5. Chapter #5
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

16. EXT/INT DI DALAM MOBIL - SORE.

Retni mengendarai mobil sewa di bawah hujan deras. Dia mengambil ponselnya dan menekan tombol lalu menempelkan di telinga.

 

RETNI.

Assalamualaikum. Pak Tungkat. Saya sudah dekat.

Motornya sudah siap ‘kan? Baik. Terima kasih.

 

Mobil melambat lalu berhenti di tepi jalan. Hujan deras sudah menjelma gerimis. Dari jarak beberapa meter, tampak dua buah sepeda motor datang mendekat. Masing-masing motor dikendarai seorang pria.

 

17. EXT. DI TEPI JALAN - SORE.

CAST. RETNI, TUNGKAT

Retni turun dari mobil. Pria bernama Tungkat (45 tahun) menghampirinya.

 

TUNGKAT

Dik Retni, apo kabar?

 

RETNI.

Alhamdulillah baik Pak.

 

TUNGKAT (CONT’D)

Itu motornya sudah saya siapkan, Dik.

Adik mau bonceng dengan saya atau teman saya?

 

RETNI

(sambil melihat motor) Saya bawa sendiri saja Pak.

 

TUNGKAT

(dengan wajah khawatir)

Tapi, adik ndak apo-apo bawa motor sendiri?

Selepas hujan, jalannyo lebih licin.

 

RETNI

Ndak apo-apo, Pak. Saya biasa bawa motor sendiri kok.

 

Retni lalu menaiki salah satu motor. Tungkat berboncengan dengan temannya. Kamera bergerak mengikuti motor yang beriringan menempuh perjalanan melewati perkampungan, kebun sawit, jalan setapak yang becek dan berlumpur, naik turun tanah merah yang berbukit juga semak belukar.

 

RETNI

Pak, berhenti dulu di sini. (sambil menepi lalu mematikan mesin motor).

 

Motor Tungkat ikut berhenti. Tampak di sisi jalan, kebun-kebun sawit terhampar luas. Padahal tak jauh dari sana, terdapat pelang bertuliskan kawasan taman nasional Tesso Nilo.

Tanaman sawit itu tumbuh di sela-sela tunggul kayu yang menghitam, tampak seperti bekas terbakar. Ada serakan potongan kayu-kayu kecil di sekitarnya yang juga dalam kondisi gosong.

 

RETNI.

Jadi, lahan sawit juga dibuka di sini, Pak?

 

TUNGKAT

Iya, Dik.

 

RETNI

Bukankah ini masih termasuk kawasan taman nasional? Dan sepertinya, kalau melihat bentuk tunggul kayunya, ini juga baru dibakar ‘kan?

 

Retni mengarahkan kamera ponselnya pada objek kebun sawit dan memotretnya. Dia berjalan perlahan memasuki kebun, membungkuk mengamati tunggul kayu dan serakan kayu, memotretnya dari dekat.

 

TUNGKAT.

(sambil berjalan mengikuti Retni)

Begitulah dik. Saya akan tunjukkan yang lain lagi. Mari, dik. Kita naik motor dulu.

 

Mereka kembali naik ke motor. Kamera berpindah menyoroti tunggul kayu yang menyembul di jalanan dan pepohonan di tepi jalan yang sebagian besar dalam kondisi meranggas.

Setelah beberapa meter, Tungkat menghentikan motornya diikuti Retni. Tungkat menunjuk ke arah sebuah parit kecil di jalan menurun. Di atas genangan air itu, tampak berderet-deret bibit kelapa sawit yang baru saja disemai.

 

RETNI (CONT’D)

(setengah berteriak)

Jadi, sawit-sawit itu nanti akan ditanam di sana?

 

TUNGKAT

(mengedik bahu)

 

Retni turun dari motor dan mendekati parit kecil itu. Dia memotret bibit-bibit sawit dari dekat.  

Dari kejauhan, tampak beberapa pria berjalan ke arah Retni. Tungkat yang melihat gelagat itu ikut turun dari motor dan menuju ke arah Retni.

 

PRIA 1

Sedang apa di sini?

 

RETNI

(menoleh, lalu berdiri)

Oh, saya sedang memotret. Tapi ini sudah selesai kok.

 

PRIA 2

Kau wartawan?

 

Tungkat langsung berdiri menghalangi pria-pria itu sebelum Retni menjawab.

 

 

TUNGKAT

Dia teman saya. Sedang penelitian untuk kuliahnya.

 

PRIA 3

(tertawa)

Sejak kapan kau punya teman anak kuliahan?

 

RETNI (CONT’D)

Saya sudah selesai. Mari kita pergi, Pak. (berkata kepada Tungkat)

 

PRIA 2

Tunggu!

 

Ketiga pria itu mengelilingi Tungkat dan Retni. Pria teman Tungkat memungut bilah kayu di jalan dan mendekati kerumunan itu. Seorang dari mereka memberi isyarat kepada temannya. Memberitahu bahwa ada yang datang dengan membawa kayu.

 

PRIA 3

(maju selangkah ke arah Tungkat, berkata dengan nada mengancam)

Ingatkan temanmu itu. Kalau sampai foto-foto ini tersebar di media, lihat saja nanti apa yang terjadi.

 

Ketiga pria itu melangkah mundur, sejenak melihat ke arah teman Tungkat yang berdiri dengan sikap waspada sambil menggenggam kayu, lalu pergi.

 

RETNI

Siapa mereka, Pak?

 

TUNGKAT

Penjaga-penjaga di sini. Biarkan saja. Mereka memang begitu. Yang penting mereka tidak tahu dik Retni wartawan. Yuk kita pergi.

 

 Mereka lalu kembali naik ke motor. Kamera menyoroti motor yang bergerak dari arah belakang.

 

CUT TO

 

18. EXT. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) - SORE

 

CAST : RETNI, SALIM, TUNGKAT

 

Salim (53 TAHUN) tengah berdiri di depan sebuah gedung sederhana. Saat menyadari ada yang datang, dia melihat dengan mata terpicing.

Motor yang dikendarai Tungkat dan Retni berhenti di depan Salim. Mereka lalu turun dan menghampiri Salim.

 

SALIM

(terkejut) Astaga! Retni! Saya kira siapa tadi.

 

RETNI

(mengangguk)

Assalamualaikum, Pak. Apa kabar?

 

SALIM

Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Nak. Kamu hanya berdua Tungkat?

 

RETNI

Iya. Tadi sebenarnya bertiga. Tetapi teman Pak Tungkat minta diturunkan di jalan, karena katanya sudah dekat rumahnya.

 

TUNGKAT

Iyo, Pak. Berani beno (benar) adik ni bawa motor melewati jalan licin sampai kemari. Ndak mau saya bonceng. Saya minta maaf Pak. Tak bisa lama-lama. Saya pamit dulu. Keburu malam kalau ndak pulang sekarang. Motornya besok bawa saja ke tempat tadi, dik Retni.

 

RETNI (CONT’D)

Baik Pak. Terima kasih ya. Ongkos sewa motornya sekalian besok ya Pak.

 

TUNGKAT

Iya dik. Ndak apa-apa. Saya pamit dulu Pak Salim. Dik Retni. Assalamualaikum.

 

RETNI DAN SALIM

Waalaikumsalam.

 

Tungkat naik ke motornya dan meninggalkan TNTN.

 

SALIM

Wah, Nak Retni ndak kasih kabar mau datang kemari. Saya jadinya ndak ada persiapan. Nak Retni istirahat di mess saja ya. Gedung yang ini sedang direnovasi.

(sambil menunjuk gedung di belakangnya)

 

RETNI

Iya pak, nggak apa-apa. Nggak usah repot-repot.

 

Salim dan Retni berjalan perlahan. Retni menunjukkan ponselnya kepada Salim.

 

RETNI

Ini tadi gambar-gambar yang saya jepret di perjalanan, Pak. Apa memang sudah separah ini kondisinya Pak? Sampai-sampai dekat kawasan TNTN pun mereka berani menanam sawit?

 

SALIM

(mengedik bahu)

Siapo yang berani melarang, nak. Orang-orang penting semuo yang punyo lahan tu.

 

RETNI

Lalu, kalau di sini, apa semuanya tetap berjalan seperti biasa, Pak?

 

SALIM

(menghela napas) Nak Retni sudah melihat dengan mata kepala sendiri perambahan tadi. Menurut nak Retni, apo akan terjadi di sini beberapa tahun lagi? Jangan-jangan kami pun tak mampu lagi melindungi gajah-gajah itu di sini.

 

RETNI

(menggeleng-geleng)

Tim flying squad1), apa kabarnya Pak?

 

SALIM

Momon yang jadi pimpinan tim flying squad sekarang. Rahadi mendidiknyo dengan keras, tetapi penuh kasih sayang. Kamu tahu sendirilah bagaimana kalau dia sudah bersama gajah-gajahnya, bukan?

 

RETNI (CONT’D)

(sejenak memalingkan wajah dengan ekspresi gugup)

Di mana Rahadi sekarang, Pak?

 

SALIM

Biaso-lah, sedang bersama gajah-gajah asuhannya. Sejak beberapa hari ini, para mahout2) di sini bertambah sibuk. Daerah jelajah tim flying squad sudah lebih jauh. Hutan terbakar membuat konflik gajah jugo kian memburuk, nak. Semakin banyak gajah-gajah liar kehilangan hutan dan perlintasan mereka, lalu masuk pemukiman dan mengganggu penduduk.

 

RETNI

Pekerjaan tim flying squad pasti bertambah berat ya Pak, juga para mahout. Mereka harus mengawal patroli di tengah kondisi udara yang diselimuti asap.

 

SALIM

Mau bagaimana lagi Nak. Kalau ndak begitu, nanti malah tambah parah. Tidak ada yang bisa menahan gajah-gajah itu kalau sudah menyerbu pemukiman. Omong-omong, sekarang apa kegiatanmu, nak?

Masih jadi wartawan? Masih sering meliput tentang lingkungan?

 

RETNI

Masih, Pak. Sudah sebulan saya di Pekanbaru, meliput tentang pembakaran hutan dan kabut asap.

 

SALIM

Oh, begitu. Apa kedatanganmu ke sini juga tentang liputan itu?

 

RETNI

(gugup) Tidak. Eh, iya. Maksud saya, Awalnya saya nggak punya rencana untuk datang. Tetapi, berhubung hari ini hujan dan kabut asap sedikit reda, saya jadi ingin berkunjung kemari.

Siapa tahu ada yang bisa saya temukan untuk menambah bahan liputan saya. Dan setelah ini, saya juga nggak tahu apakah masih bisa datang ke sini.

 

SALIM

Oh ya? Memangnya, Nak Retni mau kemana?

 

RETNI

Saya akan....menikah. (sambil menunduk)

Setelah itu, mungkin saya akan berhenti jadi wartawan.

Saya ingin menulis blog dan buku saja.

 

SALIM

(tersenyum)

Wah, diam-diam sudah mau nikah rupanya. Selamat ya nak. Jangan lupa undang saya nanti. Kapan rencananya?

 

RETNI

Belum tahu pastinya kapan, Pak. Bulan depan insya Allah baru lamaran.

 

SALIM

Rahadi sudah tahu?

 

RETNI

Sa...saya nggak tahu, Pak. (gugup)

 

SALIM

(melihat jauh ke depan). Sayang, rencana pertunangannya waktu itu gagal. Kalau tidak, beberapa bulan lagi dia juga mungkin akan menyusulmu.

 

RETNI

(terkejut)

Gagal?

 

SALIM

(menghela napas)

Begitulah, nak. Rahadi bilang dia belum siap. Dia masih ingin mengabdi di sini. Tetapi, apa alasan sebenarnya, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Omong-omong, kamu sudah makan?

 

RETNI

Belum, Pak. (sambil melihat arloji, menghindar dari tatapan Salim).

Bapak tahu rute tim flying squad hari ini?

 

SALIM

Kenapa? Kamu mau menyusul?

 

RETNI

Kalau nggak jauh-jauh, kenapa tidak? Saya ingin semua orang tahu bahwa pembakaran hutan tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia, tetapi juga bencana lain yang tak kalah mengerikan.

 

SALIM

(berhenti berjalan, menatap Retni sungguh-sungguh)

Saya menghargai niat baikmu. Tetapi, kondisi udara saat ini membuat sinyal komunikasi jadi terganggu. Sejak hari pertama, kami sulit menghubungi mereka saat mereka berada di lapangan. Apalagi kalau mereka sudah berada di sekitar hutan bekas pembakaran. Kesehatan para mahout dan gajah-gajah pun mulai menurun beberapa hari ini. Tetapi, kalau kamu ingin tahu apa saja yang sudah kami lakukan, berapa jumlah gajah liar yang berhasil kami giring ke hutan konservasi agar tidak mengganggu penduduk, saya bisa membantumu. Saya punya semua datanya.

 

RETNI

Oh, baiklah kalau begitu Pak.

 

Retni dan Salim berjalan lagi hingga tiba di teras mess. Dari luar, suasana mess yang mirip rumah tipe 60 itu terlihat gelap dan sepi.

 

SALIM

Silakan masuk Nak. Sekarang mess sedang sepi.  Oh ya, Nak Retni menginap di sini ‘kan?

 

RETNI

Iya Pak. Kalau Bapak nggak keberatan.

 

SALIM

(tertawa) Untuk Nak Retni, saya ndak pernah keberatan. Semua kamar di sini masih kosong. Tidak ada tamu yang datang sejak kota ini dikepung asap. Kamu boleh pilih kamar mana yang kamu mau. Nak Retni tidak takut ‘kan sendirian di sini?

 

RETNI

Tidaklah, Pak. Dulu waktu kemari, saya juga menginap sendirian.

 

SALIM

Oh iya, saya lupa. Nak Retni rencananya sampai kapan di sini?

 

RETNI

Saya nggak bisa lama-lama, Pak. Besok pagi saya pulang ke Pekanbaru.

 

SALIM

Oh, kalau begitu sebentar lagi saya kemari. Saya bawakan data dan dokumen yang barangkali Nak Retni butuhkan. Saya tinggal dulu ya Nak.

 

RETNI

Iya Pak. Terima kasih.

 

Retni berjalan masuk ke dalam mess. Salim berjalan ke arah berlawanan. Kamera mengikuti Retni masuk.

 

19. INT. MESS TNTN – SORE

Retni melihat-lihat kondisi di dalam mess yang kosong tetapi rapi. Ada foto-foto berjejer di salah satu sisi dinding. Retni mendekatinya. Ternyata itu foto-foto aktivitas di TNTN.

Ketika melihat salah satu foto yang terletak paling ujung, Retni tercekat. Itu fotonya dan Rahadi. Dia sedang menaiki salah satu gajah dan Rahadi berjalan di sampingnya. Mereka sama-sama tengah tertawa. Sekilas, tampak seperti foto prewedding saja. Retni mendekati foto itu. Meraba dengan jemarinya lalu tersenyum pahit.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar