A Better Day
4. 4.

Scene 14 – Int. Sekolah – Pagi hari

[Tiana sedang berjalan. Siska melihat Tiana dari kejauhan. Siska mendapatkan sebuah ide untuk mengerjai Tiana. Siska sengaja menjatuhkan handphonenya tepat di jalan yang akan dilewati Tiana. Tiana tidak sengaja menginjak Handphone Siska]

Siska

[Berpura-pura terkejut] Tiana!! Kamu injak handphoneku.

Tiana

[Menjauhkan kakinya] Maaf.. aku enggak sengaja.

Siska

[Mengambil handphonenya lalu pura-pura memeriksa handphonenya]

Ah! tuh kan rusak!

Tiana

[Panik dan merasa bersalah] Maaf. Nanti aku ganti.

Siska

Mau ganti pakai apa? Bapak kamu cuma supir!

Tiana

Nanti aku cari uang. Aku pasti ganti.

Siska

Oh iya aku lupa kalau bapak kamu itu suka judi. Pasti banyak uangnya ya? [Mengejek]

Tiana

[Marah] Memangnya kenapa kalau ayahku suka main judi? Kamu rugi? [Santai tapi menusuk]

Siska

[Kaget karena perkataan Tiana padanya] Kamu berani sama aku?

[Tiana mendorong Siska lalu berjalan menjauhi Siska]

 

Scene 15 – Int. Kelas – Pagi hari

[Tiana sangat kesal. Lalu teringat waktu malam hari. Dia melihat Ibu Siska dengan pria lain. Dia mengambil kertas dan mulai menulis]

Sekitar pukul Sembilan malam. Aku sedang menunggu ayahku pulang, lalu aku melihat ibu dari temanku sedang bersama dengan pria yang bukan suaminya. Temanku itu bernama Siska. Aku sangat kasihan pada Siska karena mempunyai ibu yang berselingkuh.

[Tiana merobek kertas dari buku lalu jalan keluar kelas]

 

Scene 16 – Mading Sekolah – Pagi Hari

[Tiana berniat menaruh tulisannya di dinding agar semua orang membacanya. Dia ingin balas denda kepada Siska. Tiana melihat kertas dan mading secara bergantian. Tangannya mulai bergetar. Dia bukan anak yang jahat. Dia mulai ragu. Tiana memilih mundur dan kembali ke kelasnya]

 

Scene 17 – Int. Kamar Tiana – Malam hari

[Tiana sedang menulis]

Aku menaruhnya di mading sekolah. Tak lama kemudian semua orang membacanya. Mereka menertawakan Siska. Mereka menyebut Siska “Anak tukang selingkuh”. Siska menangis kencang. Aku sangat senang melihat Siska menangis seperti itu.

[Tiana menangis kencang. Dia memeluk buku yang berisi tulisannya tadi. Dia kesal kepada dirinya sendiri yang hanya bisa membalas Siska di imajinasinya saja]

Tiana

Bodoh... bodoh... [Berbicara sambil menangis]

 

Scene 18 – Int. Rumah Tiana – Malam Hari

[Tiba-tiba suara pintu di gedor dengan sangat kencang]

[Diman mengintip dari jendela. Dia terkejut ketika tahu Juragan Tirta yang datang]

Diman

[Mendekati Tiana yang baru keluar dari kamar] Tiana. Dengerin Bapak. Sekarang kamu lari lewat pintu belakang. Kamu lari cari orang. Ngerti?

Tiana

[Menggeleng] Kenapa Tiana harus lari Pak?

[Suara gedoran pintu semakin kencang]

Juragan Tirta

Diman! Gua tahu elu ada di dalam. Buka atau gua dobrak pintu lu!

Diman

[Dengan tergesa menggendong Tiana menuju pintu belakang]

Pergi Tiana. Pergi!

[Pintu di dobrak oleh bawahan Juragan Tirta. Diman menghampiri Juragan Tirta yang datang dengan Asep-bawahannya]

Juragan Tirta

[Menunjuk Tiana dengan kepalanya. Memberi tanda kepada Asep] Tangkap!

[Asep mendekati Tiana yang masih berdiri kebingungan. Diman menarik badan Asep sehingga Asep tidak bisa bergerak. Asep terus memukuli Diman yang menghambat pekerjaanya. Diman memukuli Asep lalu menusuk kaki Asep. Asep berteriak kesakitan]

Juragan Tirta

[Menarik Diman] Lu jangan macam-macam sama gua! Mau Gua bunuh?

Diman

[Menatap Tiana] Tiana Lari! [Teriak]

[Tiana menangis. Dia Tidak mau meninggalkan Bapaknya sendirian]

[Tiana terus melihat Bapaknya. Diman memberi tanda dengan menggelengkapan kepala dan membuka bibirnya membentuk kata ‘kabur’. Juragan Tirta mencekik Diman. Diman kehabisan nafas. Dia terus menatap Tiana yang tidak kunjung pergi. “Pergi” kata-kata terakhir Diman sebelum mati di tangan Jurangan Tirta. Tiana melihat Bapaknya yang sudah tidak sadarkan diri. Dia menangis kencang. Juragan Tirta menjatuhkan tubuh Diman yang sudah tidak bernyawa dan melihat ke arah Tiana. Tiana melihat Juragan Tirta lalu berlari sekencang-kencangnya menuruti perkataan Bapaknya sebelum meninggal. Tiana berlari dengan air mata yang terus mengalir di pipinya]

 

Scene 19 – Jalan Raya – Malam Hari

[Tiana mencegat bus yang bertuliskan Bogor-Jakarta. Tiana memasuki bus. Juragan Tirta yang melihat itu tampak jengkel. Tiana membuang nafasnya. Beruntung dia bisa lepas dari kejaran Juragan Tirta. Tiana melihat ke belakang memastikan Juragan Tirta tidak mengikutinya]

[Seorang leleki menghampiri Tiana]

Kenek Bus

[Menyiapkan tiket] Lima belas ribu.

Tiana

[Bingung] Bapak. Saya enggak punya uang.

Kenek Bus

Kalau enggak ada uang ya turun!

Tiana

[Menggeleng]

Kenek Bus

[Mengambil baju Tiana] Kamu ini anak kecil tapi ngeyel!

[Salah satu penumpang perempuan yang mengamati Tiana sejak tadi merasa iba]

Penumpang perempuan (Sarah 45 Tahun)

Tiketnya sama saya aja. Saya yang bayar.

Tiana

[Menengok ke arah perempuan itu lalu tersenyum. Penumpang peremuan itu membalas senyuman Tiana]

 

Scene 20 – Int. Terminal – Malam hari

[Tiana turun dari bus dengan wajah kebingungan. Dia tidak tahu harus ke mana dan harus apa. Sarah menghampiri Tiana]

Sarah

Kamu mau ke mana?

Tiana

[Menggeleng]

Sarah

Bapak kamu mana?

Tiana

[Menggeleng lagi lalu menangis]

Sarah

[Berpikir sejenak] Kamu lupa ya? Ini Tante Sarah. Temennya ibu kamu.

Tiana

[Menatap penuh harapan] Tante. Aku boleh ikut ya sama tante? Jadi pembantu juga enggak apa-apa. Aku mohon tante aku takut… tadi… tadi… [Menangis] Bapak [Berhenti bicara]

Sarah

Bapak kamu kenapa?

Tiana

[Menggeleng] Bapak… dicekik orang.

Sarah

[Terkejut lalu memeluk Tiana]

Tiana 

Ini salah aku Tante. Kalau aja aku enggak sekolah, bapak enggak mungkin minjem uang terus. Karena aku bapak meninggal… [menangis semakin menjadi]

Sarah

Kamu jangan takut. Kamu ikut sama Tante ya.

Tiana

[Mengangguk]

 

Scene 21 – Int. Rumah Sarah – Tengah malam

Sarah

Ayo Tiana cepat!

[Tiana melihat ke sekeliling rumah Sarah. Dia merasa takjub ketika melihat rumah Sarah yang sangat besar. Dia mengikuti Sarah dari belakang]

Sarah

Tiana. Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini.

[Tiana memerhatikan dengan seksama]

[Ghani (15) dan Ghiana (13) anak dari Sarah keluar dari dalam menyambut ibu mereka yang baru saja datang]

Ghiana

[Menghampiri Sarah] Bunda aku kangen banget.

[Ghiana memeluk Sarah]

Ghani

Bun gimana Enin?

Sarah

[Melepas pelukan Ghiana] Sekarang udah membaik. Udah bisa ngobrol juga.

Ghani

[Merasa lega] Syukurlah.

[Melihat ke arah Tiana. Sarah menyadari pendangan anak pertamanya ini lalu tersenyum dan memperkenalkan Tiana]

Sarah

Ini Tiana. Mulai sekarang Tiana bakal tinggal sama kita.

Ghiana

[Merasa tidak suka] Kenapa? Dia siapa?

Sarah

Tiana anak temennya Bunda. Pokoknya kalian harus baik sama Tiana. Oke?

Ghani

[Mengangguk senang]

Sarah

Ayo Tiana. Kita lihat kamar kamu.

[Sarah berjalan dengan Tiana yang mengikutinya dari belakang]

[Ghiana Menyikut Kakaknya]

Ghiana

Kakak kok malah seneng gitu?

Ghani

Memangnya kenapa? Kan bagus jadi tambah teman.

Ghiana

Bagus apanya sih? Kalau dia ambil Bunda gimana?

Ghani

[Tertawa] Coba deh kamu pikirin namanya Tiana nama kamu Ghiana. Mirip kan? Kalian harus akur. [Tersenyum mengejek ke arah Ghiana. Lalu menjauh]

Ghiana 

[Merasa kesal] Nyebelin semua.

 

Scene 22 – Int. Kamar – Malam Hari

[Tiana tidak bisa tidur. Dia ingat kepada kedua orang tuanya]

Tiana

Ibu… Bapak…

[Tiana melihat bayangan bapak dan ibunya tersenyum di langit-langit atap kamarnya]

[Tiana ikut tersenyum]

Tiana

Tiana bakal jadi anak yang pintar buat Ibu sama Bapak.

[Perlahan tertidur] 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar