9. Chapter #9
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

31. INT. KAMAR HOTEL – SIANG

 

Suara pembaca berita dari televisi (O.S)

Organisasi Perlindungan Satwa Internasional hari ini melayangkan kecaman kepada para pelaku pembakaran hutan yang telah mengancam kelangsungan hidup satwa langka khususnya gajah liar.....

 

Lelaki yang tengah menonton televisi itu tertawa pelan. Namun tawanya surut seketika saat dia menyimak lanjutan berita itu. Dia lalu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan berjalan menuju tepi jendela. Menyibak gordennya sambil menekan tombol ponselnya.

 

LELAKI TANPA NAMA

Kau sudah dengar berita hari ini?

 

STAF SANG LELAKI / LAWAN BICARA (O.S)

Berita yang mana, Pak?

 

LELAKI TANPA NAMA

Tentang kecaman dari organisasi satwa internasional. Bagaimana bisa organisasi itu ikut campur? Bahkan sampai menjual nama PBB segala?

 

STAF SANG LELAKI / LAWAN BICARA (O.S)

Mereka tidak menjual nama PBB, tetapi mereka memang mitra PBB dalam perlindungan hewan, Pak. Jadi, suara mereka lebih didengar dari tuntutan LSM dan media nasional manapun, Pak.

 

LELAKI TANPA NAMA

(mendengus geram)

Sialan. Jalur yang lain masih aman, bukan?

 

Jeda sejenak.

 

LELAKI TANPA NAMA

(bersuara keras)

Haloooo.....kau masih dengar?

 

STAF SANG LELAKI / LAWAN BICARA (O.S)

Masih Pak. Mm, tapi tidak benar-benar aman, Pak. Dalam waktu dekat, saya dengar, nama-nama perusahaan akan segera diumumkan.

 

LELAKI TANPA NAMA.

Shit! Lantas, apa saja yang sudah kalian lakukan, hah?

 

STAF SANG LELAKI (CONT’D)

Dari sisi publikasi, tak banyak yang bisa kami lakukan. Tetapi dari sisi hukum, bisa dipastikan aman, Pak. Pihak berwajib hanya akan mengurusi para eksekutor di lapangan. Nama-nama yang muncul hanya sebatas asumsi.

 

LELAKI TANPA NAMA

Kau yakin itu?

 

STAF SANG LELAKI

Yakin, Pak. Tetapi, ada satu hal perlu Bapak ketahui. Bahwa api yang memicu asap protes dari organisasi satwa itu, juga berasal dari orang yang sama.

 

LELAKI TANPA NAMA

(terperangah)

Maksudmu, si jurnalis amatiran itu?

 

STAF SANG LELAKI

Benar, Pak.

 

LELAKI TANPA NAMA

Apa kalian belum memperingatkannya?

 

STAF SANG LELAKI

Sudah, Pak. Tetapi, sepertinya dia sudah kebal dengan ancaman.

 

LELAKI TANPA NAMA

(mendengus). Bagaimana mungkin anak ayam berani bermain-main dengan serigala? Kau urus saja dulu para kunyuk-kunyuk yang sok suci itu! Jangan sampai mereka terpengaruh lalu beralih memihak media. Aku tidak mau lagi buang-buang duit untuk hal-hal kecil yang seharusnya bisa kalian bereskan!

 

STAF SANG LELAKI

Siap, Pak. Kami paham apa yang harus kami lakukan. Bapak tenang saja.

 

Lelaki itu mematikan ponselnya. Giginya bergemeletuk menahan marah. Ponselnya berbunyi lagi. Sebuah pesan masuk muncul di layar. Kamera menampilkan gambar ponsel dan tulisan pada layar ponsel.

Pa. Jangan lupa minggu ketiga bulan depan.

Lelaki itu membalas singkat.

Saya tidak janji.

Dia lalu melempar ponselnya dengan geram.

 

 

32. INT – BANDARA INTERNASIONAL MINANGKABAU – PAGI

Memperlihatkan Retni yang berjalan di bandara sambil menyeret kopernya hingga naik ke pesawat.

 

RETNI (V.O)

Kabut asap bertambah pekat hari ini. ISPU telah memasuki angka 700. Aku terpaksa terbang lewat bandara Padang untuk berangkat ke Jakarta. Pinggangku terasa pegal, setelah menempuh delapan jam perjalanan darat dari Pekanbaru ke Padang. Dan jika tidak ada halangan, penerbangan menuju Jakarta akan makan waktu 50 menit.

Upaya pemadaman titik-titik api, sejauh ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Padahal, biaya yang dihabiskan untuk water bombing sudah mencapai milyaran rupiah. Terlalu mahal harga yang harus ditebus untuk mengembalikan udara bersih. Padahal, Tuhan tidak pernah meminta sepeser pun bayaran untuk udara yang Dia berikan.

 

33. INT. DALAM PESAWAT – PAGI

Retni berjalan di lorong pesawat sambil mencari kursinya, lalu meletakkan koper di kabin, dan duduk di kursi yang posisinya dekat jendela. Dia memasang sabuk pengaman dan menatap keluar jendela.

 

RETNI (V.O)

Namun, aku merasa bersyukur. Tulisanku tentang konflik gajah dan gajah liar yang menjadi korban pembakaran serta perambahan hutan di sekitar Tesso Nilo, telah memantik respon WWF. Pengalamanku meliput tentang Tesso Nilo tiga tahun lalu, adalah yang membuka jalanku untuk berinteraksi dengan organisasi satwa internasional itu. Maka, liputanku kali inipun dengan cepat memancing reaksi WWF, setelah aku mengirim surel berisi tautan artikelku yang telah dimuat di Mercusuar.

Tetapi, aku hanya bisa melakukan semampuku. Apa yang terjadi setelah ini, aku tidak bisa memastikan. Hanya Tuhan yang bisa menghentikan semua kerusakan akibat ulah manusia. Sementara para perusak itu, tidak pernah menyadari kalau ulah mereka hanya akan kembali pada diri mereka sendiri.

 

FADE OUT

FADE IN

 

34. EXT/INT – BANDARA SOEKARNO HATTA – MENJELANG SIANG

Memperlihatkan Retni yang berjalan di terminal bandara hingga pintu keluar. Arul datang menjemputnya. Berdiri diantara para penjemput sambil tersenyum. Rambut ikalnya ia biarkan panjang dan terkuncir di belakang, membuatnya tampak seperti seorang seniman.

 

ARUL

Hai, apa kabar jurnalis kita?

 

RETNI

(tersenyum) seperti yang kau lihat. Aku masih selamat dan bisa bernapas.

 

ARUL

Tapi kamu tambah kucel. Dekil. Kuantar facial dulu, ya?

(sambil menjejeri langkah Retni, berjalan menuju parkiran)

 

RETNI

Facial? Kaya’ nggak tahu aku aja. Aku ‘kan nggak pernah ke salon.

 

ARUL

Memang nggak tahu. Kita memang belum cukup saling kenal, bukan?

 

Retni tertegun. Berdiri mematung di parkiran.

 

ARUL

Hei, kok melamun? Ayo masuk

(sambil menekan remote mobil lalu masuk ke dalam mobil).

 

Bunyi klakson mobil di belakangnya mengagetkan Retni. Dia bergegas masuk ke dalam mobil Arul.

 

CUT TO

35. INT – DALAM MOBIL – SIANG

 

RETNI

Apa karena kita mau lamaran nih, aku harus facial segala?

 

ARUL

Buatku sih nggak masalah. Tapi, orang-orang tua kita, mama dan tante-tanteku, apa kata mereka kalau lihat kamu hitam dan jerawatan begini?

 

RETNI

Jadi kamu malu punya calon istri hitam dan jerawatan?

 

ARUL

Bukan begitu, Ret. Mau kamu nggak make-up sekalipun aku tetap bangga sama kamu. Aku hanya nggak mau kamu jadi omongan keluarga.

 

RETNI

Apa semua oom dan tantemu bakal datang?

 

ARUL

Rencananya begitu. Mereka akan datang mewakili papaku. Ada acara penting yang harus dihadiri papa dan tidak bisa diwakilkan pada siapapun. Dan dia...dia minta maaf. Tapi, aku yakin dia akan datang saat hari pernikahan kita nanti.

 

RETNI

Rul, aku mau tanya sesuatu. Kamu jawab yang jujur ya?

 

ARUL

Apa?

 

RETNI

Kamu sudah beberapa kali ngomong kalau kita belum cukup saling kenal. Sebenarnya, kamu ikhlas nggak sih menerima perjodohan ini, atau hanya karena pingin menyenangkan hati mamamu?

 

Jeda sejenak. Kamera menampilkan wajah Arul yang tampak gundah.

 

ARUL

Tentu saja aku ikhlas dong, Ret. Aku ngomong begitu karena itulah faktanya. Maksudku, supaya kita sama-sama berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Kita masih punya banyak waktu kok. Kalau perlu, kita usul saja ke orang tua kita kalau tanggal pernikahan kita nggak usah buru-buru. Tiga bulan setelah lamaran, misalnya. Bagaimana?

 

RETNI

(menghela napas)

Buatku, mau cepat atau lama, yang penting kita harus sama-sama yakin untuk menikah. Karena yang bakal menjalaninya kan kita, bukan Abah dan Ummi, atau Papa dan Mama-mu. Tapi, kamu kok nggak pernah ngenalin aku ke papamu, Rul? Apa karena beliau udah cerai dari mamamu, trus kamu nggak menganggap penting untuk ngenalin dia ke aku, gitu?

 

ARUL

Nanti juga kamu akan kenal. Toh aku sudah pernah tunjukkan fotonya kepadamu. Untuk saat ini, kupikir itu sudah cukup.

 

RETNI

(bergumam) Aneh ya kalian ini.

 

Ponsel Retni berbunyi. Retni mengalihkan fokusnya dari memandang Arul ke layar ponselnya yang menampilkan nama Bim Bim di jalur Whatssap.

Kamera menampilkan layar ponsel dan pesan dari Bim Bim.

Maaf, Ret. Tapi kurasa kau perlu tahu ini. Buka link ini.

 

Retni mengernyit. Namun jarinya spontan menekan layar ponsel, pada tautan yang diberikan Bim Bim. Kamera memperlihatkan gambar yang muncul di layar ponsel. Sebuah berita tentang nama-nama perusahaan raksasa yang ada dibalik pembakaran hutan.

Ada seraut wajah pria di bagian bawah berita itu. Disertai keterangan bahwa pria itu disinyalir sebagai pemilik saham terbesar salah satu perusahaan. Retni kembali mengernyit. Dia menoleh pada Arul, lalu kembali melihat foto pria pada layar ponselnya dengan saksama.

 

ARUL

Jadi, kita mau kemana dulu nih? Mau kuantar ke salon, atau kita makan dulu?

 

Mobil berhenti. Kamera memperlihatkan suasana jalan raya yang macet parah. Lalu beralih pada Retni yang memutar ponselnya, mendekatkan layarnya ke wajah Arul.

 

RETNI

Ini papamu ‘kan?

 

Arul menoleh. Menatap layar ponsel Retni untuk beberapa detik, lalu wajahnya memucat.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar