3. Chapter #3
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

9.     INT. KANTOR GUBERNUR - SIANG

TEXT.

Satu jam kemudian,

 

Pintu ruang rapat terbuka. Rombongan pria anggota Asosiasi, pengacara dan pegawai Pemda keluar satu per satu. Wajah mereka tidak lagi ditutupi masker. Para wartawan langsung mengerubungi rombongan yang baru keluar itu.

 

WARTAWAN 1.

Bisa minta waktunya sebentar pak?

 

PENGACARA.

Saya pengacara mereka. Dan saya mewakili mereka untuk menyampaikan hasil pertemuan kami. Saya minta, apa yang saya sampaikan ini tidak diinterpretasikan berbeda atau ditulis sepotong-sepotong.

 

Sebagian wartawan mulai membuka buku catatan. Sebagian lagi sibuk menjepret dengan kamera dan ponsel.

 

PENGACARA. (CONT’D)

Kalian pasti sudah tahu, bahwa sebagian besar titik api disinyalir berasal dari lahan konsesi perusahaan sawit. Tetapi, satu hal yang perlu kalian pahami, bahwa lahan itu belum dikuasai perusahaan. Kesimpulannya, lahan yang terbakar adalah milik masyarakat. Dan pelaku pembakaran juga adalah masyarakat sendiri yang ingin membuka lahan. Meski begitu, perusahaan tetap menunjukkan tanggungjawabnya dengan membantu proses pemadaman. Pihak perusahaan juga sudah melaporkan ke aparat. Dari sisi regulasi dan standard of procedure, semua upaya yang ditempuh perusahaan sudah benar. Yang kami persoalkan sekarang, mengapa izin perusahaan malah dibekukan?

 

WARTAWAN 2.

Apa perusahaan tidak melarang masyarakat untuk membakar hutan, Pak? Bukankah lahan itu tetap masuk kawasan perusahaan meski secara hak masih milik masyarakat?

 

PENGACARA

Perusahaan bisa saja melakukannya, tetapi dalam prakteknya tak semudah yang anda bayangkan. Apalagi, regulasi juga memperbolehkan masyarakat membakar hutan kok. Tetapi dengan batas-batas tertentu. Silakan anda baca Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jika anda tidak percaya.

 

RETNI.

Boleh saya tahu wilayah mana saja yang termasuk dalam tuntutan Asosiasi, Pak?

 

PENGACARA (CONT’D).

(mengerutkan dahi, tampak berusaha mengingat-ingat)

Yang terbanyak di Kecamatan Tampan, lalu Kecamatan Bukit Raya, terakhir Payung Sekaki.

 

Semua wartawan sibuk mencatat. Kamera mendekat ke arah Retni. Menyoroti wajahnya yang tampak serius, seakan tengah mengingat-ingat sesuatu.

DISSOLVE TO

 

10. INT. INDEKOST RETNI - SIANG

 

CAST : RETNI, UMMI (ibu)

 

Ponsel berbunyi. Retni mengambilnya dari atas meja. Nama UMMI (50 tahun) muncul di layar.

 

INTERCUT

 

UMMI

Assalamualaikum. Halo Ret.

 

RETNI.

Waalaikumsalam, Mi.

 

UMMI

Retni, Apa kabar nak? kamu di sana baik-baik saja ‘kan? Bagaimana peliputanmu? Jangan tunggu paru-parumu menghitam dulu ye baru pulang. Bulan depan itu kamu lamaran. Nggak lucu ‘kan kalau pernikahan kalian harus ditunda sampai tahun depan karena calon mempelai wanitanya kena sesak napas?

 

RETNI.

(tertawa)

Alhamdulillah, Retni masih bernapas kok, Mi.

Pekerjaan Retni juga hampir beres.

Insya Allah, awal bulan depan Retni pulang.

 

UMMI

Kamu masak sendiri ‘kan? Nggak sering-sering jajan di luar?

 

RETNI.

Iya, Mi.

 

Kamera bergerak ke arah meja. Memperlihatkan sepiring mi goreng instan dan telur ceplok.

 

UMMI

Arul pernah menelpon kagak?

 

RETNI.

Pernah, Mi. Dua kali. Tetapi, dia nggak terlalu cemas kok.

 

UMMI

Memangnya kamu tahu dari mana dia cemas atau tidak? Dia pasti hanya berusaha menghibur kamu tuh. Eh, Abahmu pulang. Udah dulu ya Ret. Ingat. Jaga kesehatan. Assalamualaikum.

 

RETNI

Waalaikumsalam.

 

Retni lalu duduk di kursi dan menyalakan laptop. Dia menyalin semua catatan konferensi pers singkat bersama Asosiasi Pengusaha dan pengacaranya dari buku catatannya ke laptop.

Retni kemudian membuka folder berisi file-file kasus ganti rugi lahan oleh perusahaan sawit.

 

RETNI (V.O)

(membaca tulisan yang muncul di layar laptop)

Masyarakat menghendaki ganti rugi yang sesuai harga tanah. Namun perusahaan bersikukuh hanya mengganti sepersepuluh dari harga itu. Perusahaan juga berjanji untuk memprioritaskan masyarakat setempat dalam perekrutan karyawan dan setiap tahunnya akan memperoleh bantuan CSR. Persoalan itu akhirnya selesai dengan kemenangan pada pihak perusahaan.

 

Retni mengerutkan kening. Lalu meraih ponsel dan mengetik pesan.

 

CAMERA PAN TO.

Memperlihatkan layar ponsel Retni dan kemunculan nama Bim Bim di situ.

 

RETNI (V.O)

(Sambil mengetik di ponsel)

Besok kita ke Tampan. Ada kejanggalan dari pembebasan lahan oleh perusahaan X. Kita temui seseorang di sana.

 

11. EXT. TERAS RUMAH AMRIALIS - SORE

 

CAST. RETNI, BIM BIM, AMRIALIS, MURNI

 

BIM BIM

Kamu yakin ini rumahnya? (sambil celingukan)

 

RETNI

Yakin. Aku dulu pernah ke sini kok.

 

BIM BIM

Assalamualaikum (sambil mengetuk pintu)

 

RETNI

Assalamualaikum

 

Pintu terbuka beberapa detik kemudian. MURNI (23 tahun), gadis bertubuh kurus, berkulit gelap dan rambut dikepang satu keluar dan melihat keduanya dengan tatapan curiga.

 

MURNI

Waalaikumsalam. Cari siapo?

 

RETNI

(sambil menurunkan masker)

Saya Retni. Ini benar rumah Pak Amrialis ‘kan? Saya ingin bertemu beliau. Katakan saja Retni dari Mercusuar. Bapak pasti tahu.

 

MURNI.

Tunggu sebentar.

 

Murni menutup pintu.

 

BIM BIM

Kenapa dia melihat kita seperti itu ya?

Apa dia pikir kita akan merampok atau menipu?

 

RETNI (CONT’D).

(mengedik bahu)

Kita akan tahu sebentar lagi.

 

Pintu kayu berderit dan kembali terbuka. Kali ini Murni tidak sendirian. AMRIALIS (61 tahun) berjalan di belakangnya dengan tubuh sedikit terbungkuk.

 

RETNI.

Pak Amrialis?

 

AMRIALIS.

(memicingkan mata dan menunjuk ke arah Retni)

Kamu ....siapo? Sebentar.....(sambil mengingat-ingat)

 

RETNI

(sambil tersenyum)

Saya Retni, Pak. Kita dulu sama-sama makan ubi rebus di teras ini.

Ubi yang baru bapak cabut dari kebun belakang.

 

AMRIALIS

(terbelalak)

Astagfirullah, maaf nak. Beno-beno*) lupo saya tadi. Ayo, ayo masuk.

Ajak temanmu. Siapo namo?

 

BIM BIM

(sambil mengulurkan tangan kepada Amrialis)

Saya Bim Bim, Pak.

 

AMRIALIS.

Ayo, ayo masuk. Nak Bim Bim. Nak Retni.

 

Retni dan Bim Bim melangkah masuk mengikuti Amrialis dan Murni.

 

12. INT – RUANG TAMU RUMAH AMRIALIS – SORE

 

Retni, Bim Bim dan Amrialis duduk di sofa usang dengan sobekan lebar menganga di sana sini hingga lapisan busa di dalamnya terlihat jelas. Murni pergi meninggalkan mereka.

 

AMRIALIS.

Maaf, nak. Rumah Bapak sekarang tambah jelek. (terkekeh).

Yang tadi itu keponakan saya. Bapaknyo tempo hari ditangkap polisi, menyusul teman-temannyo yang lain. Jadi setiap kali ada orang datang, dia sudah curiga duluan.

 

RETNI

Ditangkap kenapa, Pak?

 

AMRIALIS

(menghela napas)

Mereka membakar hutan. Awalnya mereka juga ndak mau membakar, tetapi yang menyuruh berjanji akan membantu mereka kalau sampai tertangkap.

 

RETNI.

(dengan ekspresi marah)

Tetapi, kenapa yang menyuruh malah tidak ditangkap? Kenapa justru mereka yang hanya orang suruhan yang ditangkap?

 

AMRIALIS

(menghela napas)

Nak Retni macam tidak tahu saja. Siapalah kami-kami ini, nak?

 

Murni datang membawa nampan berisi tiga cangkir teh. Sinar curiga sudah berlalu dari kedua matanya. Dia meletakkan cangkir teh di atas meja lalu duduk di lantai tak jauh dari ruang tamu sambil mendekap nampan.

 

BIM BIM.

Dik, kenapa duduk di bawah? Marilah duduk sini.

 

MURNI.

(menggeleng sambil tersenyum kecil)

 

RETNI

Tentang lahan yang dulu itu, bagaimana kelanjutannya, Pak? Saya minta maaf, waktu itu tidak ikut mendampingi Bapak dan teman-teman sampai selesai.

 

AMRIALIS

Ndak ado kelanjutan yang menggembirakan, nak. Masyarakat terpaksa merelakan lahannyo dengan ganti rugi sangat kecil. Siapo berani melawan, kalau tiap hari yang datang preman-preman? Alasannyo untuk menjaga keamanan.

 

Amrialis menarik napas dalam-dalam. Menatap jauh dengan sorot mata layu.

 

RETNI

Kalau begitu, lahan yang sekarang menjadi sumber titik api itu sebenarnya adalah milik perusahaan, dan masyarakat yang membakar juga adalah atas perintah perusahaan. Begitu ‘kan Pak?

 

AMRIALIS

Ayo diminum dulu, nanti bau tehnyo bercampur asap.

 

Retni dan Bim Bim saling berpandangan. Lalu meraih cangkir teh dan minum. Bim Bim memberi isyarat dengan anggukan, pertanda sudah saatnya mereka pergi.

 

RETNI

(sambil menggeser duduk mendekati Amrialis, menatap lelaki tua itu prihatin)

Kali ini saya tidak berani menjanjikan apa-apa, Pak. Persoalan ini terlalu kompleks. Tetapi, saya dan Mercusuar akan berusaha semaksimal yang kami bisa.

Setidaknya, orang-orang di luar sana harus tahu kondisi sesungguhnya dan tidak gampang percaya dengan omongan pihak-pihak yang menyudutkan rakyat kecil.

 

AMRIALIS

(menundukkan kepala, lalu mengangkat wajah dan menatap Retni sayu)

Semoga usaha kalian diberkahi Allah, Nak. Tetapi saya minta tolong, janganlah nama saya disebut-sebut di koran. Saya hanya ingin hidup tenang dan tetap bisa bernapas sampai kabut asap ini ndak ado lagi.

 

FREEZE

Retni tertegun dengan mata terpaku pada Amrialis.

 

CUT TO

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar