepala .
Revan senyum-senyum sendiri. Seketika wajah Rima terlintas di benak nya. Sedangkan Seto terdiam, entah apa yang sedang anak itu pikirkan sekarang.
"Tapi To, kabar baik nya aku akan mengutarakan perasaanku ke Rima," kata pemuda itu dengan sumringah.
"HAH!! kamu serius Van?"
Revan menatap sahabat nya yang terkejut itu dan dia menganggukan kepala nya perlahan dengan wajah yang berseri-seri.
Hape Seto yang ada di atas meja, tiba-tiba bergetar, tanda ada sebuah notif pesan masuk, Seto buru-buru membalik layar hape nya, seakan-akan ada yang dia sembunyikan.
"Balas aja dulu pesan nya, siapa tau penting."
"Eeee ... gak penting kok Van, bisa di balas nanti-nanti."
"Oh gitu, ya udah."
"Van, kalau ternyata Rima nya sudah menyukai cowok lain gimana? Aku ngomong gini bukan buat matahin semangat kamu, ini kemungkinan terburuk nya aja."
"Ya santai aja, yang penting udah tersampaikan. Aku gak berharap perasaan ini berbalas. Karena tujuanku hanya menyampaikan, bukan untuk meminta balasan," ucap Revan.
Seto tahu di lubuk hati terdalam sahabat nya itu ada secercah harapan bahwa perasaan nya akan di sambut dengan hangat dan di balas dengan perasaan yang sama.
Pemuda itu sangat mengenal sahabat nya, karena mereka sudah berteman hampir tujuh tahun. Sahabat nya satu ini adalah orang yang selalu kelihatan tegar. Entah karena emang dia kuat atau ingin terlihat kuat saja. Sampai sekarang dia tidak bisa memahaminya.
Seorang pelayan wanita datang menghampiri meja mereka sambil membawa nampan dengan dua cangkir kopi di atas nya .
"Pesanan atas nama kak Revan ya?"
"Iya ka," jawab Revan.
"Satu americano sama caramel machiato ya?"
"Bener ka," ucap Seto.
Pelayan wanita itu menyerahkan dua cangkir kopi beserta sedotan nya .
"Terima kasih," ucap Revan dan Seto hampir bersamaan .
"Iya sama sama."
Wanita itu masih berdiri di sana dan dia merogoh sesuatu di kantong nya. Ternyata itu sebuah kertas note kecil yang tertulis di atas nya "TULISKAN HARAPAN MU, SIAPA TAU TUHAN AKAN MENGABULKAN NYA" Wanita itu menyerahkan nya kepada Revan dan Seto.
Revan menatap wanita itu dengan ekspresi datar "Ini untuk apa ya kak?"
"Seperti yang tertulis di kertas kak, kaka tuliskan satu harapan yang ingin kaka wujudkan di kertas itu, nanti di lipat atau di gulung juga boleh, terus masukan ke kotak "HARAPAN" yang ada di meja kasir sebelah sana kak," ucap pelayan itu dengan senyum khas nya.
"Ooo gitu, terima kasih ka. Eh boleh pinjam pulpen nya?"
"Boleh."
Pelayan itu menyerahkan pulpen ke Revan. Lalu kembali melakukan pekerjaan nya sebagai pelayan di coffe shop. Revan mulai menuliskan sesuatu di atas kertas harapan. Seto memperhatikan Revan .
"Ngapain lo Van?"
"Ya nulis harapan gue lah, masa iya aku nyatet utang kamu," seloroh Revan.
Seto berusaha melihat apa yang sedang di tulis oleh sahabat nya, tapi tangan Revan lebih dulu menutupi tulisan nya.
"Liat dong Van," ucap Seto kesal.
"Entar kalau udah kelar, aku liatin ko."
"Terserah."
Seto memilih untuk menyeruput kopi americano nya .
"Ah ... enak banget sumpah kopi di sini," ucap nya.
Dia mengeluarkan sebatang rokok lalu membakar nya.
"Nikmat nya sore - sore gini di temani secangkir kopi dan sebatang rokok," sambung Seto.
Sementara Revan masih asik menuliskan harapan nya, entah apa yang dia tulis. Seto memilih untuk tidak peduli.
"Ngapain juga sih Van nulis gitu-gitu an, kalau harapan lo mau di kabulin, mending lo sholat terus berdoa."
"Kamu gak ngerti seni anak nya."
“Gak ada hubungan nya Van. Ayolah.”
”Mendingin kamu tulis harapanmu To, daripada ngoceh mulu.”
”Gimana mau nulis, pena nya aja sama kamu.”
“Nah gue udah kelar.”
Revan menyerahkan pena itu ke Seto.
”Sini gue mau liat,” ucap Seto.
“Tulis dulu punyamu."
”Gue kaga bisa bikin ginian Van.”
“Sini ah.“Ucap Seto sambil merampas kertas itu dari tangan Revan.
Revan tidak menyangka bahwa Seto akan merampas kertas nya. Sedangkan Seto menertawakan keterkejutan sahabat nya. Tapi tawa itu tiba-tiba sirna ketika dia membaca tulisan yang ada di kertas.
”Kok harapan lo kayak gini Van?” Seto mengernyitkan dahi. Kebingungan.
”Emang salah ya, di kertas itu tertulis semoga Rima menemukan orang yang tepat walau itu bukan aku. Rima gak harus sama aku To walau aku sangat menyukai nya. Mungkin saja dia sudah menyukai pria lain. Aku bisa apa ?” Ucap Revan dengan santai sambil mengangkat bahu nya.
”Respect bro."
Revan senyum-senyum sendirian menatap kertas harapan itu entah apa yang sedang dia bayangkan. setelah 30 menit berlalu Revan meneguk habis coffe kesukaan nya dan mereka memutuskan untuk pulang.
Namun sebelum pulang Revan menyempatkan sebentar untuk memasukan kertas yang sudah dia tulis ke dalam kotak harapan.
"Terima kasih ka sudah menuliskan harapan nya." Ucap wanita yang berdiri di depan mesin kasir dengan ramah.
Revan hanya membalas dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
"Ngapain sih Van pake di kumpulin segala?" kata Seto.
"Ya gak papa," jawab Revan sambil tangan nya merangkul Seto.
Keesokan hari nya, tepat hari minggu tanggal 12 maret 2023 Revan yang baru bangun tidur di kejutkan oleh lima pesan yang belum terbaca serta tiga panggilan tidak terjawab dari orang yang dia sukai secara diam-diam yaitu Rima.
Rima : PING !!
Rima : PING !!
Rima : PING !!
Rima : Van lo belum bangun ya?
Rima : aduh gimana ini??
Otak pemuda itu seketika bekerja keras. Tangan nya tiba-tiba dingin. Kepala nya bertanya-tanya kenapa Rima menghubungi nya sebanyak ini? Apakah dia terkena masalah? Sebagian hati nya cemas tidak karuan. Sebagian lagi ada perasaan senang yang menyusup ke dalam hati nya. Tangan Pemuda itu lincah mengetik sebuah pesan.
Revan : sorry Ma gue baru bangun, kenapa?
Revan : kamu ada masalah?
Revan : Ma.
lima menit berlalu, Revan menunggu tidak sabaran sambil dia terus merefresh kolom chat namun masih belum ada jawaban dari seberang sana.
Sementara Rima di belahan lain, sedang menangis tersengguk-sengguk dengan berlinang air mata sambil menelungkupkan kepala nya ke bantal dalam-dalam. Entah masalah apa yang dia hadapi.
Hp Revan bergetar, tanda ada sebuah notif pesan masuk. Anak itu segera meraih smartphone yang ada di hadapan nya dan benar, ternyata itu adalah balasan pesan yang dia tunggu-tunggu.
Rima : bukan masalah besar Van, tapi aku juga gak tau ini masalah apa enggak.
Revan mengernyitkan dahi ketika membaca pesan Rima . dalam hati dia berucap"Wanita emang sulit di pahami."
Revan : gimana? Coba cerita dulu!!
Rima : gak bisa di ceritain di sini Van, kamu sibuk gak hari ini?
Revan yang sudah tau mau ke mana arah pertanyaan Rima, dia spontan membalas.
Revan : gak sibuk kok Rim. kenapa?
Rima : kita ketemu di tempat biasa sore nanti bisa gak?
Sudah jelas anak itu tidak akan menolak ajakan Rima. Dia menganggap itu rezeki nomplok.
Revan : bisa kok Rim.
Rima : oke deh kalau gitu, sampai jumpa di sana ya. Jam empat sore ya.
Revan : oke.
Obrolan mereka emang sudah berakhir, namun Revan masih senyum-senyum sendiri di kamar nya. Anak itu masih menatap chat terakhir dari Rima.
"Ini kesempatan gue buat nyampein perasaan ke Rima, terima kasih ya tuhan," ucap nya.
Tepat sore pukul 16:00 Revan tiba di coffe shop langganan mereka. Namun sebelum berangkat anak itu menatap cermin beberapa kali untuk memastikan outfit yang dia pakai sesuai. Dia memakai celana jeans biru serta kaos oblong warna hitam serta outer warna putih. pemuda itu mematut tampilan nya dari atas kepala sampai ujung kaki "SEMPURNA" Ucap nya.
Anak itu melihat sekeliling, dia mencari seseorang yang akan dia temui yaitu Rima. Pemuda itu memicingkan mata nya ke setiap sudut dan akhirnya dia menemukan nya.
Rima duduk anggun dengan secangkir kopi di hadapan nya. Menggunakan outfit yang serba hitam karena itu adalah warna favorit anak itu serta kalung yang sangat indah melingkar di leher nya. Dengan memakai kaca mata bening serta rambut yang dicepol dengan sedemikian rupa, Sempurnalah penampilan Rima. Sangat memesona. Memikat siapapun yang melihat nya. Dia lah wanita yang di sukai Revan.
Pemuda itu melangkahkan kaki nya ke tempat duduk Rima menunggu, namun sebelum itu dia memesan kopi kesukaan nya dulu di meja kasir.
"Ka caramel macchiato nya satu ya."
Penjaga kasir nya menatap Revan sambil tersenyum.
"Oke ka, eh ternyata kaka lagi."
Revan mengingat wajah perempuan yang melayani nya, karena dia adalah yang memberikan kertas harapan kemarin.
"Meja nomor berapa ka?"
Revan menggaruk kepala nya karena dia tidak tau meja nomor berapa yang diduduki Rima, dia memicingkan mata nya namun tetap tidak bisa. Wanita itu menyadari kebingungan Revan.
"Meja yang ada perempuan nya itu ya kak?"
"Iya ka."
"Oooo, itu meja nomor 11 ka."
"Iya meja yang itu kak," sambil tangan nya menunjuk ke meja Rima berada.
"Yang duduk di sana itu pacar nya ya kak?" tanya pelayan itu menggoda.
"HAH!!! enggak cuma teman ko," jawab Revan gelagapan.
Pelayan itu cuma menanggapi jawaban itu dengan sebuah senyuman.
"Totalnya 35.ooo kak."
Revan memberikan uang pas kepada sang pelayan, tangan nya lincah dalam memencet tombol-tombol angka. Seketika mesin kasir itu berdesing untuk mencetak struk pembelian. Lantas Revan menerima bukti pembelian dan menuju untuk menghampiri Rima .
"Hai Van!!" sapa Rima sambil melambaikan tangan.
Revan melambaikan tangan sebagai balasan sapaan Rima. Pemuda itu terus melangkah dan akhirnya duduk di depan Rima. Saling berhadapan.
"Eh kamu lagi kenapa Rim, kok nyepam gue pagi tadi?"
"Gak papa kok Van, santai dulu, tunggu kopi mu datang baru kita ngobrol serius," ucap nya.
Revan dada nya berdegup kencang. Detak jantung nya tidak karuan. Kepala nya berpikir keras apa maksud dari kata-kata Rima mau ngomong serius. "Apakah cerita nya kemarin di bocorkan seto?" isi kepala nya berkecamuk sementara sebagian hati nya berharap sesuatu yang tidak pasti.
Lima menit berlalu dengan kekosongan. Revan sesekali menatap hp nya yang padahal tidak ada notif dari siapapun. Sedangkan Rima selalu menatap smarthone nya seakan-akan ada yang dia tunggu . Seorang pelayan datang menghampiri dengan membawa secangkir kopi.
Pelayan itu meletakan kopi nya di atas meja.
"Ini ka kopi nya."
"Terima kasih ka."
Pelayan itu meninggalkan mereka berdua. Revan menyeruput kopi nya.
"Ah, enak banget ini sumpah," ucap Revan.
"Kamu emang pesan apa Van?"
"Biasa, caramel macchiato."
"Eh Van gue mau nanya dong, tapi jangan bilang siapa-siapa ya?" tanya Rima memastikan.
"Santai aja Rim, emang selama ini gue pernah bocorin curhatan lo."
"Jadi gini Van, Eee ... jangan bilang sama Seto ya Van!!!" Rima antusias.
"Iya ... iya ... apaan sih Rim? bikin penasaran aja." seloroh Revan.
"Seto ada dekat sama cewek ya Van?"
"HAH SIAPA?"
"Gue juga kagak tau, makanya gue nanya."
"Emang kenapa Rim? jarang-jarang kamu kepo hal beginian."
"Ah gimana ya bilang nya, kemarin-kemarin itu, aku sering chat an sama dia, kita udah temenan lumayan lama wajar kan kalau kita chattingan, tapi sore kemarin tiba-tiba dia gak ngebales chat aku sama sekali Van padahal dia online. Awal nya aku biasa aja tapi lama-kelamaan aku merasa seperti ada yang hilang, tapi aku gak tau itu apa. Kayak nya aku jatuh hati Van sama Seto."
Revan yang menyimak setiap kata yang keluar dari mulut orang yang ada di hadapan nya, seakan akan di sambar petir ketika mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Rima. Dia berusaha bersikap senormal mungkin. Tapi anak itu seketika terdiam, dan mulut nya kelu. Hati nya meringis kesakitan. Sirna sudah harapan yang ada di hati nya .
"Eh VAN!! VAN!! WOY!!"
Rima melambai-lambaikan tangan nya di depan wajah Revan.
"Eh sorry Rim, gue melamun tadi."
"Wajar Van kalau kamu terkejut. Aku juga gak sadar kalau ternyata gue menyimpan perasaan sama Seto selama ini," ucap Rima dengan santai nya.
"Seto nya udah tau belom, kalau kamu suka sama dia?"
"Kayak nya enggak sih Van."
Anak itu terdiam lagi, seketika ingatan nya berkelana mengingat setiap kejadian ketika dia nongkrong sama Seto semalam.
"Boleh aku kasih saran Rim?" ucap Revan lirih.
"Saran apa Van?"
"Mendingan kamu sampein perasaan kamu Rim, daripada suatu hari nanti nyesal."
"Masa iya gue nyatain perasaan gue duluan Van, gue kan cewek?"
"Daripada entar Seto nya keburu sama cewek lain gimana?"
"Bener juga ya."
Kata-kata itu membuat Rima seketika berpikir.
"Tapi kalau gue di tolak gimana?"
"Mecintai itu tidak harus memiliki Ma, terkadang emang ada beberapa hal yang tidak bisa di paksakan, seperti kita mencintai seseorang, tidak serta merta karena kita menyukai dia, dia harus menyukai kita balik. Itulah yang nama nya dinamika sebuah perasaan."
"Emang kaya gitu ya Van, soal nya aku gak ngerti masalah ginian."
"Iya Rim."
Rima diam sejenak, otak nya berputar memikirkan ucapan sahabatnya. Seketika senyum merekah nampak di wajah manis nya.
"Terima kasih Van, kamu emang sahabat ku," ucap Rima dengan riang seakan sudah menemukan solusi permasalahan hidup nya.
Sementara Revan hati nya hancur berkeping. Matanya berkaca-kaca. Anak itu sulit menerima kenyataan bahwa orang yang dia sukai ternyata menyukai sahabat nya sendiri. Tapi tetap berusaha terlihat baik-baik saja.
"Mata kamu kenapa? Kok kaya mau nangis gitu Van?"
"Eeee ... ini kena angin Ma," jawab Revan gelagapan.
"Kalau gitu ayo kita pulang Van, kamu bawa motor kan? Aku nebeng sama kamu."
"Iya Rim, aku bawa motor kok."
"Aku cuma bawa helm, soal nya tadi naik ojek online," Ucap Rima sambil memperlihatkan helm nya.
Revan dan Rima beranjak berdiri dari tempat duduk dan menuju arah parkiran.
15 menit mereka menempuh perjalanan tanpa banyak bicara. Rima tersenyum dan ceria sepanjang jalan. Sementara Revan tak mampu membendung air mata nya. Hati nya hancur. Harapan nya sirna. Entahlah dengan persahabatan mereka. Namun Rima tidak menyadari itu semua.
"Adakala nya perasaan itu lebih baik di simpan sendiri. Tidak semua tentang perasaan itu harus di sampaikan. Terkadang melihat orang yang kita cintai bahagia sama pilihan nya, itu saja sudah cukup bagi kita."
Selesai.